V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Dalam bagian ini diuraikan berturut-turut mengenai profil transfer fiskal dan profil kemiskinan di Indonesia.
5.1. Profil Transfer Fiskal di Indonesia
Sistem transfer fiskal di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Selain itu, sistem transfer fiskal juga mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran
pemerintah daerah sebagian besar dibiayai dengan transfer dari pemerintah Pusat Mahi dan Ardiansyah, 2002. Pada dekade 1990-an, transfer fiskal atau dana dari
Pusat merupakan 72 persen dari pengeluaran Provinsi dan 86 persen dari pengeluaran KabupatenKota Simanjuntak, 2002. Dalam garis besarnya, transfer fiskal dari Pusat
ke Daerah terutama pada periode pelaksanaan otonomi daerah, terdiri atas beberapa bentuk, yaitu 1 bagi hasil pendapatan revenue sharing, 2 subsidi daerah otonom
SDO, dan 3 bantuan pembangunan atau program Inpres.
5.1.1. Bagi Hasil
Pada era sebelum otonomi daerah yakni sebelum tahun 2001, penerimaan bagi hasil revenue sharing di Indonesia berasal dari pembagian Pajak Bumi dan
Bangunan PBB, dan pembagian Iuran Hasil Hutan IHH dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan IHPH. Pajak bumi dan bangunan PBB adalah pajak pusat
yang dibagihasilkan kepada daerah tingkat I dan daerah tingkat II, masing-masing 10 persen untuk pemerintah Pusat, 16.2 persen untuk pemerintah daerah tingkat I, 64.8
persen untuk pemerintah daerah tingkat II, dan 9 persen sisanya merupakan biaya atau upah pemungutan. Pola pembagian hasil pajak bumi dan bangunan diatur dalam
Undang-Undang Nomor Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang mulai berlaku efektif pada bulan Januari 1986, dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun
1985 tentang Pembagian hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 12 tahun 1985 ini, maka ketentuan mengenai Iuran Pembangunan Daerah IPEDA praktis dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tersebut, telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian
Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 83 tanggal 19 Maret 1994, ditetapkan bahwa 10 persen dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan bagian dari pemerintah Pusat dibagikan secara
merata kepada seluruh daerah tingkat II. Dengan demikian, bagian terbesar yaitu 74.8 persen dari penerimaan PBB kini menjadi penerimaan daerah tingkat II, sisanya yaitu
16.2 persen menjadi penerimaan daerah tingkat I, sebesar 9 persen sebagai upah pungut. Kebijakan ini mulai berlaku pada tahun anggaran 19941995, dan bertujuan
agar pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II dapat lebih ditingkatkan. Dengan adanya pembagian
penerimaan PBB secara merata itu, telah terjadi subsidi silang antara Daerah Tingkat
II yang menerima PBB relatif tinggi kepada Daerah Tingkat II yang menerima PBB relatif rendah. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 ketentuan
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak NJOPTKP ditetapkan Rp 8 juta untuk setiap wajib pajak yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995; sementara dalam
Undang-Undang Nomor 12 tahun1985 sebelumnya NJOPTKP ini besarnya adalah Rp 7 juta. PBB dipungut dengan tarif 0.5 persen dari Nilai Jual Kena Pajak NJKP,
sedangkan besarnya NJKP ditentukan sebesar 20 persen dari Nilai Jual Objek Pajak NJOP Nota Keuangan dan RAPBN, 19981999.
Pemungutan dan pembagian penerimaan Iuran Hasil Hutan IHH dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan IHPH diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 1967 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1980, dan kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1985,
dan setelah itu mengalami beberapa kali perubahan berturut-turut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1989, Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990,
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1991, dan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1993. Dalam Kepres tersebut ditetapkan sebesar 45.0 persen penerimaan IHH
digunakan untuk pembiayaan pembangunan, yang meliputi pem-biayaan pembangunan untuk daerah tingkat I sebesar 30.0 persen dan pembiayaan
pembangunan untuk daerah tingkat II sebesar 15.0 persen. Sementara itu, sebesar 55.0 persen lainnya dialokasikan untuk pembiayaan rehabilitasi hutan, denga n rincian
sebesar 20.0 persen digunakan untuk pembiayaan rehabilitasi hutan secara nasional, sebesar 15.0 persen untuk pembiayaan kehutanan daerah, dan sebesar 20.0 persen
untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan bagi areal blok tebangan Nota Keuangan dan RAPBN, 19961997.
Selain penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak yang sudah ada selama ini, dalam beberapa belakangan ini, terutama setelah keluarnya Undang-Undang
Nomor 25 tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, pemerintah Pusat juga telah membagihasilkan beberapa jenis penerimaan
lainnya. Bagi hasil pajak selain PBB, kini ada bagi hasil dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB, dan bagi hasil dari Pajak Pen-
dapatan Perseorangan PPh. Pasal 21, Pasal 25 dan Pasal 29. Sementara itu, untuk bagi hasil sumber daya alam BHSDA, selain IHH dan IHPH dari sektor kehutanan,
kini di sektor pertambangan dikenal berbagai jenis bagi hasil yaitu bagi hasil pene- rimaan dari pertambangan umum penerimaan dari Iuran Tetap atau Land-rent dan
penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi atau Royalty, bagi hasil dari penerimaan pertambangan minyak bumi, bagi hasil dari penerimaan pertambangan
gas bumi, dan bagi hasil dari penerimaan pertambangan panas bumi. Sementara dari sektor perikanan ada bagi hasil penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan
penerimaan pungutan hasil perikanan. Adanya tambahan berbagai jenis bagi hasil penerimaan inilah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya pangsa share
dari penerimaan bagi hasil dalam penerimaan daerah tingkat II mulai tahun 2001, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Besarnya persentase pembagian untuk berbagai jenis bagi hasil penerimaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, secara rinci diatur dalam Undang-Undang
Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Jumlah penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak dan share-nya terhadap total penerimaan APBD KabupatenKota 19931994 - 2002 disajikan dalam Tabel
2. Dalam tabel 2 tersebut tampak bahwa pangsa bagi hasil, yang terdiri atas bagi hasil pajak dan bukan pajak mulai tahun 2001 mengalami kenaikan yang cukup drastis bila
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, yang rata-rata hanya kurang dari 15 persen per tahun, kecuali tahun 19951996 dan 19961997. Kenaikan yang cukup
besar dalam pangsa bagi hasil terhadap penerimaan KabupatenKota mulai tahun 2001 antara lain disebabkan karena adanya tambahan jenis penerimaan pemerintah
Pusat yang dibagihasilkan dengan Daerah, khususnya penerimaan dari sektor sumber- daya alam kehutanan,pertambangan, dan perikanan, terutama setelah keluarnya
Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah.
Tabel 2.
Penerimaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak KabupatenKota di Indonesia, Tahun 19931994 - 2002
Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 199394-2002. Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah KabupatenKota berbagai edisi. Badan Pusat Statistik.
a. Share terhadap total penerimaan APBD Tingkat II. Tahun
Bagi Hasil Pajak Rp juta
Share
a
Bagi Hasil Bukan Pajak Rp juta
Share
a
Total Bagi Hasil Rp juta
Share
a
19931994 874 630
10.41 240 480
2.86 1 115 110
13.27 19941995
1 125 218 11.59
327 260 3.40
1 452 478 14.99
19951996 1 230 510
10.94 485 730
4.13 1 716 240
15.07 19961997
1 578 670 12.10
583 760 4.47
2 162 430 16.57
19971998 2 020 670
11.52 321 680
3.28 2 342 350
14.80 19981999
2 538 830 11.40
449 790 3.10
2 988 620 14.50
19992000 874 630
10.01 240 480
1.86 3 408 492
11.99 2000
1 125 218 9.74
327 260 1.51
3 539 776 11.87
2001 1 230 510
7.69 485 730
10.37 14 177 512
18.06 2002
1 578 670 8.26
583 760 10.43
16 947 265 18.89
Gambaran mengenai penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak berdasar- kan Provinsi selama 4 tahun terakhir 1999 – 2002, disajikan dalam Tabel 3 dan
Tabel 4. Berdasarkan Provinsi, penerimaan bagi hasil pajak tidak memperlihatkan
adanya kenaikan share terhadap penerimaan KabupatenKota yang terlalu signifikan lihat Tabel 3. Hal ini berbeda dengan penerimaan bagi hasil bukan pajak, dimana
sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001, langsung terjadi kenaikan share penerimaan bagi hasil bukan pajak terhadap penerimaan KabupatenKota yang
cukup besar, terutama pada Provinsi-provinsi yang memiliki sumberdaya alam melimpah seperti Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, dan Kalimantan Timur.
Tabel 3. Penerimaan Bagi Hasil Pajak PBB KabupatenKota di Indonesia Berdasarkan Provinsi, Tahun 19992000 - 2002
Jumlah Bagi Hasil PBB Rp juta Share Terhadap Penerimaan APBD II
Provinsi 9900
2000 2001
2002 9900
2000 2001
2002 1. NAD
85639 96371
159119 185127
10.77 8.19
14.18 5.08
2. Sumut 196420 203851
417145 451028
11.24 6.20
9.98 9.24
3. Sumbar 78358
73353 139037
154746 7.87
8.18 6.76
6.27 4. Riau
156729 173403 380452
528004 21.47
19.21 6.21
8.92 5. Jambi
50342 60708
102289 144238
10.93 11.97
8.34 8.87
6. Sumsel 125758 111520
219339 289062
11.87 10.68
7.64 9.60
7. Bengkulu 18274
22479 37490
41382 6.41
4.65 5.70
5.60 8. Lampung
59338 73081
112359 171117
6.87 8.57
5.58 7.07
9. Jabar 469616 521321
1203180 1469672
11.27 12.44
11.77 12.72
10. Jateng 248782 293072
518659 714191
7.11 8.59
5.57 7.00
11. DIY 36407
41751 79811
82897 7.63
8.21 6.49
5.69 12. Jatim
434512 445601 790499
1002092 10.54
10.64 7.42
8.50 13. Bali
75253 73867
138576 203271
6.54 6.51
5.60 8.47
14. NTB 31627
39492 71272
88875 4.96
7.12 4.98
5.64 15. NTT
52741 54093
94694 107708
7.58 6.92
4.35 4.64
16. Kalbar 50067
53233 98866
120486 7.40
8.43 6.07
6.24 17. Kalteng
86727 76086
126346 136771
15.97 14.16
9.06 8.91
18. Kalsel 89237
86100 145488
189417 10.75
12.02 9.71
10.79 19. Kaltim
160793 156641 444867
435832 17.57
15.74 8.40
6.92 20. Sulut
38829 38210
70135 98113
7.55 7.93
5.55 6.77
21. Sulteng 27613
29727 56545
81855 6.19
5.96 5.03
6.17 22. Sulsel
126998 142019 238181
296998 9.17
9.79 7.62
7.63 23. Sultra
23227 22530
38832 47216
5.82 5.70
4.16 5.02
24. Maluku 39713
52803 63849
87284 9.02
8.27 4.94
5.71 25. Papua
111259 124111 288672
364563 12.67
10.36 9.21
9.13 Indonesia
- -
- -
10.01 9.74
7.69 8.26
Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 19901991 - 2000. Departemen Keuangan
Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah KabupatenKota berbagai edisi.
Badan Pusat Statistik.
Yang agak mengherankan adalah Provinsi Papua, dimana pangsa penerimaan
bagi hasil bukan pajak terhadap total penerimaan KabupatenKota tidak mengalami kenaikan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya dimana selama tahun 2001 dan 2002
menunjukkan kecenderungan menurun, padahal Papua selama ini dikenal sebagai salah satu Provinsi yang memiliki sumberdaya alam terutama dari kehutanan yang
cukup potensial lihat Tabel 4.
Tabel 4. Penerimaan Bagi Hasil Bukan Pajak IHHIHPH KabupatenKota di Indonesia Berdasarkan Provinsi , Tahun 19992000 - 2002
Jumlah Bagi Hasil Bukan Pajak Rp juta Share Terhadap Penerimaan APBD II
Provinsi 9900
2000 2001
2002 9900
2000 2001
2002 1. NAD
3302 4135
584034 742342
0.42 0.35
52.04 20.38
2. Sumut 12931
10357 46967
58585 0.74
0.32 1.12
1.20 3. Sumbar
9172 5398
11904 23409
0.92 0.60
0.58 0.95
4. Riau 17834
24631 3025506
2840368 2.44
2.73 49.36
47.98 5. Jambi
3851 4820
47939 79787
0.84 0.95
3.91 4.91
6. Sumsel 49777
39596 559312
570659 4.70
3.79 19.48
18.96 7. Bengkulu
3221 2616
311 921
1.13 0.54
0.05 0.12
8. Lampung 3121
1353 137607
174335 0.36
0.16 6.84
7.20 9. Jabar
50246 8484
191343 262953
1.21 0.20
1.87 2.28
10. Jateng 5977
5649 21554
23681 0.17
0.17 0.23
0.23 11. DIY
1924 2494
579 1474
0.40 0.49
0.05 0.10
12. Jatim 10522
5844 90514
110136 0.26
0.14 0.85
0.93 13. Bali
1240 755
455 2572
0.11 0.07
0.02 0.11
14. NTB 1819
31584 127617
104067 0.29
5.69 8.92
6.60 15. NTT
1081 21063
1308 2779
0.16 2.69
0.06 0.12
16. Kalbar 7382
6118 7478
32323 1.09
0.97 0.46
1.68 17. Kalteng
27525 32210
27900 110545
5.07 6.00
2.00 7.20
18. Kalsel 61473
77842 130173
126509 7.41
10.87 8.69
7.21 19. Kaltim
162460 73989
2868368 3801651
17.75 7.43
54.17 60.37
20. Sulut 8293
7453 9231
16634 1.61
1.55 0.73
1.15 21. Sulteng
3822 4695
5571 14203
0.86 0.94
0.50 1.07
22. Sulsel 20238
22365 36243
38974 1.46
1.54 1.16
1.00 23. Sultra
6196 7759
4245 7373
1.55 1.96
0.46 0.78
24. Maluku 16896
23210 27811
58707 3.84
3.64 2.15
3.84 25. Papua
3302 49911
174998 250332
5.00 4.17
5.58 6.27
Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 19901991 - 2000. Departemen Keuangan Republik Indonesia.
2 Statistik Keuangan Pemerintah KabupatenKota berbagai edisi. Badan Pusat Statistik.
5.1.2. Subsidi Daerah Otonom