Konsep dan Ukuran Kemiskinan

Hal yang sebaliknya, terjadi pada bagi hasil pajak dan bagi hasil SDA, dimana kedua- nya memiliki dampak yang cenderung bersifat ‘disequalizing’ terhadap PAD per kapita, kecuali untuk KabupatenKota pada tahun 2002 dimana koefisien variasi PAD per kapita lebih kecil setelah adanya alokasi bagi hasil pajak. Kenyataan yang agak kontradiktif berkaitan dengan peranan DAU sebagai ‘equalizing factors’ diperlihatkan oleh hasil estimasi koefisien regresi dimana justru alokasi DAU cenderung meningkat bersama-sama dengan PDRB per kapita. Hasil estimasi menunjukkan bahwa PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif dan nyata terhadap alokasi DAU, baik pada tingkat Provinsi maupun KabupatenKota, kecuali pada tahun 2002 untuk kasus Provinsi. Hal ini berarti bahwa daerah yang kaya memperoleh alokasi DAU yang semakin besar pula. Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk tax effort, dimana tax effort KabupatenKota justru memperlihat- kan pengaruh yang positif dan nyata terhadap alokasi DAU, yang berarti Kabupaten Kota yang memiliki tax effort yang tinggi akan mendapatkan alokasi DAU yang semakin besar. Hal ini akan berarti bahwa ketimpangan fiskal antardaerah akan semakin melebar.

2.1. Kemiskinan

2.1.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks karena berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dari manusia. Dalam hubungan ini, World Bank 2000 mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu masalah yang bersifat multidimensi sebagai berikut : Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom . Walaupun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta lack of income and assets untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan yang dapat diterima, yang mana kesemuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Asset dalam hal ini mencakup ‘human assets, natural assets, physical assets, financial assets, dan social assets ’ World Bank, 2000. Ketidakcukupan pendapatan dan harta lack of income and asset bahkan telah dilihat salah satu penyebab utama dari kemiskinan tersebut. Menurut Chambers 1996, kemiskinan terutama di daerah perdesaan rural poverty adalah masalah ketidakberdayaan powerlessness, keterisolasian isolation, kerentanan vulnerability dan kelemahan fisik physical weakness, dimana satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi. Namun demikian, kemiskinan menurut Chambers merupakan faktor penentu yang memiliki pengaruh paling kuat daripada yang lain-lainnya poverty is a strongly determinant of the others. Kemiskinan menyumbang terhadap kelemahan fisik physical weakness melalui kekurangan pangan lack of food, badan yang kurus, gizi yang buruk, yang menyebabkan mudah terkena infeksi penyakit, dan ketidakmampuan untuk mem- bayar jasa atau layanan kesehatan. Kemiskinan juga menyumbang terhadap keter- isolasian isolation yang dikarenakan ketidakmampuan untuk membayar biaya pen- didikan, membeli sebuah radio atau sepeda untuk melakukan perjalanan ke tempat kerja, atau untuk tinggal di dekat pusat desa atau jalan utama. Selain itu, kemiskinan juga menyumbang terhadap kerentanan vulnerability melalui ketiadaan asset lack of assets untuk membayar pengeluaran yang semakin besar, atau untuk memenuhi keperluan-keperluan yang bersifat darurat contigencies; dan kemiskinan juga menyumbang terhadap ketidakberdayaan powerlessness yang dikarenakan ketidak- cukupan kekayaan lack of wealths yang terjadi bersama-sama dengan rendahnya status, dimana kaum miskin tidak memiliki suara the poor have no voice. Kelemahan fisik dari sebuah rumahtangga dapat memberikan konrtibusi ter- hadap kemiskinan melalui beberapa cara, salah satu diantaranya adalah melalui produktivitas yang rendah dari tenaga kerja yang lemah. Keterisolasian dalam arti ketiadaan pendidikan, keterpencilan, dan ketiadaan kontak dengan dunia luar, telah ikut melestarikan kemiskinan. Kerentanan merupakan bagian dari banyak kaitan yang ada, yang berhubungan dengan kemiskinan, kelemahan fisik, keterisolasian, dan ketidakberdayaan. Singkatnya, saling keterkaitan diantara berbagai aspek kemiskinan tersebut atau yang oleh Chambers 1996 sebut sebagai klaster ketidakberuntungan ‘the clusters of disadvantage’ telah membentuk suatu lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal the vicious circle of poverty atau ‘the deprivation trap’. Secara umum, kemiskinan dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu kemis- kinan absolut absolute poverty dan kemiskinan relatif relative poverty. Kemis- kinan absolut adalah suatu keadaan dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan yang dimiliki seseorang atau suatu keluarga. Artinya, ketika tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan miskin. Hal ini berarti diperlukan suatu tingkat pendapatan minimum yang memungkinkan seseorang atau suatu keluarga itu dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang atau keluarga tersebut dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimumnya. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau biasa disebut sebagai garis kemiskinan poverty line. Untuk mengukur kemiskinan ada beberapa ukuran atau indeks yang sering digunakan para ahli selama ini, diantaranya adalah : Pertama , adalah poverty headcount index P0 yang merupakan suatu ukuran kasar dari kemiskinan karena hanya menunjuk kepada proporsi dari penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, ukuran ini hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian, lalu dibuat persentase- nya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya. Artinya, tidak ada perbedaan antra penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya diantara orang-orang miskin. Apabila ukuran ini digunakan oleh pemerintah sebagai dasar kebijakan, maka akan menghasilkan kebijakan yang bias, karena dimata pemerintah sebagai pengambil kebijakan , semua orang miskin memiliki kesamaan bobot kemiskinan. Selain itu, ukuran ini hanya menghitung jumlah kepala orang miskin headcount, dan tidak mampu menangkap tingkat keparahan kemiskinan itu sendiri. Sementara persentase dari penduduk yang miskin tersebut tidak menggambarkan intensitas dari kemiskinan. Kedua , adalah poverty gap index P1, yang mengukur kedalaman kemiskinan the depth of poverty di dalam suatu wilayah, dan indeks ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Ukuran ini menggambarkan jarak rata-rata mean distance dibawah garis kemiskinan yang dinyatakan sebagai suatu proporsi terhadap garis kemiskinan tersebut. Rata-rata disini adalah rata-rata dari penduduk secara keseluruhan, dan penduduk yang tidak miskin nonpoor dianggap sebagai memiliki poverty gap sama dengan nol Ravallion and Bidani, 1994.Ukuran ini merupakan indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan, dan dengan menggu- nakan ukuran atau indeks kedalaman kemiskinan ini, pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat memperkirakan besarnya dana yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan. Namun demikian, ukuran ini masih memiliki kelemahan karena meng- abaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Ketiga , adalah squared poverty gap P2 yang menunjukkan kepelikan atau keparahan kemiskinan di dalam suatu wilayah. Secara sederhana, indeks P2 ini, dapat didefinisikan sebagai rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan squared poverty gaps . Tidak seperti poverty gap index P1 yang hanya memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, ukuran P2 ini telah mempertim- bangkan pula kepelikan kemiskinan severity of poverty di dalam suatu wilayah dan ketimpangan pendapatan diantara penduduk miskin tersebut. Oleh karena itu, indeks ini sering juga dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan poverty severity index . Suatu ukuran kemiskinan yang baik menurut Kakwani 2000, harus memper- hitungkan atau memasukkan tiga indikator kemiskinan sebagai berikut, yaitu : 1 persentase penduduk miskin, 2 jurang kemiskinan agregat, dan 3 distribusi pen- dapatan diantara penduduk miskin.

2.1.2. Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan