Kondisi Umum Hidro-oseanografi Laut Jawa dan Sekitarnya

isohalin 30 psu terdorong jauh ke laut lepas. Pada saat yang sama arus permukaan dari Laut Cina Selatan membawa massa air bersalinitas rendah ke bagian barat Laut Jawa dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur. Sebaliknya, pada musim timur massa air dengan salinitas rendah tadi didorong kembali ke Laut Jawa dan Laut Cina Selatan, dan diganti oleh massa air yang bersalinitas tinggi dari Selat Makassar dan Laut Flores Gambar 8. Pada Gambar 9 disajikan skematik dari proses variasi salinitas musiman di perairan Laut Jawa dan sekitar selama musim barat Desember-Februari dan musim timur Juni-September. Gambar 7. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Permukaan Musiman di Perairan Indonesia Laut Jawa Selama Musim Timur Juni-Agustus dan Musim Barat Desember–Februari Gordon, 2005 Gambar 8. Intrusi Massa Air dari Selat Makassar dan Laut Flores ke Laut Jawa Juli-September Atmadipoera dan Nurjaya, 2011 Gambar 9. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Musiman di Perairan Laut Jawa dan Sekitar Selama a Musim Barat Desember-Februari dan b Musim Timur Juni-September Miyama et al., 1996

2.5 El Nino Southern Oscillation ENSO

El Nino Southern Oscillation atau ENSO adalah kondisi abnormal iklim di mana suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru lebih tinggi dari rata-rata normalnya. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang terkadang mengalir dari utara ke selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun Philander, 1990. Fenomena ENSO ini memiliki dua fenomena yang saling berlawanan fase. Dimana fase panas disebut sebagai kondisi El Nino dan fase dingin disebut sebagai kondisi La Nina. Parameter yang dapat digunakan untuk melihat adanya fase El Nino dan La Nina adalah Southern Oscillation Index SOI. SOI merupakan indeks yang menggambarkan perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Darwin yang mewakili Indonesian Low dengan Tahiti yang mewakili South Pasific High. Nilai tersebut didapatkan dengan mengurangi nilai tekanan paras laut di Tahiti dengan tekanan paras laut di Darwin. Pada saat terjadinya El Nino, nilai Indeks Osilasi Selatan negatif dalam jangka waktu yang lama, terjadi penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Tahiti dan terjadi peningkatan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Darwin. Sebaliknya pada saat nilai Indeks Osilasi Selatan positif dalam jangka waktu yang lama Fase La Nina, terjadi kenaikan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Tahiti dan terjadinya penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Darwin. Pola inilah yang dinamakan pola jungkat-jangkit, dimana posisi kedua ujungnya akan selalu berlawanan. Fenomena Osilasi Selatan ini berkaitan dengan kejadian El Nino, maka disebut sebagai ENSO Brown et al., 1989. Perbandingan kondisi pada saat normal dan terjadi El Nino ditunjukkan pada Gambar 10. Pada kondisi normal, berhembus angin permukaan ini membangkitkan arus permukaan di Samudera Pasifik yang mengalir dari timur ke barat. Hal ini mengakibatkan elevasi muka air laut di Samudera Pasifik tropis bagian barat lebih tinggi dan suhu permukaan laut SPL di bagian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Samudera Pasifik tropis bagian timur Gambar 10a. Melemahnya Angin Pasat menyebabkan terjadinya perubahan arah arus ekuator yang semula ke arah barat menjadi ke arah timur Gambar 10b. Perubahan arah arus ini menyebabkan makin tingginya SPL di Samudera Pasifik tropis bagian timur. Semakin besarnya gradien suhu antara timur-barat membangkitkan angin baratan yang bertiup dari Pasifik barat ke bagian timurnya. Bertiupnya angin baratan ini menambah kuatnya perbedaan suhu atau makin bertambahnya suhu di bagian timur Pasifik. Sirkulasi tersebut terjadi pada kondisi El Nino. Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan. Gambar 10. Perbandingan Kondisi di Samudera Pasifik pada Saat a Normal dan b Terjadi El Nino NOAA, 2004

2.6 Indian Ocean Dipole Mode IODM

Saji et al., 1999 melaporkan bahwa terdapat juga osilasi klimatologi di Samudera Hindia. Fenomena ini ditunjukkan dengan adanya variabilitas internal dengan SPL negatif atau lebih dingin dari normalnya di pantai barat Sumatera atau Samudera Hindia bagian timur 90°-110° BT, 10° LS-ekuator dan anomali positif di Samudera Hindia bagian barat 50°-70° BT, 10° LS-10° LU. Fenomena ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tidak bergantung pada ENSO. Fenomena ini dinamakan Indian Ocean Dipole Mode IODM. Dipole Mode Index DMI dapat digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM. Nilai DMI menggambarkan perbedaan anomali suhu permukaan laut dari dua daerah yaitu bagian barat ekuator dari Samudera Hindia 50°-70° BT dan 10° LS-10° LU dan timur ekuator dari Samudera Hindia 90°-110° BT dan 10° LS- ekuator. Nilai DMI yang ekstrim positif menggambarkan terjadinya fenomena IODM positif dan nilai DMI ekstrim negatif menunjukkan terjadinya fenomena IODM negatif. Fenomena IODM ditunjukkan pada Gambar 11. Pada waktu normalnya, angin barat yang lemah bergerak dari sisi bagian timur Afrika Samudera Hindia bagian barat ke pantai barat Sumatera Samudera Hindia bagian timur. Sedangkan pada saat terjadinya fenomena IODM positif di pantai barat Sumatera terbentuk anomali SPL negatif lebih rendah dari suhu normalnya yang pada gambar ditandai dengan warna biru. Sedangkan di pantai timur Afrika terbentuk anomali SPL positif suhu permukaan lautnya lebih tinggi dari kondisi normal yang ditandai dengan warna merah pada gambar. Kondisi ini menimbulkan angin timur yang kuat yang bertiup ke pantai timur Afrika, sehingga curah hujan di atas Afrika berada di atas normal sementara di Indonesia terjadi kekeringan. Hal sebaliknya terjadi pada saat fenomena IODM negatif Saji et al., 1999. Vinayachandran et al. 2002 menambahkan IODM positif juga ditandai dengan pendangkalan lapisan termoklin di S. Hindia bagian timur sedangkan di Samudera Hindia bagian barat menjadi lebih dalam. Gambar 11. Fenomena IODM a IODM Positif b IODM Negatif Saji et al., 2001 Proses terbentuknya IODM ditampilkan pada Gambar 11. Siklus dipole mode diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar Selat Lombok hingga Selatan Jawa pada sekitar bulan Mei–Juni. Selanjutnya pada bulan Juli – Agustus, anomali negatif tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai pantai barat Sumatera, sementara itu di Samudera Hindia bagian barat muncul pula anomali suhu permukaan laut positif. Adanya perbedaan tekanan di antara keduanya, semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Proses pembentukan Indian Ocean Dipole Mode dimulai pada bulan Mei hingga Juni. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan September–Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November–Desember. Menurut Saji et al., 1999 dan Meyers et al,. 2006 fenomena IODM positif terjadi pada tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997. Sedangkan fenomena IODM negatif terjadi pada tahun 1980, 1981, 1985, 1989, 1992 dan 2010. Bukti terjadinya IODM negatif kuat pad tahun 2010 dengan anomali positif suhu permukaan laut SST dan anomali presifitasi curah hujan telah ditunjukkan oleh Makarim et.al., 2011. Anomali akibat fenomena IODM dapat dilihat pada Gambar 12, 13 dan 14.