Pendidikan Berbasis Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya: Analisis Peran dan Aksi K.H.A. Shohibulwafa Tajul 'Arifin
SHOHIBULWAFA TAJUL
‘ARIFIN”.
(Study Peran dan Aksi Abah Anom Dalam Penerapan Pendidikan Berbasis TQN di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya).
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh: ARIFIN NIM 109011000189
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2014
(2)
(3)
(4)
(5)
i
dan Aksi K.H.A. Shohibulwafa Tajul „Arifin (Abah Anom)”. (Study Peran Pemikiran dan Aksi Abah Anom Dalam Penerapan Pendidikan Berbasis TQN di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya).
Kata Kunci: Pendidikan Berbasis Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN),
Pemikiran dan Aksi K.H.A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Pemikiran dan aksi
K.H.A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) Dalam Penerapan Pendidikan
Berbasis Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsabandiyyah (TQN) di Pondok Pesantren Suryalaya.Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dan jenis
penelitian yang digunakan adalah kepustakaan/ library research yaitu
mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan. Pendekatan yang digunakan bersifat fenomenologis, yang mengacu pada pandangan dan keyakinan masyarakat yang diteliti serta para penganut dan pengamal TQN di Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya.
Dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, studi pustaka, dokumentasi data, dapat disimpulkan bahwa Abah Anom dikenal sebagai pemimpin yang kuat dan karismatik, memiliki sifat-sifat terpuji, penyampaian spiritual Beliau telah menarik respon positif dari masyarakat luas, bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Abah Anom adalah mursyid tarekat yang memiliki pemikiran yang menyentuh keseluruh aspek kehidupan, baik segi agama, sosial, ekonomi dan kemasyarakatan.
(6)
ii
limpahan rahmat serta karunia, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Shalawat beserta salam semoga Allah senantiasa melimpahkannya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga dan sahabatnya yang telah memberikan tuntunan bagi kita semua (Umat Islam) kejalan yang di ridhoi Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan rintangan serta kesulitan yang dihadapi. Namun berkat bantuan dan motivasi serta bimbingan yang tidak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Madjid Khon. M.A., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Dan Ibu Marhamah Shaleh, Lc., Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. Serta staf administrasi Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Faza Amri, S.Th.I.
3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Dr. Akhmad Sodiq, M.A, selaku
pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi kepada penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.
(7)
iii
dan seluruh dosen yang ada di naungan UIN Syarif Hidayatullah.
5. Ayahanda Syamsudin dan Ibunda Maryam tercinta yang selalu memberikan
limpahan kasih dan sayang yang tak terhingga, yang tidak bisa dibalas dengan apapun, dan selalu mendo’akan serta memberi dukungan dengan segala pengorbanan dan keihklasan. (semoga Allah membalas segala pengorbanan bapak dan ibu). Kakak tercinta, Mustain, Astutik, Siti Kholisoh, yang telah memberikan do’a untuk adiknya tercinta.
6. Keluarga besar Abah Anom dan Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya,
para ikhwan TQN, Bapak Ero, Anisa Nuraeni, Tira, serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.
8. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang dibutuhkan.
9. Keluarga besar Bapak Didik Farkhan. A, SH, MH, dan istri tercinta Ibu Eri,
yang telah memberikan kasih sayang, fasilitas, sarana dan prasarana kepada penulis selama penyusunan skripsi ini (semoga Allah membalas semua amal baik Bapak dan Ibu beserta keluarga). Keluarga besar Ibu Dr. Sururin M.Ag., yang telah senantiasa memberi bantuan doa, serta dorongan kepada penulis.
10. Terima Kasih juga buat adinda tercinta dan tersayang saudari Isnawati atas
semua dukungan, doa, motivasi dan ketulusan kasih sayangnya, sehingga penulis terus termotivasi merampungkan skripsi ini.
(8)
iv
12. Teman-teman PAI kelas E angkatan 2009 yang tidak dapat disebutkan
namanya satu persatu, yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling membantu dalam proses belajar dikampus UIN Jakarta tercinta.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa kehadirat Allah SWT. Semoga amal baik semua pihak yang telah membimbing, mengarahkan, memperhatikan dan membantu penulis dicatat oleh Allah sebagai amal shaleh dan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Dan mudah-mudahan
apa yang penulis usahakan dapat bermanfaat. Amiin…
Jakarta 05 September 2014
(9)
v
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Pembatasan Masalah ... 4
D. Rumusan Masalah... 4
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. ... 5
BAB II KAJIAN TEORI ... 7
A.Kajian Teori... 7
1. Pendidikan ... 7
a. Definisi Pendidikan………. ... 7
b. Tujuan Pendidikan………. ... 8
2. Tarekat ………... 11
a. Definisi Tarekat………. ... 11
b. Sejarah Tarekat………. ... 14
c. Tujuan Tarekat………. ... 19
d. Macam-macam Tarekat………. ... 25
3. Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) ……… 31
a. Sejarah TQN………. ... 31
b. Ajaran TQN………. ... 38
4. Tarekat dalam Pendidikan………. ... 57
(10)
vi
D. Cara Pengumpulan Data...………. 63
E. Analisis Data………. ... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN ... 66
A. Deskripsi Data...……… 66
1. Riwayat Hidup Abah Anom... 66
2. Latar Belakang Pendidikan... 69
3. Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya... 75
4. Kondisi dan Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya... 80
5. Pemikiran dan Karya-karya Abah Anom... 82
B. Pembahasan ...………..………. 83
1. Tanbih... 83
2. Yayasan Serba Bakti... 92
C. Hasil Wawancara... 110
BAB V PENUTUP... 112
A. Kesimpulan…………... 112
B. Implikasi………... 113
C. Saran………... 114 DAFTAR PUSTAKA
(11)
vii
3. Pedoman Wawancara
4. Hasil Wawancara KH. Zainal Abidin Anwar (Sesepuh Pondok Pesantren
Suryalaya).
5. Hasil Wawancara Bpk. Iskandar (Ikhwan TQN)
6. Hasil Wwancara Bpk. Rachmat (Ketua Pondok Asrama Putri).
7. Hasil Wawancara Bpk. Maman (Guru Kepesantrenan Yayasan Serba
Bakti)
8. Hasil Wawancara Tira Pratama Avsari (Santri Yayasan Serba Bakti)
9. Surat Bimbingan Skripsi
10.Surat Permohonan Izin Penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah
11.Surat Keterangan Penelitian dari Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
(12)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Kehadiran ajaran tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya di Indonesia sama tuanya dengan kehadiran Islam itu sendiri sebagai agama yang masuk kawasan ini. Sebagian mubaligh yang menyebarkan Islam di Nusantara telah mengenalkan ajaran Islam dalam kapasitas mereka sebagai guru-guru sufi. Tradisi tasawuf telah menanamkan akar yang fundamental bagi pembentukan karakter dan mentalitas kehidupan sosial masyarakat Islam di Indonesia. Dengan demikian, peranan tasawuf dengan lembaga-lembaga tarekatnya sangat besar dalam mengembangkan dan menyebarkan Islam di Indonesia. Namun, tampaknya dari sekian banyak tarekat yang ada di seluruh dunia, hanya ada beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di Indonesia. Hal itu dimungkinkan di antaranya karena faktor kemudahan sistem komunikasi dalam kegiatan transmisinya. Tarekat yang masuk ke Indonesia adalah tarekat yang telah populer di Makkah dan Madinah, dua kota yang saat itu menjadi pusat kegiatan dunia Islam. Faktor lain adalah karena tarekat-tarekat itu dibawa langsung oleh tokoh-tokoh pengembangnya yang umumnya berasal dari Persia dan India. Kedua negara itu dikenal memiliki hubungan
yang khas dengan komunitas Muslim pertama di Indonesia.1
1
Ajid Thohir , Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa, (Bandung : Penerbit Pustaka Hidayah, 2002), h.27
(13)
Masyarakat Islam memiliki warisan kultural dari Ulama sebelumnya yang dapat digunakan sebagai pegangan yaitu doktrin tasawuf yang nerupakan aspek kultural yang ikut membidangi lahirnya tarekat-tarekat. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian Ulama Sufi, mereka memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat. Dengan dibukanya ajaran-ajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian berbondong-bondonglah orang awam memasuki majelis-majelis zikirnya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok
tersendiri yang disebut dengan nama tarekat.2
Beberapa tarekat yang masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad ke-16 atau abad ke-17 hingga abad ke-19 di antaranya adalah Tarekat Qadiriyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Samaniyah, dan
„Alawiyah. Juga ada tarekat yang lebih dikenal dengan sebutan Haddadiyah,
yang muncul berkat kreativitas umat Islam Indonesia, terutama para habib
keturunan Arab. Pada periode berikutnya, tarekat Tijaniyah masuk pada awal
abad ke-20, yang dibawa oleh para jamaah haji Indonesia.3
Berkaitan dengan hal itu, diketahui di Indonesia terdapat banyak ajaran tarekat-tarekat yang berkembang, salah satu tarekat muktabarah yang berekembang pesat di Indonesia adalah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dengan tokohnya yang fenomenal KH. Shohibulwafa Tajul „Arifin (Abah Anom), seorang mursyid tarekat yang memiliki pemikiran-pemikiran dan gebrakan yang berbeda untuk mengembangkan ajaran TQN. Salah satu bentuk nyata dari pemikiran beliau adalah mencetuskan Yayasan Serba Bakti yang di dalamnya terdapat Pondok Pesantren Suryalaya, Inabah (metode pemulihan / terapi untuk para pecandu narkoba), Pendidikan Formal dan Nonformal. Dari situ kita dapat mengetahui betapa kompleksnya pemikiran beliau dan
2
Kharisudin Aqib,Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsabandiyyah, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hal 19-20.
3
Ajid Thohir , Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa, h.28
(14)
menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan, baik dalam segi keagamaan, pendidikan, sosial ekonomi dalam masyarakat.
Abah Anom dan Pesantren Suryalaya dewasa ini menjadi pesantren yang banyak diteliti dan dikaji oleh banyak orang, baik yang mengatasnamakan pribadi maupun lembaga. Bahkan banyak peneliti Barat yang tertarik melakukan penelitian di Pesantren Suryalaya ini. Para pengkaji tasawuf begitu akrab mengenal Pesantren Suryalaya ini sebagai penyebar Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah. Pesantren Suryalaya mengajarkan TQN, yang intinya berupa ajaran agama Islam agar manusia hidup dan mati tetap dalam keridhaan
Allah SWT., Dengan bersumber kepada Alquran, hadis, ijma’ dan qiyas. TQN
merupakan teori agar kita lebih cepat dan tepat dalam menggali api Islam, iman, dan ikhsan dengan tidak meninggalkan hukum-hukum syariat.
Abah Anom seorang pemimpin yang mempunyai wawasan intelektual yang luas, pengetahuan yang banyak dan ketakwaan yang mendalam. Beliau juga telah mengalami banyak kesulitan dalam kehidupannya, tetapi beliau sangat sabar, berani dan rendah hati. Beliau dikenal konsisten dan setia terhadap ajaran Abah Sepuh dan juga sebagai seorang pemimpin yang suka bekerja keras.
Cabang-cabang Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah tersebut yang terbesar dan yang paling berpengaruh adalah Abah Anom (KH. A.
Shahibulwafa Tajul „Arifin) di Suryalaya karena sistem pengobatan narkotika
melalui zikir (sufi healing). Abah Anom memiliki khalifah yang tersebar di berbagai tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Lombok, bahkan di
Singapura, Malaysia, dan Brunei.4
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut peneliti ingin mengadakan
penelitian yang membahas tentang “Pendidikan Berbasis Tarekat
Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya :
4
Ahmad Syafi’I Mufid,Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: kebangkitan Agama di Jawa,(Jakarta : Yayasan obor Indonesia Anggota IKAPI DKI Jakarta, 2006), h. 66.
(15)
Analisis Peran dan Aksi K.H.A. Shohibulwafa Tajul „Arifin (Abah Anom)”. (Study Peran Peran dan Aksi Abah Anom Dalam Penerapan Pendidikan Berbasis TQN di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya).
B.Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Abah Anom merupakan figur seorang guru mursyid yang menjadi pusat
rujukan dari segala aktivitas pengikut TQN, khususnya di wilayah beliau, sehingga penulis tertarik ingin menggali dan mengetahui lebih dalam bagaiamana peran sosok figur Abah Anom dalam memanfaatkan organisasi TQN untuk mengembangkan kegiatan pendidikan di tanah priangan Tasikmalaya.
2. Kekuatan daya tarik Abah Anom tampak pada kepribadiannya yang terpuji,
tutur kata yang baik, selalu bersikap baik tanpa membeda-bedakannya berdasarkan status dan kedudukan, maka penulis ingin mendalami dan memahami aksi sosok figur ini dalam menerapkan pendidikan berbasis TQN di tanah sunda tasikmalaya.
C.Pembatasan Masalah
Dari identifikasi dan perumusan masalah di atas, maka penulis membatasi permasalahan dan ruang lingkup penelitian ini pada : Peran dan
Aksi K.H.A. Shohibulwafa Tajul „Arifin (Abah Anom) dalam Penerapan
Pendidikan Berbasis Tarekat Qaririyyah wa Naqsabandiyyah (TQN).
D.Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah diatas, dapat dirumuskan bebrapa masalah yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Bagaimana Peran K.H.A. Shohibulwafa Tajul „Arifin (Abah Anom) dalam
Penerapan Pendidikan Berbasis TQN.
(16)
E.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan dan pembatasan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui Peran K.H.A. Shohibulwafa Tajul „Arifin (Abah
Anom) Dalam Penerapan Pendidikan Berbasis Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsabandiyyah (TQN) di Pondok Pesantren Suryalaya.
b. Untuk mengetahui Aksi K.H.A. Shohibulwafa Tajul „Arifin (Abah
Anom) Dalam Penerapan Pendidikan Berbasis Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsabandiyyah (TQN) di Pondok Pesantren Suryalaya.
2. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut: Untuk melahirkan paradigma, konsep, dan teori
mengenai Peran dan Aksi K.H.A. Shohibulwafa Tajul „Arifin (Abah Anom)
dalam penerapan pendidikan berbasis TQN untuk mengatasi kenakalan remaja.
Dengan demikian diharapkan pula penelitian ini juga akan memberi kontribusi dan manfaat bagi semua kalangan diantaranya:
a. Akademis : Menyumbang khazanah ilmu pengetahuan kepada semua
insan akademisi.
b. Peneliti : Sebagai pembelajaran bagi peneliti serta tambahan pengetahuan
sekaligus untuk mengembangkan pengetahuan penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih diri dalam research ilmiah.
c. Studi Ilmiah : Sebagai hasil studi yang murni untuk mendapatkan
pengalaman dan pelajaran yang bisa di ambil hikmahnya dan untuk menambah literature kepustakaan.
d. Pondok Pesantren : Sebagai kontribusi untuk meningkatkan cita-cita
(17)
kalangan pondok pesantren yang bisa di ambil pelajaran positif dari sosok inspiratif serta kharismatik ini.
e. Kalangan Pendidikan : merupakan hasil pemikiran yang dapat dipakai
sebagai pedoman untuk melaksanakan usaha pengajaran menuju tercapainya tujuan yang dicita-citakan.
f. Masyarakat umum : Sebagai literature dan bahan bacaan, sehingga
masyarakat bisa memetik pelajaran positif dari sosok kharismatik Abah Anom ini yang selalu menjadi inspirasi setiap saat.
(18)
7
BAB II KAJIAN TEORI A.Kajian Teori
1. Pendidikan
a. Definisi Pendidikan
Ketika kita berbicara mengenai pendidikan, banyak ahli dan pakar pendidikan yang memberikn definisi tentang pendidikan, diantaranya :
1) Menurut M. „Atihiyah Al-Abrasjy:
Pendidikan adalah mempersiapkan manusia, supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah airnya, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, saling tolong menolong dengan orang lain, manis tutur bahasanya baik dengan lisan maupun
dengan tulisan. 1
2) Menurut al-Syaibaniy, pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah
laku individu atau eserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan profesi diantara sekian banyak
profesi asasi dalam masyarakat.2
3) Menurut Fadhil al-Jamaly, pendidikan islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta
1
Mahmud yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung), h. 5
2
Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 3
(19)
didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal,
perasaan, maupun perbuatannya.3
4) Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentukya kepribadian yang utama (insan
kamil).4
5) Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan
oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. 5
Dari beberapa definisi yang diberikan oleh para tokoh di atas, dapat disimpulakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam, melalui pendekatan Pendidikan Islam ini ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakini.
b. Tujuan Pendidikan
Pada acara kongres Pendidikan Islam Sedunia tanggal 15-20 Maret tahun 1980 di Islamabad Pakistan menetapkan Pendidikan Islam sebagai berikut: “ Pendidikan harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan, dan rasio, perasaan serta pancaindra. Oleh karenanya, maka pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, yaitu aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif, serta mendorong semua aspek itu ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak
3
Ibid, h. 31 4
Ibid, h. 32 5
(20)
di dalam sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah pada tingkat
individual, masyarakat, dan pada tingkat kemanusiaan pada umumnya.6
Menurut rumusan di atas, jelas telah tampak bahwa tujuan pendidikan Islam itu tidak sempit, melainkan menjangkau seluruh lapangan hidup manusia yang bertitik optimal pada penyerahan diri manusia kepada Khaliknya, Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan demikian, pendidikan agama hanyalah merupakan bagian dari ruang lingkup pendidikan Islam, karena apa yang dituju oleg proses kependidikan Islam pada hakikatnya adalah terwujudnya kepribadian muslim yang paripurna dalam mengembangkan kehidupan dunia akhiratnya di atas landasan iman takwanya kepada Allah.
Sejalan dengan pengertian ideal dari tujuan pendidikan Islam itu seorang cendekiawan muslim (Guru Besar Ilmu Pendidikan di Universitas Tunisia) Moh. Fadhil Al-Djamaly, menyatakan kesimpulan dari studinya bahwa “sasaran pendidikan menurut Alquran ialah membina pengetahuan/kesadaran manusia atas dirinya, dan atas sistem kemasyarakatan islami serta atas sikap dan rasa tanggung jawab sosial. Juga memberikan kesadaran manusia terhadap alam sekitar dan ciptaan Allah serta mengembangkan ciptaan-Nya bagi kebaikan umat manusia. Akan tetapi yang lebih utama dari semua itu ialah makrifat kepada Pencipta alam dan beribadah kepada-Nya dengan cara menaati
perintah-perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.”
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam menurut pendapat di atas ialah menanamkan kesadaran dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya, serta menanamkan kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar sebagai ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia, dan kegiatan ibadahnya kepada Pencipta alam itu sendiri.
6
(21)
Jelaslah bahwa dalam proses kependidikan yang dikehendaki oleh Islam untuk mencapai sasaran dan tujuan akhir, nilai-nilai islami akan mendasari dan lebih lanjut akan membentuk corak kepribadian anak didik pada masa dewasanya. Dengan kata lain, pendidikan Islam secara filosofis beroirientasi kepdada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku “khalifah” di muka bumi, yaitu sebagai berikut:
1) Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya.
2) Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan
masyarakatnya.
3) Mengembangkan kemampuannnya untuk menggali, mengelola, dan
memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis pula.
Sikap hubungan yang harmonis itu ialah sikap yang tidak memusuhi alam sekitar, seperti merusak alam atau menguras habis kekayaan alam tanpa
memikirkan kelangsungan ekosistem yang ada. Dalam hal ini sikap take and
give (mengambil dan memberi) kepada alam sekitar akan mampu menjaga kelestarian alam itu.
Para ahli pendidikan (muslim) merumuskan tujuan pendidikan Islam. Di antaranya al-Syaibani, mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh. Pisik, kemauan, dan akalnya
secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh. Sementara tujuan akhir yang akan dicapai dalam pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (insan al-kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman,
(22)
ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik
di dunia maupun akhirat.7
2. Tarekat
a. Definisi Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab “Ath-Thariq” yang berarti jalan
yang ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan
baik terpuji maupun tercela. Perkataan Thariqah dalam teminologi tasawuf
Islam yang bermakna “jalan” tadi menurut Zamakhsari Dhofier dimaksudkan
sebagai “jalan menuju surga”. Kata „tarekat’ dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata Arab thariqah yang berarti jalan. Dalam ilmu tasawuf yang dimaksud
dengan thariqat adalah jalan sufi, yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Tarekat artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh
sahabat dan tabi‟in, turun-temurun sampai kepada guru-guru,
sambung-menyambung, dan rantai-berantai. Dengan kata lain, tarekat adalah jalan spiritual dalam agama Islam. Menurut Istilah tasawuf, tarekat adalah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah SWT. perjalanan yang mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk-beluknya.
Proses perjalanan dalam tarekat, dimulai dengan pengambilan sumpah,
bai‟at dari murid dihadapan Syaikh setelah sang murid melakukan taubat dari segala maksiat. Setelah itu, murid menjalani tarekat hingga mencapai
kesempurnaan dan dia mendapat ijazah lalu menjadi khalifah Syaikh atau
mendirikan tarekat lain jika diizinkan. Oleh karena itu, dalam tasawuf disepakati bahwa tarekat mempunyai tiga ciri umum, yaitu Syaikh, murid, dan
bai‟at.
Al-Palembani menguraikan syarat bagi setiap orang yang ingin mengikuti tarekat, yaitu:
7
Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press, 2005). h. 36-38.
(23)
1) Bertakwa kepada Allah SWT dengan sebenar-benar takwa,
2) Menyiapkan diri dengan senjata dzikir,
3) Bertekad bulat untuk tetap dalam tarekat hingga akhir hayatnya, dan
4) Harus memiliki kawan tetap dalam menjalankan ibadah secara
bersama-sama membaca wirid berbersama-sama, dan tolong menolong demi kebaikan.
Selanjutnya Al-Palembani mensyaratkan untuk berhati-hati dalam tarekat, sebab pengikut tarekat harus memperhatikan kewajiban-kewajibannya, yaitu:
1) Membatasi makan, sebagai prasyarat terbukanya pintu hati,
2) Berjaga ditengah malam untuk melakukan ibadah karena sebagai prasyarat
kesucian hati,
3) Disiplin dalam menjaga ucapan karena akan menutup pintu ma‟rifat,
4) Meditasi dan khalwat di tempat khusus dengan mengikuti petunjuk-petunjuk
Syaikh agar hati merasa hadir di sisi Allah SWT. Seorang arif yang sudah
mencapai ma‟rifat, uzlah –nya hanya dalam hati sehingga bisa saja
ber-khalwat di tengah keramaian manusia.8
Adapun tarekat menurut istilah ulama Tasawuf :
1) Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, Tasawuf.
2) Cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu
tujuan.
Berdasarkan beberapa definisi yang tersebut di atas, jelaslah bahwa tarekat adalah suatu jalan atau cara utnuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmuTauhid, Fikih dan Tasawuf. Tarekat Nabi
Muhammad saw, yang diikuti pula oleh Ulama-ulama Syara’ dan Tasawuf
ialah mengamalkan hukum yang dibawa Rasul, yaitu sekalian yang wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Maka kewajiban yang mula-mula ialah mengetahui i’tikad terhadap
Tuhan dan Rasul yang diterangkan dalam ilmu Tauhid. Kemudian mengetahui
8
(24)
peraturan amalan yang berhubungan dengan ibadat yang diterangkan dalam ilmu Fikih, dan seterusnya mempelajari ilmu untuk membersihkan hati yang diterangkan dalam ilmu Tasawuf. Orang yang mengamalkan ilmu yang tiga itu, menurut Ahmad Khatib, ialah yang dinamakan mengamalkan tarekat Nabi
SAW, tarekat Sahabat, Ulama dan Wali-wali. 9
Dengan demikian, tarekat itu merupakan saluran dari tasawuf, dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu gambaran bahwa tarekat itu merupakan ritual beribadah tertentu yang dipakai untuk menempuh jalan kepada Allah SWT. Sesuai dengan yang diajarkan atau di contohkan Rasulullah melalui petuntuk dari seorang guru (Mursyid) yang di awali dengan
bai‟at talqin (sumpah setia), yang mengikat pengikutnya dalam suatu kekeluargaan para guru kepada pengikutnya, atau pengalaman-pengalaman batin melalui wirid dan ritual tertentu yang diperoleh dari seorang guru mursyid dengan kaifian tertentu.
b. Sejarah Tarekat
Jika ditelaah secara sosiologis yang lebih mendalam, tampaknya ada latar
belakang lahirnya trend dan pola hidup sufistik dengan perubahan dan
dinamika dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya
gerakan kehidupan zuhud dan „uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Basri
(110 H). Dan Ibrahim Ibnu Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya), yang dipraktekkan oleh para pejabat Bani Umayah. Berkembangnya tasawuf filosofis ynag di pelopori oleh al- Hallaj (309 H), dan Ibn Arabi (637 H), tampaknya tidak bisa terlepas dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam, yang cenderung tersilaukan oleh berkembangnya hidup yang rasional. Hal ini merupakan pengaruh para
filosof paripatetik, seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, dan lain-lain.10
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu faktor kultural dan struktural. Dari segi politik, dunia islam sedang mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia islam, seperti : wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen
9
Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsabandiyah, (Jakarta : Pustaka al-husna baru, 2005), h. 6-8
10
Kharisudin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa naqsabandiyah, (Surabaya : Dunia Ilmu, 1998), h. 19
(25)
Eropa, yang terkenal dengan perang salib. Selama lebih kurang dua abad
(490-656 H / 1096-1258 M) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.11
Di bagian timur dunia Islam menghadapi serangan Mongol, yang haus darah dan kekuasaan. Ia melalap setiap wilayah yang dijarahnya. Demikian juga halnya di Baghdad, sebagai pusat kekuasaan dan peradaban islam. Situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena selalu terjadi perebutan kekuasaan di antara para amir (Turki dan Dinasti Buwaih). Secara formal khalifah masih diakui, tetapi secara praktis penguasa yang sebenarnya adalah para amir dan sultan-sultan, mereka membagi wilayah kekhalifan islam menjadi daerah-daerah otonom yang kecil-kecil. Keadaan yang buruk ini disempurnakan (keburukannya) dengan penghancuran kota Baghdad oleh Hulagu Khan (1258 M).12
Kerunyaman politik dan krisis kekuasaan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat islam diwilayah tersebut. Pada masa tersebut umat islam mengalami masa dis-integrasi sosial yang sangat parah, pertentangan antar golongan banyak terjadi, seperti antara golongan Syi’ah dan Golongan Turki dengan Golongan Arab dan Persia. Selain itu ditambah lagi oleh suasana banjir yang melanda sungai Daljah yang mengakibatkan separuh dari tanah Iraq menjadi rusak. Akibatnya, kehidupan sosial merosot, keamanan terganggu dan kehancuran umat islam terasa dimana-mana. Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa dan menjalin hubungan yang damai denga sesama muslim.
Diantara ulama sufi yang kemudia memberikan pengayoman kepada masyarakat umum untuk mengamalkan taswuf secara praktis (tasawuf amali) adalah Abu Hamid Muhammad al-Gazali (w. 505 H/ 111 M). Kemudian
menurut al-Talfazani diikuti oleh para ulama’ sufi berikutnya seperti Syekh
Abd. Qadir al-Jaelani dan Syekh Ahmad Ibnu Ali al-Rifa’i. Kedua tokoh
tersebut kemudian dianggap sebagai pendiri tarekat Qadiriyah dan Rifa’iyah
yang tetap berkembang sampai sekarang.13
Pada masa permulaan islam, hanya terdapat dua macam tarekat, yaitu :
11
Ibid, h.8
12
Kharisudin Aqib,Loc. Cit, h.19
13
(26)
1) Tarekat Nabawiah, yaitu amalan yang berlaku dimasa Rasulullah SAW,
yang dilaksanakan secara murni. Dinamakan juga dengan “Tarekat
Muhammadiah” atau “Syari’at”.
2) Tarekat Salafiah, yaitu cara beramal dan beribadah pada masa Sahabat dan
tabi’in dengan maksud memelihara dan membina syari’at Rasulullah SAW. Dinamakan juga dengan “”Tarekat Salafus Saleh”.
Sesudah abad ke-2 H, Tarekat Salafiah mulai berkembang secara kurang
murni. Ketidakmurniannya itu antara lain disebabkan pengaruh filsafat dan
alam pikiran manusia telah memasuki negara-negara Arab, seperti filsafat Yunani, India dan Tiongkok, sehingga pengamalan Tarekat nabawiah dan salafiah telah tercampur aduk dengan filsafat. Sejumlah kitab-kitab filsafat asing disalin dan diterjemahkan kedalam bahasa arab.
Sesudah abad ke-2 H itu muncullah tarekat Sufiah yang diamalkan orang-orang sufi, dengan tujuan untuk kesucian melalui empat tingkat:
1) Syari‟at adalah kualitas amalan lahir-formal yang ditetapkan dalam ajaran
agama melalui Al-Qur’an dan Sunah. Atau hukum suci yang diwahyukan;
ajaran atau aturan yang diwahyukan.14 Dalam hal ini, orang yang sampai
pada tingkatan syar’at baru mengetahui dan mengamalkan
ketentuan-ketentuan syari’at, sepanjang yang menyangkut dengan lahiriah.
2) Thariqat, mengerjakan amalan hati dengan akidah yang teguh, sepanjang
yang menyangkut dengan batiniah.
3) Hakikat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat
kehadiran Allah didalam syari’at itu. Sedangkan dalam dunia sufi, hakikkat diartikan sebagai aspek batin dari syari’at yang merupakan aspek paling
penting dalam setiap amal, inti dan rahasia dari syari’at. 15
Dalam hal ini orang yang telah sampai pada tingkatan ini akan mendapatkan cahaya musyahadah yang bersinar cemerlang dalam hati dan dengan cahaya itu dapat mengetahui hakikat Allah dan rahasia alam semesta.
14
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Amzah, 2012), h.217
15
(27)
4) Ma‟rifat berasal dari kata “arafa, yu‟rifu, „irfan, ma‟rifah, artinya adalah
pengetahuan, pengalaman atau pengetahuan Ilahi. Ma‟rifat secara
etimologis berarti ilmu yang tidak menerima keraguan. Ma‟rifat dapat pula
berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi
daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya.16 Ma‟rifat
merupakan tingkatan tertinggi, dimana orang telah mencapai kesucian hidup dalam alam rohani, memiliki pandangan tembus (kasyaf) dan mengetahui hakikat dan rahasia kebesaran Allah.
Orang sufi menganggap bahwa syari’at untuk memperbaiki sesuatu yang
lahir (nyata), tarekat untuk memperbaiki sesuatu yang tersembunyi (batin), dan hakikat untuk memperbaiki segala rahasia yang ghaib-ghaib. Tujuan terakhir
dari ahli sufi ialah ma’rifat, yakni mengenal hakikat Allah, zat, sifat dan
perbuatan-Nya.
Gerakan tarekat baru menonjol dalam dunia islam pada abad ke XII M, sebagai lanjutan dari kegiatan kaum sufi terdahulu. Kenyataan ini dapat ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendirinya dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Setiap tarekat mempunyai Syekh, kaifiat dzikir dan upacara ritual. Biasanya Syekh atau Mursyid mengajar
murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan “rumah suluk” atau
“ribath”.17
Mula-mula menonjol di Asis Tengah, Tibristan tempat kelahiran dan operasinya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kemudian berkembang di Baghdad, Irak, Turki, Arab saudi dan sampai ke Indonesia, Singapura, India dan tiongkok. Kemudian pada abad ke XII itu muncul pula tarekat Rifaiah di Maroko dan Aljazair, tarekat Sahrawadiah dan lainnya yang berkembang di Afrika Utaradan Afrika tengah seperti di sudan dan Nigeria. Perkembangan itu begitu cepat melalui murid-murid yang telah diangkat menjadi Khalifah,
16
Ibid, h.139
17
(28)
mengajarkannya dan menyebarluaskannya ke negeri-negeri islam, dan ada pula
pedagang-pedagang.18
Organisasi tarekat pernah memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia
islam, sebagaimana dikatakan H.R Gibb dalam “An Interpretation of Islamic
History”, bahwa sesudah direbutnya khalifah oleh orang-orang mongol pada
tahun 1258 H, maka tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat islam beralih ketangan kaum sufi.
Dalam proses islamisasi Indonesia, sebagian adalah atas usaha dari kaum sufi dan mistik islam, sehingga pada waktu itu pemimpin-pemimpin agama islam di Indonesia bukanlah ahli-ahli Theology (Mutakallimin) dan ahli hukum (Fuqaha), tetapi juga Syekh-syekh tarekat dan guru-guru suluk.
Salah seorang pemuka tarekat Naqsabandiyah yang telah berjasa besar bagi perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan lahir dan batin, adakah Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi Naqsabandi (1811-1926) yang terkenal dengan panggilan “Tuan Guru Babussalam Langkat”, pusarannya disesa Babussalam, Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatra Utara. Ia adalah murid Syekh Sulaiman Zuhdi dan belajar kepadanya selama 6 tahun di Mekkah. Sekembalinya ketanah air, ia aktif mengajar agama dan tarekat di beberapa kerajaan, seperti di wilayah kerajaan Langkat, Deli Serdang, Asahan Kualuh, Panai di Sumatra Utara dan Siak Sri Indra Pura, Bengkalis, Tembusai, Tanah Putih Kubur di Provinsi Riau.
Sampai kini murid-muridnya tersebar luas di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Sumatra Selatan dan Sulawesi Selatan. Khalifah-khalifah beliau yang giat mengembangkan tarekat naqsabandiyah diluar negri telah berhasil mendirikan rumah-rumah suluk dan peribadatan di Batu Pahat,
Johor, Pulau Pinang, Ipoh, Kelantan dan beberapa negeri di Thailand.19
Perkembangan tarekat di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad XVII yaitu dimulai pertama kali oleh Hamzah Fansuri (m.1610) dan Muridnya Syamsudin as Sumatrani (1630) akan tetapi keduanya tidak meninggalkan
18
Ibid, h. 11
19
(29)
organisasi tarekat yang berlangsung terus-menerus. Baru kemudian setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan tarekat Syatariyyah di Aceh pada 1679 M, organisasi tarekat ini menjadi jelas dan dapat dtelusuri perkembangannya melalui silsilah hubungan guru murid sampai beberapa daerah di Indonesia. Hamzah Fansuri secara tegas disebut sebagai penganut tarekat Qadiriyah. Kendatipun demikian, tarekat yang dianut oleh Hamzah Fansuri maupun muridnya Syamsudin al-Sumatrani berbeda dengan tarekat Qadiriyah yang sekarang berkembang. Keduanya dikenal menganut paham penyatuan manusia dan Tuhan (Wahdatul Wujud), sedang tarekat Qadiriyah yang sekarang ada, tidak lagi mengenal ajaran tersebut.
Ada tiga ulama’ tarekat terpenting dalam kaitannya dengan pemurnian ajaran tasawuf pada abad ke-19 di Indonesia yaitu Syekh Ismail al-Khalidi al-Minagkabawi, Syekh Muhammad Saleh az-Zawawi, dan Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi. Tarekat yang dikembangkan oleh ketiga ulama’ sufi ini adalah Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah, dan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Ketiga aliran tarekat inilah yang dewasa ini memiliki penganut paling besar dibanding dengan tarekat Rifaiyah, Syamsiyah, Syatariyah,
Tijaniyah, Alawiyah, Syadziliyah, dan lain-lain.20
c. Tujuan Tarekat
Tujuan utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi termasuk tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bisa meraskan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna. Sedangkan secara umum tujuan utam setiap tarekat adalah penekanan padakehidupan akhirat yang merupakan titik akhir tujuan kehidupan manusia beragama, sehingga setiap aktivitas atau
amal perbuatan selalu diperhitungkan. Karena itu, Muhammad „Amin al-Kurdi,
salah seorang tokoh Tarekat Naqsabandi menekankan pentingnya seseorang masuk kedalam tarekat agar bisa memperoleh kesempurnaan dalam beribadah kepada Tuhannya. Menurutnya, minimal ada tiga tujuan bagi seseorang yang
memasuki dunia tarekat untuk menyempurnakan ibadah, yakni : Pertama,
20
Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 65
(30)
supaya “terbuka” sesuatu yang diimaninya, yakni Dzat Allah SWT, baik mengenai sifat-sifat, keagungan maupun kesempurnaan-Nya, sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada-Nya secara lebih dekat lagi, serta untuk mencapai
hakikat dan kesempurnaan kenabian dan para sahabatnya. Kedua, untuk
membersihkan jiwa dari sifat-sifat dan akhlak yang keji, kemudian menghiasinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji dan sifat-sifat yang diridhai Allah dengan berpegang pada para pendahulu (shalihin) yang telah memiliki
sifat-sifat itu. Ketiga, untuk menyempurnakan amal-amal syari’at, yakni
memudahkan beramal shaleh dan berbuat kebajikan tanpa menemukan
kesulitan dan kesusahan dalam melaksanakannya.21
Sedangkan Kharisudin Aqib dalam bukunya mengatakan bahwa secara garis besar dalam tarekat terdapat tiga tujuan yang masing-masing melahirkan tata cara dan jenis-jenis amaliah kesufian. Ketiga tujuan pokok tersebut adalah :
1) Tazkiyat al-Nafs
Tazkiyat al-Nafs atau penyucian jiwa adalah suatu upaya
pengkondisian jiwa agar merasa tenang, tentram dan senang beredekatan dengan Allah (Ibadah), dengan penyucian jiwa dari semua kotoran dan penyakit hati atau penyakit jiwa. Tujuan ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang salik atau ahli tarekat. Bahkan dalam tradisi
tarekat Tazkiyat al-Nafs ini dianggap sebagai tujuan pokok.22
Tazkiyat al-Nafs ini pada tataran praktenya kemudian akan melahirkan beberapa metode yang merupakan amalan-amalan kesufian, diantaranya :
a) Zikr
Zikr berasal dari perkataan “zikrullah”. Ia merupaka amalan khas
yang harus ada dalam setiap tarekat. Yang dimaksud Zikr dalam
suatu tarekat adalah mengingat dan menyebut nama Allah, baik
secara lisan maupun batin (jahri dan sirri atau khafi). Didalam
tarekat, Zikr diyakini sebagai cara yang paling efektif dan efisien
untuk membersihkan jiwa dari segala macam kotoran dan
21
Ajid Thohir, Gerakan politik Kaum Tarekat : Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002). h. 60
22
(31)
penyakitnya, sehingga hampir semua tarekat menggunakan metode ini. 23
Dalam suatu tarekat, zikr dilakukan secara terus menerus
(istiqomah), hal ini juga dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadat al-nafs), agar seseorang dapat mengingat Allah pada setiap
waktu dan kesempatan.24
b) „Ataqah atau Fida‟ Akbar
Ataqah atau penebusan ini dilaksanakan dalam rangka
membersihkan jiwa dari kotoran atau penyakit-penyakit jiwa. Bahkan cara ini dikerjakan oleh sebagian tarekat sebagai penebus harga surga atau penebus pengaruh jiwa yang tidak baik (untuk mematikan nafsu).
Bentuk dari cara ini (Ataqah) adalah seperangkat amalan tertentu yang dilaksanakan dengan serius (mujahadah), seperti membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100.000 kali atau membaca kalimat tahlil dengan cabangnya sebanyak 70.000 kali dalam rangka penebusan nafsu amarah atau nafsu-nafsu yang lain.
c) Mengamalkan syari’at
Dalam tarekat yang kebanyakan merupakan jam’iyyah para sufi sunni menetapi syari’at sebagai bagian dari tasawuf (meniti jalan mendekati kepada Tuhan). Karena menurut keyakinan para sufi sunni, justru perilaku kesufian ini dilaksanakan dalam rangka mendukung
tegaknya syari’at. Sedangkan ajaran-ajaran dalam agama islam, khusunya
peribadatan mahdah, merupakan media atau sarana untuk membersihkan jiwa. Seperti bersuci dari hadas, shalat puasa maupun haji.
d) Melaksanakan amalan-amalan sunnah
Amalan-amalan yang diyakini memiliki dampak besar terhadap
proses dan sekaligus tazkiyat al-nafsi adalah : membaca al-qur’an dengan
merenungkan arti dan maknanya, melaksanakan sholat malam (tahajud),
23
Ibid, h. 37
24
(32)
berzikir dimalam hari, banyak berpuasa sunnah dan bergaul dengan orang-orang shaleh.
e) Berperilaku zuhud dan wara‟
Kedua perilaku sufistik ini akan sangat mendukung upaya tazkiyat
al-nafsi karena perilaku zuhud adalah tidak ada ketergantungan hati pada
harta, dan wara‟ adalah sikap hidup yang selektif. Orang yang
berperilaku demikian tidak berbuat sesuatu, kecuali benar-benar halal dan
benar-benar dibutuhkan.25
2) Taqarrub Ila Allah
Mendekatkan diri kepada Allah sebagai tujuan utama para sufi dan ahli tarekat, biasanya diupayakan dengan beberapa cara yang cukup mistis dan filosofis. Diantara cara-cara yang biasanya dilakukan oleh para pengikut tarekat untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan lebih efektif dsn efisien adalah :
a) Tawasul
Tawasul atau berwasilah dalam upaya mendekatkan diri kepada
Allah yang biasa dilakukan di dalam tarekat adalah suatu upaya atau cara (wasilah), agar pendekatan diri kepada Allah dapat dilakukan dengan
mudah dan lebih ringan. Diantara bentuk-bentuk tawasul yang biasa
dilakukan adalah : berhadiah fatihah kepada Syekh yang memiliki silsilah tarekat yang diikuti sejak dari Nabi sampai mursyid yang mengajar zikir kepadanya.
b) Muraqabah (kontemplasi)
Kontemplasi atau muraqabah adalah duduk bertafakkur atau
mengheningkan cipta dengan penuh kesungguhan hati denagn seolah-olah berhadap-hadapan dengan Allah, meyakinkan diri bahwa Allah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya.
Sehingga dengan latihan muraqabah iniseseorang akan memiliki
niat ihsan yang baik dan akan dapat merasakan kehadiran Allah
dimana saja dan kapan saja ia berada. Ajaran muraqabah ini
bermacam-macam dan memiliki beberapa pembagian. Ada diantara
25
(33)
tarekat yang hanya mengajarkan satu muraqabah, ada yang empat
muraqabah, dan bahkan ada yang mengajarkan sampai dua puluh
muraqabah.26
Adapun tujuan akhir dari ajaran muraqabah ini adalah agar dapat
seseorang menjadi seorang mukmin yang sesungguhnya. Seorang hamba
Allah yang muhsin menghambakan diri kepadanya “ibadat” dengan
penuh kesadaran seolah-olah melihat-Nya.27
c) Khalwat atau „Uzlah
Khalwat atau „Uzlah adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuknya
urusan duniawi. Sebagian tarekat tidak mengajarkan khalwat dalam arti
fisik, karena menurut kelompok ini khalwat cukup dilakukan secara
qalby (khalwat qalb. Sedangkan sebagian yang lain mengajarkan khalwat atau uzlah secara fisik, ini diajarkan sebagai pengajaran untuk menuntun
agar dapat melakukan khalwat qalbi. Ajaran khalwat ini diajarkan
dengan mengambil i‟tibar kepada sirah Nabi pada masa menjelang
pengangkatan kenabiannya. Dan dalam pelaksanaan khalwat ini diisi
dengan berbagai macam mujahadah (upaya sungguh-sungguh) untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam tradisi Tarekat Naqsabandiyah di Jwa khalwat ini dikenal dengan istilah suluk.
3) Tujuan-tujuan lain
Sebagai jam’iyyah yang menhimpun para calon sufi (salik) yang
kebanyakan terdiri dari masyarakat awam dan tidak sedikit yang berpredikat
mubtadi‟in. Maka dalam tarekat terdapat amalan-amalan yang merupakan konsumsi masyarkat awam. Diantara amalan-amalan tersebut adalah :
1) Wirid
Wirid jamaknya aurad. Yang berarti adalah seruan yang mengandung
permohonan tertentu kepada Allah.28
Sedangkan dalam bukunya Kharisudin Aqib mengatakan bahwa:
26
Ibid, h. 40
27
Ibid, h. 85
28
(34)
Wirid adalah suatu amalan yang harus dilakukan secara istiqomah, pada waktu-waktu yang khusus seperti setiap selesai mengerjakan sholat atau waktu-waktu tertentu yang lain. Wirid ini biasanya
berupa potongan-potongan ayat atau shalawat ataupun asma‟ul
husna. Perbedaannya dengan zikir diantaranya adalah : kalau zikir
diijazahkan oleh seorang mursyid dalam prosesi bai‟at atau talqin
atau khirqah. Sedangkan wirid tidak harus diijazahkan oleh seorang
mursyid dan tidak diberikan dalaam prosesi bai‟at. Sedangkan
dalam sudut tujuan juga memiliki perbedaan antara keduanya. Zikr hanya dilakukannya satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan wirid biasa dikerjakan justru untuk kepentingan-kepentingan tetentu yang lain. Seperti untuk melancarkan rizki,
kewibawaan dan sebagainya.29
2) Manaqib
Manaqib atau kebajikan atau perbuatan luhur, yang merupakan ritual
mengenang para wali yang merupakan perihal kehidupan, catatan
anekdot para wali dan orag-orang saleh.30
Manaqib sebenarnya adalah biografi seseorang, tetapi manaqib
(biografi) seorang sufi atau waliyullah seperti Syekh Abd. Qadir
al-Jailani atau Syekh Baha’udin an-Naqsabandi diyakini oleh para
murid tarekat memiliki kekuatan spiritual (berkah). Sehingga
bacaan manaqib itu seringkali dijadikan sebagai amalan, terutama
untuk tujuan terkabulnya hajat-hajat tertentu. Amalan manaqib ini
bahkan bisa lebih populer dibandingkan dengan tarekat itu sendiri. Tarekat Qadiriyah misalnya, di Jawa tidak banyak dianut oleh masyarakat islam, bahkan secara organisasi tidak ada, akan tetapi
organisasi pengamal manaqib Syekh Abd. Qadir al-Jailani justru
berkembang sangat besar, terutama di Jember Jawa Timur sebagai
pusatnya, begitu juga masyarakat awam banyak yang
mengamalkannya walaupun mereka belum menjadi pengikut tarekat.
3) Ratib
Ratib adalah seperangkat amalan yang biasanya harus diwiridkan
oleh para pengamalnya. Tetapi ratib ini merupakan kumpulan dari beberapa potongan ayat atau beberapa surat pendek yang digabung dengan bacaan-bacaan lain seperti istighfar, tasbih, shalawat,
asma‟ul husna, dan kalimat tayyibah dalam suatu rumusan komposisi (jumlah bacaan masing-masing) telah ditentukan dalam
paket amalan khusus. Ratib ini biasanya disusun oleh seorang
mursyid besar dan diberikan secara ijazah kepada para muridnya
29
Kharisudin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa naqsabandiyah, h. 43
30
(35)
dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan spiritual dan wasilah
dalam berdo’a untuk kepentingan dan hajat-hajat besarnya.
4) Hizib
Hizib adalah suatu do’a yang panjang, dengan lirik dan bahasa
yang indah yang disusun oleh sufi besar. Hizib ini biasanya merupakan
do’a andalan sang sufi yang juga diberikan kepada para muridnya secara
ijazah sharih. Hizib diyakini oleh kebanyakan masyarakat islam
(kebanyakan santri) sebagai amalan yang memiliki daya kontrol spiritual yang sangat besar terutama jka diperhadapkan dengan ilmu-ilmu ghaib
dan kesaktian.31
d. Macam-macam Tarekat
Menurut Jumhur Ulama’, pada abad ini terdapat 41 macam tarekat.
Masing-masing mempunyai syekh, kaifiat dzikir dan upacara ritual, antara lain sebagai berikut :
1) Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani, lahir diwilayah Tibristan pada tahun 471 H (1078 M), dan wafat di Baghdad pada tahun 561 H (1168 M). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Muhyidin Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah Al-Husna Al-Jailani.
Pada tahun 488 H, ketika masih remaja, malanjutkan pelajarannya ke Baghdad, belajar kepada beberapa guru dan Syekh dalam berbagai ragam disiplin ilmu, terutama tasawuf. Ia menganut madzhab Hanbali, dia seorang yang cerdas, budiman, lebih menonjol dalam ilmu fikih, komunikasi dan informal, serta tekun mempelajari sastra dan hadist. Pada tahun 528 H mengajar dan berfatwa di Baghdad. Karangannya antara lain:
Pengikut tarekat qadiriyah memegang prinsip tasamuh, toleransi,
karena Syekh Abdul Qadir al-Jailani menegaskan kepada mereka : “Kita
31
Kharisudin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa naqsabandiyah, h. 44
(36)
tidak hanya mengajak diri sendiri tetapi juga mengajak semua makhluk
Allah supaya menjadi seperti kita”.32
Perkembangan tarekat ini keberbagai daerah kekuasaan islam diluar Baghdad adalah suatu hal yang wajar. Karena sejak zaman Syekh Abdul Qadir al-Jailani sudah ada beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya keberbagai negeri islam, diantaranya : Ali
Muhammad al-Haddad di daerah Yaman, Muhammad Al-Bata’ihi didaerah
Balbek dan di Syiria dan Muhammad Ibn Abd. Shamad menyebarkannya di Mesir. Demikian juga karena kerja keras dan ketulusan putra-putri Syekh Abdul Qadir al-Jailani sendiri untuk melanjutkan tarekat ayahhandanya, sehingga pada abad 12-13 M, tarekat ini telah tersebar keberbagai daerah islam, baik di Barat maupun di Timur.
Tarekat qadiriyah sampai dengans sekarang ini (abad XX), masih merupakan tarekat yang terbesar didunia islam, dengan berjuta-juta pengikutnya. Mereka tersebar diberbagai penjuru dunia seperti Yaman, Mesir, India, turki, Syiria dan Afrika. Trimingham juga mencatat ada 29 jenis tarekat baru yang merupakan modifikasi baru dari tarekat qadiriyah. Ini terjadi karena dalam tarekat qadiriyah ada kebebasan bagi para murid yang telah mencapai tingkat mursyid, untuk tidak terikat dengan metode yang diberikan oleh mursyidnya.
Dan bisa membuat metode riyadat tersendiri. Keduapuluh sembilan
jenis tarekat tersebut menyebar keberbagai belahan dunia islam, disamping tarekat qadiriyah itu sendiri, dan tarekat-tarekat lain yang belum terjangkau dalam penelitian Trimingham, seperti tarekat qadiriyah naqsabandiyah di Indonesia. Tarekat ini masuk Indonesia
tahun 1870-an.33
2) Tarekat Naqsabandiyah
Nama tarekat besar ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang
hidup antara tahun 717 H / 1317 M – 791 H / 1389 M. Dikota Bukhara,
wilayah Yugoslowakia sekarang. Ia adalah Muhammad Ibn Muhammad
Baha’uddin al-Uwaisi al-Bukhari al-Naqsabandi. Al-Naqsabandi dilahirkan
32
Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsabandiyah, , h. 14
33
Kharisudin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa naqsabandiyah, h. 49
(37)
didesa Hinduan yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, disini
pula ia wafat dan dimakamkan.34
Ghujdawani adalah peletak dasar ajaran tarekat ini, yang kemudian ditambah oleh al-Naqsabandi. Kalau Ghujdawani hanya merumuskan delapan ajaran pokok, maka setelah ditambah oleh al-Naqsabandi dengan tiga ajaran pokok, maka ajaran tarekat Naqsabandiyah menjadi sebelas. Pusat perkembangan tarekat Naqsabandiyah ini berada didaerah Asia Tengah. Dan diduga keras bahwa tarekat ini telah menyebar sejak abad 12 M, dan sudah ada pemimpin laskar yang menjadi guru Ghujdawani. Sehingga tarekat ini berperan penting dalam kerajaan Timurid. Apalagi setelah tarekat ini berada dibawah kepemimpinan Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar (1404-1490 M), maka hampir seluruh wilayah Asia tengah
“dikuasai” oleh tarekat Naqsabandiyah.35
Tarekat Naqsabandiyah mulai masuk ke India diperkirakan mulai pada masa pemerintahan Babur-Pendiri Kerajaan Mughal (w.1530 M) di India. Karena kepemimpinan Ubaidillah al-Ahrar (Asia Tengah) Yunus Khan Mughal, paman Babur yang tinggal dipemukiman Mongol sudah menjadi pengikut tarekat ini. Akan tetapi perkembangan di India baru mulai pesat setelah kepemimpinan Muhammad Baqi Billah. Pengikutnya terbanyak di
Sumatra Utara, Riau, Jawa, Madura, Malaysia, dan thailand.36
3) Tarekat Syadziliah
Tarekat Syadziliah didirikan pada pertengahan abad ke-13 M, dianggap tarekat sufiah yang utama memasukkan tasawuf kenegeri Arab. Pusatnya di Boharit Maroko. Pendirinya Syekh Abu Hasan bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Hormuz As-Syadzili Al-Maghribi Al-Husaini Al-Idrisi, keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Ia dilahirkan pada tahun 591 H (1195 M), di Gahamarah, sebuah desa dekat Subtah, Afrika. Ia memperdalam ilmu fikih dan tasawuf di Tunis.
34
Ibid, h. 49
35
Ibid, h. 50
36
(38)
Karena bermukim di syadzili, maka tarekat yang didirikannya itu dinamakan “syadziliah”.
Setelah melakukan perjalanan ke negeri-negeri sebelah Timur, mengerjakan haji dan mengunjungi Irak, ia menetap di Iskandariah
dan wafat pada tahun 615 H (1219 M) di padang pasir “Aidzab“,
dalam perjalanan haji. Abu Hasan bertalian darah dengan penguasa maghribi dan menjelang kewafatannya matanya rabun. Beliau meninggalkan kenangan yang tak terlupakan di Afrika, yakni yang
terkenal “Hisbuz Syadzili”, dan beberapa kitab ternama tentang adab
tasawuf, dengan judul “Al-Amin” dan “Assirul” Jalil fi Khawashibi
Hasbunallahi wani’mal wakil”. 37
Adapun pemikiran-pemikiran tarekat al-syadziliyah adalah :
a) Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan
profesi dunia mereka.
b) Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam.
c) Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya
zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan.
d) Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi milioner yang
kaya, asalkan hatinya tidak tergantung pada harta yang dimilikinya.
e) Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan
ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniai, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
f) Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan
menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
g) Dalam kaitannya dengan ial-ma’rifah, al-Syadzili berpendapat
bahwa ma’rifah adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf.38
4) Tarekat Tijaniah
Tarekat Tijaniah yang tersebar luas di Maghribi didirikan oleh Sayid Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad Syarif
37
Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsabandiyah, , h. 16
38
Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di indonesia, (Jakarta : Prenada Media, cet.2, 2004), h.75
(39)
Tijani, lahir pada tahun 1150 H (1737 M). Ia alim dalam ilmu ushul (pokok)
dan furu’ (cabang), ahli tasawuf, bermadzhab maliki, madzhab yang
berpengaruh di Afrika Utara. Selama beberapa waktu berdomisili di Tilmisan. Menunaikan ibadah haji pada tahun 1186 M, melalui Tunis. Kemudian kembali ke Fas dan mengadakan perjalanan ke Tawat. Kemudian kembali ke Fas, seolah-olah ia senang tinggal disitu sampai wafat tahun 1236 H (1815 M). Beberapa orang sahabatnya telah menerbitkan buku
riwayathidupnya dengan judul “Jawahirul Ma‟an”. Tarekat Tijaniah
menganut prinsip tasamuh atau toleransi, menurut jejak pendirinya yang bersikap toleransi terhadap kalangan bukan muslim, dengan tidak
mengurangi hak-hak agama dan kehormatan kaum muslimin.39
Dasar pokok dari tarekat ini adalah toleransi dengan baik menghadapi orang yang memusuhi mereka, semboyan tarekat tijaniah adalah firman Allah surat Al-Baqarah 194 :
....
Artinya :Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS.Al-Baqarah : 194)
Oleh karena itulah kitab “Hadhirul „Alamil Islami” menyatakan
bahwa penganut tarekat tijaniah mempergunakan kekuatan untuk menghadapi musuh mereka, orang Prancis. Sikap tasamuh atau toleransi yang dikembangkan selama ini, berubah pada pertengahan abad ke-13
ketika mereka menantang kulit putih, kelompok “La Fajre” dengan
fanatik.40
39
Fuad Said, h. 17
40
(40)
Bentuk amalan tarekat tijaniah terdiri dari dua jenis, yakni: pertama,
wirid wajibah, yakni wirid-wirid yang wajib diamalkan oleh setiap
murid tijaniah, tidak boleh tidaj, dan yang memiliki ketentuan pengamalan dan waktu serta menjadi ukuran sah atau tidaknya
menjadi murid tijaniah. Bentuk wirid wajibah terdiri dari tiga jenis
wirid pokok yaitu : (1) wirid lazimah, (2) wirid wazhifah, dan (3)
wirid hailalah. Setiap jenis wirid ini memiliki ketentuan waktu, isi,
dan teknik yang berbeda-beda. Namun, ketiganya harus diamalkan dan dimiliki oleh setiap murid serta menjadi syarat sahnya menjadi
murid tijaniah. Kedua, wirid ikhtiyariyah, yakni wirid yang tidak
mempunyai ketentuan kewajiban untuk diamalkan dan tidak menjadi
ukuran syarat sah atau tidaknya menjadi murid tijaniah. 41
5) Tarekat Sanusiah
Tarekat Sanusiah muncul di Afrika Utara, didirikan oleh Sayid Muhammad bin Ali As-Sanusi, lahir pada 1791, ia seorang alim dan mujtahid. Tarekat yang dipimpinnya berkembang luas dari Maroko sampai Somali, terutama didaerah pedalaman Libia. Dasar tarekat ini adalah ajaran islam dan lapangan kerjanya mendidik umat supaya dapat mengendalikan hawa nafsu untuk keselamatannya dari dunia sampai akhirat. Tarekat Sanusiah menurut Syekh Ahmad Syarbasi guru besar Universitas Al-Azhar,
Kairo berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Penjajah di benua Eropa
menganggapnya sebagai sesuatu yang membahayakan. Perjuangan mereka tidak saja dalam dzikir dan wirid-wirid, tetapi juga berjihad menegakkan
kebenaran.42
Setelah Sanusi wafat ia digantikan oleh putranya Al-Mahdi. Al-Mahdi melanjutkan jihad dan perjuangan ayahnya dengan mendirikan pusat latihan rohani diberbagai daerah, sehingga dalam waktu relatif singkat, namanya menjadi populer. Kaum penjajah berusaha memberhentikan kegiatannya, namun ia terus berjuang, bahkan lebih mempergiat dakwah dan membangun mental umat. Disamping mengajar, ia juga mendidik pengikutnya supaya
berjihad menantang musuh-musuh Islam.43
41
Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di indonesia, h.222
42
Fuad Said, h. 19
43
(41)
Pesan dari sebagian tokoh-tokoh tarekat sanusiah : “jangan menghina seseorang, baik orang islam, maupun Nasrani, Yahudi dan orang-orang kafir lain. Mungkin mereka lebih baik dari anda disisi Allah, sebab anda tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada akhirnya”.
Diantara kebiasaan penganut tarekat sanusiah, mereka membeli budak di Sudan, diasuh di Jaghbub. Sesudah dewasa dan berilmu, dimerdekakan dan diterjunkan ke masyarakat sebagai juru dakwah dalam rangka
pengembangan agama islam di segenap penjuru Benua Afrika.44
Dalam tarekat sanusiah, zikir bisa dilakukan bersama-sama atau
sendirian. Tujuan zikir itu lebih dimaksudkan untuk “melihat Nabi”
ketimbang “melihat Tuhan”, sehingga tidak dikenal “keadaan eksatis” sebagaimana yang ada pada tarekat lain. Untuk “melihat Nabi”, pelantun zikir harus berkonsentrasi membayangkan diri Nabi didlam
hatinya sampai ia dapat “melihat Nabi” dalam keadaan bangun dan
tidur dan dapat mengajukan pertanyaan kepadanya. Agar dapat melakukan hal seperti ini, seseorang harus menjadikan seorang sufi
sebagai wakil spiritual Nabi.45
6) Tarekat Rifa’iah
Tarekat Rifa’iah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Abu al-Hasan
Ar-Rifa’i, wafat tahun 570 H (1175 M). Penganutnya banyak di daerah Maroko dan Al-Jazair.
7) Tarekat Sahrawardiah
Tarekat ini dibangsakan kepada pendirinya Syekh Abu Al-Hasan bin Al-Sahrawardi yang meninggal pada tahun 638 H (1240 M). Pengikutnya
terbanyak di Afrika.46
8) Tarekat Ahmadiah
Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad Badawi, wafat tahun 675H (1276 M). Pengikutnya terbanyak di Maroko dan sekitarnya.
44
Ibid, h. 20
45
Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di indonesia, h. 384
46
(42)
9) Tarekat Maulawiah
Tarekat ini didirikan oleh Syekh Maulana Jalaluddin Ar-Rumi, wafat pada tahun 672 H (1273 M). Pengikutnya terbanyak di Turkistan dan
Turki.47
10) Tarekat Haddadiah
Tarekat ini didirikan oleh Syekh Abdullah Ba’lawi Haddad. 3. Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN)
a. Sejarah TQN
Pada umumnya masyarakat awam memahami bahwa Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah merupakan perpaduan dari dua tarekat besar yaitu tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsabandiyah. Padahal Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat yang baru dan berdiri sendiri, yang didalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan juga Naqsabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu
yang baru. 48
Disamping itu, pendiri tarekat ini tidak mengajarkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah secara terpisah, tetapi dalam satu kesatuan yang harus diamalkan secara utuh. Sekalipun masing-masing tarekat tersebut telah memiliki metode tersendiri, baik dalam aturan-aturan kegiatan, prinsip-prinsip maupun cara-caar pembinaannya. Sehingga bentuk tarekat ini dalah tarekat
baru yang memiliki perbedaan dengan kedua tarekat dasarnya itu.49
Akan tetapi dinyatakan dalam kitabnya “Fath al-„Arifin”,
Bahwa Sebenarnya tarekat ini tidak hanya merupakan perpaduan dari dua tarekat besar akan tetapi merupakan penggabungan dari ajaran lima tarekat, yaitu : Qadiriyah, Naqsabandiyah, Anfasiyah, Junaydiyah, dan
al-Muwafaqad.50 Kelima macam tarekat tersebut masing-masing
memiliki keunikan. Qadiriyah dengan dzikr jabir-nya, Naqsabandiyah
dengan dzikr khafi-nya, Anfasiyah dengan dzikir peredaran nafas,
Junaydiyah dengan dzikirnya pada setiap hari selama sepekan dengan
lafadz-lafadz tertentu, dan Muwafaqah dengan dzikir asma‟ul husna.
47
Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsabandiyah, , h. 20
48
Martin Van Bruinessen, Tarekat Masyarakat indonesia, (Bandung : Mizan, cet. V, 1998)h.89
49
Ajid Thohir, Gerakan politik Kaum Tarekat : Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, h.49
50
(43)
Mungkin karena inti pengamalan tarekat ini pada dzikr jabir dan dzikr khafi setiap habis sholat fardhu, serta penonjolan kedua tarekat tersebut juga tampak dalam tawasul yang digunakan dalam tarekat ini, begitu juga dari segi silsilahnya yang kuat berasal dari tarekat Qadiriyah, dan dari segi ajarannya dominan dari Naqsabandiyah, maka tarekat ini dinamakan
Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.51
Tarekat ini di dirikan oleh Syekh Besar masjid Al-Haram yakni Ahmad Khatib Ibn Abd. Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Syekh Ahmad Khatib Sambas, pendiri TQN dilahirkan di Sambas pada tahun 1217 H/ 1802 M, Kalimantan Barat (Borneo). Setelah menyelesaikan pendidikan agama tingkat dasar dikota asalnya, beliau pergi ke Mekkah pada umur 19 untuk melanjutkan studi dan menetap disana selama seperempat kedua abad ke-19, sampai wafatnya pada
tahun 1289 H / 1872 M. 52
Beliau adalah seorang ulama besar asli Indonesia yang bermukim dan mengajar sampai akhir hayatnya di Makkah al-mukarramah pada pertengahan abad XIX (1802-1872). Ia ahli dalam bidang fikih, tauhid maupun tasawuf, sehingga mencapai posisi yang sangat dihargai dan kemudian menjadi seorang
tokoh yang berpengaruh diseluruh Indonesia.53
Sebagai seorang mursyid yang sangat alim dan „arif billah, syaikh
Ahmad Khatib memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi Tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mencapai derajat mursyid. Akan tetapi yang jelas pada masanya telah ada pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dikota suci Mekkah maupun di Madinah. Sehingga sangat dimungkinkan ia menggabingkan inti ajaran kedua tarekat tersebut dan mengajarkan pada murid-muridnya. Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran itu bersifat saling melengkapi terutama dalam hal jenis, dzikir dan metodenya. Tarekat Qodiriyah menekankan
ajarannya pada dzikir siir ismu dzat atau dzikir lathaif. Dengan
penggabungan itu, diharapkan pada muridnya dalam mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
51
Martin Van Bruinessen, Tarekat Masyarakat indonesia, Sebagaimana yang dikutip oleh Sururin, Perempuan dalam duni Tarekat, Studi tentang Pengalaman Beragama Perempuann Anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, (Jakarta : Kemenag RI, 2012), h.82
52
Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dengan referensi utama Suryalaya, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, cet.1, 2010 )h. 36
53
(44)
Serta memiliki satu metode tersendiri yang praktis untuk menempuh jalan spiritual.54
Tarekat Qadiriyah lebih mengutamakan pada penggunaan cara-cara
Dzikir keras dan jelas (dzikr jahr) dalam menyebutkan kalimat nafyi wa
al-istibat, yakni kalimat la ilaha illaallah. Sementara Naqsabandiyah lebih suka
memilih dzikir dengan cara-cara yang lembut dan samar (dzikr khafi) pada
pelafalan ism adz-Dzat, yakni Allah, Allah, Allah!55
Penanaman tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadu‟ dan ta‟zim Syekh
Ahmad Khatib yang sangat alim itu, kepada kedua pendiri tarekat tersebut. Sehingga beliau tidak menisbatkan nama tarekatnya itu pada dirinya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran dan tatacara ritual tarekatnya itu, sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan Tarekat Khatibiyah atau Sambasiah. Karena memang tarekat ini merupakan hasil ijtihadnya.
Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak murid dari beberapa daerah dikawasan Nusantara, dan beberapa orang khalifah. Diantara khalifah-khalifahnya yang terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai sekarang ini adalah : Syek Abd. Karim Al-Bantani, Syekh Ahmad Thalhah al-Cireboni, dan Syekh Ahmad Hasbu al-Maduri.
Sedangkan khalifah-khalifah yang lain, seperti : Muhammad Isma’il Ibn
Abd. Rachim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh Haji
Ahmad Lampung dari Lampung, dan M. Ma’ruf Ibn Abdullah al-Khatib
dari Palembang, berarti dalam sejarah perkembangan tarekat ini.56
Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib maka kepemimpinan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Makkah (pusat) dipegang oleh Syekh Abd. Karim al-Bantani. Tetapi setelah Syekh Abdul karim al-Bantani meninggal, maka para khalifah tersebut kemudian melepaskan diri, dan masing-masing
54
Martin Van Bruinessen, Tarekat Masyarakat indonesia, sebagaimana yang dikutip oleh Sururin, Perempuan dalam duni Tarekat, Studi tentang Pengalaman Beragama Perempuann Anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, h.83
55
Ajid Thohir, Gerakan politik Kaum Tarekat : Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, h.50
56
Kharisudin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa naqsabandiyah, h. 54
(45)
bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain, dengan
demikian berdirilah kemursyidan baru yang independent.57
Syekh Abd. Karim Banten merupakan Syekh terakhir yang secara nyata masih menyatukan pucuk pimpinan seluruh tarekat ini. Paling tidak pengarahannya masih dipatuhi oleh sesama khalifah Syekh Ahmad Khatib. Namun setelah ia wafat, tarekat ini terpecah menjadi cabang-cabang yang satu
dengan yang lainnya tidak lagi saling bergantung.58
Khalifah Syekh Ahmad Khatib yang ada di Cirebon yaitu Syekh Thalhah yang mengembangkan tarekat ini secara mandiri. Kemursyidan yang telah dirintis oleh Syekh Thalhah kemudian dilanjutkan oleh khalifahnya, Abdullah Mubarak Ibn Nur Mubarak. Dia kemudian menyebarkan tarekat ini didaerah Tasikmalaya (Suryalaya), sebagai basisnya didirikanlah Pondok Pesantren Suryalaya, dan belakangan nama beliau lebih dikenal dengan Abah Sepuh. Kepemimpinan tarekat yang berada di Suryalaya ini setelah meninggalnya Abah Sepuh digantikan Abah Anom. Ia adalah putra Abah Sepuh yang bernama Shahibul Wafa Tajul Arifin. Beliau memimpin pesantren dan tarekat ini sampai sekarang. Dibawah kepemimpinan Abah Anom ini tarekat qadiriyah wa Naqsabandiyah
berkembang sangat pesat. Beliau mempunyai wakil talqin yang cukup
banyak dan tersebar di tiga puluh lima daerah, termasuk dua diantaranya
Singapura dan Malaysia.59
Di Banten, khalifah Syekh Abd. Karim yang utama tampaknya adalah Kiai Asnawi Caringin (w. 1937). Dalam konteks pemberontakan 1888 memang disebut beberapa nama-nama lainnya, seperti Kiai Arsyad Thowil, Kiai Arsyad Qadir dan Syekh Marzuqi, namun tidak jelas apakah mereka betul-betul khalifah atau badal saja, yang boleh memimpin dzikir tetapi tidak boleh membaiat murid baru. Dan setelah pemberontakan mereka dibuang ke Indonesia bagian timur oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kiai Asnawi lebih muda dari pada Kiai-kiai yang disebutkan tadi, ia pulang dari Makkah menjelang penghujung abad ke-19 dan kelak dalam dasawarsa-dasawarsa
57
Martin Van Bruinessen, Tarekat Masyarakat indonesia, sebagaimana yang dikutip oleh Sururin, Perempuan dalam duni Tarekat, Studi tentang Pengalaman Beragama Perempuann Anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, h.83
58
Martin Van Bruinessen, Tarekat Masyarakat indonesia, h. 93
59
Martin Van Bruinessen, Tarekat Masyarakat indonesia, sebagaimana yang dikutip oleh Sururin, Perempuan dalam duni Tarekat, Studi tentang Pengalaman Beragama Perempuann Anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, h.84
(46)
berikutnya menjadi ulama’ yang berpengaruh di Banten. Dalam batas tertentu, kharismanya yang besar telah dimanfaatkan oleh para perancang pemberontakan “komunis” di Banten pada tahun 1926.
Salah satu putra Kiai Asnawi K.H. Khozim (lahir th.1912) masih hidup dan mengajar Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Menes (dekat Labuan). Menurut pengakuan Kiai Kozhim, ayahnya hanya memiliki satu orang khalifah dengan ijazah penuh, yaitu Kiai Ahmad Suhari di Cibeber Cilegon. Kiai kozhim sendiri tidak pernah diberi ijazah oleh ayahnya, ia belakangan dilantik sebagai khalifah oleh Kiai Ahmad Suhari. Pada saat ini, Kyai Kozhim adalah guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang paling berpengaruh di Banten. Wakil Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang paling dikenal hingga belum begitu laam berselang di Banten adalah Kyai Amin dari Cibuntu, dekat Pandeglang (wafat menjelang akhir tahun 1988). Ia sangat masyhur karena kemampuannya menyembuhkan penyakit dan melakukan berbagai pekerjaan lain dengan memakai kekuatan ghaib, dan ramai dikunjungi orang baik dari daerah sekitarnya maupun dari tempat-tempat yang jauh untuk memohon pertolongannya. Ia adalah kemenakan dari Kyai Asnawi dan belajar
dasar-dasar tarekat mula-mula sekali dari pamannya. 60
Pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang tidak kalah pentingnya adalah Pondok Pesantren Futuhiyah Mranggen, Jawa Tengah. Tarekat ini berkembang melalui Syekh Abd. Karim al-Bantani, K.H. Ibrahim al-Brunggungi adalah khalifah Syekh Abd. Karim yang membawa tarekat ini ke wilayah Jawa Tengah, beliaubertindak sebagai mursyid yang mandiri. KH. Muslih adalah putra KH. Abdurrahman (pendiri Pondok Pesantren Futuhiyah) ini berbaiat kemursyidan kepada KH. Ibrahim dan KH. Abdurrahman Menur (bukan ayahnya). Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah berkembang sangat pesat dibawah kemursyidan KH. Muslih Ibn Abdurrahman, karena beliau memberikan kelonggaran dan kebebasan kepada para khalifahnya untuk
mandiri. Khalifah yang mandiri ini disebut khalifah kubra. Bahkan melalui
beliau banyak para kiai yang akhirnya menjadi mursyid dan mengembangkan
60
(47)
tarekat ini, khususnya di Jawa Timur. Setelah KH. Muslih, estafet kepempinan
tarekat ini dipegang putranya, M. Luthfi Hakim sampai saat ini. 61 KH. Muslih
menulis beberapa risalah yang ternyata dibaca secara luas, dan iapun dihormati oleh syekh-syekh tarekat lainnya di Jawa, bahkan oleh mereka yang bukan muridnya. KH.Muslih memiliki garis keguruan ganda dengan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Dalam tulisan-tulisannya sendiri, ia lebih mengutamakan garisnya yang ke Banten, dari Abd. Karim melalui Kiai Asnawi
Banten dan Kiai Abd Al-Lathif al-Banteni.62
Adapun di Jawa timur pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang paling besar adalah Pondok Rejoso Jombang. Disini Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah menyebar keberbagai penjuru tanah air, bahkan sampai keluar negri. Berjuta-juta orang di Indonesia telah masuk tarekat ini melalui silsilah kemursyidan yang ada disini. Menurut penjelasan para khalifah KH. Ahmad Dimyati Romli, pengikut tarekat ini ada di 27 provinsi dan sampai hampir ke setiap kecamatan yang keseluruhan anggotanya diperkirakan 20 juta. Tarekat ini berkembang melalui Syekh Ahmad Hasybu, Khalifah syekh Ahmad Khatib yang berasal dari Madura, tetapi beliau juga tinggal di Mekkah hingga wafatnya. Tarekat ini dibawa ke Jombang oleh KH. Kholil dari Madura, beliau menantu KH. Romli Tamim. Setelah KH. Kholil wafat (1937) kepemimpinan tarekat dilanjutkan oleh iparnya, KH.Romli Tamim yang sebelumnya menerima ijazah irsyad langsung dari KH. Kholil yang memungkinkannya menjadi mursyid. Padamasa KH. Romli Tamim Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyahmulai berkembang melalui jaringan alumni Pesantren Darul Ulum. Kepemimpinan KH. Romli Tamim (w.1958)
kemudian diteruskan oleh Kiai Muata’in Romli dan KH. Utsman al-Ishaqi an
nadi. Kiai Utsman kemudian pindah ke Sawahpulo, Surabaya dan diteruskan, putranya Kiai Asrori Utsman yang kemudian mendirikan Pesantren al-Fithroh. Ketika Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Rejoso di pimpin Kiai Musta’in
61
Sururin, Loc. cit, h.84
62
(48)
Romli, tarekat ini menunjukkan perkembangan yang pesat. Pada masa kepemimpinan ini terjadi kegoncangan ditubuh Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Jawa Timur, karena KH. Musta’in menyeberang dan mengarahkan “umatnya” untuk berafiliasi ke Golkar pada tahun 1977, kebijakan ini membawa dampak pada perpecahan, banyak para khalifah Kiai
Musta’in yang kemudian murfaraqah, sehingga beberapa diantaranya bertindak
sebagai mursyid dengan baiat kemursyidan kepada KH. Muslih Ibn Abdurrahman. Peristiwa ini yang menyebabkan lahirnya keputusan pengurus wilayah NU Jawa Timur untuk mengangkat mursyid di setiap Kabupaten atau
daerah tingkat II, dan lahirnya Jam‟iyyah Ahli Thariqah al-Mu‟tabarah al
-Nahdliyah.
Sementara, setelah Kiai Musta’in wafat, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Rejoso ini dipimpin oleh KH. Rifa’i Romli yang menerima
ijazah isyarat dari saudaranya Kiai Musta’in Romli. Kepempinan tarekat ini
kemudian dilanjutkan oleh KH. A. Dimyati Romli hingga sekarang. 63
Apabila kita melihat perkembangan tarekat ini di wilayah Bandung, sejak awal pertumbuhannya, khususnya di wilayah Kotamadya Bandung, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah terus berkembang sedemikian luas hingga mampu menyentuh berbagai lapisan sosial serta diterima berbagai lapisan masyarakat yang tingkat kemampuan pengetahuan keagamaannya relatif awam, meskipun dalam bidang pengetahuan lainnya, ada kecenderungan sebaliknya, yaitu memiliki latar belakang yang relatif tinggi.
Dianatara orang-orang Sunda di Jawa Barat, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah pun berkembang pesat, khussunya di Kabupaten Bogor dan Cianjur. Jumlah pengikutnya tampaknya telah membengkak luar biasa disini setelah letusan Gunung Krakatau yang mengejutkan itu pada tahun1883, yang
menimbulkan harapan-harapan akhir zaman diseluruh Jawa Barat.64
63
Martin Van Bruinessen, Tarekat Masyarakat indonesia, sebagaimana yang dikutip oleh Sururin, Perempuan dalam duni Tarekat, Studi tentang Pengalaman Beragama Perempuann Anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, h.85
64
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)