Dampak Ekonomi dan Ekologi Kelembagaan Pokja Situ Pengasinan Depok

(1)

DAMPAK EKONOMI DAN EKOLOGI KELEMBAGAAN

POKJA SITU PENGASINAN DEPOK

ADINDA VIRANTIKA PUTRI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Ekonomi dan Ekologi Kelembagaan Pokja Situ Pengasinan Depok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2013

Adinda Virantika Putri NIM H44090099


(4)

(5)

ABSTRAK

ADINDA VIRANTIKA PUTRI. Dampak Ekonomi dan Ekologi Kelembagaan Pokja Situ Pengasinan Depok. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT.

Keberadaan Situ di Jabodetabek terus mengalami penurunan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Melihat adanya penurunan tersebut, maka pemerintah membentuk kelompok kerja (Pokja). Pembentukan Pokja ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan situ-situ yang ada di Jabodetabek. Salah satu situ yang telah memiliki pokja adalah Situ Pengasinan Depok. Berdasarkan hasil penelitian, Pokja Situ Pengasinan Depok merupakan salah satu situ dengan kualitas kelembagaan Pokja yang baik. Pokja Situ Pengasinan merupakan kelembagaan formal berbasis masyarakat lokal dan memiliki empat stakeholders yang memiliki pengaruh dan kepentingan tinggi, yaitu Pokja, Dinas Bina Marga Sumberdaya dan Air, Badan Lingkungan Hidup, dan Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata. Keberadaan Pokja di Situ Pengasinan sangat penting untuk menjaga dan mengelola situ sebagai wadah penampungan air dan memiliki peran dalam meningkatkan wisata air Situ Pengasinan. Kegiatan wisata di Situ Pengasinan memberikan dampak ekonomi yang besar terhadap masyarakat lokal baik dampak langsung, tidak langsung dan lanjutan. Hal ini tercermin dari nilai multiplier effect dengan nilai keynesian income multiplier sebesar 1.25, ratio income multiplier tipe Isebesar 1,05 dan ratio income multiplier tipe II sebesar 1.06.

Kata kunci: multiplier effect, Pokja, wisata

ABSTRACT

ADINDA VIRANTIKA PUTRI. Ecological and Economic Effects of Pokja Pengasinan Lake in Depok. Supervised by ACENG HIDAYAT.

The decreasing of quality and quantity of lake in Jadebotabek has prompted the local government to create work society (Pokja). Pokja is expected to be the solution of lake’s problems in Jadebotabek like Pokja Pengasinan Lake. The result of this research showed that Pokja in Pengasinan Lake has a good management system. Pokja Situ Pengasinan as a formal institution which has local society basis which is influenced by four stakeholders, consist of Pokja, Department of Highways and Water Resources, environmental agencies, and Department of Youth Sports and Tourism. The main roles of Pokja are saving and controlling Pengasinan Lake as water storage, it also has contribution to increase people interests in water tourism. Tourism activities in Situ Pengasinan push great economic impacts to the society and local community, not only direct and indirect impactt, but also induced impact. This is reflected in the value of the multiplier effect to the value of Keynesian income multiplier of 1.25, the ratio of type I income multiplier of 1.05, and a ratio of Type II income multiplier of 1.06.


(6)

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DAMPAK EKONOMI DAN EKOLOGI KELEMBAGAAN

POKJA SITU PENGASINAN DEPOK

ADINDA VIRANTIKA PUTRI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

Judul Skripsi : Dampak Ekonomi dan Ekologi Kelembagaan Pokja Situ Pengasinan Depok

Nama : Adinda Virantika Putri NIM : H44090099

Disetujui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen


(10)

(11)

PRAKATA

Ucapan terima kasih pertama kali penulis tujukan kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, dan barokah yang dianugerahkan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada:

1. Ibunda Budhie Septianingtyas dan ayahanda Sudjoko Hardjodisono, terima kasih atas doa-doa, nasihat-nasihat, kebaikan, dukungan, dan segala kasih sayang serta cintanya kepada penulis. Kakak kakakku Primatiko Seputra, Pawira Septiawan, Sri Wulan Renggani dengan ketiga putra putrinya atas tenaga, waktu dan perhatiannya selalu memberi dukungan baik materi non materi serta yang selalu membuat segalanya menjadi lebih indah.

2. Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan pembelajaran kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini dengan baik dan lancar.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga , MA selaku dosen penguji utama dan Ibu Hastuti S.P, M.P, M.Si selaku dosen penguji perwakilan Departemen ESL.

4. Segenap Dosen dan Staf pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dan Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ilmu dan pelajaran kepada penulis selama proses perkuliahan. 5. Seluruh anggota Pokja Situ Pengasinan Depok , Binan Marga Sumberdaya dan

Air, Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata, Dinas Tata Ruang, Badan Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pertanian dan Perikanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Kota Depok yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan informasi yang telah diberikan.

6. Teman-teman satu bimbingan skripsi Chintia Kartika, Adinna Astrainti, Lusi Dara Mega, Nasita, Nova Belinda, Verry Kresnaning atas dukungan dan semangatnya. 7. Keluarga besar ESL 46, Lingkaran Cabe Rawit, Lingkaran Cahaya di atas Cahaya,

Keluarga Madani, Salam5, Salam 6, Himpro Reesa, Formasi IPB.

Bogor, Oktober 2013


(12)

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………...…….. DAFTAR TABEL………..…..………

xIv xv

DAFTAR GAMBAR……… xvi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Rumusan Masalah………..………… 4

1.3 Tujuan Penelitian………... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian………..………… 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis……….. 6

2.1.1 Fungsi Situ………..… 6

2.1.2 Penyebab Kerusakan Situ………... 7

2.1.3 Pengelolaan Situ……….… 8

2.1.4 Teori Kelembagaan……….… 9

2.1.5 Aspek Kelembagaan dan Aspek Keorganisasian...……… 10

2.1.6 Kinerja Kelembagaan………..… 10

2.1.7 Dampak Ekonomi ………... 11

2.2 Penelitian Terdahulu……… 12

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis………. 11

3.2 Kerangka Operasional……….. 15

IV. METODE PENELITAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………...………… 17

4.2 Jenis dan Sumber Data……….………… 17

4.3 Metode Penentuan Sampel Penelitian………..………… 17

4.4 Metode dan Prosedur Analisis Data……….………… 18

4.4.1 Analisis Kelembagaan ………... 19

4.4.2 Analisis Stakeholders………..……….. 21


(14)

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi Kota Depok………...……….. 26

5.2 Kondisi Situ……….. 26

5.3 Kondisi Situ Pengasinan……….………….. 29

5.4 Gambaran Umum Responden Wisatawan………..…………. 31

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Kelembagaan 6.1.1 Proses Pembentukan Kelembagaan………...……. 35

6.1.2 Substansi Aturan Kelembagaan……….……….. 36

6.1.3 Kinerja Kelembagaan ……….. 46

6.2 Analisis Pengaruh dan Kepentingan Stakeholders………...……….. 56

6.3 Analisis Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata………..……….. 63

VII. SIMPULAN DAN SARAN 70 DAFTAR PUSTAKA………...……… 72

LAMPIRAN……….. 76

RIWAYAT HIDUP………...………...

DAFTAR TABEL

1 Luas daerah situ dan rawa di Jabodetabek………. 2

2 Matriks metode pengolahan data………..……. 18

3 Matriks analisis kelembagaan………...……. 20

4 Analisis stakeholders...……….……. 23

5 Analisis multiplier effect………...……. 24

6 Inventarisasi kondisi situ di Kota Depok ……….……. 27

7 Kualitas air Situ Pengasinan……….……. 30

8 Gambaran umum wisatawan………. 31

9 Aturan formal pengelolaan Situ………. 37

10 Aturan informal pokja Situ Pengasinan………. 37

11 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap kelengkapan struktur……..………. 38

12 Sebaran persepsi pengurus Pokja kejelasan pembagian tugas………. 38 13 Sebaran persepsi pengetahuan pengurus Pokja terhadap susunan 39


(15)

kepengurusan………..…….

14 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap anggota menjalankan tugas dengan baik.. 39

15 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap pemberian motivasi terhadap anggota.. 39

16 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap manfaat keberadaan Pokja……….……. 40

17 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap keterlibatan dan musyawarah…….……. 40

18 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap pertemuan rutin………..……. 47

19 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap pengawasan aturan……….……. 47

20 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap laporan tahunan………..……. 48

21 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap perencanaan kedepan……….……. 48

22 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap penyelesaian masalah konflik……..……. 49

23 Sebaran persepsi pengurus Pokja terhadap menghadapi perubahan ………….……. 49

24 Sebaran persepsi wisatawan terhadap tingkat kebersihan………..……. 51

25 Sebaran persepsi wisatawan terhadap kualitas air………..……. 51

26 Sebaran persepsi wisatawan terhadap tingkat keamanan………...……. 52

27 Sebaran persepsi wisatawan terhadap jumlah tegakan pohon………. 52

28 Sebaran persepsi wisatawan terhadap tingkat kenyamanan………...……. 53

29 Sebaran persepsi wisatawan terhadap keindahan alam………..……. 53

30 Sebaran persepsi wisatawan terhadap fasilitas yang tersedia……….……. 54

31 Sebaran persepsi wisatawan terhadap kondisi jalan menuju tempat wisata…..……. 54

32 Analisis kualitas terhadap outcome kelembagaan………..……. 56

33 Analisis stakeholders pengelolaan Situ Pengasinan Depok……….……. 57

34 Proporsi pengeluaran wisatawan………. 63

35 Proporsi jenis unit usaha……….……. 64

36 Proporsi pendapatan pemilik unit usaha di Situ Pengasinan………..……. 64

37 Proporsi kebutuhan pengeluaran unit usaha………...……. 65

38 Jenis Pekerjaan………...……. 66

39 Jumlah pendapatan tenaga kerja………. 66

40 Proporsi pengeluaran tenaga kerja………..……. 67


(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Matriks aktor grid………..……….……. 15

2 Skema Kerangka Operasional……….……. 15

3 Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders dalam Pengelolaan Situ Pengasinan……….……. 23

4 Struktur organisasi Pokja Situ Pengasinan……….. 41

5 Pemetaan aktor grid pengelolaan Situ Pengasinan Depok………. 58

6 Hubungan antar aktor ………...……. 62

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian wisatawan Situ Pengasinan ……….……. 76

2 Kuesioner penelitian pelaku usaha Situ Pengasinan ……….……. 79

3 Kuesioner penelitian tenaga kerja Situ Pengasinan……….…… 80

4 Kuesioner penelitian stakeholdersSitu Pengasinan……….…… 81

5 Kuesioner analisis kelembagaan………..………. 83

6 Wawancara kelembagaan………...………… 87

7 Lampiran pengeluaran wisatawan di Situ Pengasinan…..……… 89

8 Lampiran pendapatan dan pengeluaran unit usaha di Situ Pengasinan…..……… 93

9 Lampiran pendapatan dan pengeluaran tenaga kerja di Situ Pengasinan…..……… 94


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Situ atau danau merupakan salah satu ekosistem perairan yang memiliki multifungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain sebagai: (1) sumber plasma nutfah yang berpotensi sebagai penyumbang bahan genetik ikan, (2) tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora dan fauna, (3) sumber air (mudah dan murah) yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya, baik untuk kebutuhan rumah tangga, industri, dan pertanian, (4) tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber air bawah tanah, (5) memelihara iklim mikro di mana keberadaan ekosistem danau dapat mempengaruhi kelembaban dan curah hujan setempat, (6) sarana transportasi, (7) penghasil energi listrik melalui PLTA, (8) sebagai obyek pariwisata (sarana rekreasi), dan (9) sistem pembuangan yang memadai yang murah. Situ memiliki peranan strategis sebagai penyimpanan cadangan air pada musim kemarau sehingga keberadaan situ menjadi penting dalam sebuah tatanan hidrologis air (Manu et al. 2010). Keberadaan Situ dibutuhkan dalam lingkup suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) karena berfungsi sebagai tampungan limpasan air permukaan. Limpasan air permukaan akan diserap ke dalam tanah sehingga selain melindungi pemukiman dari bencana banjir, situ juga berfungsi sebagai penampungan cadangan air, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.

Keberadaan situ di wilayah Jabodetabek semakin memburuk. Kondisi situ di wilayah Jabodetabek mengalami kerusakan seperti penurunan kuantitas dan kualitas. Secara umum, kerusakan situ diakibatkan oleh tata guna lahan yang kurang baik, kerusakan akibat kondisi hidrologis, ketidakjelasan pola pengelolaan, serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam merawat dan melestarikan situ. Akitivitas masyarakat di DAS dan wilayah tangkapan air situ sangat berpengaruh terhadap proses pendangkalan serta penurunan fungsi situ. Ketidakjelasan kewenangan pengelolaan situ, kecilnya anggaran pemeliharaan dan sempitnya lahan kosong sebagai tempat yang layak tinggal dan tingginya tingkat populasi manusia menjadi salah satu alasan masyarakat untuk mengalihkan fungsi situ dan rawa menjadi daerah pemukiman.

Depok merupakan kota penyangga bagi Jakarta, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Depok menjadi salah satu kota alternatif bagi masyarakat


(18)

(terutama pendatang) sebagai tempat untuk berdomisili dengan alasan mudahnya akses yang menghubungkan dengan ibu kota. Tingginya tingkat populasi berimplikasi terhadap peningkatan permintaan pemukiman sehingga mendorong adanya pembangunan daerah mukim yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air serta cadangan air dalam tanah. Daerah resapan dan cadangan air merupakan sesuatu yang penting untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian ekosistem. Oleh karena itu, pembangunan daerah mukim perlu memperhatikan pengaturan tata ruang kota. Pengaturan tata ruang kota ini bertujuan agar daerah resapan tetap terjaga kualitas dan kuantitasnya. Pengaturan tata ruang kota yang jelas tidak akan mengganggu dan merusak keberadaan situ.

Berdasarkan (Roemantyo et al. 2003) perubahan pemanfaatan lahan di sekitar Jakarta cukup besar. Identifikasi terhadap 20 lembar peta topografi Dutch map yang dibuat antara tahun 1923 dan 1943 dan peta Citra Landsat tahun 2000 menemukan bahwa sebelum tahun 1943 di Jakarta terdapat 315 buah situ dan rawa dengan luas mencapai 16 466 Ha, sedangkan hasil Citra Landsat tahun 2000 menunjukan bahwa jumlah situ dan rawa tersebut tinggal 174 dengan luas 9 312 Ha.

Tabel 1 Perbandingan luas daerah situ dan rawa di Jabodetabek tahun 1923-2000 Tahun Jumlah situ dan rawa Luas (Ha) Sumber

1923-1943 315 16 466 Peta Topografi Dutch Map

2000 174 9 312 Citra Landsat

Penyusutan (%) 44.76 43.54

Sumber : Roemantyo et al (2003)

Studi Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2002) menunjukan terjadi penyusutan kapasitas situ di Jabodetabek. Tahun 1993 kapasitas situ 128 457 930 m³ , turun menjadi 12 827 000 m³ pada tahun 2002. Penyusutan luas situ juga terjadi di wilayah Depok, salah satunya Situ Pengasinan Depok. Luas Situ Pengasinan Depok pernah mencapai 8m2, namun pengelolaan yang tidak baik menyebabkan luas situ mengalami penyusutan dan akan dilakukan pengalihan fungsi situ menjadi kawasan pemukiman.

Pada tahun 2003, terjadi musim kemarau sehingga masyarakat Jabodetabek kesulitan mendapatkan air. Musim kemarau yang panjang menyebabkan lahan pertanian menjadi kering, tanaman menjadi mati, tanah menjadi tandus, dan sulitnya pemenuhan kebutuhan air bersih untuk kepentingan rumah tangga, seperti MCK, memasak.


(19)

Permasalahan tersebut membuat pemerintah mulai berpikir akan pentingnya keberadaan situ, sehingga pemerintah mengadakan program pengembalian fungsi Situ Pengasinan sebagaimana fungsi awal yaitu sebagai wadah penyimpanan cadangan air dan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) sebagai pengelola dan pelestari Situ Pengasinan.

Pokja didirikan bertujuan menjaga dan melestarikan Situ Pengasinan. Pokja beranggotakan masyarakat sekitar dan berfungsi mengelola situ serta membuat aturan pengelolaan situ. Umumnya Pokja adalah lembaga formalitas yang keberadaanya terlihat saat ada bantuan dari pemerintah, namun berbeda dengan Pokja Situ Pengasinan. Pokja Situ Pengasinan memiliki struktur organisasi dan program kerja yang rapi, serta berjalan dengan baik guna mencapai tujuan bersama. Pokja Situ Pengasinan telah berhasil mengelola situ untuk kegiatan pariwisata sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara materi (ekonomi) maupun ekologis. Manfaat secara ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat akibat adanya kegiatan wisata seperti terbukanya peluang usaha, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat. Keberadaan Pokja sebagai pengelola Situ Pengasinan memberikan dampak ekologi kepada lingkungan situ sehingga situ lebih terawat dan terpelihara. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana kinerja kelembagaan tersebut dan dampak pengelolaan situ bagi masyarakat sekitar.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kota Depok 2009 dikatakan bahwa dari 26 situ yang ada di Kota Depok, 6 situ di antaranya telah memiliki Pokja yang baik yaitu Situ Pengarengan, Situ Pedongkelan, Situ Asih Pulo, Situ Sawangan, Situ Citayam, Situ Pengasinan. Situ-situ tersebut memiliki kualitas air yang cukup jernih. Hal ini menunjukan keberadaan Pokja memberikan pengaruh yang positif terhadap kualitas air dan pelestarian situ. Pengelolaan yang baik akan berimplikasi kepada pengembangan area situ yang baik dan memberikan dampak ekonomi dan ekologi kepada masyarakat sekitar. Salah satu situ yang memiliki pengelolaan yang baik adalah Situ Pengasinan.

Sebelum dilakukan pengerukan pada tahun 2003, luas Situ Pengasinan pernah mencapai 8m2, namun pengelolaan yang tidak baik menyebabkan luas situ mengalami penyusutan dan akan dilakukan pengalihan fungsi situ menjadi kawasan pemukiman.


(20)

Saat ini luas Situ Pengasinan adalah 6 m2 dan dikelola oleh Pokja Situ Pengasinan Depok. Pokja didirikan dengan tujuan untuk menjaga dan melestarikan Situ Pengasinan. Pokja beranggotakan masyarakat sekitar dan berfungsi mengelola situ serta membuat peraturan–peraturan pengelolaan. Masyarakat setempat memiliki kewajiban dan turut berpartisipasi dalam menjaga keberlanjutan Situ Pengasinan. Pokja Situ Pengasinan memiliki struktur organisasi dan program kerja yang rapi, serta berjalan dengan baik guna mencapai tujuan bersama. Pokja Situ Pengasinan telah berhasil mengelola situ untuk kegiatan pariwisata sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara materi (ekonomi) maupun ekologis.

Pokja sebagai lembaga berbasis masyarakat mampu mengembangkan situ menjadi area wisata dengan baik dengan menambahkan atraksi wisata yang ditawarkan atau perbaikan fasilitas umum. Wisata Situ Pengasinan memberikan dampak kepada masyarakat sekitar seperti dibukanya unit usaha, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan keberadaan situ menjadi lebih terawat dan terpelihara. Dalam hal ini, Pokja memiliki peran strategis dalam keberlangsungan pengelolaan di Situ Pengasinan. Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul pertanyaan:

1. Bagaimana kelembagaan dan tata kelola Situ Pengasinan?

2. Bagaimana pengaruh dan kepentingan stakeholders di Situ Pengasinan? 3. Bagaimana multiplier effect yang berdampak pada masyarakat sekitar?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kelembagaan dalam pengelolaan situ dan pengaruh kelembagaan Pokja terhadap perbaikan kualitas Situ Pengasinan. Secara khusus penelitian ini bertujuan :

1. Menganalisis kelembagaan dan tata kelola Situ Pengasinan

2. Menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholders dalam pengelolaan Situ Pengasinan

3. Menganalisis dampak ekonomi dari multiplier effect kegiatan pariwisata Situ Pengasinan untuk masyarakat sekitar


(21)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis kelembagaan Pokja pada pengelolaan Situ Pengasinan dilihat dari proses terbentuknya kelembagaan, kualitas kelembagaan dan kinerja kelembagaan. Kualitas kelembagaan dilihat berdasarkan substansi kelengkapan dan kejelasan aturan yang telah dibuat sesuai persepsi pengurus Pokja. Kinerja kelembagaan digunakan untuk melihat keberhasilan dan keberadaan Pokja berdasarkan pelaksanaan aturan yang telah dibuat, dampak ekonomi, dan dampak ekologi. Penelitian ini juga menganalisis stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruh stakeholders terkait pengelolaan Situ Pengasinan. Pengaruh stakeholders dilihat dari finansial, politik, dan sumberdaya manusia yang dimiliki dalam pengelolaan Situ Pengasinan. Adanya kegiatan wisata akan memberi dampak ekonomi pada masyarakat sekitar. Dampak ekonomi dapat dilihat berdasarkan perputaran uang yang terjadi di area wisata yang berasal dari pengunjung wisata yaitu efek berganda (multiplier effect). Multiplier effect masyarakat lokal dilihat dari dampak yang terjadi di tingkat unit usaha dan tenaga kerja yang berasal dari pengunjung wisata.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teoritis

Situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan bersumber dari mata air, air hujan, dan limpasan air permukaan. Perbedaan antara situ alami dan buatan dapat diketahui dari tujuan dan proses pembentukannya. Situ alami terbentuk karena proses alami, sedangkan situ buatan didesain untuk tujuan tertentu akibat adanya aktivitas manusia. Situ merupakan salah satu ekosistem perairan tergenang yang umumnya berair tawar dan berukuran relatif kecil. Istilah “situ” biasanya digunakan masyarakat Jawa Barat untuk sebutan “danau kecil”. Di beberapa daerah, situ terkadang disebut juga “embung”. Ukuran situ/embung yang relatif kecil menyebabkan keberadaannya sangat terancam oleh tingginya laju sedimentasi. Aktivitas masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan wilayah tangkapan air situ/embung sangat berpengaruh pada proses pendangkalan situ. (Puspita et al 2005).

Jika dilihat dari lokasi dan fungsinya, maka keberadaan situ di wilayah Jabodetabek sangat strategis. Situ-situ di wilayah Jabodetabek berperan dalam tata air sebagai tampungan, resapan air, dan sumber air. Peran situ sebagai tampungan air mengandung arti bahwa situ memiliki peran sebagai pengendali banjir (Listiani 2005).

Undang undang nomor 7 tahun 2004 Pasal 1 tentang sumberdaya air dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumber air adalah tempat atau wadah air alami atau buatan yang terdapat pada atas ataupun di bawah permukaan tanah. Danau sebagai salah satu sumber air, pengelolaannya tidak dapat berdiri sendiri, namun harus diintegerasikan ke dalam pengelolaan DAS sebagai kesatuan wilayah, begitu pula dalam pemanfaatannya.

2.1.1 Fungsi Situ

Situ memiliki berbagai manfaat yang dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap air. Pemanfaatan situ sebagai sumber air menurut Pasal VIII Ayat 2, memiliki prioritas sebagai berikut: pertama, sebagai air minum, pemenuhan kebutuhan rumah tangga, pertahanan, keamanan nasional, peribadatan, dan usaha perkotaan. Kedua,


(23)

bermanfaat untuk pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan. Ketiga, untuk ketenagaan, industri, pertambangan, lalu lintas air, dan rekreasi.

Sebagai sumber air, situ merupakan terkumpulnya air secara alami melalui aliran sungai-sungai yang menuju ke danau dan melalui aliran di bawah tanah yang secara alami mengisi kecekungan di muka bumi ini (Anggraheni 2008). Secara umum, situ memiliki manfaat yang sangat penting, antara lain sebagai pemasok air ke dalam akuifer (sebagai daerah resapan air), peredam banjir, membantu memperbaiki mutu air permukaan (lewat proses kimia, fisik, dan biologis yang berlangsung di dalamnya), irigasi, rekreasi, tandon air, perikanan, dan mendukung keanekaragaman hayati perairan (Suryadiputra 2003). Selain itu, situ yang memiliki volume air cukup besar juga dapat dimanfaatkan sebagai PLTA, seperti pada Situ Kolam Tando Kracak di Kecamatan Leuwiliang, Bogor, di mana situ tersebut digunakan untuk pembangkit listik yang dikelola oleh PLN.

Keberadaan situ merupakan potensi besar di bidang pariwisata, khususnya wisata air. Sedikitnya 22 situ di wilayah penyangga ibu kota negara bagian selatan ini sudah disiapkan untuk dikembangkan (Osly 2008). Keberadaan situ dapat sangat mempengaruhi kondisi sosial budaya masyarakat sekitar. Sebagai contoh, kondisi dan sumber daya hayati situ yang dapat dimanfaatkan, baik melalui kegiatan penangkapan maupun kegiatan budidaya, secara langsung akan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat setempat. Selain mata pencaharian, kondisi budaya masyarakat sekitar juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan situ, seperti yang telah kita ketahui, Situ Babakan di Jakarta Selatan yang dijadikan kawasan cagar budaya karena memiliki nilai sejarah daerah Betawi yang unik.

2.1.2 Penyebab Kerusakan Situ

Banyak permasalahan yang muncul di sekitar danau, seperti tingginya erosi dan pencemaran karena limbah rumah tangga dan industri menyebabkan kualitas air danau rendah untuk zat zat tertentu. Erosi dan sedementasi yang tinggi disebabkan oleh sifat tanah yang umumnya terdiri atas jenis tanah peka erosi, curah hujan, dan kondisi geografis (Waluko 2011). Mengatasi permasalah tersebut, maka dibutuhkan pengelolaan yang baik dan terpadu dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Permasalahan akan timbul ketika keterbatasan pengelolaan situ oleh pemerintah daerah ditambah rendahnya


(24)

partisipasi masyarakat menjaga lingkungan, mengakibatkan tempat penampungan air atau situ tersebut tidak berfungsi optimal.

Kondisi situ di Jabodetabek dapat dikatakan semakin memburuk. Sebagian besar situ telah mengalami penurunan kuantitas maupun kualitas yang disebabkan oleh faktor fisik maupun non-fisik. Faktor fisik disebabkan karena adanya pengurangan luasan situ karena alih fungsi, sedimentasi, kurangnya pemeliharaan sehingga dipenuhi gulma air dan rerumputan, dan kerusakan bangunan prasarana. Sedangkan faktor non-fisik berupa penyalahgunaan wewenang pemberian izin pemanfaatan situ, pemberian hak atas tanah pada kawasan situ, dan pengambilan lahan secara ilegal.

Saat ini persoalan yang terjadi adalah buangan yang meningkatkan sedimen atau pendangkalan situ, tumbuhnya tanaman gulma (eceng gondok, teratai, dan lainnya) yang menutup, dan penggunaan lahan liar, serta upaya sebagian orang yang berusaha menutup situ untuk dijadikan lahan tinggal dan tempat usaha. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa permasalahan situ di Kota Depok ini terkait dengan:

a. Kerusakan akibat tata guna lahan,

b. Kerusakan akibat kondisi hidrologis,

c. Ketidakjelasan pola pengelolaan, dan

d. Kurangnya kesadaran masyarakat.

2.1.3 Pengelolaan Situ

Pengelolaan situ adalah bagian dari pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu, hendaknya dilaksanakan secara: (a) terpadu, (b) menyeluruh meliputi kualitas, kuantitas, hulu-hilir, instream-offstream, (c) berkelanjutan, dan (d) berwawasan lingkungan dengan wilayah hidrologi atau ekologi sebagai kesatuan pengelolaan (Aboejoewono 1999).

Pengelolaan situ merupakan kerja lintas sektoral yang menyangkut kepentingan banyak pihak dan melibatkan berbagai institusi serta unsur masyarakat. Keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam pemanfaatannya saja, melainkan juga pengelolaan dan pemeliharaan. Bahkan, hal tersebut menjadi nilai penting yang perlu diperhatikan. Pengelolaan situ membutuhkan pendekatan integratif, komprehensif, dan holistik. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap situ memiliki prinsip partisipatif, koordinatif, transparansi, dan akuntabilitas. Pihak-pihak tersebut membutuhkan koordinasi yang baik dalam bentuk pertukaran informasi secara intensif,


(25)

mengkonfirmasikan waktu, biaya, dan aktivitas yang dilakukan oleh setiap instansi untuk mencapai tujuan dengan ukuran kinerja yang disepakati (Tim IPB 2002).

2.1.4 Teori Kelembagaan

Chimidit (1987) dalam Tonny (2004) mengatakan dalam resektif kelembagaan terdapat hubungan kausal (sebab-akibat) antara fenomena “SDA dan lingkungan” dan sistem sosialnya. Konsep kelembagaan menjelaskan hubungan antara perubahan SDA lingkungan dan sistem sosialnya. Perubahan diperkirakan erat kaitannya dengan perubahan sosial yang terjadi pada tingkat rumah tangga kelompok serta organisasi sosial, komunitas, dan masyarakat.

Kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia dan mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya. Tingkat keberlanjutannya lembaga dilihat dari faktor internal dan eksternal (komunitasnya). Internal dilihat dari kepemimpinan dan pendidikan intensif kelembagaan. Sedangkan faktor eksternal dilihat dari kebijakan dan keterkaitan dengan pemerintah lokal (Tonny 2004).

Penggunaan pendekatan kelembagaan menjadi landasan dalam pelaksanaan program tersebut, karena memiliki beberapa alasan yang menjadi pertimbangan, antara lain (1) memperbesar kemampuan sumber daya dan meningkatkan skala usaha ekonomi kolektif yang dimiliki masyarakat, (2) meningkatkan posisi tawar kolektif dalam mengakses modal, pasar, teknologi, dan kebijakan, (3) mengembangkan kemampuan koordinasi dan kerja sama kemitraan dalam pengelolaan kegiatan ekonomi kolektif untuk mendukung dinamika ekonomi kawasan, dan (4) memudahkan pengontrolan terhadap perjalanan ekonomi bersama (Kusnadi 2003).

2.1.5 Aspek Kelembagaan dan Aspek Keorganisasian dalam Sebuah Kelembagaan

Kelembagaan terdiri dari dua aspek yaitu aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian (Syahyuti 2003). Aspek kelembagaan terdiri dari hal-hal yang lebih abstrak yang menentukan jiwa suatu kelembagaan yaitu nilai, norma, dan aturan. Sementara aspek keorganisasian berupa sesuatu yang lebih statis, yaitu struktur, penetapan peran, tujuan, keanggotaan. Kedua aspek ini secara bersama-sama membentuk dan menentukan prilaku seluruh orang dalam kelembagaan tersebut.


(26)

Keduanya merupakan komponen pokok yang selalu exist dalam setiap kelompok sosial, selemah atau sekuat apapun kelompok tersebut.

Dalam aspek kelembagaan terdapat nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi. Sementara aspek keorganisasian berisi struktur, peran, hubungan antarpesan, integrasi antarbagian, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur riil, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, keanggotaaan, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain.

2.1.6 Kinerja Kelembagaan

Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson dalam Syahyuti 2004). Ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan, yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut bisa dihasilkan. Satu cara yang lebih sederhana telah dikembangkan untuk memahami kinerja internal dan eksternal suatu kelembagaan, melalui ukuran-ukuran dalam ilmu manajemen.

Terdapat empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan Mackay et al.(1998) dalam Syahyuti (2004), yaitu:

1. Kondisi lingkungan eksternal. Lingkungan sosial di mana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh suatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan yang dimaksud berupa kondisi politik dan pemerintahan, sosiokultural, teknologi, kondisi perekonomian, berbagai kelompok kepentingan, infrastruktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumber daya alam.

2. Motivasi kelembagaan. Kelembagaan dipandang sebagai suatu entitas yang memiliki jiwa dan motivasi. Motivasi suatu kelembagaaan tercermin dalam misi yang diemban, kultur yang menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut.

3. Kapasitas kelembagaan. Kelembagaan memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Kemampuan tersebut diukur dari lima aspek, yaitu strategi kepemimpinan yang dipakai, perencanaan program, manajemen dan


(27)

pelaksanaannya, alokasi sumber daya yang dimiliki, dan hubungan dengan pihak luar.

4. Kinerja kelembagaan. Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu keefektifan lembaga dalam mencapai tujuan tujuannya, efisiensi penggunaan sumber daya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan di luar.

2.1.7 Dampak Ekonomi

Dampak merupakan perubahan yang terjadi di dalam suatu lingkup lingkungan akibat adanya perbuatan manusia. Untuk menilai terjadinya dampak perlu adanya satuan acuan, yaitu kondisi lingkungan sebelum adanya aktivitas Soemarwoto (1988) dalam Praseti B (2011). Dampak dari suatu kegiatan akan berpengaruh terhadap aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Wisatawan yang berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata merupakan sumber pendapatan (income generator) dan sekaligus juga berfungsi sebagai alat pemerataan (redistribution of income). Dampak ekonomi yang dihasilkan oleh sektor pariwisata umumnya diukur dari keseluruhan pengeluaran pengunjung untuk keperluan akomodasi, konsumsi, perjalanan, dokumentasi dan keperluan lainnya. Jumlah dari seluruh pengeluaran diestimasi daru jumlah total hari kunjungan dan pengeluaran pengunjung. Dampak ekonomi yang dirasakan adanya kegiatan wisata ada tiga jenis, yakni dampak langsung, dampak tidak langsung dan dampak lanjutan (Vanhove 2005).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pemanfaatan situ sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, sebagian besar meneliti tentang kerusakan situ dan dampak wisata. Penelitian pengaruh dan dampak keberadaan lembaga Pokja dalam pengelolaan situ masih jarang diteliti. Oleh karena itu, penulis memilih untuk melakukan penelitian mengenai dampak ekonomi dan ekologis kelembagaan Pokja dalam pengelolaan Situ Pengasinan Depok. Penelitian ini meliputi analisis kualitas kelembagaan, analisis stakeholders, dan dampak multiplier effect.

Penelitian mengenai situ atau danau sebelumnya pernah dilakukan oleh (Listiani 2010) yang berjudul “Aspek Kelembagaan Pengelolaan Situ Rawa Besar”. Metode


(28)

analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitiannya menyatakan Pengelolaan Situ di Rawa Besar belum mencerminkan pengelolaan situ secara berkelanjutan. Lemahnya kapasitas kelembagaan pengelolaan situ dikarenakan kurangnya sumberdaya pengelolaan, baik sumber daya manusia, pendanaan, serta tidak efektifnya koordinasi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan situ.

Penelitian lain pernah dilakukan oleh (Pusporini 2010) yang berjudul “Strategi Pengembangan Wisata di Situ Pengasinan Kota Depok”. Metode yang digunakan adalah regresi logistik untuk kesediaan membayar, regresi linier, analisis finansial dan Analytical Hierrachy Proccess (AHP) untuk menentukan strategi yang harus diambil dalam rangka pengembangan wisata. Hasil penelitian menunjukan persepsi responden umumnya menyambut baik terhadap rencana pengembangan jika nantinya situ tersebut dikembangkan asalkan tidak mengganggu fungsi utama situ sebagai daerah konservasi air permukaan. Sebanyak 51% responden bersedia untuk membayar jika nantinya akan diterapkan pemberlakuan tarif masuk kawasan dengan nilai WTP Rp 7 309.52/orang. Strategi yang dilakukan strategi sosialisasi program kepada stakeholders dan promosi wisata, strategi pemberdayaan dan pengembangan daya saing produk.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Osly (2008) dengan judul “Analisis Kesesuaian dan Perencanaan Tapak Kawasan Situ Pengasinan sebagai Kawasan Pariwisata Kota Depok”. Metode penelitian dilakukan dengan analisis keruangan dengan menggunakan metode scoring dan pembobotan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Situ Pengasinan cocok untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata kota dengan konsep pedesaan dengan lahan sawah dan kolam besar dan target pengunjung adalah keluarga dan perorangan dan tidak ada batasan umur.


(29)

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

Kerangka pemikiran secara teoritis pada penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu konsep analisis stakeholders dan konsep multiplier effect. Penjelasan kedua konsep tersebut akan dijelaskan pada sub bab berikut.

3.1.1 Konsep Analisis Stakeholders

Analisis stakeholders digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor terkait pengaruh dan kepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan. Langkah langkah dalam melakukan analisis stakeholders :

1. Identifikasi aktor 2. Membuat tabel aktor

3. Menganalisis pengaruh dan kepentingan 4. Membuat aktor grid

Setelah diketahui nilai dari tingkat kepentingan dan pengaruh yang dimiliki masing-masing aktor, maka dapat dipetakan ke dalam matriks aktor grid pada gambar1.

Tinggi

Pengaruh

Rendah Tinggi

Kepentingan

Gambar 1 Matriks aktor grid

Kuadran I (aktor) merupakan aktor yang berpengaruh tapi rendah kepentingan dalam tujuan dan hasil kebijakan. Kuadran II (pemain) merupakan aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan. Kuadran

A

Aktor

B

Pemain

C

Penonton D


(30)

III (penonton) merupakan kelompok aktor memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah. Kuadran IV (subjek) menunjukan kelompok aktor yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan denga pengaruh yang rendah. (Suhana 2008).

3.1.2 Konsep Analisis Multiplier Effect

Pelayanan jasa lingkungan memberikan pengaruh tidak hanya terhadap sektor ekonomi yang langsung terkait dengan industri pariwisata, tetapi juga industri yang tidak langsung terkait dengan industri pariwisata. Analisis dampak ekonomi terkait dengan elemen-elemen penghasilan, penjualan dan tenaga kerja di daerah kawasan pembangunan jasa lingkungan. Analisis dampak ekonomi menelusuri aliran uang dari pengeluaran pengunjung terhadap kegiatan unit usaha (Cooper et al 1998) :

1. Unit usaha dan pemangku kepentingan usaha selaku penerima pengeluaran wisatawan atau pengguna jasa lingkungan;

2. Unit usaha lainnya selaku pemasok (supplier) barang dan jasa kepada usaha pariwisata atau pedagang;

3. Rumah tangga selaku penerima penghasilan dari pekerjaan di bidang pariwisata atau jasa lingkungan dan industri penunjangnya.

Nilai multiplier ekonomi merupakan nilai yang menunjukan sejauh mana pengeluaran pengunjung akan menstimulasi pengeluaran lebih lanjut, sehingga pada akhirnya meningkatkan aktivitas ekonomi di tingkat lokal. Menurut terminologi, terdapat tiga efek multiplier, yaitu efek langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect), dan efek lanjutan (induced effect). Ketiga efek ini digunakan untuk mengestimasi dampak ekonomi di tingkat lokal.

Konsep multiplier dapat dilihat dari jenis dampak secara langsung, tidak langsung dan dampak lanjutan yang mempengaruhi akibat dari tambahan pengeluaran pengunjung ke dalam ekonomi lokal atau ekonomi nasional. Di bawah ini merupakan metode untuk menghitung nilai pengganda dari pengeluaran wisatawan (Marine Ecotourism for Atlantic Area 2001) :

1. Lokal pendapatan Keynesian

Multiplier dimana nilai yang dihasilkan dari pengeluaran digandakan untuk mengetahui penambahan dan pengurangan pendapatan lokal. Keynesian merupakan metode terbaik untuk merefleksikan keseluruhan dampak dari pengeluaran.


(31)

2. Rasio pendapatan multiplier yakni nilai yang diperoleh dari peningkatan dan penurunan pendapatan langsung ekonomi lokal yang digandakan untuk memperoleh hasil peningkatan dan penurunan total pendapatan lokal.

3.2 Kerangka Operasional

Situ Pengasinan merupakan salah satu situ di Depok yang pernah mengalami penurunan fungsi dan kualitas. Hal ini disebabkan oleh faktor manusia dan faktor alam. Faktor alam yang menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas situ seperti sedimentasi, penurunan kualitas pinggiran situ, dan faktor alam lainnya. Kondisi ini semakin memburuk dengan adanya kegiatan manusia, seperti pembuangan limbah rumah tangga atau limbah pabrik. Penyebabnya adalah masyarakat menganggap situ sebagai tempat pembuangan yang mudah dan murah. Selain itu, terjadi pula penyusutan situ akibat alih fungsi lahan menjadi tempat tinggal. Sempadan atau badan situ dimanfaatkan melebihi aturan batas sempadan, yaitu 50 m dari tepi situ. Ketiadaan sempadan situ yang berubah menjadi daerah pemukiman warga merupakan hal yang biasa terjadi pada situ di Jabodetabek.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah kota Depok membentuk lembaga Pokja yang bertugas untuk merencanakan, mengevaluasi, merehabilitasi, konservasi, menertibkan, mengamankan, memelihara, dan memberdayakan situ agar dapat memberikan manfaat. Pokja Situ Pengasinan merupakan Pokja yang berhasil merehabilitasi situ dan mengembalikan fungsi serta mempertahankan area sempadannya menjadi daerah konservasi dan dapat memberdayakan masyarakat sekitar untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Pokja. Pokja situ dikelola dengan baik sehingga peluang usaha dan kegiatan pariwisata yang memberikan nilai tambah dari segi ekonomi dan ekologis semakin terbuka.

Adanya kegiatan pariwisata memberikan dampak ekonomi pada masyarakat, baik berupa dampak langsung, tidak langsung, maupun lanjutan. Dampak ekonomi langsung adalah dampak ekonomi yang langsung dirasakan oleh masyarakat sebagai pelaku usaha. Dampak ekonomi tidak langsung dilihat dari pengeluaran unit usaha di dalam kawasan wisata dan pendapatan kerja di masing masing unit usaha dan dampak lanjutan adalah dampak yang dilihat dari pengeluaran tenaga kerja di dalam kawasan wisata.


(32)

besar dampak ekonomi yang terjadi akibat adanya kegiatan pariwisata terhadap masyarakat lokal. Keberadaan pariwisata yang berjalan baik tidak terlepas dar i pengelolaan Pokja yang baik. Hasil dari pengelolaan yang baik ini adalah padunya gerak kelembagaan Pokja Situ Pengasinan berdasarakan proses, kualitas kelembagaan, kinerja kelembagaan, serta melihat aktor yang memiliki kepentingan dan pengaruh, sehingga tercipta sebuah sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan dapat menjadi masukan atau rekomendasi untuk kinerja Pokja ke depannya.

Gambar 2. Skema Kerangka Operasional

Penurunan Kualitas Penurunan

Kuantitas

Permasalahan Situ Pengasinan:

1. Sedimentasi 2. Penurunan kualitas

air

3. Penyempitan

KELEMBAGAAN POKJA  Pemerintah

 Masyarakat

Analisis Kelembagaan 1. 1. Proses

(analisis deskriptif) 2.Kualitas Kelembagaan (analisis deskriptif) 3.Kinerja Kelembagaan (analisis deskriptif)

Analisis Aktor (Analisis Stakeholder)

Multiplier effect (keynesian income , ratio local income tipe I, ratio local income tipe II,)

SISTEM PENGELOLAAN SDA SECARA KEBERLANJUTAN

R E K O M E N D A S I

KEGIATAN PARIWISATA


(33)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Situ Pengasinan, Kecamatan Sawangan Depok, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dikarenakan karakteristik yang dimiliki oleh Situ Pengasinan sesuai dengan minat peneliti, yaitu pengelolaaan sumber daya alam berbasis masyarakat lokal. Situ Pengasinan merupakan sebuah situ di kawasan Depok yang dikelola dengan pendekatan kelembagaan berbasis masyarakat. Pengambilan data dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan April hingga Mei 2013.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil kuesioner, wawancara, pengamatan serta arsip data internal. Sedangkan data sekunder sebagai data pendukung yang didapat dari berbagai dokumen-dokumen yang diperoleh dari buku, internet, dokumen pemerintah desa, serta skripsi dan tesis yang telah dipublikasikan.

4.3 Metode Penentuan Sampel

Pengelolaan Situ Pengasinan sebagai objek penelitian meliputi Pokja, Pemda Depok, Dinas Pariwisata, BLH, Dinas Pertanian, Dinas Tata Kota, BPN, Bapeda, Kelurahan, dan masyarakat Situ Pengasinan. Sampel diambil dari responden yang dapat memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya melalui key person yang dianggap mewakili stakeholders. Data penelitian kualitatif diperoleh melalui kuisioner dengan menggunakan teknik wawancara langsung kepada responden. Kemudian hasil kuisioner tersebut dicatat sesuai dengan hipotesis yang sudah dibuat, selanjutnya diolah, dianalisis diinterpretasikan, dan dibuat kesimpulan tentang hasil kuisioner. Informan dipilih dengan sengaja (purposive) sesuai dengan tujuan. Sedangkan untuk menentukan responden wisatawan dilakukan dengan teknik accidental sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan seseorang yang ditemui oleh peneliti di lokasi penelitian.


(34)

Informan yang dipilih terkait pengelolaan Situ Pengasinan dari pemerintah kota, Pokja, LSM, dan masyarakat lokal. Pemilihan informan kunci ini didasarkan pada asumsi bahwa mereka adalah orang-orang yang mengetahui dan memiliki pengalaman secara mendalam terkait dengan pengelolaan Situ Pengasinan Depok.

Teknik pemilihan jumlah sampel pada analisis kelembagaan sebanyak 10 sampel, sedangkan untuk responden pada wisatawan sebanyak 100 sampel yang dianggap telah mewakili jumlah pengunjung Situ Pengasinan, pelaku usaha 19 unit dan tenaga kerja sebanyak 10 karyawan. Sedangkan untuk stakeholders berjumlah 12 instansi yang dilakukan melalui snowball sampling.

4.4 Metode dan Prosedur Analisis Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam wawancara menggunakan teknik pendekatan informan kunci (key informant approach). Pendekatan ini mencoba mengumpulkan data melalui orang-orang tertentu yang dipandang sebagai pemimpin, pengambil keputusan atau juga dianggap sebagai juru bicara dari kelompok atau komunitas yang menjadi objek pengamatan, dan orang tersebut dianggap dapat memberikan informasi akurat guna mengidentifikasi masalah-masalah dalam komunitas tersebut. Orang-orang tersebut merupakan atau dianggap sebagai pemimpin dalam masyarakat dan biasanya diwakili oleh tokoh-tokoh informal, seperti tokoh agama, tokoh adat atau pejabat setempat, dan masyarakat.

Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penghitungan kuesioner dan pengkodean untuk penyeragaman data. Setelah pengkodean data, tahap selanjutnya adalah penghitungan presentase responden dan merepresentasikannya secara deskriptif melalui tabel dan grafik. Analisis data dilakukan secara manual menggunakan komputer dengan program Microsoft Excel 2007. Tabel 2 merupakan matriks yang berkaitan dengan tujuan, indikator, parameter penelitian, jenis, cara mendapatkan, sumber, dan metode analisis data. Berikut matriks metode pengolahan data:


(35)

Tabel 2 Matriks metode pengolahan data No Tujuan

Penelitian

Indikator Data yang di- peroleh Sumber Data Cara Memperoleh Data Metode Analisis 1 Menganalisas

kelembagaan pengelolaan Situ Pengasinan Proses Kualitas Kelembagaan Kinerja kelembagaan Proses terbentuknya kelembagaan Presepsi Kelengkapan dan kejelasan aturan

kelembagaan Presepsi Pelaksanaan aturan dan dampak yang terjadi Data primer Data primer Data primer Wawan cara mendalam kuesioner kepada anggota Pokja kuesioner kepada wisatawan, pelaku usaha, anggota Pokja Analisis deskriptif Persepsi aggota Pokja

2 Pengaruh dan kepentingan aktor

Pengaruh dan kepentingan

Manfaat bagi masyarakat setempat Data primer Kuesioner kepada instansi terkait Analisis stakeholder

3 Multiplier

effect Peningkatan pendapatan Manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat Data primer Kuesioner kepada wisatawan, pelaku usaha dan tenaga kerja

Metode Multiplier Effect

4.4.1 Analisis Kelembagaan Situ Pengasinan

Analisis dan identifikasi karakteristik kelembagaan dan aturan anggota Pokja dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap pengurus Pokja. Analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status yang biasanya digunakan untuk kelompok manusia, objek, kondisi sistem pemikiran, maupun peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta antar fenomena yang diselidiki.

Analisis kelembagaan Pokja diawali dengan menganalisis proses terbentuknya kelembagaan Pokja. Prinsipnya, proses pembuatan hukum kelembagaan Pokja memiliki empat tahap besar yakni, tahap inisiasi, tahap socio-politis, tahap juridis, dan tahap penyebarluasan atau desiminasi. Secara sederhana, proses pembentukan kelembagaan Pokja Situ Pengasinan dianalisis sesuai fakta yang terjadi di lapangan dengan paramater


(36)

pertama, pihak mana yang menginisiasi terbentuknya Pokja. Inisisasi ini menandakan lahirnya suatu gagasan dalam masyarakat. Kedua, menganalisis bagaimana proses pembentukan kelembagaan. Biasanya pada proses pembentukan ini akan terlihat diskusi, kritisi, tukar pendapat antar berbagai golongan kekuatan dan selanjutnya diskusi ini dijabarkan atau dirumuskan lebih lanjut secara lebih teknis. Ketiga, bagaimana sosialisasi atau penyebarluasan aturan yang telah dibuat oleh Pokja kepada masyarakat (Rodyah 2012).

Selain proses terbentuknya kelembagaan, pengelolaan kelembagaan dianalisis berdasarkan kualitas kelembagaan. Kualitas kelembagaan dapat dilihat dari substansi aturan dan perangkat-perangkat yang ada memenuhi kriteria kelengkapan dan kejelasan. Aturan main dalam sebuah kelembagaan menjadi penting dan berfungsi untuk memberikan arahan kepada anggota atau masyarakat dalam pemanfaatan Situ Pengasinan. Aturan main kelembagaan dikatakan lengkap dan jelas jika tugas pokok fungsi dan pembagian peran masing masing anggota jelas, sanksi yang diberlakukan jelas, dan keberadaan pihak yang mengawasi pun harus jelas atau transparan. Sistem manajemen yang diberlakukan mampu mewakili seluruh keinginan yang ada pada masyarakat dan pembagian tugas pokok fungsi masing masing harus jelas dan bertujuan memberikan perubahan yang lebih baik.

Setelah menganalisis proses dan kualitas kelembagaan Pokja, hal terakhir yang perlu dilakukan adalah menganilisis kinerja kelembagaan untuk menilai apakah kelembagaan Pokja dapat dikatakan baik atau tidak, guna mencapai output yang diharapkan. Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson dalam Syahyuti 2004). Kinerja dapat dianalisis berdasarkan pelaksanaan di lapangan apakah sesuai dengan substansi aturan yang berlaku, seperti bagaimana mekanisme pelaksanaan di lapangan, hak kepemilikan, sanksi yang berlaku, monitoring dan kontrol, kepatuhan terhadap peraturan yang telah dibuat, dan dampak yang diberikan baik dari segi ekonomi dan ekologi. Adanya kelembagaan, dari segi ekonomi memberi dampak terbukanya peluang tenaga kerja baru, jumlah investasi, serta kenaikan pendapatan dan dari segi ekologi, meliputi kualitas lingkungan berupa kuantitas sampah, kualitas air,


(37)

jumlah tegakan, tingkat sedimentasi, cadangan air, dan sebagainya. Berikut penjelasannya melalui matriks analisis kelembagaan:

Tabel 3 Matriks analisis kelembagaan

Tujuan Indikator Variabel Analisis

Proses terbentuknya kelembagaan - Inisiasi - Pembentukan - Sosialisasi

- Kelembagaan dibuat

berdasarkan inisiasi kebutuhan masyarakat

- Proses pembentukan mewakili keinginan setiap anggota

- Sosialisasi aturan ke masyarakat

Analisis deskriptif

Kualitas Kelembagaan

- Kelengkapan aturan

- Kejelasan aturan

- Substansi aturan yang dibuat jelas

- Terdapat pembagian tugas dan wewenang

- Kelengkapan susunan pengurus - Perangkat aturan dibuat lengkap - Anggota kelembagaan menjalankan tugas dan fungsi dengan baik

- Kejelasan aturan melalui lisan, tertulis, keduanya.

Analisis deskriptif

Kinerja

Kelembagaan - Pelaksanaan

-Dampak ekonomi -Dampak ekologi

- Mekanisme pelaksanaan aturan - Hak kepemilikan

- Sanksi yang berlaku - Monitoring dan kontrol - Penyerapan tenaga kerja - Volume investasi - Pendapatan masyarakat - Perbaikan kualitas lingkungan - Kuantitas sampah

- Kualitas air - Jumlah tegakan - Kuantitas sedimentasi

Analisis deskriptif

4.4.2 Analisis Stakeholders Situ Pengasinan

Keberhasilan pengelolaan Situ Pengasinan tidak terlepas dari peranan stakeholders yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Analisis stakeholders ini dilakukan guna mengetahui siapa saja yang berperan di dalam pengelolaan Situ Pengasinan Depok. Analisis ini dilihat dari segi peran, fungsi, keterlibatannya, dan pengaruh terkait pemanfaatan Situ Pengasinan Depok. Guna melihat peran aktor, maka penulis menggunakan pendekatan analisis stakeholders dari Bappeda, BPN, BMSDA, Dinas Pertanian dan Perikanan, Dinas Kebersihan dan


(38)

Pertamanan, BLH, Dinas Tataruang, Dinas Pariwisata, Pokja, Masyarakat, Pelaku usaha dan kelurahan. Analisis stakeholders mengacu pada seperangkat alat untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan stakeholders atas atributnya, hubungan timbal balik dan kepentingannya yang berkaitan dengan isu atau sumber daya yang ada (Suhana 2008). Berikut ini merupakan tahapan analisis stakeholder dalam penelitian: 1. Membuat tabel stakeholders, yang berisi informasi mengenai:

a. Daftar stakeholders

b. Kepentingan stakeholders, yaitu motif dan perhatiannya terhadap kebijakan. Untuk melihat tingkat kepentingan aktor digunakan skala likert, yaitu antara 1 sampai 5, di mana; 5 = sangat tinggi; 4 = tinggi; 3 = cukup tinggi; 2 = kurang tinggi; dan 1 = rendah. Indikator tinggi dilihat dari seberapa penting pengelolaan kawasan wisata terhadap masing-masing stakeholders.

c. Sikap stakeholders terhadap kebijakan atau program. Sikap mengacu pada reaksi utama dari berbagai stakeholders dalam memutuskan pandangan terhadap kebijakan.

2. Membuat penilaian awal tentang tingkat kekuatan dan pengaruh dari masing-masing stakeholders. Kekuatan stakeholders mengacu pada kuantitas sumber daya yang dimiliki stakeholders, yaitu sumber daya manusia (SDM), finansial, dan politik. Pengaruh dari masing-masing stakeholders mengacu pada tingkat pengaruhnya dalam proses penyusunan kebijakan. Untuk penilaian tingkat pengaruh juga menggunakan skala likert, yaitu antara 1 sampai 5, di mana; 5 = sangat kuat; 4 = kuat; 3 = cukup kuat; 2 = lemah; dan 1 = sangat lemah.

3. Menentukan tingkat pengaruh total, yaitu jumlah dari tingkat kekuatan (SDM, finansial, dan politik) dari masing-masing stakeholders.

4. Menentukan nilai total pengaruh untuk setiap stakeholders.

5. Dari informasi pada Tabel 5, maka selanjutnya disusunlah diagram seperti Gambar 2. untuk menggambarkan tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dan posisi stakeholders apakah masuk kategori subjek, pemain, penonton, atau aktor.


(39)

Tinggi

Pengaruh

Rendah Tinggi

Kepentingan

Gambar 3 Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders dalam Pengelolaan Situ Pengasinan

Analisis stakeholders dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh dan kepentingan stakeholders dalam pengelolaan Situ Pengasinan. Stakeholders dalam penelitian ini akan dibagi berdasarkan pengaruh dan kepentingan, serta perannya secara langsung atau tidak dalam pengelolaan Situ Pengasinan Depok.

Tabel 4 Matriks analisis stakeholders

Tujuan Penelitian Indikator Jenis Data Cara

Mengumpulkan Data Metode Analisis Menganalisis tingkat pengaruh dan kepentingan pengelola, pelaku usaha, badan instansi pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan obyek wisata alam Situ Pengasinan.

- Identifikasi aktor: aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan Situ Pengasinan. - Analisis

kepentingan: nilai kepentingan aktor dalam pengelolaan Situ Pengasinan. -Analisis pengaruh:

pengaruh aktor / stakeholder dalam pengelolaan Situ Pengasinan.

-Data primer dan

sekunder

-Data primer dan

sekunder

-Data primer dan

sekunder

-Kuesioner dan pendekatan dokumen

-Kuesioner dan pendekatan dokumen.

-Kuesioner dan pendekatan dokumen. Metode analisis data yang digunakan adalah Analisis stakeholder. A Aktor B Pemain C Penonton D Subjek


(40)

4.4.3 Multiplier Effect

Multiplier effect menunjukan efek berganda yang dirasakan oleh pelaku kegiatan wisata akibat keberadaan wisata alam di Situ Pengasinan. Untuk melihat multiplier effect, maka pelaku kegiatan wisata dibagi ke dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama merupakan unit usaha lokal penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Informasi penting terkait dengan dampak ekonomi adalah (1) proporsi perputaran uang yang berasal dari pengeluaran pengunjung ke unit usaha tersebut, (2) proporsi antara kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh unit usaha tersebut, (3) proporsi dari perputaran arus uang terhadap tenaga kerja lokal, supplier, investor, pajak, (4) tipe dan kuantitas bahan baku yang dibutuhkan, dan (5) rencana investasi ke depan. Informasi tersebut akan menunjukan dampak langsung (direct impact) dari pengeluaran pengunjung terhadap masyarakat lokal, estimasi biaya sumber daya yang diperlukan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukan oleh pengunjung, serta estimasi mengenai rencana investasi ke depan. Kelompok kedua adalah tenaga kerja lokal pada unit usaha lokal penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Informasi penting terkait dengan danpak ekonomi adalah (1) jumlah tenaga kerja yang terdapat pada lokasi wisata, (2) jumlah jam kerja dan tingkat upah, (3) proporsi dari pengeluaran sehari-hari pekerja yang dilakukan di dalam dan di luar wilayah, serta (4) kondisi pekerjaan sebelum bekerja di unit usaha saat ini. Data tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dampak tidak langsung (indirect impact) dan dampak lanjutan (induced impact) dari pengeluaran pengunjung. Kelompok terakhir adalah masyarakat lokal, di mana informasi penting terkait dengan dampak ekonomi adalah informasi mengenai manfaat dan biaya yang ditimbulkan dari kegiatan wisata tersebut, kebanggan di tingkat masyarakat lokal, dan sejauh mana mereka menilai sumber daya yang tersedia. Berikut matriks Multiplier Effect:

Tabel 5 Matriks multiplier effect

Tujuan Penelitian Indikator Jenis Data Sumber Data Metode Analisis Menghitung

Multiplier Effect yang didapat dari pengunjung

Dampak pendapatan masyarakat sekitar

Data kuantitatif

Kuesioner Keynesian income multiplier

Konsep multiplier effect dapat dilihat dari jenis dampak secara langsung, tidak langsung dan dampak lanjutan yang mempengaruhi akibat dari tambahan pengeluaran


(41)

pengunjung ke dalam ekonomi lokal atau ekonomi nasional. Di bawah ini merupakan formula untuk menghitung nilai pengganda dari pengeluaran wisatawan (Marine Ecotourism for Atlantic Area 2001) :

1. Keynesian Local Income Multiplier , yaitu nilai yang menunjukan berapa besar pengeluaran pengunjung berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal.

2. Ratio Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukan seberapa besar dampak terhadap perekonomian lokal. Penggandaan ini mengukur dampak tidak langsung dan dampak lanjutan (induced impact).

Secara matematis dirumuskan : 1. Keynesian Income Multiplier

+�+�

2. Ratio Income Multiplier Tipe I

+�

3. Ratio Income Multiplier Tipe II

+�+�

Keterangan:

E : Pengeluaran wisata (rupiah)

D : Pendapatan lokal yang diperoleh unit usaha dari E (rupiah) N : Pendapatan tenaga kerja yang diperoleh dari gaji (rupiah) U : Pengeluaran tenaga kerja di lokasi wisata (rupiah).


(42)

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi Kota Depok

Kota Depok terletak di sebelah selatan Kota Jakarta. Pada awalnya, Depok merupakan bagian dari Kabupaten Bogor. Akan tetapi, pada tahun 1999 terjadi pemisahan Depok dari Kabupaten Bogor, hingga akhirnya menjadi Kotamadya Depok. Kotamadya Depok meliputi tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Limo, Sawangan, Beji, Pancoran Mas, Sukmajaya, Cimanggis, dan Bojongsari. Batas batas Kota Depok terdiri dari:

Sebelah Utara : Provinsi DKI Jakarta dan Tanggerang Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor

Sebelah Timur : Bekasi dan Kabupaten Bogor Sebelah Barat : Kabupaten Bogor

Secara geografis, kota Depok terletak pada koordinat antara 6˚19 00 -6˚28 00 Lintang Selatan dan 106˚43 00 - 106˚55 30 Bujur Timur. Depok merupakan perbatasan antara Jakarta dan Kabupaten Bogor. Kota Depok memiliki intensitas curah hujan yang cukup tinggi dibandingkan dengan DKI Jakarta. Selain itu, letak geografis kota Depok mempengaruhi kondisi alam. Secara alami, kota depok merupakan daerah yang memiliki kemampuan sebagai daerah tampungan air.

Luas kota Depok sekitar 200.92 km² dengan pusat pemerintahan di Kecamatan Pancoran Mas. Kota Depok mengalami perkembangan fisik yang pesat, baik dari kondisi jalan, gedung bertingkat, serta fasilitas umum lainnya. Depok dianggap sebagai kota yang cukup strategis dengan kualitas lingkungan yang cukup baik. Hal ini menjadi faktor penyebab tingginya pertumbuhan penduduk di kota Depok.

5.2 Kondisi Situ

Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) kota Depok pada tahun 2009, dijelaskan bahwa kota Depok memiliki 26 situ dengan total luasan 147.2 Ha. Situ ini berperan sebagai kawasan resapan air, baik bagi kota


(43)

Depok maupun DKI Jakarta sebagai daerah perbatasan Depok. Berdasarkan hasil pemantauan, sebagian besar situ berada dalam kondisi kritis, seperti mengalami pedangkalan, penyusutan volume air, berbau, dan ditumbuhi gulma. Namun demikian, masih terdapat enam situ yang tergolong baik dengan total luasan kurang lebih 36.45 Ha. Empat situ lainnya dengan total luasan 26 Ha tergolong kurang baik, empat situ lainnya dengan total luasan 33.30 Ha kondisinya rusak, lima situ dengan total 23.54 Ha tidak berfungsi. Dari 20 situ, 19 situ memiliki Kelompok Kerja (Pokja).

Tabel 6 Inventarisasi Kondisi Situ di Kota Depok Kecamatan/

Kelurahan Nama Situ

Luas (ha) Kedalam (m) Keterangan/Kondisi Permasalahan I. Cimanggis

1. Harjamukti Gede 1

-

Akan dikembangkan Pondok Pesantren

Buperta 7.2 2 - 4

Kondisi situ terawat, perlu pengerukan, retaining wall & saluran gendong.

2. Mekarsari Tipar 11.32 2 - 3

Pencemaran limbah domestik & industri, banyak sampah & gulma air, pendangkalan situ 3. Tugu Pedongkelan 6.25 2 - 5

Sebagian untuk karamba, pencemaran sampah & limbah domestik, RPH, pendangkalan situ dan gulma air

4. Cisalak Pasar Gadog 1.3 1 - 5

Sebagian situ untuk karamba, pencemaran oleh limbah industri & domestik, banyak gulma air

5. Curug Rawa

Kalong 8.25 1 - 3

sebagian untuk karamba & saung apung, pencemaran limbah domestik, banyak sampah dan gulma air

6. Tapos Patinggi 5.5 1

Eksploitasi penangkapan ikan oleh masyarakat sekitar, pendangkalan

7. Jati jajar Jatijajar 6.5 1 - 4

Sebagian untuk karamba, pencemaran sampah & limbah domestik, RPH, pendangkalan situ dan gulma air

8. Cilangkap Cilangkap 6 1 - 2

Sebagian lahan situ untuk karamba, pencemaran limbah domestik, pendangkalan situ & banyak sampah

II. Pancoranmas

Rangkapan Jaya Asih Pulo 2 2 - 3 Perlu retainingwall, perbaikan inlet/outlet & pengerukan


(44)

Tabel 6 (lanjutan) Kecamatan/

Kelurahan Nama Situ

Luas (ha) Kedalam (m) Keterangan/Kondisi Permasalahan

1. Depok Rawa Besar 17 1 – 2

Pencemaran limbah domestik, air hitam, banyak sampah & gulma air. Perlu pengembangan untuk wisata & pembebasan tahan sempadan ± 50 m

2. Pancoranmas Pancoranmas 0.6 1 – 4

Pencemaran limbah domestik, pendangkalan , masih dapat dijumpai mata air.

III. Sawangan

1. Sawangan Sawangan 28.25 3 – 4 Ditumbuhi eceng gondok & gulma air

2. Pengasinan Pengasinan 6 1 – 4

Sudah direhabilitasi, terawat, air bersih, sarana rekreasi, sempadan dimanfaatkan untuk usaha tanaman hias

IV. Beji

1. Beji Pladen 1.5 0,3 – 1

Tercemar, air hitam, tidak pernah kering, limbah domestik berserakan di bantaran situ 2. Pondok Cina Kenangan 2

1 – 4

Di Kampus UI, situ tidak terawat, kontribusi limbah domestik dari Pasar Kemiri,

Puspa 2 2 – 4

Mahoni 4 3 – 4

Aghatis 4 4 – 4

V. Sukmajaya

1. Kalibaru Cilodong 9.5 1 – 3

Pencemaran limbah domestik, pendangkalan, gulma air (teratai), akan dibangun perumahan di sekitar sempadan 2. Sukamaju 1.25 1 – 2 Pencemaran limbah & sampah

domestik, dan gulma air 3. Sukamaju

TVRI Studio Alam 7.5 3

Pencemaran limbah domestik, pendangkalan & gulma air 4. Bhakti Jaya Pangarengan 2

Sebagian situ untuk karamba, pendangkalan, alih fungsi lahan oleh masyarakat & gulma air VI. Limo

1. Cinere Krukut - -


(45)

Tabel 6 menunjukan kondisi situ di Depok pada tahun 2009. Dari tabel tersebut terlihat kondisi situ mengalami degradasi yang sebagain besar diakibatkan oleh aktivitas manusia. Hal ini dapat dilihat dari keterangan yang umumnya menggambarkan kondisi situ dipenuhi oleh sampah plastik dan sampah rumah tangga lainnya. Selain sampah rumah tangga, beberapa situ mengalami pencemaran akibat buangan limbah pabrik yang berada dekat dengan situ, seperti Situ Pladen di Beji dan Rawa Besar di Pancoranmas.

5.3 Kondisi Situ Pengasinan

Sebelum tahun 2003, kondisi Situ Pengasinan hampir bernasib sama dengan situ lainnya. Situ Pengasinan merupakan situ alam, namun pada tahun 2003 dilakukan pengerukan agar situ dapat kembali ke fungsi awalnya. Berdasarkan keterangan warga, sebelum pengerukan, ada wacana untuk pengalihan area situ menjadi area pemukiman. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan terjadi musim kemarau yang membuat masyarakat Depok ataupun masyarakat Jakarta mengalami kekurangan cadangan air. Akibatnya pemerintah kota Depok melakukan penyusuran ke berbagai tempat yang akan dijadikan wadah tampungan air guna mengurangi banjir pada musim hujan dan kekurangan cadangan air di musim kemarau, salah satunya melalui pengerukan kembali situ alami, seperti Situ Pengasinan. Program pencarian tampungan air mendapat respon baik, melalui Dinas Bina Marga dan Sumber daya Air dan pihak Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC). BBWSCC sebagai penanggungjawab pusat untuk pengairan baik inlet atau outlet yang bermuara di Sungai Ciliwung dan Cisadane melakukan pengerukan untuk menormalkan fungsi ssitu. Dinas Pariwisata pada tahun yang sama juga memiliki pilot project untuk mengembangkan Situ Pengasinan sebagai delapan situ binaan dari Dinas Pariwisata dengan pilot project sebelumnya adalah Situ Citayam. Bersama dengan Dinas Bina Marga dan Sumber daya Air (BMSDA), Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata segera mengembangkan daerah Pengasinan secara perlahan agar keberadaan Situ Pengasinan tetap lestari.

Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata bagian pariwisata memiliki pengaruh dalam pengembangan Situ Pengasinan melalui atraksi wisata permainan


(46)

air seperti sepeda air, perahu, dan pemancingan. Suasana yang asri pada Situ Pengasinan menjadikannya sebagai salah satu alternatif wisata alam di kota Depok. Selain memiliki suasana alam yang asri, kekhasan dari Situ Pengasinan ini adalah adanya sempadan yang terbilang masih sesuai dengan Undang undang nomor 7 tahun 2007 tentang sumber daya air mengenai jarak sempadan, yakni 50-100 meter dari titik pasang tertinggi.

Kualitas air Situ Pengasinan cukup baik dibanding situ lainnya yang ada di Kota Depok. Kualitas Situ dinilai dari kriteria morfologi berada pada kondisi parameter rendah, kualitas air tingi dan jumlah gulma air rendah.

Tabel 7. Kualitas air Situ Pengasinan

Kriteria Bobot Kondisi Parameter Nilai Total Nilai (bobotxNilai) Indikator Parameter

Morfolog i

Penyusutan luas situ 10 tahun terakhir

20 o Tinggi (>25%) o Sedang (5-35%) o Rendah (<5%)

1 2 3 3 Sumber:Ketu a Pokja Bpk. Jojon Kedalaman situ pada musim penghujan

10 o Dangkal (<2m) o Sedang (2-5m) o Rendah (>5m)

1 2 3

3 Penurunan muka

air situ pada musim kemarau

10 o Tinggi (>50%) o Sedang (25-50%) o Rendah (<25%)

1 2 3

3 Sempadan situ 10 o Tidak ada

o Ada, sempit o Ada, lebar

(±100m)

1 2

3 3

Kualitas air

Baku mutu air 30 o Sesuai Kelas IV o Sesuai Kelas III o Sesuai Kelas I/II

1 2 3 1 Gulma air Persentase penutupan

20 o >50% o 25-50% o <25% 1 2 3 3 Total

nilai 16:6

Nilai akhir

2.7 Sumber : BLH Kota Depok 2011

Pengembangan wisata Situ Pengasinan dapat dikatakan kurang pesat karena berbagai penyebab. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Pariwisata, hambatan pengembangan wisata terletak pada bidang jasa transportasi. Selain itu, wacana pengembangan Situ sebagai wisata one direction, yaitu menjadikan Situ Pengasinan sebagai kawasan wisata dengan fasilitas bangunan di kawasan yang


(47)

lengkap terhambat karena rencana pengembangan yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat Pengasinan. Masyarakat lebih menyukai Situ Pengasinan sebagai kampung budaya Pengasinan. Jika ditelaah lebih dalam, pengelolaan yang dilakukan oleh Pokja sendiri sebenarnya lebih mengarah pada upaya konservasi dan memberi warna tersendiri dalam pengembangan wisata air Situ Pengasinan, sehingga Situ Pengasinan dapat dikatakan ekowisata dengan pengembangan yang ada tetap mempertahankan kondisi alam dan kearifan lokal masyarakat asli.

5.4 Gambaran Umum Wisatawan

Karakteristik wisatawan terbagi menjadi delapan karakter, yakni persentase jenis kelamin pengunjung, daerah asal pengunjung, tujuan kunjungan, aktivitas kegiatan, sebaran usia wisatawan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan jumlah pendapatan. Pada umumnya tidak ada trend atau pola yang tergambar dari karakteristik pengunjung kecuali hanya sebagian saja, seperti daerah asal pengunjung dan aktivitas kegiatan yang dipilih oleh pengunjung.

Tabel 8 Gambaran umum wisatawan

No. Kategori Wisatawan

Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Jenis Kelamin:

Laki-laki 64 64

Perempuan 36 36

2. Asal Wisatawan :

Depok 93 93

Luar Depok 7 7

3. Tujuan Kunjungan :

Tujuan utama 73 73

Persinggahan 27 27

4. Kegiatan wisata :

Memancing 40 40

Rekreasi keluarga 35 35

Menikmati pemandangan 25 25

5. Tingkat Usia :

15-19 tahun 13 13

20-24 tahun 10 10


(48)

Tabel 8 Gambaran umum wisatawan (lanjutan)

No. Kategori Wisatawan

Jumlah (orang) Persentase (%)

30-34 tahun 31 31

35-39 tahun 10 10

40-44 tahun 10 10

45-49 tahun 5 5

50-55 tahun 5 5

6. Tingkat Pendidikan Formal :

SMP 6 6

SMA 62 62

D3 7 7

S1 23 23

S2 2 2

7. Jenis Pekerjaan :

Karyawan swasta 33 33

Wiraswasta 9 9

PNS 4 4

Buruh 31 31

IRT 17 17

Pelajar 6 6

8. Tingkat Pendapatan (rupiah):

<500 ribu 22 22

500 ribu-1 juta 9 9

1-2 juta 33 33

2-3 juta 20 20

3-5 juta 9 9

>5juta 7 7

Sumber : Data primer 2013 (diolah)

Tabel 8 menunjukan 36% wisatawan berjenis kelamin perempuan dan 64% wisatawan adalah laki-laki. Wisatawan laki-laki biasanya memilih kegiatan memancing pada hari kerja atau libur, sedangkan wisatawan perempuan umumnya berwisata pada hari libur. Wisatawan Situ Pengasinan Depok didominasi oleh wisatawan berasal dari dalam Depok sebanyak 93% wisatawan dan 7% lainnya berasal dari luar Kota Depok. Hal ini disebabkan letak Situ Pengasinan yang tidak dilalui oleh angkutan umun dan masih kurangnya pengembangan atraksi wisata yang ditawarkan oleh Situ Pengasinan, sehingga kurang memberikan daya tarik yang lebih karena hanya dikunjungi oleh wisatawan domestik atau dalam kota saja. Daerah asal wisatawan juga mempengaruhi rendahnya kebocoran pada


(49)

pengeluaran wisatawan karena biaya transportasi yang dikeluarkan di luar lokasi wisata tidak besar.

Tidak semua wisatawan yang berkunjung ke Situ Pengasinan memiliki tujuan utama untuk berwisata, sebanyak 73% wisatawan menjadikan Situ Pengasinan sebagai tujuan utama melakukan wisata, sedangkan 27% lainnya hanya sebagai pesinggahan, dan umumnya tujuan utama yang dilakukan adalah mengunjungi rumah keluarga atau kerabat yang tinggal dekat situ. Sampel yang menjadikan wisata di situ menjadi tujuan utama sebagian besar didominasi oleh wisatawan yang melakukan kegiatan memancing. Sebanyak 40% mengatakan tujuan mereka datang ke Situ Pengasinan untuk memancing, 35% melakukan rekreasi keluarga, sedangkan 25% lainnya hanya menikmati pemandangan saja. Pada hari libur, aktivistas kegiatan wisata didominasi oleh rekreasi keluarga, sedangkan pada hari kerja didominasi oleh kegiatan wisata memancing. Kegiatan wisata menikmati pemandangan, didominasi oleh pasangan muda mudi yang menghabiskan waktunya berjalan-jalan di sekitar area situ pada sore hari.

Berdasarkan Sunyoto (2011), rentang usia responden terbagi ke dalam 6 kelas yaitu 15-19 tahun, 20-24 tahun, 25-39 tahun, 40-44 tahun, 45-49 tahun, dan 50- 55 tahun. Sebaran usia wisatawan paling banyak berada pada selang 30-34 tahun sebanyak 31% , sedangkan paling sedikit pada selang usia 50-55 tahun, dan 45-49 tahun sebanyak 5%.

Sebagian besar pendidikan terakhir wisatawan mencapai jenjang SMA sebesar 62% dan hanya 2% yang merupakan lulusan S2. Hal ini menunjukan responden memiliki pendidikan tinggi. Semakin tinggi pendidikan, semakin banyak ilmu yang diketahui, sehingga harapannya pengunjung semakin peduli terhadap lingkungan yang ada. Di luar responden lulusan SMA dan S2, terdapat 6% responden lulusan SMP.

Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi, diantaranya adalah pelajar, karyawan swasta, PNS, wiraswasta, ibu rumah tangga (IRT), dan buruh. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 33% wisatawan memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta dan 31% lainnya memiliki pekerjaan seperti buruh. Secara tidak langsung, jenis pekerjaan dan jumlah pendapatan mempengaruhi


(50)

jenis kegiatan yang mereka pilih di Situ Pengasinan. Ada kecenderungan sebagian besar buruh memilih aktivitas memancing atau menikmati pemandangan saja.

Berdasarkan keterangan dari responden, jumlah pendapatan responden per bulan berkisar 1 000 000- 3 000 000 rupiah dan kurang dari 5 000 000 rupiah. Melihat pendapatan responden tersebut, maka berwisata ke Situ Pengasinan menjadi tujuan wisata yang terjangkau. Jumlah pendapatan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dampak ekonomi masyarakat lokal. Ada kecenderungan jika pendapatan wisatawan besar, maka biaya yang dikeluarkan di area wisata juga besar, begitupun sebaliknya.


(51)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Kelembagaan

Kelembagaan Pokja Situ Pengasinan merupakan organisasi pengelolaan Situ Pengasinan yang memiliki struktur dan aturan main. Berdasarkan keterangan dari Pemerintah Depok, Pokja Situ Pengasinan merupakan Pokja yang aktif dan terbaik dalam pengelolaan dan manajemen sumber daya situ di Depok. Sesuai dengan parameter analisis kelembagaan yang telah dibuat sebelumnya, maka analisis kelembaga Pokja Situ Pengasinan dilihat mulai dari proses pembentukan kelembagaan, substansi aturan dan kinerja kelembagaan Pokja.

6.1.1 Proses Pembentukan Kelembagaan

Pembentukan Pokja Situ Pengasinan diinisiasi oleh pemerintah dengan keluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No.14/1998 tentang pembinaan pengelolaan situ di Jabodetabek dan diteruskan oleh keputusaan Walikota Kepala Daerah Tingkat II Depok Nomor 821.29/71/Kpts/Huk/1999 tentang pembentukan kelompok kerja pengendalian, pengamanan, dan pelestarian Situ. Pokja Situ memiliki dua tugas utama: Pertama, menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi pengelolaan Situ di Depok. Kedua, menyelenggarakan rehabilitasi, konservasi, penertiban, pengamanan, pemeliharaan, dan pemberdayaan situ secara tepat, berdaya guna, dan berhasil guna. Jika dianalisis, keputusaan yang dikeluarkan oleh Walikota bersifat top-down. Awalnya, kelembagaan Pokja ini berdiri tahun 2004, setahun setelah dilakukannya pengerukan yang dilakukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) dan Lembaga Pemerhati Lingkungan Hidup (Lempalhi) sebagai LSM yang menangani isu lingkungan. Lempalhi merasa bahwa situ yang sudah rusak harus ada pengelolaan yang jelas agar ekosistemnya terjaga secara berkelanjutan. Lempalhi bersama dengan pihak kelurahan menginisiasi proses berjalannya Pokja dengan melakukan pendampingan hingga tahun 2008. Di waktu yang bersamaan, Dinas Pariwisata masuk dan memberikan pencerahan pada masyarakat dengan mengembangkan Situ Pengasinan sebagai objek pariwisata dan memberikan bantuan berupa permainan air, sepeda air


(1)

Responden Transportasi (Rp) Konsumsi (Rp) Tiket (Rp) Parkir (Rp) Lainnya (Rp) TOTAL (Rp)

84 3 000 20 000 23 000

85 2 000 5 000 7 000

86 5 000 1 0 000 15 000

87 5 000 4 500 5 000 2000 16 500

88 2 000 70 000 8 000 5 000 80 000

89 5 000 5 000 2000 12 000

90 2 000 5 000 7 000

91 3 000 15000 4 000 2000 24 000

92 5 000 5 000 2000 12 000

93 5 000 5 000 2000 12 000

94 3 000 10 000 8 000 21 000

95 2 000 5 000 7 000

96 3 000 20 000 8 000 2000 33 000

97 5 000 50 000 13 000 2000 70 000

98 3 000 20 000 8 000 2000 33 000

99 2 000 7 000 13 000 22 000

100 2 000 5 000 7 000


(2)

Lampiran 8 Pendapatan dan Pengeluaran Unit Usaha di Situ Pengasinan Depok

Pendapatan Pengeluaran Pemeliharaan Tranportasi Operasional Pangan Retribusi

Responder Jenis Usaha (Rp) bahan baku (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)

1 asongan 600 000 10 000 8 000

2 asongan 4 000 000 210 000 20 000 8 000

3 asongan 3 180 000 600 000 50 000 8 000

4 asongan 2 650 000 100 000 40 000 8 000

5 asongan 1 800 000 800 000 50 000 8 000

6 asongan 1 780 000 500 000 20 000

7 asongan 657 000 220 000 8 000

8 asongan 480 000 160 000

9 kios 2 700 000 1 000 000

10 kios 6 660 000 4 000 000 30 000 80 000 8 000

11 kios 10 600 000 660 000 10 000 40 000 8 000

12 kios 10 600 000 660 000 10 000 40 000 8 000

13 kios 2 800 000 500 000 100 000 30 000

14 kios 4 800 000 1 500 000 25 000 25 000

15 kios 4 800 000 2 000 000 50 000

16 kios 3 200 000 1 500 000 50 000 100 000

17 permainan 1 000 000 100 000 15 000

18 Pokja 20 604 833 3 233 341 5 569 793

19 PARKIR 800 000 150 000 8 000

Total

Pendapatan 8 3711 833


(3)

Lampiran 9. Pendapatan dan Pengeluaran Tenaga Kerja

Responden Jenis Pendapatan (Rp) Pulsa

(Rp) Konsumsi (Rp)

Transportasi

(Rp) Total (Rp)

1 penjaga karcis 600 000 50 000 30 000 80 000

2 penjaga karcis 200 000 50 000 20 000 70 000

3 penjaga karcis 200 000 25 000 10 000 35 000

4 penjaga karcis 200 000 50 000 50 000

5 penjaga karcis 200 000 50 000 20 000 70 000

6 penjaga mainan 600 000 50 000 30 000 80 000

7 penjaga mainan 200 000 25 000 20000 45 000

8 penjaga mainan 200 000 25 000 15 000 40 000

9 penjaga mainan 200 000 25 000 20 000 45 000

10 penjaga mainan 200 000 25 000 20 000 45 000

11 penjaga mainan 200 000 50 000 20 000 70 000

12 Kebersihan 400 000 25 000 20 000 45 000

Total Pendapatan 3 400 000 225 000


(4)

Lampiran 10. Dokumentasi Situ Pengasinan

Air Situ Pengasinan masih bisa digunakan untuk

bermain air

Sempadan Situ dijadikan budidaya tanaman hias


(5)

Salah satu dukungan pemerintah untuk restocking ikan dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kondisi Situ Pengasinan sebelum dilakukan

penurapan

Kondisi Situ Pengasinan setelah dilakukan penurapan


(6)

99

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 September 1991 dari Ibu Budi Septianingtyas dan Ayah Sudjoko Hardjodisono. Penulis adalah putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri 4 Depok pada tahun 1997-2003, kemudian menempuh pendidikan di SMP Setia Negara Depok pada tahun 2003-2006. Tahun 2009 penulis lulus SMA Negeri 5 Depok dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Talenta Mandiri (UTMI) dan diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis juga pernah menerima beasiswa Prestasi Peningkatan Akademik (PPA) IPB pada tahun 2011-2013.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di organisasi intra maupun

ekstra kampus. Pengalaman organisasi intra kampus penulis aktif sebagai Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Muslim TPB pada tahun 2009-2012, anggota PSDM di Formasi FEM 2012 dan Sekretaris divisi SRD Reesa tahun

2010-2011. Adapun organisasi ekstra kampus yang penulis aktif di ikatan alumni

Salam5. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan baik sebagai panitia maupun sebagai peserta.