Sosial Budaya Adat Istiadat

62

BAB IV POSISI HARTA PUSAKO TINGGI

A. Peran Harta Pusako Tinggi

Harta pusako tinggi mempunyai peranan yang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau karena harta tersebut harta yang diturunkan secara turun temurun dari suatu kaum berdasarkan sistem garis keturunan ibu. Babirik birik tabang ka sasak Babirik- birik terbang ke sasak Dari sasak turun ka halaman Dari sasak turun ke halaman Dari niniek turun ka mamak Dari buyut turun ke mamak Dari mamak turun ka kamanakan Dari mamak turun ke kemenakan Harta pusako tinggi ini adalah warisan dari nenek moyang kaum pemegang harta tersebut yang mana pada dasarnya harta tersebut tidak untuk diperjual-belikan dan hanya boleh digadaikan dengan 4 empat syarat yang telah dipaparkan. Harta pusako itu adalah pemersatu dalam jurai, kaum, suku dan bagi masyarakat Minang pada umumnya, sekaligus untuk mengetahui nan sa asa sakaturunan 1 menurut jalur adat. Harta tersebut juga harta cadangan bagi suatu kaum, jika ada salah seorang anak kemenakan yang hidupnya agak susah maka uruslah harta tersebut. H. Abdul Malik Karim Abdullah yang melihat harta pusako tinggi ini itu sama keadaanya dengan wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan Umar bin Khattab atas harta yang didpatkannya di khaybar yang telah dibekukan 1 Satu asal satu keturunan 63 tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusako tinggi ini dengan harta wakaf tersebut walau masih ada perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan maka terhindarlah harta tersebut dari kelompok harta yang harus diwariskan menurut hukum faraidh; artinya tidak salah kalau padanya tidak berlaku hukum faraidh. Pendapat beliau ini diikuti oleh ulama lain diantaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli. 2 Mengenai tentang sistem pewarisan adat atas harta pusako tinggi ini harta tersebut dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada ditangan mamak rumah, bila mamak rumah sudah tiada maka beralih kepada kemenakan yang laki-laki. Bila perempuan tertua dirumah itu sudah tiada, maka peranan penguasaan dan pengurusan beralih kepada perempuan yang lebih muda. Dalam hal ini tidak ada peralihan harta. Penerusan peranan dalam sistem kewarisan adat adalah ibarat silih bergantinya kepengurusan suatu badan yayasan yang mengelola suatu bentuk harta. Kematian pengurus itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap status harta, karena yang mati hanya sekedar pengurus. Berbeda dengan pewarisan dalam hukum Islam yang berarti peralihan dari yang sudah tiada ke yang masih hidup. 2 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau. H. 278