28
Labuah. Rantau Luhak Agam, dari Pesisir Barat, sejak dari Pariaman sampai Aia Bangih, Lubuk Sikapiang dan Pasaman. Rantau Luhak Limo
Puluah Koto meliputi Bangkinang, Lambah Kampar Kiri, Kampar Kanan dan Rokan.
22
Dalam tambo Minangkabau daerah Luhak Nan Tigo inilah yang disebut dengan alam Minangkabau. Menurut tambo dan dipercayai orang
Minangkabau sampai sekarang, pada Luhak Nan Tigo inilah dahulu nenek moyang orang Minangkabau mula-mula mendirikan Koto, Dusun dan
Nagari
23
sampai menjadi Luhak Nan Tigo. Daerah Sumatera Barat yang berada antara Luhak Nan Tigo
dengan daerah Rantau, seperti daerah Sawahlunto Sijunjuang di sebelah Timur, daerah Solok
– Muara Labuah di sebelah Tenggara, daerah Sicincin
– Lubuk Alung di sebelah Barat dinamakan daerah peralihan dari daerah Minangkabau asli dengan daerah rantau. Penduduk di daerah itu
masih dapat mengkaji kembali asal-usulnya ke daerah Luhak Nan Tigo, yang nantinya bisa menjadi kebanggaan bagi mereka, lebih-lebih yang
22
Mochtar Naim, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gdjah Mada University Press, 1979, h. 14-15.
23
Koto berasal dari bahasa sankskerta kota, yang atinya benteng. Dulunya koto terletak di luar lingkungan nagari dan merupakan pemukiman yang berfungsi sebagai benteng pusat pemerintahan
nagari. Sedangkan Nagari merupakan pemukiman yang telah mempunyai alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna. Didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan penghulu
pucuk atau penghulu tua selaku pimpinan pemerintahan tertinggi. A. A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, h. 94
29
teryata asal usul mereka berasal dari golongan yang terpandang didaerah asalnya itu.
24
b. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Sistem hubungan atau sistem kekerabatan matrilineal yaitu kekerabatan yang bertumpu pada garis keturunan ibu, dewasa ini satu-satunya
hanya terdapat di kalangan etnis Minangkabau, sedangkan pada etnis-etnis atau suku-suku bangsa lain selain Minangkabau di Indonesia menggunakan
sistem kekerabatan Patrilineal. Seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Bugis dan sebagainya. Artinya asal-usul anak dikaji dari keturunan berdasarkan ayah.
25
Dasar untuk menetapkan kapan sistem matrilineal itu mulai dijalankan di Minangkabau tidak dapat ditentukan sejarahnya yang tepat, sebab tidak
ditemukannya bagaimana pembukuan atau konsep awal dari sistem awal tersebut, yang menyebabkan sulitnya membandingkan perubahan apa yang
telah terjadi sepanjang sistem tersebut dilaksanakan. Merujuk pada tambo alam Minangkabau, sistem matrilineal telah
bermula semenjak Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang dan Datuk Perpatih nan Sabatang pendiri keselarasan Bodi Caniago.
Kedua orang ini mempunyai ibu yang sama, yaitu Puti Indo Jalito, tetapi berlainan ayah. Kedua orang bijaksana ini memerintah kekerajaan
24
Amir MS, Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001 , h. 132
25
H. Chaidir N. Latief Dt. Bandaro dkk, Minangkabau yang Gelisah: Mencari Strategi Sosialisasi Pewarisan Nilai-Nilai Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi Muda, Bandung:
CV. Lubuk Agung, 2004 , h. 311
30
Minangkabau dengan dua sistem yang disebut “laras’’. Di dalam berbagai tatanan dan hukum kedua kelarasan tersebut tersebut mempunyai perbedaan,
tetapi basis tetap sama: tanah sabingkah lah bauntuak, rumpuik sahalai lah babagi, malu nan alun kababagi. Atau dikatakan juga: malu urang koto
piliang, malu urang bodi caniago.
26
Sistem ini dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang, bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem
adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu atau ninik mamak,
dalam kaitan bermamak sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan faktor
penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya
terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungan yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah
kaum, suku atau klan.
c. Sistem Kemasyarakatan Kaum dan Pesukuan
Suku adalah unit utama dari struktural social masyarakat Minangkabau, betapa pentingnya arti sebuah suku bagi kehidupan masyarakat
Minangkabau sehingga ia di tempatkan menjadi suatu identitas yang mutlak,
26
A. A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Grafiti Press, 1984, h. 54
31
penentu bagi eksistensi apakah seseorang dianggap orang Minang atau tidak. Artinya seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minang, jika dia tidak
mempunyai suku. Suku bagi orang Minang lebih bersifat eksogamis perkawinan di luar
suku, kecuali bila tidak dapat ditelusuri lagi hubungan keluarga antara dua buah suku yang senama, tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Lantaran
orang dari suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, maka suku bisa berarti geneologis dan territorial. Berbeda dengan kampung, tanpa
dikaitkan ke salah satu suku tertentu, maka kampung hanyalah bersifat territorial semata. Masing-masing suku biasanya terdiri dari beberapa paruik
yang dikepalai oleh seorang kapalo paruik atau tungganai, sedangkan paruik dibagi lagi kedalam jurai, dan jurai kedalam samande.
27
2. Pergumulan Adat dan Agama di Minangkabau
Sejarah telah mencatat bahwa dalam kurun waktu yang cukup panjang, Minangkabau telah tersusun rapi di bawah kekuasaan penghulu dengan
pemerintahan adatnya. Masyarakat Minangkabau sudah ada sejak 5.000 tahun yang lalu lebih kurang 3000 tahun sebelum masehi. Sejak itu pula masyarakat
Minangkabau telah beradat. Akan tetapi sangat sulit untuk mengungkap kepastian munculnya Minangkabau ini. Hal ini disebabkan suramnya sejarah Minangkabau
dan tidak ada satu tulisan pun yang mengindikasikan kemunculan Minangkabau.
27
Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1979, h. 18