Faktor-faktor dan Penyebab Begesernya Hukum Waris Adat Minangkabau

66 musyawarah mufakat yang terjadi antara orang-orang yang berada di kaum yang sasuku dan saparuik tersebut. Ketika harta tersebut telah berganti kedudukan menjadi milik si penerima hibah maka si penerima hibah boleh memperjual-belikan harta tersebut. Atau dengan kata lain, ketika status harta pusako tinggi ini telah berganti dan telah dialihkan kepada pihak ketiga maka pihak ketiga boleh untuk memperjual-belikannya karena harta tersebut telah menjadi hak milik dari pihak ketiga tersebut. 3. Dalam suatu kasus yang pernah terjadi di Nagari Taluak IV Suku ini, pernah suatu kali dalam suatu keturunan kaum yang sasuku saparuik ini yang mana generasi perempuan atau pihak perempuan yang akan menerima harta pusako tinggi ini tidak ada lagi dengan kata lain terputus di generasi yang laki-laki. Dalam hal ini, harta pusako tinggi ini bisa jatuh ke tangan anak dari kaum laki-laki yang telah berbeda sukunya terhadap kaum yang aslinya. Lalu ketika si anak dari anak laki-laki ini hendak memperjual-belikan harta pusako tinggi ini boleh saja ketika ada kesepakatan dari musyawarah mufakat yang telah terjadi, walaupun ia berbeda suku dengan suku bapaknya, karena sistem kekerabatan di Minangkabau adalah menurut garis keturunan ibu bukan bapak Matrilineal. 4. Harta pusako tinggi juga boleh diperjual-belikan ketika di kaum tersebut memang terjadi krisis yang memaksa harta tersebut untuk diperjual-belikan. Maksudnya, didalam tubuh kaum yang sasuku dan saparuik tersebut tidak ada 67 lagi atau tidak ada lagi harta yang bisa menjamin kelangsungan hidup kaum tersebut, maka harta tersebut boleh untuk diperjual belikan. 5. Kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat yang sasuku saparuik Harta pusako tinggi boleh diperjual belikan ketika adanya kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat yang sasuku saparuik. Karena pada dasarnya adat itu adalah kesepakatan. Jadi ketika ada kesepakatan dari seluruh kaum yang ada di suku tersebut maka harta tersebut boleh untuk duperjual-belikan. Adat adalah hasil dari kesepakatan, yang bersendikan kepada syara’. 4 Sejalan dengan itu, Inyiak Syekh Imam Muzakkir menyebutkan bahwa harta pusako tinggi pada awalnya tidak boleh untuk diperjual-belikan karena harta pusako tinggi ini adalah harta yang tidak dikenal awal kepemilikannya yang diwariskan menurut jalur keturunan ibu. Harta tersebut tidak boleh untuk diperjual-belikan sebab jika dikembalikan kepada hukum Islam “Milkut Tam” KejelasanAsal usul Harta tersebut tidak jelas. Namun jika ada alasan lain yang menyebabkan harta pusako tinggi ini bisa dan harus diperjual-belikan maka boleh untuk diperjual-belikan “Ar-ridha Sayyidul Hukmi”. Mengenai apa saja faktor yang boleh untuk diperjual-belikannya harta pusako tinggi tersebut, Inyiak Syekh Imam Muzakkir sependapat dengan pendapat dengan faktor dan alasan yang dikemukakan oleh Inyiak H. Rusdi Burhan St. Bandaro Sati. 5 4 Wawancara pribadi dengan Inyiak H. Rusdi Burhan St. Bandaro Sati 5 Wawancara pribadi dengan Inyiak Syekh Imam Muzakkir 68 Kemudian H. Tasrif St. Zainuddin B.A Selaku Saksi penghibahan dan jual beli harta pusako tinggi di Nagari Taluak IV Suku menyebutkan : “Generasi yang terputus adalah salah satu diantara banyak alasan untuk bisa diperjual-belikannya harta pusako tinggi tersebut, baik terputusnya generasi dipihak perempuan maupun dipihak laki-laki. Dan jikalau kita menemukan kasus seperti hal tersebut maka pihak penerima warisan harta pusako tinggi tersebut berhak untuk memperjual belikan harta tersebut atau mungkin juga harta tersebut juga berhak untuk dihibahkan ke mesjid, nagari ataupun yang mendatangkan manfaat terhadap si pewaris. Itu kembali kepada si pewaris ingin memperjual-belikan harta tersebut atau menghibahkannya, tapi apapun yang akan dilakukan si pewaris itu adalah hak dia sebagai pewaris. Namun ada juga pewaris yang mana harta tersebut sebahagian diperjual - belikan dan sebahagian lagi dihibahkan.”

C. Analisa Penulis

Falsafah hidup orang Minangkabau yaitu adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Melihat persoalan harta pusako tinggi di dalam adat Minangkabau sebenarnya mengenai status harta tersebut telah terjadi perbedaan pendapat sejak dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, malah beliau mengarang sebuah kitab berjudul “Ad Doi’ al Masmu’ fil Raddi’ala Tawarisi al’ikwati wa Awadi al Akawati ma’a Wujud al usuli wa al furu’i” yang artinya dakwah yang didengar tentang penolakan atas pewarisan pewarisan saudara dan 69 anak saudara di samping ada orang tua dan anak. Kitab itu ditulis di Mekkah pada akhir abad ke XIX. 6 Namun pendapat beliau berbeda dengan pendapat H. Abdul Malik Karim Abdullah HAMKA yang mana melihat harta pusako dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencaharian. Beliau berpendapat bahwa harta pusako itu sama kedudukannnya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan Umar Bin Khattab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tassarufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusako dengan harta wakaf tersebut walaupun masih ada perbedaannya adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan seperti pewarisan yang berlaku hukum Faraidh atasnya. Ahli waris dalam pewarisan menurut adat Minangkabau ini, yaitu turun dari mamak ke kemenakan atau dari ibu turun ke anak perempuan tertua, tanpa melupakan pewarisan ini bersifat kolektif dan satu hal lagi yang diwariskan bukanlah harta itu sendiri namun hanya pengawasan dan pengelolaannya saja. Dalam kajian usul fiqh pun terdapat kajian tentang hukum adat yang terpadu dalam materi al u’rf. Dalam bukunya “ilmu ushul fiqh”, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan pengertian al- ‘urf adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalankan orang berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan kebiasaan dan dinamakan adat. 7 6 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau, H. 275 7 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Dar Al- kautyatiyah, 1959, h. 89 70 Al- „urf dapat dibedakan ke dalam dua bentuk yaitu al- ‘urf sahih yang berarti adat kebiasaan di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat islam dan membawa mashlahat bagi umat, dan al- ‘urf fasid yaitu kebiasaan di masyarakat yang bertentangan dengan syariat islam yamng menimbulkan mafsadat kerusakan bagi umat. 8 Dapat dipetik kesimpulan dari defenisi defenisi di atas bahwa persyaratan hukum adat boleh atau bisa dijalankan bila memenuhi syarat komulatif yaitu: 1. Tidak bertentangan dengan syariat 2. Membawa mashlahat 3. Tidak menimbulkan mafsadat kerusakan 4. Tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib dan sebaliknya. Dikatakan kewarisan adat Minangkabau tidak menyalahi syariat islam, karena apa yang ditentukan dalam hal waris adat Minangkabau tidak menyalahi syariat Islam, karena apa yang ditentukan dalam hal waris adat Minangkabau bukanlah sesuatu yang menyalahi syariat, menghalalkan yang haram ataupun mengharmkan yang halal. Ketika dikaji tujuan nenek moyang masyarakat Minangkabau dalam hal mempusakoi warisan kepada cucunya yaitu untuk kelangsungan dan memelihara kehidupan mereka di kemudian hari. Jadi ketentuan kewarisan itu mendatangkan mashlahat bagi umat. 8 Muhammad Abu Zahra, Ushul Al- Fiqh, Kairo : Dar- Fikr, t, th, h. 216-217