Kedatangan Islam Sebagai Penyempurna Adat di Minangkabau

35 Pepatah ini mengajarkan bahwa salah satu sendi atau pondasi dari adat Minangkabau adalah prrinsip “alua jo patuik”. Prinsip alur dan patut ini dijadikan oleh orang Minang sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya adat mengajarkan: Manarah manuruik alua Meratakan menurut alur Nan baukua na dikarek Yang diukur yang dipotong Nan babarih nan bapaek Yang digaris yang dipahat Baru pada abad XVI 33 setelah Islam masuk ke Minangkabau dan kerajaan diperintah oleh sultan Alif raja Minangkabau pertama yang menganut Islam pada tahun 1580. Adat Minangkabau semakin menemukan identitasnya. Hal ini ditandai dengan berubahnya struktur kerajaan yang semakin nyata fungsinya, sebelumnya kerajaan hanyalah sebagai simbol – simbol, yang memegang kekuasaan adalah penghulu masing-masing suku, dari studi Imran Manan tentang birokrasi pemerintahan Minangkabau menyimpulkan bahwa semenjak abad XVI awal Islam berpengaruh di Minangkabau dan pemerintahan kerajaan selalu dipimpin oleh “ Rajo Nan Tigo Selo”, yaitu: 1 Yang di pertuan Rajo Alam berkedudukan di pusat pemerintahan Pagaruyuang, Raja Alam adalah representasi kekuasaan tertinggi yang menyatukan adat dan agama. 2 Raja Adat di Buo adalah otoritas tertinggi dibidang adat. 33 Sebagian pendapat mengatakan bahwa Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke- 7 dari daerah timur melalui pedagang-pedagang dari timur tengah 36 3 Raja Ibadat berpusat si Sumpur Kudus, pemegang puncak tertinggi di bidang agama. Strukur kepemimpinan ini memperlihatkan bahwa masuknya Islam member warna bagi sistem Pemerintahan dengan masuknya Raja Ibadat ke dalam struktural kekuasaan, dari struktural ini pulalah kemudian barangkali muncul istilah kepemimpinan tali tigo sapilin, tungku tigo sajarang, yaitu penghulu, alim ulama dan cadiak pandai, yang menggambarkan bahwa di Minangkabau aturan yang berlaku adalah aturan adat, agama dan pemerintahan. Ini terbukti dari bertambahnya syarat fisik pendirian nagari seperti yang tertuang dalam tambo Minangkabau yang dikutip oleh A. A Navis: Babalai bamusajik Punya balai dan mesjid Basuku banagari Punya suku dan nagari Bajorong bakampuang Punya jorong dan kampuang Balabuah batapian Punya jalan dan tepian Bahuma baladang Punya rumah dan bendang Bahalaman bapamenan Punya halaman dan lapangan Bapandam bapusaro Punya pendam dan pusara Babalai bamusajik masksudnya mempunyai balai adat dan balairung 34 sebagai tempat mengatur pemerintahan nagari, dan mesjid tempat beribadah. Semenjak berkembangnya Islam terjadilah proses asimilasi sedemikian rupa sehingga pada akhirnya terjadi hubungan timbal balik yang harmonis diantara 34 Balai datau balairung didirikan pada suatu lapangan luas. Lapangan itu dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat, seperti mengadakan keramaian dan tempat berjualan yang diadakan sekali seminggu. Dalam kaitan ini arti kata ke balai sama dengan ke pekan, yaitu pergi ke pasar, yang lazim diadakan sekali seminggu. 37 keduanya. Pada tahap ini, hubungan antara adat dan agama diibaratkan seperti aur dan tebing, saling dukung dan menguatkan. Jadi dengan uraian tambo ini dapat dipahami bahwa setelah Islam ke Minangkabau, Islam langsung dijadikan sebagai ideologi dan pegangan hidup bagi masyarakat Minangkabau. Pada tahap berikutnya, yaitu setelah perang paderi, hubungan antara adat Minangkabau dan agama islam dipertegas dengan ungkapan yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai. Perang paderi merupakan aia gadang yang merubah tapian tampek mandi masyarakat Minangkabau dengan menempatkan syariat Islam sebagai sumber ajaran membimbing dan mengatur semua segi kehidupan. 35 . Sampai saat ini secara formal prinsip adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah masih menjadi pegangan dan acauan badi masyarkat Minangkabau. Dalam konsep ini, diyakini dan diterima oleh masyarakat Minang bahwa adat dalam semua pengertian, harus bersumber dan tunduk kepada syariat Islam yang berdasarkan al- Qur’an dan sunnah rasul. Segala keputusan adat tidak boleh lebih dari pada menifestasi dari ajaran Islam didalam kehidupan sehari-hari. Prinsip inilah yang menyebabkan adat lakang ndak lapeh, tak lapuak dek hujan tidak akan lapuk oleh hujan dan tak akan lekang oleh panas. 35 Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat Lintas Historis Islam di Indonesia Jakarta: Yayasan Obor, 1987, h. 119 38 Keabadian itu bukan karena statis atau baku, melainkan karena kemampuannya menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubaah, sebagaimana alam itupun senantiasa berubah pula, tetapi hakikatnya akan tetap abadi.

c. Pertemuan antara Adat dan Agama di Minangkabau

Sebagian orang berpendapat bahwa adat dan agama di Minangkabau itu bertentangan. Namun kalau dikaji lebih dalam, pada dasarnya agama Islam datang untuk menyelesaikan masalah yang belum tertuang dalam adat. Semenjak kedatangan Islam barulah orang Minang mengenal ghaib, kehidupan setelah mati, dan lain sebagainya. Prof. Dr. Nasroen menegaskan: “ Bahwa adat dan agama tidaklah bertentangan, didalam kitab suci al- Qur’an banyak ayat – ayat yang menjelaskan bahwa tuhan banyak memberikan perumpamaan – perumpamaan kepada alam supaya manusia dapat berfikir. Isyarat ini di tangkap oleh nenek moyang orang Minangkabau dan menjadikan alam sebagai dasar dalam menyusun falsafahnya. Islam merupakan rahmat bagi Minangkabau”. 36 Sejak masuknya Islam, maka mulailah terjadi pergumulan antara adat dan agama di Ranah Minang. Sehingga melahirkan kesaksian adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Untuk sampai kepada kesaksian ini ada beberapa fase yang dilalui: 1 Fase pertama: Rumah basandi batu, adat basandi alua patuik. Artinya: dasar falsafah Minang pada fase ini murni dari alam dengan landasan rasio dan akal. 36 M. Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Jakarta: Pasaman, 1957, h. 22 39 2 Fase kedua: Adat basandi syara’, syara’ basandi basandi adat, bak aua jo tabiang, sanda manyanda kaduonyo. Artinya: pada fase ini Islam sudah mulai berpengaruh tetapi baru setengah – setengah. 3 Fase ketiga: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Artinya: pada fase ini antara adat dan agama tidak ada lagi perbedaan. Orang Minangkabau telah menyadari bahwa Islam hadir untuk mereka sebagai rahmat dari tuhan. Menurut penulis, fase – fase perubahan ini mengindikasikan terjadinya pergumulan antara ketentuan adat dan agama dalam mengatur masyarakat Minangkabau. Pergumulan itu merupakan suatu proses penyesuaian antara adat dan agama dan bukan suatu proses saling menyingkirkan. Karena kedua aturan tersebut sama-sama dianggap baik dan berguna oelh masyarakat Minangkabau.

d. Beberapa Faktor yang Menyebabkan Islam diterima di Minangkabau

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Islam dapat diterima di lingkungan adat Minangkabau, di antaranya adalah: 1 Islam datang dengan cara damai 2 Adanya kesamaan tujuan antara adat dan agama untuk menjadikan manusia sebagai orang yang berbudi, bijaksana dan bertaqwa 3 Islam tidak mengenal kasta-kasta, hal ini sama dengan pandangan orang Minang yang tidak membedakan manusia atau sama lain, tagak samo tinggi, duduak samo randah tegak sama tinggi, duduk sama rendah. Dengan masuknya Islam, maka semua ini tinggal menyesuaikan, kerna hukum alam itu ternyata adalah sunatullah, karena tidak satupun yang harus 40 berbeda ddengan hukum alam terkembang jadi guru pra Islam dengan sunatullah itu.

e. Pembagian Harta Waris dalam Adat Minangkabau

Sebelum penulis masuk kepada praktek pembagian harta waris yang dilaksanakan adat Minangkabau, penulis tegaskan kembali bahwa garis keturunan orang Minang menurut garis ibu, maka harta warisnya di wariskan kepada kemenakannya menurut garis keturunan ibu: Dari niniak ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan dari nenek moyang turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan. Pengertian nenek moyang, sudah tentu berdasarkan sistem matrilineal itu, yaitu mamak dari mamak, mamak merupakan saudara laki-laki ibu. Ada beberapa aspek yang menjadi pedoman dalam pembagian harta waris di Minangkabau: 1 Pengaturan Harta Pusako Harta pusako dalam terminology Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan wujud secara material seperti sawah, lading, rumah gadang, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi secara turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda yaitu sako dan pusako. 37 37 H. Masoed Ab idin bin Zainal Abidin Jabbar “ Sistem Kekeluargaan Matrilineal”, artikel diakses pada tanggal 22 Mei 2011 dari http: www.cimbuak.com