Aturan Lokal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Pulau Panggang

berdampak pula pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut. Tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan aturan tersebut juga berarti pengabaian terhadap pengetahuan lokal local knowledge masyarakat setempat mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir.

5.1.2 Aturan Lokal

Interaksi antara manusia dengan alam yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama akan menghasilkan bermacam pengetahuan yang berkaitan dengan cara hidup manusia dengan alamnya. Hal tersebut juga berlaku pada masyarakat Pulau Panggang yang selama ini menggantungkan kehidupan mereka pada kondisi laut. Sikap tunduk dan selaras pada alam merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat pesisir. Sehingga umumnya sistem pengetahuan yang mereka miliki berasal dari informasi yang disampaikan secara turun temurun ataupun pengalaman empiris. Berdasarkan pengetahuan tersebut, terbentuklah beberapa aturan yang tercipta dari masyarakat Pulau Panggang. Terbentuknya aturan tersebut dipengaruhi pula oleh terjadinya beberapa perubahan pada kegiatan perikanan yang dilaksanakan oleh nelayan setempat. Aturan lokal yang terdapat di Pulau Panggang yang berkaitan dengan kegiatan perikanan yang nelayan setempat lakukan dan berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya pesisir antara lain: pertama , adanya larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut pada hari Jumat. Mayoritas penduduk yang beragama Islam menjadikan aturan ini melekat pada kegiatan perikanan yang masyarakat jalankan. Menurut masyarakat setempat hari Jumat adalah hari yang dikhususkan untuk beribadah. Sehingga pada hari tersebut, nelayan yang biasanya pergi melaut pada pagi hari hingga sore hari akan menggunakan waktunya untuk memperbaiki alat-alat yang digunakan pada kegiatan perikanan yang mereka lakukan. Kebiasaan untuk tidak melaut pada hari Jumat ini juga berdampak baik bagi lingkungan, karena memberikan sedikit waktu bagi pemulihan kondisi alam. Kedua , adanya larangan yang ditegakkan oleh nelayan setempat untuk tidak menggunakan potasium dan bom pada kegiatan perikanan yang mereka lakukan. Larangan ini dibentuk atas kesadaran masyarakat setempat akan bahaya penggunaan potasium dan bom bagi keberlangsungan ekologi laut. Seperti yang diungkapkan oleh AS 50 tahun seorang nelayan setempat, “Udah haram pake portas potasium sekarang. Bahaya buat laut, karang pada rusak, anak ikan pada mati. Makan apa anak cucu kita nanti kalo ikan di laut habis? ”. Selain kesadaran masyarakat yang tinggi akan bahaya penggunaan potasium, banyak masyarakat setempat yang beranggapan bahwa solusi terbaik untuk menghilangkan penggunaan potasium adalah dengan menghentikan produksi potasium itu sendiri. Seperti ungkapan SN 47 tahun, “Kalo mau ngilangin portas potasium, tutup aja pabriknya. Kalo masih diproduksi terus, nelayan juga mau gak mau make portas ”. Penggunaan potasium memang sempat marak dilakukan oleh nelayan setempat pada kurun waktu 1980an. Dalam kurun waktu tersebut, potasium digunakan oleh mayoritas nelayan setempat. Pada periode 1990an, potasium mulai dikurangi penggunaannya karena sosialisasi akan bahaya penggunaan potasium mulai gencar dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan nelayan setempat umumnya tidak menggunakan bom pada kegiatan perikanan tangkap yang mereka lakukan. Penggunaan bom di wilayah perairan setempat dilakukan oleh nelayan pendatang yang berasal dari daerah lain. Namun saat ini, nelayan pendatang yang menggunakan bom pada kegiatan perikanan tangkap sudah jarang ditemukan pada wilayah perairan Kepulauan Seribu. Tabel 12. Bentuk-Bentuk Aturan Lokal Masyarakat Pulau Panggang dan Tujuannya Aturan Lokal Tujuan Larangan melaut pada hari Jumat. Waktu khusus yang digunakan untuk beribadah. Larangan penggunaan potasium dan bom pada kegiatan perikanan. Perlindungan terhadap ekosistem laut. Pemetaan wilayah untuk lokasi keramba budidaya dalam proses Kerapihan wilayah dan kesadaran terhadap keterbatasan daya dukung lingkungan. Mulai berkembangnya budidaya ikan kerapu dengan sarana budidaya berupa keramba apung juga menimbulkan kesadaran masyarakat setempat untuk melakukan pengelolaan dalam penempatan keramba budidaya tersebut Tabel 12. Saat ini, belum ada aturan mengenai penempatan keramba budidaya. Keramba- keramba apung yang ada ditempatkan secara bebas oleh nelayan. Penempatan keramba yang tidak teratur tersebut membuat wilayah perairan Pulau Panggang terlihat kumuh dan tidak tertata. Masyarakat setempat memiliki ide untuk membuat pemetaan keramba yang telah ada dan membuat peraturan terkait lokasi dan penempatan keramba yang diperbolehkan. Hal tersebut didasari oleh kesadaran warga akan daya dukung laut yang memiliki keterbatasan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang nelayan budidaya RY 45 tahun, “Kalo terlalu banyak keramba di satu tempat aja, air laut jadi tidak bagus untuk ikan, makanya harus ada aturan untuk lokasi keramba ”. Pembuatan aturan ini masih merupakan inisiatif dari sebagian besar masyarakat setempat, namun masyarakat telah berencana untuk meminta bantuan pemerintah dan lembaga penelitian untuk kemudian melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana kondisi air laut di wilayah perairan setempat terkait dengan penggunaan keramba apung pada usaha perikanan budidaya yang mereka jalankan.

5.2 Relasi antara Rezim Pemerintahan dan Rezim Masyarakat pada