melakukan pengelolaan dalam penempatan keramba budidaya tersebut Tabel 12. Saat ini, belum ada aturan mengenai penempatan keramba budidaya. Keramba-
keramba apung yang ada ditempatkan secara bebas oleh nelayan. Penempatan keramba yang tidak teratur tersebut membuat wilayah perairan Pulau Panggang
terlihat kumuh dan tidak tertata. Masyarakat setempat memiliki ide untuk membuat pemetaan keramba yang telah ada dan membuat peraturan terkait lokasi
dan penempatan keramba yang diperbolehkan. Hal tersebut didasari oleh kesadaran warga akan daya dukung laut yang
memiliki keterbatasan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang nelayan budidaya RY 45 tahun,
“Kalo terlalu banyak keramba di satu tempat aja, air laut jadi tidak bagus untuk ikan, makanya harus ada aturan untuk lokasi keramba
”.
Pembuatan aturan ini masih merupakan inisiatif dari sebagian besar masyarakat setempat, namun masyarakat telah berencana untuk meminta bantuan
pemerintah dan lembaga penelitian untuk kemudian melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana kondisi air laut di wilayah perairan setempat terkait
dengan penggunaan keramba apung pada usaha perikanan budidaya yang mereka jalankan.
5.2 Relasi antara Rezim Pemerintahan dan Rezim Masyarakat pada
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Pulau Panggang
Terdapat sebuah keterkaitan antara peraturan yang berasal dari pemerintah dan peraturan lokal yang berasal dari masyarakat setempat dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir Pulau Panggang. Aturan dari pemerintah yang menetapkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai kawasan taman nasional didasari oleh
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162Kpts-II1995 tanggal 21 Maret 1995 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu. Penetapan
kawasan Kepulauan Seribu sebagai taman nasional didukung dengan adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya serta Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil UU PWP-PPK.
Pada UU PWP-PPK Pasal 35 terdapat aturan mengenai larangan penggunaan alat tangkap berbahaya. Aturan ini sejalan dengan adanya aturan
lokal yang melarang penggunaan potasium pada kegiatan perikanan nelayan Pulau Panggang. Serta sejalan pula dengan UU No. 5 Tahun 1990 pasal 5 mengenai
kegiatan konservasi alam melalui pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
14
Gambar 5. Hubungan antara kedua aturan yang berasal dari pemerintah dan masyarakat ini dapat saling mendukung dalam upaya
pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan.
Gambar 5. Relasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Relasi antara rezim pemerintah dan masyarakat dapat pula menghasilkan sebuah hubungan yang negatif jika terdapat aturan yang saling meniadakan satu
dengan lainnya. Untuk menghindari hal tersebut, pemerintah sebagai pembuat
14
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Pasal 5 berbunyi: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Aturan
Lokal UU
No. 27 Tahun 2007
UU No. 5 Tahun
1990 Pemegang
Hak Dasar
Peraturan
Otoritas Isi
Peraturan Pemerintah
Pemerintah Masyarakat
Larangan Penggunaan
Potasium
dan
Larangan
Melaut
pada
hari Jumat.
Pengelolaan
Wilayah
Pesisir diantaranya
meliputi zonasi dan
larangan
penggunaan
alat
tangkap berbahaya.
Konservasi Sumberdaya
Alam
Hayati
dan Ekosistemnya.
Peraturan
Formal
Peraturan Formal Kebijakan
Lokal
Pemerintah Pemerintah
Masyarakat
aturan formal sebaiknya menyertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir.
BAB VI POLA HUBUNGAN PATRON-KLIEN
6.1 Pola Hubungan Patron-Klien pada Nelayan Tangkap
Mata pencaharian sebagai nelayan tangkap masih menjadi pilihan utama masyarakat Pulau Panggang. Melimpahnya sumberdaya perikanan yang terdapat
di Kepulauan Seribu membuat masyarakat sulit untuk berpindah ke profesi yang lain. Namun demikian, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, terjadi penurunan
hasil tangkapan yang cukup signifikan. Meskipun hal tersebut berpengaruh besar pada keadaan ekonomi masyarakat setempat, masyarakat masih sulit untuk beralih
ke profesi lain karena mata pencaharian sebagai nelayan tangkap telah membudaya pada kehidupan sosial ekonomi mereka.
Usaha perikanan tangkap telah mengalami perkembangan sejak Pulau Panggang menjadi wilayah pemukiman penduduk. Pada awalnya, nelayan
setempat masih menggunakan pancing sederhana, bubu, jaring tangsi dan perahu layar. Wilayah jangkauan nelayan untuk melakukan penangkapan ikan juga
umumnya belum terlalu jauh, karena ikan-ikan masih dapat dengan mudah dijumpai di sekitar Pulau Panggang. Meningkatnya jumlah penduduk di wilayah
tersebut dan tingginya tingkat polusi baik yang berasal dari daerah lain ataupun limbah rumah tangga pulau, menjadi salah satu penyebab dalam menurunnya
persediaan ikan di lautan. Seperti yang dikemukakan oleh JN 64 tahun seorang tokoh masyarakat
di wilayah tersebut,
“Jaman dulu mah beda, tinggal mancing di pinggir juga sudah dapat banyak ikan, kita gak perlu melaut jauh-jauh. Tidak seperti sekarang
”.
Pada kurun waktu 1970-an perahu motor dengan kapasitas kecil mulai digunakan oleh beberapa nelayan setempat. Penggunaan perahu motor ini
membuat nelayan-nelayan setempat dapat menjangkau wilayah tangkapan yang lebih jauh. Pada kurun waktu tersebut, tidak terdapat perubahan yang cukup
signifikan dalam penggunaan alat tangkap oleh nelayan. Hingga pada periode