Maka stratifikasi sosial yang terdapat di Pulau Panggang dapat dibagi menjadi, nelayan pemilik jaring, tengkulak ikan hias, tengkulak budidaya, nelayan
budidaya, nelayan pekerja kongsi, nelayan tangkap ikan hias dan nelayan bubu Gambar 4. Stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Pulau Panggang ini
dapat berubah. Hal ini dikarenakan sistem lapisan sosial yang terdapat pada masyarakat tersebut merupakan sistem lapisan sosial yang bersifat terbuka. Secara
terbuka, sistem lapisan seperti ini memberi kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berusaha menjadi anggota dalam lapisan yang mereka kehendaki.
4.5 Kondisi Ekonomi
4.5.1 Mata Pencaharian
Penduduk di Pulau Panggang mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, baik sebagai nelayan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
Berdasarkan Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang tahun 2009 Tabel 5, dapat dilihat bahwa 75,26 persen penduduk yang bekerja memiliki mata
pencaharian sebagai nelayan. Hal tersebut disebabkan oleh masih melimpahnya sumberdaya alam laut yang tersedia di wilayah tersebut.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Mata Pencaharian
Pekerjaan Jenis Kelamin
Jumlah Persentase
Laki-laki Perempuan
dalam
Karyawan swastaPemerintahABRI
297 51
348 15.21
Pedagang 95
19 114
4.98 Nelayan
1722 -
1722 75.26
Pensiunan 19
5 24
1.05 Pertukangan
22 -
22 0.96
Lain-lain 58
- 58
2.53 Jumlah
2288 100
Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang, 2009
Pada mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tersebut, sebagian besar diantaranya merupakan nelayan perikanan tangkap dan
sisanya merupakan nelayan budidaya. Nelayan perikanan tangkap terdiri atas
beberapa jenis yaitu nelayan jaring muroami kongsi, nelayan bubu, dan nelayan pancing ikan hias.
Kondisi perikanan budidaya di Pulau Panggang pada saat ini cenderung meningkat dibandingkan sepuluh tahun terakhir. Budidaya perikanan yang pernah
marak di pulau ini salah satunya adalah budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut mulai dikembangkan sejak tahun 1982. Kepulauan Seribu bahkan menjadi
salah satu pemasok utama rumput laut di Indonesia. Namun sekitar tahun 2000 budidaya rumput laut tersebut mengalami keterpurukan. Penyakit menyerang
tanaman rumput laut yang dikenal penduduk setempat dengan sebutan ‘ice-ice’
8
dimana rumput laut yang dibudidaya berubah warna menjadi keputihan dan mati. Masyarakat menduga penyakit tersebut disebabkan oleh menurunnya kualitas air
laut karena meningkatnya pencemaran dan perubahan kondisi alam itu sendiri. Setelah peristiwa tersebut terjadi, budidaya rumput laut perlahan-lahan
ditinggalkan oleh nelayan dan nelayan kembali menangkap ikan di laut. Sekitar tahun 2005 masyarakat mulai mengenal budidaya kerapu. Ikan kerapu yang
merupakan komoditas unggulan dibudidayakan pada awalnya dengan teknik yang relatif sederhana. Berkembangnya budidaya kerapu di Pulau Panggang
dilatarbelakangi pula oleh program Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengalihkan profesi nelayan tangkap menjadi nelayan budidaya. Program tersebut
dibuat mengingat semakin berkurangnya kuantitas ikan di laut lepas yang berpengaruh langsung terhadap menurunnya pendapatan nelayan tangkap.
Sehingga perikanan budidaya yang dianggap sebagai usaha perikanan yang minim resiko dan ketidakpastian diupayakan sebagai mata pencaharian utama nelayan
saat ini. Kondisi perikanan budidaya kerapu khususnya di Pulau Panggang, belum
dapat dikatakan stabil. Sebagian besar nelayan budidaya kerapu belum dapat melakukan panen secara berkala. Panen dilakukan selama setahun sekali, sehingga
masyarakat setempat menyebut usaha budidaya kerapu sebagai ‘tabungan lebaran’
. Hal ini dikarenakan waktu penyebaran bibit kerapu dilakukan biasanya
8
Ice-ice merupakan penyakit rumput laut atau algae yang disebabkan oleh perubahan lingkungan dan bakteri seperti pseudoalteromonas gracilis, pseudomonas spp dan vibrio spp. Pemicu
utamanya adalah perubahan lingkungan yang mendadak. Munculnya penyakit ice-ice ini ditandai dengan timbulnya bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning
pucat dan akhirnya akan menjadi putih.
pada bulan puasa, sehingga panen pun akan dilakukan pada bulan puasa berikutnya dimana hasil panen yang cukup besar tersebut akan digunakan sebagai
‘modal lebaran’. Belum berkalanya panen yang dilakukan oleh nelayan budidaya kerapu
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurangnya pengetahuan nelayan mengenai teknik budidaya dan kurangnya modal serta ketersediaan bibit ikan
kerapu. Telah banyak program pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk membantu nelayan dalam upaya mengembangkan budidaya kerapu tersebut,
namun rendahnya keberlanjutan dalam keberlangsungan program menjadi permasalahan utama dalam upaya tersebut. Sebagian masyarakat beranggapan,
program yang telah ada diberikan tanpa mengupayakan sisi pengembangan masyarakat di Pulau Panggang. Maka yang terjadi kemudian adalah berhentinya
program pengembangan usaha budidaya setelah pihak pemberi bantuan tidak lagi memberikan bantuan baik berupa sarana prasarana maupun pendampingan.
4.5.2 Pendapatan Penduduk