60 petani penggarap tidak memiliki lahan sendiri sehingga mereka hanya menggarap
lahan orang lain. Sistem pengelolaan dalam penggarapan lahan antara lain: 1.
Maro, sistem pengelolaan pertanian dengan membagi dua hasil panen setelah dipotong modal.
2. Ngepak, sistem pengelolaan pertanian 5:1 yang artinya bila mendapat hasil
lima ikat, maka satu ikat untuk petani penggarap sedangkan empat ikat untuk petani pemilik lahan. Penggarap hanya bermodalkan tenaga kerja
saja sehingga pemilik lahan harus menyediakan alat, benih, pupuk, dan input lainnya. Sistem ini yang paling sering dilakukan oleh masyarakat
kasepuhan. 3.
Gade, sistem pengelolahan pertanian dengan pembayaran jaminan sesuai dengan kesepakatan. Lahan yang digadai dapat diambil kembali oleh
pemilik lahan setelah jaminan tersebut telah dikembalikan. Dalam menggarap lahan pertanian, kedudukan laki-laki dan perempuan seimbang,
saling bekerjasama, dan ada bagian yang harus dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan, misalnya dalam hal ngaseuk melobangi tanah, tugas laki-laki
melubangi tanahnya, selanjutnya perempuan yang memasukkan padinya. Jenis padi yang ditanam merupakan padi lokal yang biasa disebut pare
ageung . Jenis padi tersebut memiliki perbedaan dengan jenis padi varietas pada
umumnya. Perbedaan yang mencolok pada usia tanam, tinggi tanaman, dan bulir- bulir padi yang memiliki bulu halus berwarna hitam. Pemerintah telah mencoba
untuk mengganti padi lokal dengan padi verietas unggulan tetapi masyarakat menolak dengan alasan padi lokal lebih baik dan cocok dengan kondisi iklim dan
topografi Desa Sinar Resmi. Padi lokal memiliki beberapa jenis yang disesuaikan
61 dengan jenis lahan yang digunakan. Berikut adalah tabel jenis padi dan jenis lahan
yang digunakan:
Tabel 11. Jenis Padi Lokal dan Jenis Lahan yang Digunakan Jenis Lahan
Jenis Padi Lokal
Huma Pare Batu, Jamudin, Loyor, dan Gadog.
Sawah Tadah Hujan Pare Hawara, Cere Buni, dan Sadam.
Sawah Setengah Irigasi
Sri Kuning, Sri Mahi, Raja Denok, Raja Wesi, Para Nemol, Angsana, Para Terong, Tampeu, Pare Jambu,
Pare Peteu, Cere Layung, Cere Gelas, dan Cere Kawat.
Sumber: Tokoh Adat Kasepuhan Sinar Resmi, 2011
6.2.3.3 Aturan Kelembagaan Pangan Pascapanen Padi
Terdapat aturan dalam prosesi panen padi di masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Setelah dipanen, padi harus dijemur dengan cara digantung disekitar areal
lahan tanam menggunakan bambu yang disusun yang biasa disebut nglantay. Padi yang dipanen tersebut dipotong menggunakan ani-ani yang hanya memotong
bagian ujung bulir-bulir padi. Setelah dipotong, padi diikat sebesar satu genggam ikatan tangan lalu dijemur. Seteleh kering padi diikat kembali dengan aturan dua
ikat padi yang basah menjadi satu ikat padi yang kering. Padi yang kering tersebut diangkut dengan sebilah bambu dan dimasukan dalam leuit rumahtangga. Aturan
dalam memasuki leuit adalah tidak diperkenankan masuk leuit yang bersamaan dengan hari lahir yang punya leuit tersebut.
Masyarakat kasepuhan memiliki aturan tidak boleh menjaual padi karena mereka menganggap seperti menjual ibu sendiri. Salah satu bentuk pemberian
penghargaan terhadap padi maka dibangun tempat khusus untuk menyimpannya yang disebut leuit. Keberadaan leuit memiliki makna yang penting dalam menjaga
stok pangan masing-masing rumahtangga. Masing-masing rumahtangga setidaknya memiliki satu leuit yang memiliki kasapitas 400 pocong gabah kering.
62 Leuit
merupakan bagunan yang khusus digunakan sebagai tempat menyimpan padi. Seperti halnya bangunan lain yang ada di kasepuhan, leuit pun
memiliki aturan tersendiri. Aturan pendirian leuit mengikuti pola hitungan yang biasa digunakan oleh masyarakat adat. Hitungan tersebut dimulai dari tanggal
pertama yang disebut kuta yang dikhususkan untuk tanggal membangun kandang kambing atau kerbau. Tanggal kedua disebut kusang yang dikhususkan untuk
membangun kandang ayam. Tanggal ketiga disebut gelar yang ditujukan sebagai tanggal membangun masjid atau fasilitas publik. Tanggal keempat disebut naga
yang digunakan untuk membangun leuit. Tanggal kelima disebut jaya yang digunakan untuk membangun rumah. Arah leuit dikhususkan membujur dari
selatan ke utara dengan salah satu ujungnya terdapat satu pintu. Masing-masing pojok bangunan terdapat daun-daun tertentu yang dimaknai sebagai penjaga leuit
dari hama dan pencuri. Hasil penen padi selain disimpan pada masing-masing leuit rumahtangga,
masyarakat juga memberikan hasil panen ke leuit si jimat kasepuhan dengan aturan 100 : 2 yang berarti hasil panen 100 ikat memberikan ke leuit si jimat
sebanyak 2 ikat. Leuit si jimat digunakan sebagai cadangan pangan bagi masyarakat kasepuhan saat musim paceklik dan sebagai cadangan dalam berbagai
kegiatan kasepuhan seperti saren taun. Padi sebagai makanan pokok masyarakat disimbolkan sebagai Dewi Sri
ibu. Sesuai dengan aturan adat, padi tidak boleh dijual kecuali masih dalam bentuk pocong. Menurut filosofi masyarakat kasepuhan, padi itu seperti seorang
ibu sehingga bila dijual sama dengan menjual ibu sendiri. Kegiatan menumbuk