Aturan Kelembagaan Pangan Sebelum Masa Tanam Padi Aturan Kelembagaan Pangan dalam Menanam Padi

58

6.2.3.1 Aturan Kelembagaan Pangan Sebelum Masa Tanam Padi

Aturan dalam memulai waktu musim tanam ditentukan berdasarkan filosofi bapak langit dan guru mangsa. Fisosofi bapak langit menunjukkan adanya pengetahuan masyarakat yang didasarkan pada peredaran rasi bintang di langit sebagai acuan dalam mengelola lahan garapan. Sedangkan filosofi guru mangsa untuk mengetahui waktu yang tepat dalam bertani dengan melihat kondisi alam sekitar. Rasi bintang yang dijadikan sebagai acuan terdiri dari rasi bintang kerti dan rasi bintang kidang. Berikut adalah beberapa posisi rasi bintang yang menentukan kegiatan dalam pertanian: 1. Tanggal kerti kana beusi, tanggal kidang turun kujang, yang berarti masyarakat harus mempersiapkan alat-alat pertanian seperti cangkul, sabit, garpu, dan lain sebagainya. 2. Kidang ngrangsang ti wetan, kerti ngrangsang ti kulon atau kidang-kerti paharep-harep , artinya pertanda musim panas yang lama sehingga waktu yang tepat untuk membakar ranting dan daun di huma. 3. Kerti mudun matang mencrang di tengah langit, artinya saat menanam padi di huma sudah tiba. 4. Kidang dan kerti ka kulon, yang berarti musim hujan akan segera tiba. 5. Kidang medang turun kukang, artinya pertanda adanya hama dan penyakit yang akan menyerang tanaman padi. Segala bentuk kegiatan pertanian dari masa persiapan hingga pascapanen dilakukan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan. Kegiatan pertanian dapat dimulai setelah mendapat ijin dari Abah yang diikuti dengan upacara ritual seperti membakar kemenyan dan memanjatkan doa. Awal tanam padi dilakukan secara 59 serentak bersama-sama agar waktu panen juga dilaksanakan secara bersamaan. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk kekompakan dan kekeluargaan yang erat antar anggota masyarakat kasepuhan.

6.2.3.2 Aturan Kelembagaan Pangan dalam Menanam Padi

Jenis lahan pertanian yang terdapat di masyarakat kasepuhan terdiri dari tiga jenis lahan yaitu: lahan kering atau huma, sawah tadah hujan, dan sawah setengah irigasi. Huma merupakan sistem pertanian yang secara turun-temurun diwariskan oleh leluhur mereka. Lahan yang digunakan dalam huma yaitu lahan kering yang biasanya cara penanaman padi berada disela-sela tanaman hutan. Sedangkan lahan sawah tadah hujan dan setengah irigasi yang membedakan hanya asal sumber airnya. Sawah tadah hujan sumber air berasal dari air hujan sedangkan sawah setengah irigasi sumber airnya dari mata air dengan irigasi yang masih sedarhana. Sawah tadah hujan lebih mendominasi dibandingkan sawah setengah irigasi karena tidak ada infrastruktur irigasi yang memadahi. Lahan pertanian masyarakat desa sinar resmi sebagian besar berada di areal hutan yang berstatus taman nasional yang sebelumnya dikelola oleh perhutani. Luas kepemilikan lahan masyarakat sulit diukur secara universal karena mereka mempunyai ukuran sendiri yang biasa disebut patok. Pola kepemilikan lahan masyarakat berasal dari orang tua yang diwariskan kepada anak-anaknya. Antara laki-laki dan perempuan akan mendapat porsi yang sama. Lahan untuk areal pertanian biasanya digarap sendiri. Terdapat dua tipe petani dalam status kepemilikan lahan yaitu petani pemilik dan petani penggarap. Petani pemilik lahan biasanya mengelola lahannya sendiri atau dikelola orang lain. Sedangkan 60 petani penggarap tidak memiliki lahan sendiri sehingga mereka hanya menggarap lahan orang lain. Sistem pengelolaan dalam penggarapan lahan antara lain: 1. Maro, sistem pengelolaan pertanian dengan membagi dua hasil panen setelah dipotong modal. 2. Ngepak, sistem pengelolaan pertanian 5:1 yang artinya bila mendapat hasil lima ikat, maka satu ikat untuk petani penggarap sedangkan empat ikat untuk petani pemilik lahan. Penggarap hanya bermodalkan tenaga kerja saja sehingga pemilik lahan harus menyediakan alat, benih, pupuk, dan input lainnya. Sistem ini yang paling sering dilakukan oleh masyarakat kasepuhan. 3. Gade, sistem pengelolahan pertanian dengan pembayaran jaminan sesuai dengan kesepakatan. Lahan yang digadai dapat diambil kembali oleh pemilik lahan setelah jaminan tersebut telah dikembalikan. Dalam menggarap lahan pertanian, kedudukan laki-laki dan perempuan seimbang, saling bekerjasama, dan ada bagian yang harus dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan, misalnya dalam hal ngaseuk melobangi tanah, tugas laki-laki melubangi tanahnya, selanjutnya perempuan yang memasukkan padinya. Jenis padi yang ditanam merupakan padi lokal yang biasa disebut pare ageung . Jenis padi tersebut memiliki perbedaan dengan jenis padi varietas pada umumnya. Perbedaan yang mencolok pada usia tanam, tinggi tanaman, dan bulir- bulir padi yang memiliki bulu halus berwarna hitam. Pemerintah telah mencoba untuk mengganti padi lokal dengan padi verietas unggulan tetapi masyarakat menolak dengan alasan padi lokal lebih baik dan cocok dengan kondisi iklim dan topografi Desa Sinar Resmi. Padi lokal memiliki beberapa jenis yang disesuaikan 61 dengan jenis lahan yang digunakan. Berikut adalah tabel jenis padi dan jenis lahan yang digunakan: Tabel 11. Jenis Padi Lokal dan Jenis Lahan yang Digunakan Jenis Lahan Jenis Padi Lokal Huma Pare Batu, Jamudin, Loyor, dan Gadog. Sawah Tadah Hujan Pare Hawara, Cere Buni, dan Sadam. Sawah Setengah Irigasi Sri Kuning, Sri Mahi, Raja Denok, Raja Wesi, Para Nemol, Angsana, Para Terong, Tampeu, Pare Jambu, Pare Peteu, Cere Layung, Cere Gelas, dan Cere Kawat. Sumber: Tokoh Adat Kasepuhan Sinar Resmi, 2011

6.2.3.3 Aturan Kelembagaan Pangan Pascapanen Padi