Aturan Akses Terhadap Sumberdaya dan Penyelesaian Konflik

55 4. Waktu pengambilan kayu dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang baik. Masyarakat kasepuhan memiliki tanggal terlarang untuk mengambil kayu yaitu tanggal 1 bulan Safar sampai tanggal 15 bulan Maulid. 5. Menghitung permukaan pintu keluar dan pintu masuk didasarkan pada hari lahir. Masyarakat kasepuhan juga memiliki aturan dalam berpakaian khususnya dalam kegiatan tertentu seperti upacara ritual dan saren taun. Terdapat perbedaan tata cara berpakaian antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki memakai baju koko dan ikat kepala yang terbuat dari kain batik sedangkan perempuan memakai baju kebaya dan kain sarung. Meskipun masyarakat kasepuhan beragama Islam tetapi mereka masih menganut sistem keparcayaan terhadap lelulur. Misalnya, dalam sistem pertanian masyarakat menggunakan ritual atau upacara adat dari persiapan penanaman hingga perayaan hasil panen atau saren taun. Menurut masyarakat kasepuhan, padi dimaknai sebagai Dewi Sri atau Nyi Pohaci ibu sehingga terdapat tata cara khusus sebagai bentuk penghormatan. Masyarakat dilarang untuk menjual beras tetapi mereka diperbolehkan untuk menerima beras. Padi pun harus ditumbuk menggunakan lesung dan memasaknya harus menggunakan kayu bakar.

6.2.2 Aturan Akses Terhadap Sumberdaya dan Penyelesaian Konflik

Kasepuhan Sinar Resmi merupakan salah satu bagian dari kesatuan adat banten kidul yang mendiami wilayah dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS. Kampung sinar resmi dikelilingi oleh hutan sekunder yang sangat kontras dengan topografi yang berbukit-bukit. Sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu sumberdaya air, hutan, dan lahan. 56 Masyarakat kasepuhan memandang kawasan Gunung Halimun sebagai wilayah adat mereka. Oleh karenanya mereka membagi hutan dalam tiga zonasi yaitu 1 hutan titipan, 2 hutan tutupan, dan 3 hutan garapan. Masyarakat menggarap lahan pertanian pada lahan hutan garapan. Apabila lahan garapan dianggap sudah tidak subur maka mereka akan menggarap lahan hutan titipan dengan ijin abah. Kawasan Gunung Halimun dulunya merupakan kawasan yang pernah dikuasai oleh Belanda dan masyarakat sudah menjadi bagian didalamnya. Ketika tahun 1902, muncul sistem tanam paksa yang diciptakan oleh Belanda. Masyarakat dipaksa menanam tanaman monokultur tetapi masyarakat menolak. Oleh karenanya masyarakat membuka lahan hutan untuk pertanian. Hutan tersebut yang diidentifikasi saat ini sebagai lahan leluhur masyarakat. Pada tahun 1978, kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai Cagar Alam Halimun yang dikelola oleh Perhutani. Pengelolaan kawasan dilakukan Perhutani bekerjasama dengan masyarakat kasepuhan. Kesepakatan antara kedua pihak adalah dalam hal pancang yang merupakan batas lahan garapan yang dapat dikelola masyarakat. Areal yang berada di dalam pancang dapat dimanfaatkan untuk menanam, menggarap, memelihara, memanfaatkan, dan membuat pemukiman. Sejak tahun 1992 ketika TNGH pengelolaannya dibawah TNGGP, aturan mengenai pancang sedikit demi sedikit mulai menghilang. Bahkan setelah dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 175Kpts-II2003 mengenai perluasan TNGHS dari 40.000 ha menjadi 113.375 ha menyebabkan akses masyarakat semakin sulit. Penetapan kawasan TNGHS merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Kawasan tersebut dulunya dikelola 57 oleh Perum Perhutani dan sekarang menjadi kawasan konservasi yang dikelola Balai TNGHS di bawah Departemen Kehutanan. Namun adanya perbedaan sistem zonasi pengelolaan membuat kedua belah pihak berbeda pendapat. Menurut keterangan dari salah satu tokoh kasepuhan bahwa masyarakat kasepuhan sejak dahulu telah melindungi kawasan Gunung Halimun. Adanya hubungan saling ketergantungan antara masyarakat kasepuhan dengan alam sekitar membuat mereka menyadari akan pentingnya keberadaan alam tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi ketegangan antara masyarakat dengan pengelola TNGHS, tahun 2006 pihak TNGHS telah mengadakan mediasi dengan melibathan Pemda dan AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan dan tindak lanjut yang jelas.

6.2.3 Aturan dalam Kelembagaan Pangan yang Berdampak Terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan