nilainya dari 0-1. Model yang baik akan mendekati nilai nol, sebaliknya jika mendekati satu model dianggap kurang dapat menjelaskan data yang sebenarnya.
Nilai U selalu berada diantara 0-1. Nilai U=0 menunjukkan bahwa nilai pendugaan model sempurna, jika U=1 menunjukkan nilai pendugaan tidak
sempurna. Ketika U=1 hasil simulasi selalu bernilai nol meskipun nilai aktualnya tidak nol. Evaluasi terhadap daya prediksi suatu model model validation sangat
diperlukan untuk mengetahui kualitas model dalam memprediksi perilaku data aktual yang digunakan dalam suatu model. Menurut Pindyck dan Rubinfeld
1998, formula RMSPE dan U-Theil yaitu:
=
+
, -
+
, .
+
, .
1 ,23
4 = 5
∑ +
, -
+
, .
+
, .
1 ,23
5
∑ 7+
, -
8
1 ,23
+ 5
∑ 7+
, .
8
1 ,23
4.3.5 Simulasi Kebijakan
Analisis simulasi digunakan untuk mengukur dampak perubahan variabel eksogen. Tujuan simulasi setidaknya ada tiga yaitu: 1 pengujian dan evaluasi,
2 analisis kebijakan historis, dan 3 analisis peramalan Pindyck dan Rubinfield 1998.
Simulasi digunakan untuk mempelajari perilaku model bila kebijakan diterapkan dalam suatu periode pengamatan Kumenaung 2002. Periode simulasi
dalam penelitian ini adalah periode historis yaitu dari tahun 2004-2011. Rentang simulasi historis bertujuan untuk mengevaluasi dampak kebijakan policy review
terhadap produksi kedelai domestik dan volume kedelai impor. Tujuan simulasi kebijakan adalah melihat dan mencari alternatif kebijakan
yang efektif untuk mendorong peningkatan produksi kedelai nasional dan
menurunkan volume impor kedelai yang diharapkan bisa menghilangkan ketergantungan terhadap kedelai impor dalam jangka panjang.
Simulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah simulasi penetapan tarif impor bea masuk. Kebijakan tarif bea masuk yang ideal adalah suatu
tingkat tarif yang dapat memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri sekaligus melindungi konsumen dari tingginya harga barang serta memberikan
dukungan bagi peningkatan penerimaan negara. Berdasarkan UU No. 17 tahun 2006, dalam pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa barang impor dipungut bea
masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya 40 persen dari nilai pabean untuk penghitungan bea masuk. Ada beberapa hal yang perlu memperhatikan dalam
menentukan besarnya tarif impor diantaranya: 1 mengutamakan kepentingan ekonomi nasional dengan melihat implikasi kebijakan tarif bea masuk terhadap
seluruh stakeholder, 2 mematuhi komitmen perdagangan nasional, regional dan internasional di bidang tarif bea masuk, dan 3 memperhatikan penerimaan
negara dengan mengupayakan tarif terendah lebih besar dari 0 persen. Skenario untuk simulasi historis adalah:
1. Penetapan tarif impor kedelai sebesar 10 persen 2. Penetapan tarif impor kedelai sebesar 15 persen
Simulasi : Penetapan tarif impor kedelai
1. Nilai tarif impor yang paling sering diberlakukan selama 29 tahun terakhir adalah sebesar 10 persen sehingga pada simulasi yang pertama dilakukan
berdasarkan pada modus tarif impor selama 29 tahun terakhir. Simulasi pertama menjelaskan dampak perubahan variabel endogen jika tarif impor ditetapkan 10
persen. 2. Batas maksimal penetapan tarif impor menurut UU no. 17 tahun 2006
sebesar 40 persen, namun Indonesia selama bergabung dengan World Trade Organization
WTO dan menandatangani kerjasama perdagangan regional maupun global belum pernah menetapkan tarif sebesar 40 persen. Tarif tertinggi
untuk komoditas kedelai setelah Indonesia bergabung dengan WTO dan menandatangani LOI yaitu sebesar 15 persen pada tahun 2003. Simulasi kedua
pada penelitian ini menetapkan tarif impor sebesar 15 persen.
V. KERAGAAN MODEL EKONOMI KEDELAI DI
INDONESIA
5.1 Produksi Kedelai Nasional
Pada era orde baru pengembangan kedelai di Indonesia dilakukan dengan berbagai usaha di antaranya peningkatan luas lahan dan produktivitas kedelai
melalui program INMAS Intensifikasi Masal dan BIMAS Bimbingan Masal. Peningkatan produksi kedelai dimulai dari strategi Pembangunan Lima Tahun
Pelita yang dicanangkan presiden Soeharto. Periode Pelita I 1969-1973 peningkatan produksi kedelai masih kecil karena program utama pembangunan
sektor pertanian pada waktu itu diprioritaskan pada peningkatan produksi beras nasional. Pelita II 1974-1978 dan Pelita III 1979-1983 pembangunan sektor
pertanian masih terfokus kepada peningkatan beras untuk mencapai swasembada beras. Tabel 2 menunjukkan pencapaian program peningkatan produksi kedelai
domestik Indonesia tahun 1979-1998. Luas area panen kedelai pada Pelita III sebesar 0.64 juta ha dengan produksi sebesar 0.54 juta ton. Hal tersebut terjadi
karena pemerintah masih memfokuskan pada swasembada beras. Pada pelita IV 1984-1988 baru dilaksanakan program untuk kedelai yaitu
OPSUS Operasi Khusus, INMUM Intensifikasi Umum, dan INSUS Intensifikasi Khusus. Melalui program OPSUS, INMUM, dan INSUS terlihat
produksi kedelai mengalami kenaikan yang cukup pesat menjadi 1.27 juta ton dan luas panen meningkat menjadi 1.17 juta ha.
Tabel 2 Pencapaian program peningkatan produksi kedelai domestik Indonesia pada masa Orde Baru 1979-1998
Program Luas Area Panen Ha
Produksi Ton
PELITA III 1979-1983 640.000
536.000 PELITA IV 1984-1988
1.170.000 1.270.000
PELITA V 1989-1993 1.460.000
1.310.000 PELITA VI 1994-1998
1.090.000 1.300.000
Sumber: Amang et al., 1996 diolah
Tabel 2 menunjukan pada Pelita V 1989-1993 produksi dan luas panen kedelai terus meningkat, bahkan pada tahun 1992 luas area panen dan produksi
kedelai merupakan yang terbesar dengan luas area panen 1.66 juta ha sedangkan produksi mencapai 1.87 ton. Kondisi ini tidak berlangsung lama karena pada 1993
hingga memasuki Pelita VI luas panen dan produksi kembali menurun masing- masing menjadi 1.46 juta ha dan 1.31 juta ton. Pelita VI 1994-1998 luas area
panen dan produksi kedelai terus menurun, pemerintah menciptakan program baru yaitu Gema Palagung Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi, Kedelai, dan
Jagung pada tahun 1997. Program Gema Palagung ternyata belum cukup untuk mengatasi penurunan produksi kedelai. Luas area panen menjadi 1.09 juta ha
sedangkan produksi berkurang hingga 1.30 juta ton. Pasca era orde baru produksi kedelai nasional terus turun seiring dengan
luas panen yang menurun, Tabel 3 menunjukkan perkembangan luas area panen dan produksi kedelai hingga tahun 2012.
Tabel 3 Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi kedelai di Indonesia tahun 2005-2011
Tahun Luas panen
ribu ha Produktivitas
tonha Produksi
ribu ton
2005 621.54
1.30 808.35
2006 580.53
1.28 747.61
2007 459.12
1.29 592.53
2008 590.96
1.31 775.71
2009 722.79
1.34 974.51
2010 660.82
1.37 907.03
2011 622.25
1.36 851.29
Rata-rata : 608.28
1.32 808.14
Sumber: Pusdatin, Kementan 2012
Berdasarkan Tabel 3 luas area panen, produktivitas dan produksi kedelai mengalami fluktuasi. Rata-rata luas panen kedelai sebesar 608.28 ribu ha, angka
ini turun sebesar 44 persen dibandingkan saat orde baru. Pasca orde baru luas area panen terendah terjadi pada tahun 2007 dengan luas 459.12 ribu ha. Rata-rata
produktivitas kedelai sebesar 1.32 tonha, meskipun berfluktuatif tetapi nilai pertumbuhan produktivitas kedelai kecil. Rendahnya teknologi budidaya kedelai
dan keterbatasan input produksi diduga sebagai salah satu alasan produktivitas kedelai tidak terlalu signifikan. Rata-rata produksi kedelai sebesar 808.14 ribu
ton. Produksi kedelai terendah terjadi pada tahun 2007, hal ini sejalan dengan luas panen pada saat itu juga luas panen terendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
produksi kedelai sangat dipengaruhi oleh luas panen kedelai. Tahun 2008 pemerintah meluncurkan program Bangkit Kedelai melalui
Program dan Aksi Peningkatan Produksi Kedelai Nasional. Program ini