Kebijakan Impor Kedelai Indonesia

pembangunan semesta berencana mencanangkan peningkatan produksi kedelai pada tahun 1964. Impor kedelai meningkat mengikuti kenaikan deret hitung mulai tahun 1975. Tahun 1975 sampai 1980 impor kedelai masih sekitar 150.000 tontahun hingga 280.000 tontahun. Tahun 1991 hingga 2000 impor kedelai meningkat menjadi 900.000 tontahun hingga 1.5 juta tontahun, sedangkan pada tahun 2011 impor kedelai sebesar 2.12 juta ton. Tabel 5 menunjukkan perkembangan kebijakan tarif impor kedelai Indonesia dari tahun 1980-an, Berdasarkan Tabel 5 kebijakan tarif impor kedelai berlaku dengan adanya Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.503 dan 504KpXII1982, Keppres Nomor 103, Keppres Nomor 50 tahun 1995, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.230MPKep71997, tujuan impor adalah untuk pengendalian stok, harga dan mutu yang tugas tersebut dilakukan oleh BULOG Badan Urusan Logistik. BULOG menyalurkan kedelai impor ke KOPTI Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia, KPKD Kelompok Pedagang Kacang Kedelai dan idustri pengelola pangan lainnya. Era reformasi pemerintah melakukan kesepakatan dengan IMF Internasional Monetary Fund dalam upaya menangani krisis ekonomi pada tahun 1998, salah satunya dengan penandatanganan Letter of Intent LOI. LOI ini kemudian menjadi acuan pemerintah untuk menghapus monopoli impor kedelai oleh BULOG dan penurunan tarif impor pangan melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.406MPPKepII97 dan Keputusan Menteri Keuangan No.444KMK.011998. Kebijakan perdagangan kedelai impor dilakukan dengan pemberlakuan tarif impor. Keputusan Menteri Keuangan No. 444KMK.011998 menerangkan tarif bea masuk kedelai impor dihilangkan menjadi 0 persen. Keputusan Menteri Keuangan No.557KMK.012003 menentukan tarif bea masuk kedelai berubah menjadi 15 persen, pada tahun 2006 diperbaharui lagi menjadi 10 persen. Tahun 2008 terjadi perubahan harga kedelai di dalam negeri mencapai lebih 100 persen sehingga untuk mengantisipasi kekurangan stok kedelai dalam negeri, peningkatan konsumsi dan tingginya harga maka pemerintah kembali menghapus tarif bea masuk kedelai impor menjadi 0 persen. Tabel 5. Perkembangan kebijakan pemerintah terkait kedelai Indonesia tahun 1982-2013 Peraturan Isi Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.503 dan 504KpXII1982 Tujuan impor untuk pengendalian stok, harga dan mutu komoditas yang tugas tersebut dilakukan oleh Badan Urusan Logistik BULOG. Keppres Nomor 103 dan Keppres Nomor 50 tahun 1995 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.230MPKep71997 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.406MPPKepII97 Menghapus monopoli impor kedelai oleh BULOG. Keputusan Menteri Keuangan No.444KMK.011998 Tarif bea masuk kedelai impor dihilangkan menjadi 0 persen. Keputusan Menteri Keuangan No.557KMK.012003 Menentukan tarif bea masuk kedelai berubah menjadi 15 persen. Perpres No 32 tahun 2013 Menugaskan Perusahaan Umum Perum BULOG untuk melakukan pengamanan harga dan penyaluran kedelai. Permendag No 23M-DAGPER52013 Program stabilisasi harga kedelai. Permendag No 24M-DAGPER52013 Ketentuan impor kedelai. Permendag No 25M-DAGPER52013 Penetapan harga pembelian kedelai petani. Permendag No 45M-DAGPER82013 Merevisi Permendag No 23 dan mencabut Permendag No 24. Sumber: Facino, 2012, diolah Tahun 2013 terjadi pergolakan harga kedelai sehingga pemerintah melalui Perpres No. 32 tahun 2013 menugaskan Perusahaan Umum Perum BULOG untuk melakukan pengamanan harga dan penyaluran kedelai. Pemerintah juga mengeluarkan Permendag No. 23M-DAGPER52013 tentang program stabilisasi harga kedelai, Permendag No. 24M-DAGPER52013 tentang ketentuan impor dan Permendag No. 25M-DAGPER52013 tentang penetapan harga pembelian kedelai petani. Pergolakan harga yang terus terjadi membuat Kementerian Perdagangan merevisi Permendag No. 23 dan mencabut Permendag No. 24 kemudian diganti dengan Permendag No. 45M-DAGPER82013, dalam Permendag No. 45 tidak ada lagi ketentuan yang mengharuskan kepemilikan dokumen Importir Terdaftar IT untuk mengimpor kedelai seperti yang disebutkan pada Permendag No. 24.

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KERAGAAN KEDELAI DI INDONESIA

6.1 Hasil Pendugaan Model

Model yang baik harus dapat memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrik Koutsoyiannis 1977. Berdasarkan kriteria ekonomi, semua variabel penjelas telah menunjukkan tanda parameter estimasi yang sesuai dengan harapan hipotesis dan logis dari sudut pandang ekonomi. Berdasarkan kriteria statistik, nilai koefisien determinasi R 2 secara umum cukup tinggi. Sebagian besar persamaan struktural 85 persen mempunyai nilai R 2 di atas 70 persen. Hal ini menunjukkan sebagian besar variabel penjelas mampu menjelaskan dengan baik lebih dari 70 persen perilaku variabel endogen. Model ekonometrika dalam penelitian ini berupa model simultan dinamis yang dibangun dari tujuh persamaan struktural dan satu persamaan identitas. Hasil identifikasi model dengan metode order condition dan rank condition menunjukkan bahwa seluruh persamaan dalam model overidentified. Hasil pendugaan model keragaan ekonomi kedelai dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil pendugaan model keragaan kedelai di Indonesia 1983-2011 Variabel Endogen F-Value ProbF R 2 R 2- Adj DW Dh Luas Area Panen 40.89 0.0001 0.836 0.815 1.89 0.21 Produktivitas 206.14 0.0001 0.962 0.957 2.43 -1.19 Harga Kedelai Petani 121.47 0.0001 0.954 0.946 1.81 - Konsumsi Kedelai 7.05 0.0015 0.468 0.402 2.21 -0.40 Harga Kedelai Eceran 67.57 0.0001 0.894 0.880 1.38 - Impor Kedelai 13.75 0.0001 0.705 0.653 2.28 -1.18 Harga Kedelai Impor 235.81 0.0001 0.976 0.972 1.87 -0.27 Hasil analisis statistik dengan uji F menunjukkan seluruh persamaan struktural nyata pada taraf α = 0.05. Hal ini berarti secara bersama-sama setiap peubah eksogen dalam persamaan berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Berdasarkan kriteria statistik nilai statistik Durbin-Watson dan Durbin-h, 85 persen persamaan menunjukkan tidak ada masalah serial korelasi. Persamaan yang terdapat serial korelasi yaitu persamaan harga kedelai eceran Dw=1.38. Menurut Pindyck dan Rubinfeld 1998, masalah korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan tidak menimbulkan bias parameter regresi. Hasil uji heterokedastisitas menunjukkan model dalam persamaan tidak mengalami heterokedastisitas pada taraf α sebesar lima persen. Hasil uji multicollinearity menunjukkan bahwa seluruh variabel penjelas yang terdapat dalam masing-masing persamaan struktural memiliki nilai variance inflation factor VIF lebih kecil dari 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun tidak memiliki masalah multicollinearity. Hasil uji multikolinearitas dan heteroskedastisitas dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan kriteria tersebut, dengan mempertimbangkan periode pengamatan yang cukup panjang maka hasil pendugaan model cukup representatif dalam menggambarkan fenomena ekonomi kedelai Indonesia. Hasil estimasi model keragaan ekonomi kedelai secara lengkap disajikan pada Lampiran 3.

6.2 Luas Area Panen

Berdasarkan analisis dari model yang digunakan, luas area panen dipengaruhi oleh luas area panen sebelumnya LAP t-1 . Perubahan harga riil kedelai di tingkat petani PTP-PTP t-1 dan harga riil jagung tahun sebelumnya PJG t-1 tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hasil pendugaan peubah yang mempengaruhi luas area panen kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil pendugaan luas area panen kedelai di Indonesia 1983-2011 Peubah Koefisien Dugaan Elastisitas Prob |t| Nama Peubah SR LR Int 159355.0 - - 0.2332 Intersep PTP t -PTP t-1 32.94302 - - 0.5150 Perubahan harga riil Kedelai tingkat petani PJGt -1 -33.5921 - - 0.2436 Harga rill Jagung tahun sebelumnya LAP t-1 0.862783 .0001 LAP tahun sebelumnya R-Sq : 0.836 Prob F 0.0001 DW: 1.89 Dh: 0.21 Ket : signifikan pada taraf α = 0.10 Pada Tabel 7 terlihat nilai koefisien determinasi R 2 dari model luas area panen kedelai adalah sebesar 0.836. Hal tersebut berarti 83.6 persen keragaman luas area panen dapat dijelaskan oleh keragaman peubah-peubah eksogen di dalam model yaitu perubahan harga riil kedelai di tingkat petani, harga riil jagung tahun sebelumnya, dan luas area panen sebelumnya. Sisanya sebesar 16.4 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model.