Aspek Ekonomi Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat
84 produksi buah pertahun berdasarkan Deptan 2006a dan Paimin 1994. Tingkat
suku bunga yang digunakan adalah 24 yaitu besaran kisaran tingkat suku bunga yang berlaku di lokasi penelitian.
Tabel 28 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri untuk luas 1 ha No
Kondisi Kriteria
investasi Kriteria
layak Hasil
perhitungan Kesimpulan
1 Lahan milik NPV Rp
IRR BCR
NPV0 IRRDR
BCR1 130.123.463
79,66 7,61
Layak
2 Lahan sewa NPV Rp
IRR BCR
NPV0 IRRDR
BCR1 124.981.450
78,99 6,04
Layak
3 Lahan dibeli NPV Rp
IRR BCR
NPV0 IRRDR
BCR1 13.852.311
25,75 1,10
Layak
Perhitungan biaya, pendapatan, NPV, BCR dan IRR dapat dilihat pada Lampiran 6. Analisis NPV, BCR dan IRR dilakukan pada tiga kondisi yaitu lahan
milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli. Suatu kegiatan atau usaha disebut layak jika jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan,
yang disebut dengan manfaat bersih. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila NPV lebih besar dari 0 NPV0 yang artinya usaha menguntungkan atau memberikan
manfaat. Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa hasil perhitungan NPV pada lahan milik, lahan sewa dan lahan dibeli adalah lebih besar dari 0, sehingga usaha
kemiri dapat memberikan keuntungan kepada yang mengusahakannya. Nilai BCR digunakan untuk mengetahui pengaruh adanya tambahan biaya
terhadap tambahan manfaat yang diterima. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila BCR lebih besar dari 1 BCR1 yang artinya bahwa usaha layak untuk
dijalankan. Nilai BCR pada lahan milik adalah 7,61, artinya bahwa investasi satu rupiah akan memberikan tambahan pendapatan sebesar 7,61 rupiah, demikian
halnya pada lahan sewa dan lahan yang dibeli. Dari hasil nilai BCR di atas, dapat diketahui bahwa usaha menanam kemiri layak dilakukan.
Nilai IRR digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian usaha terhadap investasi yang ditanamkan. IRR adalah tingkat discount rate DR yang
menghasilkan NPV sama dengan 0. Suatu usaha disebut layak apabila IRR-nya
85 lebih besar dari opportunity cost of capital-nya DR. Pada Tabel 28 dapat dilihat
bahwa nilai IRR pada lahan milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli, masing- masing berada di atas tingkat suku bunga awal perhitungan DR sebesar 24.
Hasil analisis kelayakan usaha tanaman kemiri dari nilai NPV, BCR dan IRR menunjukkan bahwa kegiatan penanaman kemiri layak untuk dikembangkan,
baik pada lahan milik, lahan sewa maupun lahan yang dibeli. Tetapi untuk lahan yang dibeli, tingkat keuntungan yang akan diperoleh hanya sedikit. Hal ini
dilatarbelakangi oleh harga tanah yang sangat tinggi yaitu sekitar 144.000.000ha. Untuk investasi kemiri sebaiknya dilakukan pada lahan sewa dan lahan milik.
Hasil penelitian tanaman kemiri yang ada di Kabupaten Maros oleh Yusran 1999 menunjukkan bahwa nilai NPV sebesar Rp6.392.526, BCR 3,59 dan
IRR sebesar 53,51 pada tingkat suku bunga 19, dan disebutkan bahwa pengusahaan tanaman kemiri juga layak untuk diusahakan. Untuk kegiatan
tanaman rakyat lain yang tergolong HHBK juga menunjukkan layak untuk dikembangkan seperti kemenyan karena nilai NPV sebesar Rp17.226.420, BCR
sebesar 2,37 dan IRR sebesar 22,6 pada lahan sewa dan nilai NPV sebesar Rp24.902.670, BCR 2,85 dan IRR sebesar 28,8 pada lahan yang tidak disewa
pada tingkat suku bunga 13 Sitompul 2011.
4 Penyerapan tenaga kerja
Aktivitas pengelolaan kemiri cukup menyerap tenaga kerja baik dari lingkungan keluarga petani dan dari luar anggota keluarga petani. Terdapat 33
responden 52,38 yang menyebutkan bahwa aktivitas pengelolaan kemiri menyerap tenaga kerja dari lingkungan keluarga petani itu sendiri sedangkan 30
responden 47,62 menyebutkan selain menyerap tenaga kerja dari lingkungan keluarga petani juga menyerap tenaga kerja dari luar anggota keluarga.
Aktivitas penanaman kemiri sangat menyerap tenaga kerja bagi anggota keluarga pemilik lahan seperti pembersihan tumbuhan bawah, pengumpulan buah
dan pengupasan. Tentu hal ini tidak jadi masalah bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga usia produktif. Lain halnya dengan petani yang sudah kurang
produktif. Jumlah responden yang memiliki tanaman kemiri yang sudah berumur di atas usia produktif di atas 60 tahun sebanyak 15 orang 23,81. Responden
ini tidak dapat melakukan kegiatan pertanian yang aktif karena berhubungan
86 dengan kekuatan fisik. Sehingga pengelolaan lahan yang dimilikinya akan
diserahkan kepada keluarga atau disewakan. Sementara itu, tanaman kemiri juga dimiliki oleh masyarakat yang
melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, tukang dan PNS, dimana mereka ini tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengelolanya. Bagi keluarga
pemilik lahan yang memiliki pekerjaan pokok di luar bertani, maka untuk kegiatan tertentu seperti mengumpulkan buah dan membabat atau membersihkan
tumbuhan bawah akan mempekerjakan orang lain baik dari anggota keluarga terdekat, tetangga maupun penduduk sekampung. Hal ini menunjukkan bahwa
penanaman kemiri menyerap tenaga kerja dari lingkungan anggota keluarga dan di luar anggota keluarga.
Untuk mempekerjakan orang lain, tidak dilakukan dengan sistem gajian tetapi dibayar dengan cara “sistem dibelahkan”. Seseorang yang memiliki
tanaman kemiri, tetapi tidak punya waktu untuk mengumpulkan kemirinya, maka dia akan mempekerjakan orang lain dan orang tersebut akan dibayar dengan
menyerahkan setengah hasil kemiri yang dikumpulkannya. Sedangkan kegiatan membabat atau mematikan tanaman bawah dengan round-up dilakukan dengan
pembayaran upah kerja per hari. Darusman dan Hardjanto 2006 menyebutkan bahwa hutan rakyat yang
dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa. Hal ini juga berlaku untuk kegiatan hutan rakyat pada jenis HHBK. Kegiatan lain
yang menyerap tenaga kerja dalam usaha tanaman kemiri selain dalam hal pengelolaan adalah kegiatan pengupasan kemiri yang dilakukan oleh masyarakat
baik yang memiliki tanaman kemiri maupun yang tidak memiliki tanaman kemiri. Beberapa masyarakat menjual kemiri dengan kulitnya langsung. Tetapi ada juga
yang lebih dahulu mengupasnya. Kemiri yang dijual dengan dikupas akan lebih mahal. Untuk masyarakat yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki
pekerjaan, akan mencari nafkah dengan cara membeli kemiri berkulit lalu mengupasnya. Wibowo 2007 menyebutkan bahwa kegiatan penanaman kemiri
mampu menumbuhkan usaha jasa pengusapan kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penanaman kemiri bersifat sebagai efek pengganda multiflier
87 effect
dimana mampu meningkatkan pendapatan bagi petaninya, meningkatkan
lapangan kerja dan bermanfaat dalam menjaga lingkungan. 5
Kesejahteraan penduduk
Kesejahteraan dalam lingkup masyarakat sangat tergantung pada tingkat kesejahteraan keluarga-keluarga yang ada pada suatu tempat. Tingkat
kesejahteraan menurut BKKBN tahun 1999 adalah suatu tingkatan yang menyatakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material
yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Pengukuran kesejahteraan keluarga dibagi menjadi 5 kelompok seperti pada kriteria BPS sedangkan analisis kesejahteraan penduduk dalam penelitian ini,
dikelompokkan menjadi 3 bagian seperti pada Tabel 29. Pada tabel dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk di lokasi penelitian
pada tahun 2008 dan 2009 berada pada kriteria pra sejahtera sampai sejahtera II. Pada tahun 2009, terjadi peningkatan jumlah penduduk tidak sejahtera dan terjadi
penurunan jumlah penduduk pada kriteria cukup sejahtera jika dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat
kesejahteraan penduduk walaupun sangat kecil. Peran tanaman kemiri dalam meningkatkan kesejahteraan petani adalah
melalui pendapatan yang diperoleh dari hasil kemiri yang berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup petani terutama kebutuhan sehari-hari. Apabila
pendapatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan lain selain kebutuhan sehari-hari, maka kesejahteraan hidup petani akan lebih baik.
Tabel 29 Kodisi sebaran kesejahteraan penduduk di Desa Kutabuluh, Pamah dan Pasir Tengah tahun 2009-2010
Tahun 2008 Tahun 2009
Kriteria Jumlah
Kriteria untuk analisis
Jumlah Kriteria
Jumlah Kriteria untuk
analisis Jumlah
Pra sejahtera 663
Tidak sejahtera 663
Pra sejahtera 692
Tidak sejahtera 692
Sejahtera I 415
Cukup sejahtera 722
Sejahtera I 408
Cukup sejahtera
712 Sejahtera II
307 Sejahtera II
304 Sejahtera III
47 Sejahtera
60 Sejahtera III
48 Sejahtera
61 Sejahtera III
Plus 13
Sejahtera III Plus
13 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka 2009-2010
88
6 Potensi produksi
Dalam suatu perusahaan, faktor-faktor produksi sangat menentukan besar kecilnya produksi yang akan diperoleh. Untuk mengetahui potensi produksi
tanaman kemiri, maka ada 4 faktor yang dianggap paling berperan dalam menentukan besar kecilnya hasil yang diperoleh setiap periode waktu, yaitu luas
lahan, umur tanaman, jumlah tanaman yang menghasilkan serta tenaga kerja. Faktor lain yang umumnya paling berperan adalah pupuk, tetapi petani tidak
melakukan pemupukan karena dengan pemupukan bisa menyebabkan kerugian sebab banyak ranting yang patah pada saat buah sudah besar.
Tenaga kerja pada kegiatan usaha kemiri umumnya berasal dari kalangan keluarga sendiri. Tetapi bagi petani yang sudah memasuki usia tidak produktif
dan bagi keluarga yang memiliki mata pencaharian yang lainnya, seperti PNS, tukang, supir, dagang, dan lain-lain, cenderung mempekerjakan tenaga kerja dari
anggota keluarga terdekat atau masyarakat sekitarnya Yusran 1999, 2005; Simatupang 2001; Sihotang 2007. Pekerjaan yang dilakukan antara lain
membersihkan tumbuhan bawah, pengumpulan buah dan pengolahan hasil. Ketersediaan lahan merupakan hal penting dalam melakukan usaha tanaman
kemiri. Keberadaan lahan tanaman kemiri yang ada di lokasi penelitian cukup luas yaitu rata-rata 2,67 ha, luas paling kecil 0,45 ha dan luas paling besar 6 ha.
Luas kepemilikan lahan ini berbeda dengan rata-rata luas kepemilikan lahan yang ada di Jawa yang hanya berkisar 0,25 ha Hardjanto 2003. Tanaman kemiri
rakyat yang ada saat ini banyak terdapat pada lahan yang bertopografi curam sampai terjal dengan kemiringan 25
ke atas, pada tepi sungai, jurang dan lembah. Umur tanaman akan mempengaruhi besar kecilnya produksi per pohon.
Umur tanaman kemiri akan berproduksi pada tahun ke-5 sampai tahun ke-35. Umur tanaman bisa lebih dari 50 tahun, tetapi tidak akan sampai di atas 100
tahun, hal ini terkait dengan kekuatan batang tanaman yang rendah. Tanaman kemiri dikenal sebagai tanaman yang mudah busuk, mudah roboh dan mudah
terserang hama dan penyakit. Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur 35 tahun, kemiri akan tetap menghasilkan, tetapi hasilnya akan terus menurun seiring
dengan pertambahan umurnya Paimin 1994, Deptan 2006a.
89 Produksi kemiri per satuan luas sangat berpengaruh pada jumlah pohon
yang menghasilkan dimana hal ini terkait dengan jarak tanamnya. Untuk tujuan menghasilkan buah, jarak tanaman yang paling baik adalah jarak tanam yang
lebar seperti 8m x 8m Paimin 1994 sampai 10m x 10m Sunanto 1994; Deptan 2006a, dengan tujuan agar kemiri yang tumbuh menghasilkan tajuk yang lebar
sehingga menghasilkan buah yang banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kemiri yang akan diperoleh
petani dipengaruhi oleh faktor jumlah tenaga kerja, luas lahan, umur tanaman, dan jumlah pohon menghasilkan. Hasil pengolahan data dengan menggunakan fungsi
produksi cobb-douglas Soekartawi 2002 adalah seperti pada Tabel 30. Tabel 30 Hasil estimasi fungsi produksi tanaman kemiri
Predictor Coef
P Konstanta
1,252 0,000
Tenaga Kerja X1 0,791
0,000 Luas lahan X2
0,078 0,423
Umur tanaman X3 -0,126
0,160 Jumlah pohon X4
0,150 0,057
Keterangan : Signifikan pada taraf nyata 5, Signifikan pada taraf nyata 10
Untuk analisis data yang menggunakan model regressi linier berganda, maka ada empat asumsi yang harus terpenuhi, yaitu asumsi multikolinearitas,
heterokedastisitas, autokorelasi dan komponen sisaan menyebar normal
normalitas. Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sesama
variabel bebas independen saling berhubungan atau berkorelasi. Jika model regressi
baik, maka tidak terjadi korelasi di antara variabel bebasnya. Ada atau tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dari nilai Variance Inflation Factor
VIF. Jika nilai VIF tidak melebihi 10 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1 nilai tolerance diperoleh dari 1VIF atau 110, maka dapat dikatakan bahwa data
terbebas dari multikolinearitas. Pada Lampiran 8 dapat dilihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki nilai VIF yang melebihi 10 dan nilai tolerance 1VIF
masih di atas 0,1, sehingga dapat dikatakan bahwa model regresssi linier berganda
yang dihasilkan tidak ada multikolinearitas.
90 Asumsi heterokedastisitas adalah asumsi dimana varians dari residual tidak
sama untuk satu pengamatan ke pengamatan yang lain atau hasil pengamatan tidak memiliki pola tertentu. Pola yang tidak sama ini ditunjukkan dengan nilai
yang tidak sama antar satu varians dari residual atau disebut dengan gejala heterokedastisitas
, sedangkan gejala varians dari residual yang sama dari satu pengamatan dengan pengamaan lainnya disebut dengan homokedastisitas. Untuk
mengetahui ada tidaknya gejala heterokedastisitas dapat dilihat dari gambar residual versus fitted value
. Pada gambar grafik di Lampiran 8 terlihat bahwa residual versus fitted value
memiliki sebaran data cenderung acak dan tidak membentuk
pola tertentu
sehingga dapat
dikatakan bahwa
asumsi heterokedastisitas
telah dipenuhi. Uji autokorelasi digunakan untuk pengujian asumsi dimana variabel
dependen Y tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, artinya bahwa nilai dari variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai
periode sebelumnya atau nilai periode sesudahnya. Untuk mengetahui gejala autokorelasi
diketahui dari gambar observation order dengan residual, dimana hasilnya akan menunjukkan acak tidak beraturan. Pada gambar di Lampiran 8
dapat dilihat bahwa hasil pengamatan adalah acak tidak beraturan sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada gejala autokorelasi.
Asumsi normalitas dapat diketahui melalui plot Normal Probability Plot. Apabila setiap pencaran data residual berada di sekitar garis lurus melintang,
maka dikatakan bahwa residual mengikuti fungsi distribusi normal. Pada gambar di Lampiran 8 dapat dilihat bahwa sebaran residual berada dalam garis lurus
melintang dan sebaran residual cenderung membentuk garis lurus. Hasil ini menunjukkan bahwa asumsi komponen sisaan menyebar normal atau mengikuti
distribusi normal. Untuk melihat pengaruh variabel yang dianggap mempengaruhi produksi
secara bersamaan, maka dilakukan uji F. Hasil uji F pada model adalah F = 99,48 F
4,57,0,1
= 3,649 dan nilai α = 0,10 P = 0,000, maka model yang diperoleh dapat secara bersama digunakan untuk menerangkan produksi kemiri atau faktor
luas lahan, tenaga kerja, umur tanaman dan jumlah pohon menghasilkan berpengaruh secara signifikan terhadap produksi kemiri. Hasil analisis regresi
91 memperlihatkan nilai R-Sg adj 86,6, artinya bahwa 86,6 produksi kemiri
dapat dijelaskan oleh faktor luas lahan, faktor tenaga kerja, faktor umur tanaman dan faktor jumlah pohon menghasilkan, sedangkan sisanya sebesar 13,4
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. Adapun persamaan regressi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Log Y = log 1,252 + log 0,791 X
1
+ log 0,078 X
2
– log 0,126 X
3
+ log 0,150 X
4
Persamaan di atas perlu dikembalikan kepersamaan semula dengan cara meng-anti-log-kan persamaan yang sudah diperoleh, dan hasilnya adalah
Y = 0,097 X
1 0,791
X
2 0,078
X
3 -0,126
X
4 0,150
Pada persamaan dapat dilihat bahwa koefisien b
1
, b
2
dan b
4
adalah positif, maka peningkatkan tenaga kerja, luas lahan dan jumlah pohon menghasilkan
cenderung meningkatkan produksi kemiri. Sedangkan nilai koefisien b
3
adalah negatif, maka peningkatkan umur tanaman akan mengurangi produksi kemiri.
Bila ditinjau dari nilai P, maka tenaga kerja dan jumlah pohon signifikan pada taraf nyata 10, sedangkan luas lahan dan umur tanaman masing-masing tidak
signifikan. Pada faktor tenaga kerja, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah tenaga kerja akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,791. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon
terhadap penggunaan tenaga kerja, apabila dilakukan penambahan tenaga kerja sebanyak 10 akan diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 7,91,
ceteris paribus . Untuk pengelolaan kemiri, tenaga kerja diperlukan dalam
kegiatan pembersihan lahan, pengumpulan buah, penjemuran dan pengupasan kemiri. Sehingga tenaga kerja sangat berperan dalam menghasilkan dan
meningkatkan produksi kemiri masyarakat. Pada faktor luas lahan, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan luas lahan akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan
92 nilai koefisien 0,078. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri tidak respon
terhadap luas lahan atau tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri. Besar kecilnya luas lahan, pada dasarnya akan memberikan pengaruh pada
produksi kemiri yang akan diperoleh. Tetapi pada hasil analisis ini, luas lahan tidak berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri. Hal ini dapat
dihubungkan dengan jumlah tanaman pada suatu lahan. Jarak tanam kemiri rakyat adalah berbeda-beda, maka jumlah tanaman pada setiap lahan yang dimiliki oleh
petani juga berbeda-beda. Pada pemilik tertentu, mungkin lahan yang dimilikinya luas dan jumlah tanamannya sangat banyak, tetapi pada pemilik lahan lainnya,
lahannya mungkin luas tetapi jumlah tanamannya sangat sedikit. Sehingga, faktor luas lahan kurang berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri, tetapi luas
lahan mungkin akan berpengaruh jika setiap contoh yang diperoleh menggunakan pola jarak tanam yang sama sehingga pada luasan yang sama jumlah tanaman
yang ada juga sama. Pada faktor umur tanaman, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai negatif, artinya jika terjadi penambahan umur tanaman maka akan diikuti dengan penurunan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial
diperoleh bahwa faktor umur tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,126. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri
tidak respon terhadap umur tanaman atau tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri. Walaupun umur tanaman tidak signifikan dalam mempengaruhi
produksi kemiri, tetapi nilai keofisien yang negatif menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan produksi kemiri seiring dengan penambahan umur tanaman.
Penurunan produksi kemiri pada model sangat dipengaruhi oleh pertambahan umur tanaman, semakin tinggi umur tanaman apalagi jika sudah melewati umur
produktif, maka hasil yang diperoleh juga akan menurun. Umur rata-rata tanaman kemiri pada sampel adalah 37,37 tahun. Paimin 1994 menyebutkan bahwa
produksi tanaman kemiri akan meningkat dari tahun ke-6 sampai umur 35 tahun. Sementara jika umur tanaman lewat 35 tahun, maka produksi kemiri pelahan-
lahan akan menurun dan pada saat tertentu akhirnya tidak produktif lagi. Jika mengikuti kondisi di atas, luas lahan yang produktif adalah 83 ha
dengan produksi rata-rata 670,92 kgha. Sedangkan luas lahan di atas 35 tahun
93 adalah 84,95 ha dengan rata-rata produksi sudah dalam kondisi menurun yaitu
497,75 kgha. Perbedaan produksi rata-rata pada usia di bawah 35 tahun dengan rata-rata produksi di atas 35 tahun adalah 173,16 kgha. Hal ini menunjukkan
bahwa produksi kemiri yang dihasilkan akan menurun karena dipengaruhi oleh umur tanaman yang sudah melewati batas produktif. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah kondisi kesehatan tanaman, kondisi kesuburan lahan dan tingkat keintensifan dalam mengelola lahan dan memelihara tanaman. Untuk
meningkatkan produksi kemiri, maka sebaiknya dilakukan peremajaan tanaman pada tanaman yang sudah berumur tua khususnya tanaman yang sudah melewati
umur produktif di atas 35 tahun. Pada faktor jumlah pohon, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah pohon, maka akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor jumlah pohon berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,15. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon
terhadap jumlah pohon. Apabila terjadi penambahan pohon sebanyak 10, akan diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 1,5, ceteris paribus.
Sebenarnya, kondisi ini bisa diterima atau bisa juga tidak, karena produksi kemiri akan dipengaruhi oleh jarak tanam. Jika tujuan penanaman kemiri adalah untuk
menghasilkan buah maka jarak tanam sebaiknya 10m x 10m Deptan 2006a; Sunanto 1994, 8m x 8m atau 8m x 10m Paimin 1994. Sedangkan bila tujuan
penanaman adalah untuk menghasilkan kayu maka jarak tanamnya adalah 4m x 4m Paimin 1994; Sunanto 1994.
Jumlah pohon yang ada pada satuan luas lahan sangat tergantung pada jarak tanam yang digunakan oleh petani. Rata-rata jumlah pohon per satuan luas pada
lokasi penelitian adalah 115 pohonha. Jika luas lahan 1 ha, maka jarak tanam yang mendekati jumlah pohon di atas adalah 8m x 10m atau 10m x 10m. Jika
kondisi di lapangan dibandingkan dengan jarak tanam yang dianjurkan untuk tujuan menghasilkan buah Paimin 1994; Sunanto 1994; Deptan 2006a, maka
kondisi jumlah pohon kemiri di lapangan sudah sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan buah yaitu sekitar 100 pohonha untuk jarak tanam 10m x 10m dan
125 pohon untuk jarak tanam 8m x 10m. Sementara itu, rata-rata jumlah pohon
94 menghasilkan sampai umur 35 tahun adalah 123 pohonha dan rata-rata jumlah
pohon menghasilkan pada usia di atas 35 tahun produksi mulai menurun adalah 107 pohonha. Penurunan ini terjadi karena banyak pohon yang mati.
Tabel 30 menunjukkan bahwa jumlah koefisien regressi fungsi produksi tanaman kemiri sebesar 0,893. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri
berlangsung pada tahapan ”decreasing retun to scale”, yaitu penambahan jumlah seluruh faktor produksi secara bersamaan akan memberikan penambahan proporsi
hasil produksi yang lebih kecil. Artinya, bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersamaan sebanyak 100 maka akan terjadi penambahan hasil
atau produksi kemiri sebesar 89,3. Simatupang 2001 pernah melakukan penelitian tentang faktor yang
mempengaruhi produksi kemiri pada tahun 2000 dengan sampel yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor luas lahan dan tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri sedangkan faktor umur tanaman dan jumlah pohon tidak berpengaruh nyata. Sementara penjumlahan koefisien
regressi yang di peroleh berada pada tahap ”increasing retun to scale” sebesar
1,002, maka penambahan jumlah seluruh faktor produksi secara bersamaan akan memberikan penambahan proporsi hasil produksi yang lebih besar. Artinya,
bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama 100 variabel luas lahan, umur tanaman, tenaga kerja dan jumlah tanaman akan meningkatkan
produksi sebesar 100,2. Sihotang 2007 juga pernah melakukan penelitian tentang faktor yang
mempengaruhi produksi getah kemenyan. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor umur tanaman, jumlah pohon dan tenaga kerja signifikan dalam mempengaruhi
produksi getah kemenyan sedangkan faktor luas lahan tidak signifikan. Dari hasil ketiga penelitian ini menunjukkan bahwa setiap faktor
memberikan nilai dan pengaruh yang berbeda-beda. Faktor tenaga kerja adalah faktor yang memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan produksi
kemiri dan kemenyan, hal ini terkait dengan proses pengelolaan lahan dan proses lanjutan sampai hasil dapat dijual. Sementara faktor umur tanaman menghasilkan
koefisien regressi yang bernilai negatif, hal ini menunjukkan bahwa umur tanaman yang diteliti sudah memasuki umur tidak produktif sehingga
95 penambahan umur tanaman akan cenderung memberikan hasil yang makin
sedikit.
7 Keuntungan usaha
Untuk mengembangkan suatu kegiatan budidaya tanaman keras, maka perlu diketahui tingkat keuntungan yang diperoleh per periode waktu tertentu untuk
satuan luas tertentu. Setelah melakukan perhitungan maka diketahui bahwa rata- rata pendapatan yang diperoleh petani dari tanaman kemiri adalah
Rp8.544.924hatahun. Sementara rata-rata pengeluarannya per tahun sekitar Rp1.197.757hatahun.
Adapun keuntungan
yang diperoleh
adalah Rp7.347.167hatahun. Biaya yang kecil disebabkan karena tidak ada petani yang
melakukan pemupukan terhadap tanaman kemiri. Biaya yang keluar hanya untuk membeli racun rumput round-up, biaya membabat, biaya sewa, biaya tenaga
kerja panen, menjemur dan mengupas kemiri. Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan, bahwa sebenarnya menanam kemiri tidak selalu untung.
Hasil perhitungan pada Lampiran 5 menunjukkan keuntungan yang cukup besar karena posisi harga jual yang cukup tinggi. Sedangkan kalau harga sangat kecil
yaitu sekitar Rp8.000 sampai Rp9.000, maka tingkat keuntungan yang diperoleh pasti lebih kecil dan bahkan mungkin akan menyebabkan kerugian bagi petani
bila kegiatan pengusahaan yang dilakukan petani termasuk ongkos biaya pengeluaran dengan harga 1 HOK adalah Rp50.000,-
Kenaikan harga jual kemiri yang terjadi dua tahun terakhir telah menumbuhkan kembali niat petani untuk mengusahakan kemiri miliknya yang
sudah lama ditinggalkan. Ada beberapa petani yang memiliki niatnya untuk menjual kemiri tetapi pada akhirnya mengurungkan niatnya karena harga yang
tinggi dan luas lahan kemiri miliknya sangat luas.
8 Akses pasar
Salah satu syarat yang diperlukan agar suatu produk yang dihasilkan disebut berhasil apabila didukung oleh pemasarannya. Petani kemiri di Kecamatan Tanah
Pinem tidak ada menemui kesulitan dalam pemasaran kemiri, karena selain masyarakat dapat menjual kemiri di pasar lokal, mereka juga dapat menjual
kemiri di rumah. Harga di rumah dengan harga di pasar adalah sama. Karena tidak perlu mengeluarkan biaya dalam menjual kemiri, maka masyarakat
96 umumnya menunggu pembeli datang ke rumah-rumah. Rata-rata setiap desa ada
pengumpul sehingga dalam hal pemasaran buah kemiri tidak ada masalah. Kemiri dijual dalam bentuk berkulit dan sudah dikupas. Kemiri berkulit
dijual oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mendesak seperti beras. Kemiri berkulit dibeli masyarakat yang usahanya adalah mengupas kemiri.
Penjualan dalam bentuk kemiri kupas lebih banyak dilakukan masyarakat karena lebih tinggi harga jualnya. Pendapatan masyarakat selain dari biji kupas kernel
juga dari kulit cangkang. Saluran pemasaran kemiri masyarakat adalah produsen, pedagang pengumpul desakecamatan, pedagang pengumpul besar propinsi,
pedagang antar pulau dan konsumen. Sampai tahun 2005, kemiri rakyat dari Kecamatan Tanah Pinem dapat memasuki pasar ekspor tetapi setelah tahun 2005
tidak ada lagi ekspor. Kemiri rakyat yang ada saat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal dan daerah.
Gambar 15 Pemasaran buah kemiri kupas di pasar lokal.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekonomi masuk pada kategori berkelanjutan
dengan catatan. Pada dasarnya penanaman kemiri pada lahan milik masyarakat dapat memberikan keuntungan pada petani, khususnya petani pemilik lahan pada
lahan-lahan miring. Tanaman kemiri juga bisa berperan menjadi sumber pendapatan petani karena dapat memberikan tambahan pendapatan yang berperan
dalam memenuhi kebutuhan sandang dan pangan masyarakat. Untuk investasi kemiri, hasil penilaian NPV, BCR dan IRR pada lahan milik dan lahan sewa
menunjukkan bahwa usaha tanaman kemiri layak dilakukan. Aspek pemasaran
97 hasil bukanlah masalah untuk mengelola kemiri karena pemasaran hasil sangat
mudah dan menguntungkan bagi petani. Agar tanaman kemiri memberikan keuntungan yang berkelanjutan kepada masyarakat, maka produksi yang
diperoleh harus terjamin dan disertai dengan harga yang lebih baik. Produksi buah umumnya sudah menurun karena umur tanaman kemiri sudah memasuki
kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman sehingga keterjaminan hasil tidak menentu. Pengaruh harga saat penelitian telah mendorong masyarakat
kembali melirik untuk mengelola lahan kemiri yang masih dimilikinya. Tetapi usaha ini terhambat oleh faktor modal yang sulit diperoleh dari lembaga
keuangan. Sementara masyarakat umumnya hanya memiliki modal yang terbatas sehingga dalam pengelolaannyapun tidak memperhatikan teknik silvikultur yang
baik yang berdampak pada produktivitas hasil yang sedikit.