Kerangka Pemikiran Analysis of Candlenut Tree Management in Tanah Pinem District, Dairi Regency, North Sumatera Province
12 pohon-pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan
dan sosial budaya Awang et al. 2007. Pola pengembangan hutan rakyat di Indonesia dibagi menjadi tiga Supriadi
2004, yaitu 1 Pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau
perorangan itu sendiri; 2 Pola subsidi yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya; dan 3
Pola kemitraan yaitu hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat
dengan bunga ringan. Pola hutan rakyat yang akan diteliti adalah pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun di atas lahan milik dengan modal dan tenaga
kerja sendiri. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis tanaman penghasil buah dan termasuk pada tumbuhan berguna yaitu kemiri. Deptan 2009,
menyebutkan bahwa hampir 100 tanaman kemiri yang ada di Indonesia adalah tanaman yang dihasilkan oleh rakyat dalam kebun-kebun rakyat.
Hutan rakyat yang dikembangkan secara swakelola masih memiliki banyak kendala dalam pengelolaannya. Hal ini dijelaskan oleh Awang et al. 2007 yang
menyebutkan bahwa konsep pengelolaan hutan rakyat sangat sederhana yaitu hanya menanami tanah milik dengan tanaman berkayu dan membiarkannya
tumbuh tanpa pengelolaan intensif. Dalam perkembangannya masyarakat mulai melakukan teknik-teknik budidaya, dengan menanam beragam jenis dan beragam
lapisan tanaman multi layer serta cara pemanenan yang tidak merusak pohon. Namun, perkembangan ini tidak bersamaan dengan peningkatan kapasitas
manajerial yang memadai yang berpengaruh terhadap proses pengaturan hasil yang hampir dapat dikatakan tidak ada karena keberadaan hutan rakyat di
masyarakat selalu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan mendadak.Pemenuhan kebutuhan ini membuat petani hutan rakyat sebagai produsen hasil hutan rakyat
selalu menjadi pihak lemah dalam posisi tawar-menawar harga produk. Beberapa karakteristik hutan rakyat ditinjau dari aspek manajemen hutan,
yaitu: 1 Hutan rakyat berada di tanah milik dengan alasan tertentu, seperti lahan kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan
pemeliharaan dan faktor resiko kegagalan yang kecil; 2 Hutan rakyat tidak
13 mengelompok dan tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta
keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan; 3 Pengelolaan hutan rakyat
berbasis keluarga
yaitu masing-masing
keluarga melakukan
pengembangan dan pengaturan secara terpisah; 4 Pemanenan hutan rakyat berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil belum
berdasarkan kontinuitas hasil, yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan riap tanaman; 5 Belum terbentuk
organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat; 6 Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani
hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri; dan 7 Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani
hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan oleh petani hutan rakyat.
Awang et al. 2007 menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki
manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi keluarga pemilik. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangannya ke depan
dinilai kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri dan tidak dapat menjamin adanya sinkronisasi
konservasi dan kelestarian hutan. Pembangunan kehutanan saat ini semakin memperhatikan pembangunan
hutan rakyat Widiarti dan Mindawati 2007, karena selain sangat strategis dalam pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri, juga sangat menguntungkan ditinjau
dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Jenis tanaman yang dikembangkan untuk program hutan rakyat adalah jenis penghasil kayu, jenis
hasil hutan non kayu dan tumbuhan berguna. Pemilihan jenis tanaman untuk hutan rakyat sebaiknya dikembangkan jenis yang site spesifik dengan
pertimbangan teknis, ekonomis, ekologis dan sosialbudaya dengan maksud agar usaha tani hutan rakyat menjadi pilihan usaha yang produktif dan lestari.
Komposisi jenis pohon mutlak diperlukan sebagai 1 sumber pendapatan, 2 sumber energi, 3 sumber bahan baku industri, 4 sumber bahan organik, 5
upaya memperbaiki iklim mikro, ketersediaan air dan mengurangi erosi.
14 Kondisi hutan rakyat tidak berbeda dengan kondisi hutan yang terdiri atas
berbagai jenis pepohonan sebagai tanaman utama, maka peranan hutan rakyat tidak banyak berbeda dalam hal 1 ekonomi karena hutan rakyat memproduksi
kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat, 2 sosial karena membuka kesempatan kerja, 3
ekologi karena berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi dan memelihara kualitas lingkungan penyerap CO
2
dan penghasil O
2
, 4 estetika berupa keindahan alam dan 5 sumber ilmu pengetahuan.
2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat 2.2.1 Aspek Sosial
Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara individu perorangan pada lahan miliknya sehingga cenderung menyebar berdasarkan letak, luas
kepemilikan lahan dan keragaman pola usaha taninya. Pengembangan hutan rakyat melibatkan banyak pihak, selain petani sebagai pelaku utama juga
didukung adanya kelembagaan yang berperan dalam pengembangannya. Beberapa lembaga yang berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat adalah
kelompok tani, instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga perekonomian seperti bank, koperasi, pasar, industri, dll Diniyati et al. 2008.
Kelembagaan ini dapat berperan dalam pelaksanaan suatu kegiatan sehingga mampu mendorong masyarakat petani dalam melakukan kegiatan ke arah yang
lebih baik dengan mendapatkan hasil yang lebih baik juga. Aspek kelembagaan dapat berupa lembaga pemerintah dan non pemerintah.
Dari aspek kelembagaan dapat diketahui sejauhmana pembangunan pedesaan sudah berkembang. Menurut Mosher dalam Soekartawi 2002, ada tiga unsur
yang dikategorikan sebagai aspek kelembagaan dalam struktur pedesaan, yaitu adanya pasar, adanya pelayan penyuluh dan adanya lembaga perkreditan. Pasar
sebagai tempat jual beli barang dan jasa. Penyuluh berfungsi untuk pengembangan usaha rakyat dengan teknologi baru dan perkreditan berfungsi
untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi. Perkembangan hutan rakyat di setiap tempat dipengaruhi oleh kebiasaan
budaya dan pengetahuan lokal. Suharjito 2000 menyebutkan keberadaan hutan
15 rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani,
mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan
hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu
kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang
status haknya telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak
milik dengan sertifikat. Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat Djajapertjunda 2003. Kepemilikan lahan land tenure merupakan
hal yang paling penting dalam pelaksanaan hutan rakyat, karena kepemilikan lahan merupakan jaminan bagi petani untuk menentukan akses dan pengendalian
atas tanah dan sumberdaya yang ada di atasnya. Aspek sosial yang dapat dilihat dari kegiatan hutan rakyat secara langsung
adalah terbukanya lapangan pekerjaan Djajapertjunda 2003. Hal ini dapat diketahui bahwa pada saat kegiatan hutan rakyat berkembang, maka industri
pengelolaannya juga akan meningkat, dimana kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja. Darusman dan Hardjanto 2006 menyebutkan bahwa hutan rakyat yang
dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa. Pada beberapa propinsi, pengembangan budidaya kemiri di daerah pedesaan akan
mendorong agribisnis dan agroindustri yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menciptakan lapangan kerja. Deptan 2006b memperkirakan
bahwa pengusahaan kemiri melibatkan sekitar 352.000 KK dan mampu mendorong berkembangnya ekonomi wilayah.