Aspek Sosial Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat

100 pertanian dan peternakan Mosher dalam Soekartawi 2002. Sementara akses tekhnologi juga cenderung untuk bidang pertanian. Akses yang mendukung pengembangan penanaman tanaman kemiri hampir tidak ada karena kemiri belum menjadi tanaman yang diinginkan saat ini oleh beberapa masyarakat, bukan merupakan jenis tanaman yang dapat mengembalikan modal dalam waktu singkat dan teknologi pemanfaatan hasil yang belum ada, seperti pengupasan kemiri masih dilakukan manual. 4 Pengangguran Purnomo 2006 menyebutkan bahwa bidang kehutanan dapat menciptakan lapangan kerja melalui aktivitas pembalakan di hutan, industri, pengolahan kayu, program reforestasi hutan, hutan kemasyarakatan dan lain-lain. Pengelolaan hutan skala kecil mampu menyerap tenaga kerja dan dengan nilai tambah yang lebih besar dari pengusahaan jenis tanaman lain di sela-sela jenis tanaman utamanya. Lapangan kerja yang banyak terserap dan uang hasil usaha yang beredar akan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat. Nugroho 2010 menyebutkan pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer. Skala usaha hutan rakyat umumnya kecil dan bersifar padat karya labour intensive sehingga mampu menyerap tenaga kerja pedesaan dalam jumlah besar. Pencipataan lapangan kerja bidang hutan rakyat terjadi, seperti kegiatan penebangan, pengangkutan dan industri-industri kayu rakyat. Hal ini juga terjadi pada pengusahaan kemiri yang dilakukan di Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan munculnya usaha-usaha pengupasan kemiri di rumah-rumah penduduk dan bagi keluarga yang tidak memiliki lahan. Padat karya terjadi pada petani dengan pola tanaman yang beraneka ragam seperti agroforestry. Anggota keluarga yang diwawancarai yang berada pada usia produktif secara umum sudah bekerja dengan ikut melakukan kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh keluarganya ataupun yang ikut upahan dengan petani lainnya. Pekerjaan lain yang dilakukan adalah dengan bekerja melakukan pengupasan kemiri dan mengikat sirih. Walaupun secara jelas banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi masyarakat secara umum sudah bisa mencari sumber penghasilan bagi dirinya sendiri dan anggota keluarga dengan ikut 101 bekerja diladangnya sendiri, bekerja di ladang orang lain dan melakukan pekerjaan lain seperti mengikat sirih, panjat sirih, panen coklat, membabat, dan lain-lain. Kondisi jumlah penduduk yang tidak bekerja di lokasi penelitian selama 5 tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 32. Jumlah penduduk yang tidak bekerja setiap tahunnya cenderung menurun. Djajapertjunda 2003 menyebutkan bahwa hutan rakyat secara langsung akan berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan ini bisa dalam anggota keluarga petani dan bisa dari luar anggota keluarga petani. Darusman dan Hardjanto 2006 juga menyebutkan bahwa hutan rakyat mampu menyerap tenaga kerja di desa. Penyerapan tenaga kerja dalam bidang usaha kemiri adalah pembabatan tumbuhan bawah, pengumpulan dan pengangkutan buah serta pengolahan hasil. Tabel 32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun 2005-2009 No Tahun Desa Total Kutabuluh Pamah Pasir Tengah 1 2005 331 366 223 920 2 2006 331 366 223 920 3 2007 241 184 230 655 4 2008 145 144 107 396 5 2009 140 146 112 398 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka 2006-2010 5 Kemiskinan BPS 2008 menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar basic needs approach dalam mengetahui tingkat kemiskinan penduduk. Pendekatan ini dipandang dari ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan untuk Propinsi Sumatera Utara menurut BPS 2008 di tingkat desa tahun 2007 adalah Rp154.827 dan tahun 2008 adalah Rp171.922 dalam RpKapitabulan. Dari hasil pengolahan data, besaran pengeluaran responden per bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita per bulan terendah adalah Rp233.333. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada responden yang berada dalam kategori keluarga miskin karena rata-rata 102 pengeluarannya perbulan masih di atas garis kemiskinan yang sudah ditetapkan propinsi yaitu Rp171.922,- Sedangkan jika keseluruhan pengeluaran responden dibagi dengan jumlah keseluruhan anggota keluarga, maka diperoleh rata-rata tingkat pengeluaran per kapita semua responden adalah Rp616.677 artinya bahwa keseluruhan reponden bukan termasuk keluarga miskin karena pengeluaran per kapitanya masih di atas standar BPS pada tahun 2008. 6 Migrasi penduduk Perkembangan dan kemajuan suatu tempat dapat dilihat dari jumlah penduduk yang datang dan yang pergi. Hal ini menunjukkan bahwa suatu tempat mempengaruhi orang untuk datang dan pergi bila di tempat tersebut ada suatu kegiatan yang membuat orang untuk datang. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu tempat ada perusahaan baru, lokasi tujuan wisata, kawasan industri, pertanian modern, kawasan pendidikan dan lain-lain. Misalnya pada suatu kawasan industri, jumlah penduduk disekitarnya akan cenderung berkembang karena masyarakat yang datang bekerja, penjual makanan, usaha penginapan, membuka toko, usaha transportasi dan lain-lain. Perkembangan suatu tanamanpun akan mempengaruhi orang untuk datang dan pergi, hal ini berhubungan dengan proses produksi dan pemasaran. Kondisi perubahan penduduk di lokasi penelitian sejak tahun 2005 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 33. Pada tabel dapat dilihat bahwa grafik perubahan jumlah penduduk yang datang dan yang pergi cenderung meningkat. Tetapi, dari informasi yang diperoleh, hal ini terjadi bukan karena pengaruh dari tanaman kemiri, tetapi karena mobilitas penduduk yang pindah, menikah ataupun keluarga yang datang ataupun pergi karena alasan lain. Adanya migrasi penduduk yang cukup besar sehubungan dengan perkembangan hutan rakyat sebagai dampak dari penyerapan tenaga kerja dari bidang perkembangan usaha hutan rakyat tidak dapat ditunjukkan secara signifikan. Dari 63 responden yang diwawancarai, hanya 1 responden sebagai pendatang untuk mengelola tanaman kemiri keluarga. 103 Tabel 33 Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun 2005-2009 No Tahun Kutabuluh Pamah Pasir Tengah Datang Pergi Datang Pergi Datang Pergi 1 2005 2 3 3 3 4 2 2 2006 Tidak ada data 3 2007 8 4 7 4 4 3 4 2008 Sama dengan tahun 2007 5 2009 16 17 18 16 16 14 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka 2006-2010 7 Kapasitas mengakomodasi perubahan Kapasitas mengakomodasi perubahan dapat dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat, pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya yang mendukung perkembangan masyarakat.Untuk tingkat pendidikan, dapat diketahui dari minat masyarakat yang menyekolahkan anaknya di sekolah lokal SD, SMP, SMA maupun di luar daerah untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti SMA atau universitas. Untuk infrastruktur juga mengalami perkembangan seperti bangunan sekolah, jalan, layanan kesehatan, layanan pertanian dan lain- lain. Masyarakat secara umum sudah sangat mengakomodasi perubahan yang diterima dari dunia luar luar desa dari media lain seperti televisi, radio, internet, hp dan lain-lain. Perubahan yang diterima oleh masyarakat adalah perubahan yang membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih baik dan lebih mudah. Misalnya penggunaan obat-obatan dalam mengatasi penyakit tanaman, penggunaan zat-zat kimia yang bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas lahan, sarana pengelolaan lahan dengan traktor, sarana teknologi hasil pertanian seperti pemipil jagung, dll. Sementara untuk kehidupan sehari-hari, juga sudah menggunakan teknologi dalam bentuk sarana dan prasarana kebutuhan keluarga. 8 Status lahan Status lahan yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat petani kemiri adalah lahan yang diperoleh dengan proses membeli, diwariskan orang tua Suharjito 2002 maupun yang digarap sendiri atau dibuka sendiri Yusran 1999; 2005. Gambaran asal usul kepemilikan lahan responden yang menanam kemiri adalah 30 responden 47,62 memiliki tanah yang berasal dari warisan orang tua, 19 responden 30,16 memiliki tanah yang dibeli dan 14 responden 22,22 memiliki tanah dari hasil garapan sendiri. 104 Status kepemilikan lahan dapat diketahui dari surat-surat kepemilikan lahan. Pada Tabel 16 dapat dilihat status surat-surat kepemilikan lahan yang dimiliki oleh responden. Jumlah petani kemiri yang memiliki surat sertifikat lahan hanya 9 responden 14,29 sedangkan yang belum memiliki surat sertifikat tanah sebanyak 54 responden 85,71. Tanaman kemiri rakyat yang ada pada lahan-lahan milik masyarakat, jika dilihat menurut kriteria hutan hak UU No. 41 tahun 1999, hanya 14,29 yang memenuhi kriteria tersebut. Tetapi, tidak serta merta 85,71 lainnya tidak dapat disebut hutan rakyat. Keterangan yang diperoleh dari responden adalah bahwa semua lahan yang ada pada masyarakat adalah lahan yang sudah menjadi milik masyarakat itu sendiri yang diperoleh melalui jalur warisan, dibeli dan dibuka sendiri. Lahan-lahan yang sudah diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya, tidak akan diganggu gugat oleh siapapun karena sudah ada jelas pemiliknya. Pembuktian kepemilikan lahan bagi masyarakat yang tidak memiliki sertifikat dapat dibuktikan dengan kepemilikan fisik tanaman di lahan-lahan miliknya yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat secara sosial dan tidak ada klaim dari pihak lain. Status lahan sudah dimiliki oleh responden dan sudah dikelola dalam waktu yang lama dan ada yang diperoleh dari orang tua, maka tanaman kemiri rakyat dapat disebut hutan rakyat. Djajapertjunda 2003 menyebutkan bahwa hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat. Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat. Proses pembuatan surat sertifikatlah yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat agar kepemilikan lahan menjadi terjamin sehingga masyarakat bebas untuk menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di atasnya. Adapun permasalahan konflik kepemilikan lahan terjadi apabila ada lahan yang dulu diberikan seseorang kepada orang lain, kemudian ada keluarga keturunan pemilik lahan meng-klaim kembali kepemilikan lahan yang sudah 105 diberikan tersebut. Permasalahan seperti ini sangat jarang terjadi dan umumnya dapat diselesaikan dengan baik. 9 Kejelasan batas lahan Kejelasan status lahan yang dimiliki oleh masyarakat akan disertai dengan kejelasan batas lahan. Lahan milik masyarakat umumnya sudah memiliki batas- batas lahan yang sudah diakui oleh masyarakat, dimana hal ini dapat mencegah terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Batas lahan-lahan yang dimiliki oleh seseorang dengan batas lahan yang dimiliki oleh orang lain secara jelas dapat dilihat dilapangan. Batas-batas lahan milik dapat dilihat dengan adanya pembatas yaitu jalan, sungai, tanaman pinang, tanaman kapuk, tanaman kemiri, jenis tanaman yang berbeda dan lain-lain. Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat menyatakan bahwa tidak ada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat mengenai batas kepemilikan lahan. Konflik mengenai batas lahan pernah terjadi, tetapi hal ini terjadi pada ahli waris yang tidak mengetahui batas awal lahan yang diwariskan oleh orang tua atau tanah warisan yang sudah ditinggalkan lama oleh ahli warisnya yang kemudian beralih ke pihak lain dan lama kelamaan menjadi permasalahan khususnya pada pemilik lahan disekitarnya. Penyelesaian konflik batas lahan dapat diatasi dengan jalur pertemuan dengan pihak-pihak yang bertikai. Gambar 16 Batas kepermilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar yang ada seperti pinang. 106 10 Terbangunnya hubungan sosial antara masyarakat Hubungan sosial masyarakat terbangun dengan adanya kebutuhan bersama dalam lingkungan masyarakat yang memiliki adat istiadat dan latar belakang yang sama. Hubungan sosial terbentuk dalam lingkungan komunitas yang sama, sehingga dalam berbagai kondisi, peranan sosial masyarakat sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seperti dalam acara adat kematian dan adat pernikahan. Hubungan sosial yang terbentuk untuk pengelolaan sumberdaya alam adalah dalam hal tolong menolong pada saat panen, penanaman dan penggunaan sarana produksi atau alat-alat pertanian. Hubungan sosial yang sama juga tercipta pada masyarakat di Desa Buniwangi-Sukabumi Suharjito 2002. Mehendra 2009 menyebutkan bahwa salah satu pengaruh hutan rakyat dari aspek sosial dapat dilihat dari hubungan sosial yang terjalin dan budaya bercocok tanam menjadi budaya semua orang dalam domain semua kelas umur. Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek sosial masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan. Hal ini dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat menanam kemiri sudah mulai menurun karena dampak dari berbagai permasalahan yang muncul seperti produksi yang menurun, kondisi kesehatan tanaman dan lain-lain. Sementara dari aspek kepemilikan lahan, batas lahan, peraturan dalam lingkungan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, hubungan sosial, akses terhadap pelayanan pendukung dapat membantu dalam mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, tetapi perlu pembenahan-pembenahan yang lebih baik dari instansi terkait untuk mendorong minat masyarakat kembali menanam kemiri pada lahan-lahan miring. Kelestarian pengelolaan suatu sumberdaya alam yang tumbuh dalam lingkup lokal masyarakat dapat dilihat dari sudut sejauhmana sumberdaya tersebut memberikan manfaat pada kesejahteraan masyarakat, distribusi manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat, kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan dan akseptabilitas sosial atau pengelolaan sumberdaya alam diterima secara ekologi, ekonomi dan nilai sosial yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Davis et al. 2001. 107

5.3.4 Analisis keberlanjutan

Secara keseluruhan hasil penilaian terhadap indikator dari semua aspek yang diperoleh sebagai berikut: 1. Indikator yang bernilai Baik sebanyak 10 35,71 atau masih di bawah 50 dari keseluruhan indikator yang dinilai, tetapi berada di atas 25 dari keseluruhan indikator yang dinilai. 2. Indikator yang bernilai Cukup sebanyak 15 53,57 atau berada diatas 50 dari keseluruhan indikator yang dinilai. 3. Indikator yang bernilai Jelek sebanyak 3 10,72 atau berada dibawah 25 dari keseluruhan indikator yang dinilai. Dari hasil penilaian ini, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dari aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial adalah “berkelanjutan dengan catatan” karena hanya memenuhi persyaratan: Baik 25 x n; Cukup 50 x n; Jelek 25 x n. Tanaman kemiri adalah salah satu tanaman hasil hutan bukan kayu penghasil buah. Tanaman ini memiliki banyak manfaat, buahnya untuk bahan baku industri dan penyedap makanan, kulit buah yang keras sebagai bahan baku obat nyamuk bakar dan saat ini dijadikan sebagai bahan bakar industri yang menggunakan pengering dryer, kayunya sebagai bahan baku kayu lapis dan tanamannya sendiri sebagai tanaman yang cocok untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis. Jika dilihat, maka sebenarnya tanaman kemiri memiliki multi manfaat baik pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Tetapi, manfaat ini belum sepenuhnya dilirik dan dijadikan pemerintah sebagai program dalam mengatasi luas lahan kritis yang meningkat dan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat. Tanaman kemiri hampir tumbuh dan berkembang di semua tempat di Indonesia. Keberadaan tanaman kemiri pada suatu tempat sangat berlatar belakang dengan sejarah keberadaannya pada tempat tersebut. Tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem sudah ada sejak dahulu. Tanaman kemiri adalah tanaman yang tumbuh secara alami di lahan-lahan milik dan kawasan hutan. Kepemilikan lahan tanaman kemiri adalah berasal dari tanah adat yang kemudian diwariskan kepada keturunannya. Terdapat 30 responden 47,62 yang memiliki tanaman kemiri dari warisan, hal ini 108 menunjukkan bahwa tanaman kemiri telah menjadi tanaman yang berlangsung secara turun temurun yang berlanjut sampai sekarang. Kemudian, untuk beberapa pihak terjadi transaksi jual beli baik pada penduduk asli maupun pada penduduk pendatang. Kepemilikan lahan tanaman kemiri tidak hanya dari warisan atau dibeli, tetapi ada juga yang membuka hutan dan menjadikannya sebagai milik. Pada saat kemiri belum laku diperjualbelikan, buahnya hanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti bumbu dapur, obat sakit perut, obat bisul dan bahan bakar untuk lampu penerang. Kemudian pelahan-lahan kemiri dibawa ke pasar dan mulai laku dan diperjualbelikan. Sekitar tahun 1955 disebutkan bahwa kemiri sudah laku diperdagangkan. Sejak itu, kemiri menjadi tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat dan umumnya tanaman kemiri pada periode tersebut menghasilkan buah hampir sepanjang tahun. Pada tahun 1980-an disebutkan bahwa setiap minggunya ada sekitar 100 ton buah kemiri kupas yang siap angkut keluar dari Kecamatan Tanah Pinem. Bahkan karena banyaknya, kadang-kadang tidak dapat diangkut karena keterbatasan sarana pengangkutan. Kondisi ini berbeda dengan kondisi yang ada sekarang. Dari hasil pengolahan data yang diperoleh, produksi kemiri kupas yang dihasilkan pada tahun 2010 hanya 583,33 kgha. Berarti ada penyimpangan yang sangat jauh antara produksi tahun 1980-an dengan tahun 2010. Hal ini dapat dijelaskan oleh penurunan luas tanaman kemiri, kondisi kesehatan tanaman dan umur tanaman yang memasuki kategori tidak produktif cukup banyak. Pada saat tanaman kemiri masih berperan dalam kehidupan masyarakat, masyarakat sangat menggantungkan kehidupannya dari kemiri. Masyarakat dari usia muda sampai tua mendapatkan uang dari kemiri. Banyak anak-anak yang sudah kenal uang dan bisa mencarinya dengan bekerja sebagai upahan baik untuk mengumpulkan kemiri di ladang maupun mengupasnya. Keadaan ini mulai berubah dengan adanya serangan hama dan penyakit, seperti ulat pemakan daun, penggerak batang dan gugur buah. Perubahan musim penghujan dan musim kemarau yang tidak jelas, mempengaruhi musim berbunga dari tanaman kemiri yang berdampak pada musim berbuah. Pada akhir-akhir ini, 109 masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sudah berubah dan buah tidak lagi dapat diperoleh sepanjang tahun. Perubahan dan permasalahan yang terjadi, telah mempengaruhi masyarakat beralih untuk menanam tanaman lain. Pada daerah yang lebih landai, masyarakat mulai beralih menanam tanaman seperti jagung, cokelat, pisang, pepaya dan sawit. Selain karena perubahan produksi yang menurun, salah satu faktor yang juga kurang mendukung adalah fluktuasi harga. Fluktuasi harga kemiri antara tahun 1997 sampai awal tahun 2011 adalah seperti Gambar 17. Sumber : Kecamatan Tanah Pinem 1997 – 2004 dan hasil wawancara untuk data tahun 2005-2011 Gambar 17 Fluktuasi harga kemiri di lokasi penelitian. Pola perubahan penggunaan lahan yang mulai beralih ke tanaman muda disebabkan karena pengaruh harga pasar yang lebih besar dan stabil, pendapatan yang diperoleh lebih besar dan cepat jagung bisa panen 2 kali setahun dan cokelat bisa memberikan penghasilan bulanan. Peralihan ini juga dipengaruhi oleh umur tanaman kemiri yang sudah melewati umur produktif. Masyarakat yang melakukan replanting pada tanaman kemirinya adalah masyarakat yang memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang tidak bisa ditanami dengan tanaman pertanian seperti padi dan jagung. Tanaman kemiri rakyat yang masih utuh keberadaannya adalah lahan-lahan milik yang ada pada daerah lahan miring, pinggir sungai, lembahjurang dan daerah terjal dan juga pada lahan masyarakat yang masih merasakan manfaat dari 110 tanaman tersebut. Juga lahan-lahan yang datar tetapi dimiliki oleh masyarakat yang kurang produktif dan atau memiliki pekerjaan utama bukan sebagai petani. Di Desa Kutabuluh, tanaman kemiri masih terjaga diantara tanaman lain, sementara di Pamah dan Pasir Tengah, tanaman kemiri rakyat yang masih tinggal terdapat pada lahan-lahan miring, jaraknya cukup jauh dari perumahan penduduk dan di sekitar kawasan hutan. Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri berdasarkan indikator yang diperoleh adalah “berkelanjutan dengan catatan”. Jika pengelolaan yang dilakukan masih sama dan tidak ada upaya memperbaiki kondisi tanaman maka pengelolaan tanaman kemiri dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial bisa menjadi tidak berkelanjutan. Untuk mencapai pengelolaan yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan dengan dasar pertimbangan sbb: 1 Kondisi topografi Luas wilayah Kecamatan Tanah Pinem yang termasuk pada kategori curam dan terjal adalah 39.546 ha atau hampir 90 dari total luas lahan. Maka jenis tanaman yang cocok dan sesuai untuk dikembangkan adalah jenis tanaman yang memiliki sistem perakaran kuat, tanaman tahunan dan jenis endemik setempat. Penanaman tanaman pertanian seperti jagung, kurang sesuai ditanam pada lahan miring karena pengelolaan lahan dengan sistem land clearing tebang habis dapat menyebabkan terjadinya erosi sangat tinggi. Apalagi dengan proses tanam dan panen yang cukup cepat 2 kali setahun sehingga dapat menimbulkan penurunan unsur hara tanah. Dengan kondisi ini, sebaiknya lahan-lahan milik masyarakat yang ada pada daerah miring ditanami kembali jenis tanaman kayu-kayuan seperti kemiri, karena kemiri merupakan ciri khas tanaman setempat atau jenis tanaman lain yang cepat tumbuh fast growing maupun jenis MPTS lainnya sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat dari aspek ekonomi dan aspek ekologi. 2 Lahan kritis Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem menurut BPDAS Wampu Sei Ular tahun 2010 adalah 30.718,44 ha atau sekitar 70 dari total luas lahan. Adapun rincian luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem berdasarkan arahan fungsi lahan adalah seperti Tabel 34. Hal ini