Aspek Sosial Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat
100 pertanian dan peternakan Mosher dalam Soekartawi 2002. Sementara akses
tekhnologi juga cenderung untuk bidang pertanian. Akses yang mendukung pengembangan penanaman tanaman kemiri hampir tidak ada karena kemiri belum
menjadi tanaman yang diinginkan saat ini oleh beberapa masyarakat, bukan merupakan jenis tanaman yang dapat mengembalikan modal dalam waktu singkat
dan teknologi pemanfaatan hasil yang belum ada, seperti pengupasan kemiri masih dilakukan manual.
4 Pengangguran
Purnomo 2006 menyebutkan bahwa bidang kehutanan dapat menciptakan lapangan kerja melalui aktivitas pembalakan di hutan, industri, pengolahan kayu,
program reforestasi hutan, hutan kemasyarakatan dan lain-lain. Pengelolaan hutan skala kecil mampu menyerap tenaga kerja dan dengan nilai tambah yang lebih
besar dari pengusahaan jenis tanaman lain di sela-sela jenis tanaman utamanya. Lapangan kerja yang banyak terserap dan uang hasil usaha yang beredar akan
menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat. Nugroho 2010 menyebutkan pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh
tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer. Skala usaha hutan rakyat umumnya kecil dan bersifar padat karya labour
intensive sehingga mampu menyerap tenaga kerja pedesaan dalam jumlah besar.
Pencipataan lapangan kerja bidang hutan rakyat terjadi, seperti kegiatan penebangan, pengangkutan dan industri-industri kayu rakyat. Hal ini juga terjadi
pada pengusahaan kemiri yang dilakukan di Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan munculnya usaha-usaha pengupasan kemiri di rumah-rumah penduduk
dan bagi keluarga yang tidak memiliki lahan. Padat karya terjadi pada petani dengan pola tanaman yang beraneka ragam seperti agroforestry.
Anggota keluarga yang diwawancarai yang berada pada usia produktif secara umum sudah bekerja dengan ikut melakukan kegiatan usaha tani yang
dilakukan oleh keluarganya ataupun yang ikut upahan dengan petani lainnya. Pekerjaan lain yang dilakukan adalah dengan bekerja melakukan pengupasan
kemiri dan mengikat sirih. Walaupun secara jelas banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi masyarakat secara umum sudah bisa mencari
sumber penghasilan bagi dirinya sendiri dan anggota keluarga dengan ikut
101 bekerja diladangnya sendiri, bekerja di ladang orang lain dan melakukan
pekerjaan lain seperti mengikat sirih, panjat sirih, panen coklat, membabat, dan lain-lain. Kondisi jumlah penduduk yang tidak bekerja di lokasi penelitian selama
5 tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 32. Jumlah penduduk yang tidak bekerja setiap tahunnya cenderung menurun. Djajapertjunda 2003 menyebutkan
bahwa hutan rakyat secara langsung akan berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan ini bisa dalam anggota keluarga petani dan bisa
dari luar anggota keluarga petani. Darusman dan Hardjanto 2006 juga menyebutkan bahwa hutan rakyat mampu menyerap tenaga kerja di desa.
Penyerapan tenaga kerja dalam bidang usaha kemiri adalah pembabatan tumbuhan bawah, pengumpulan dan pengangkutan buah serta pengolahan hasil.
Tabel 32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun 2005-2009 No
Tahun Desa
Total Kutabuluh
Pamah Pasir Tengah
1 2005
331 366
223 920
2 2006
331 366
223 920
3 2007
241 184
230 655
4 2008
145 144
107 396
5 2009
140 146
112 398
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka 2006-2010
5 Kemiskinan
BPS 2008 menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar basic needs approach dalam mengetahui tingkat kemiskinan penduduk.
Pendekatan ini dipandang dari ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan
untuk Propinsi Sumatera Utara menurut BPS 2008 di tingkat desa tahun 2007 adalah Rp154.827 dan tahun 2008 adalah Rp171.922 dalam RpKapitabulan.
Dari hasil pengolahan data, besaran pengeluaran responden per bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita per
bulan terendah adalah Rp233.333. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada responden yang berada dalam kategori keluarga miskin karena rata-rata
102 pengeluarannya perbulan masih di atas garis kemiskinan yang sudah ditetapkan
propinsi yaitu Rp171.922,- Sedangkan jika keseluruhan pengeluaran responden dibagi dengan jumlah keseluruhan anggota keluarga, maka diperoleh rata-rata
tingkat pengeluaran per kapita semua responden adalah Rp616.677 artinya bahwa keseluruhan reponden bukan termasuk keluarga miskin karena pengeluaran per
kapitanya masih di atas standar BPS pada tahun 2008.
6 Migrasi penduduk
Perkembangan dan kemajuan suatu tempat dapat dilihat dari jumlah penduduk yang datang dan yang pergi. Hal ini menunjukkan bahwa suatu tempat
mempengaruhi orang untuk datang dan pergi bila di tempat tersebut ada suatu kegiatan yang membuat orang untuk datang. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu
tempat ada perusahaan baru, lokasi tujuan wisata, kawasan industri, pertanian modern, kawasan pendidikan dan lain-lain. Misalnya pada suatu kawasan
industri, jumlah penduduk disekitarnya akan cenderung berkembang karena masyarakat yang datang bekerja, penjual makanan, usaha penginapan, membuka
toko, usaha transportasi dan lain-lain. Perkembangan suatu tanamanpun akan mempengaruhi orang untuk datang
dan pergi, hal ini berhubungan dengan proses produksi dan pemasaran. Kondisi perubahan penduduk di lokasi penelitian sejak tahun 2005 sampai tahun 2009
dapat dilihat pada Tabel 33. Pada tabel dapat dilihat bahwa grafik perubahan jumlah penduduk yang datang dan yang pergi cenderung meningkat. Tetapi, dari
informasi yang diperoleh, hal ini terjadi bukan karena pengaruh dari tanaman kemiri, tetapi karena mobilitas penduduk yang pindah, menikah ataupun keluarga
yang datang ataupun pergi karena alasan lain. Adanya migrasi penduduk yang cukup besar sehubungan dengan perkembangan hutan rakyat sebagai dampak dari
penyerapan tenaga kerja dari bidang perkembangan usaha hutan rakyat tidak dapat ditunjukkan secara signifikan. Dari 63 responden yang diwawancarai,
hanya 1 responden sebagai pendatang untuk mengelola tanaman kemiri keluarga.
103 Tabel 33 Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun 2005-2009
No Tahun
Kutabuluh Pamah
Pasir Tengah Datang
Pergi Datang
Pergi Datang
Pergi 1
2005 2
3 3
3 4
2 2
2006 Tidak ada data
3 2007
8 4
7 4
4 3
4 2008
Sama dengan tahun 2007 5
2009 16
17 18
16 16
14
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka 2006-2010
7 Kapasitas mengakomodasi perubahan
Kapasitas mengakomodasi perubahan dapat dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat, pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya yang
mendukung perkembangan masyarakat.Untuk tingkat pendidikan, dapat diketahui dari minat masyarakat yang menyekolahkan anaknya di sekolah lokal SD, SMP,
SMA maupun di luar daerah untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti SMA atau universitas. Untuk infrastruktur juga mengalami perkembangan
seperti bangunan sekolah, jalan, layanan kesehatan, layanan pertanian dan lain- lain. Masyarakat secara umum sudah sangat mengakomodasi perubahan yang
diterima dari dunia luar luar desa dari media lain seperti televisi, radio, internet, hp dan lain-lain. Perubahan yang diterima oleh masyarakat adalah perubahan
yang membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih baik dan lebih mudah. Misalnya penggunaan obat-obatan dalam mengatasi penyakit tanaman,
penggunaan zat-zat kimia yang bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas lahan, sarana pengelolaan lahan dengan traktor, sarana teknologi hasil pertanian
seperti pemipil jagung, dll. Sementara untuk kehidupan sehari-hari, juga sudah menggunakan teknologi dalam bentuk sarana dan prasarana kebutuhan keluarga.
8 Status lahan
Status lahan yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat petani kemiri adalah lahan yang diperoleh dengan proses membeli, diwariskan orang tua
Suharjito 2002 maupun yang digarap sendiri atau dibuka sendiri Yusran 1999; 2005. Gambaran asal usul kepemilikan lahan responden yang menanam kemiri
adalah 30 responden 47,62 memiliki tanah yang berasal dari warisan orang tua, 19 responden 30,16 memiliki tanah yang dibeli dan 14 responden
22,22 memiliki tanah dari hasil garapan sendiri.
104 Status kepemilikan lahan dapat diketahui dari surat-surat kepemilikan
lahan. Pada Tabel 16 dapat dilihat status surat-surat kepemilikan lahan yang dimiliki oleh responden. Jumlah petani kemiri yang memiliki surat sertifikat lahan
hanya 9 responden 14,29 sedangkan yang belum memiliki surat sertifikat tanah sebanyak 54 responden 85,71.
Tanaman kemiri rakyat yang ada pada lahan-lahan milik masyarakat, jika dilihat menurut kriteria hutan hak UU No. 41 tahun 1999, hanya 14,29 yang
memenuhi kriteria tersebut. Tetapi, tidak serta merta 85,71 lainnya tidak dapat disebut hutan rakyat. Keterangan yang diperoleh dari responden adalah bahwa
semua lahan yang ada pada masyarakat adalah lahan yang sudah menjadi milik masyarakat itu sendiri yang diperoleh melalui jalur warisan, dibeli dan dibuka
sendiri. Lahan-lahan yang sudah diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya, tidak akan diganggu gugat oleh siapapun karena sudah ada jelas pemiliknya.
Pembuktian kepemilikan lahan bagi masyarakat yang tidak memiliki sertifikat dapat dibuktikan dengan kepemilikan fisik tanaman di lahan-lahan
miliknya yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat secara sosial dan tidak ada klaim dari pihak lain.
Status lahan sudah dimiliki oleh responden dan sudah dikelola dalam waktu yang lama dan ada yang diperoleh dari orang tua, maka tanaman kemiri rakyat
dapat disebut hutan rakyat. Djajapertjunda 2003 menyebutkan bahwa hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya
telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat.
Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat. Proses pembuatan surat sertifikatlah yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat agar
kepemilikan lahan menjadi terjamin sehingga masyarakat bebas untuk menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di
atasnya. Adapun permasalahan konflik kepemilikan lahan terjadi apabila ada lahan
yang dulu diberikan seseorang kepada orang lain, kemudian ada keluarga keturunan pemilik lahan meng-klaim kembali kepemilikan lahan yang sudah
105 diberikan tersebut. Permasalahan seperti ini sangat jarang terjadi dan umumnya
dapat diselesaikan dengan baik.
9 Kejelasan batas lahan
Kejelasan status lahan yang dimiliki oleh masyarakat akan disertai dengan kejelasan batas lahan. Lahan milik masyarakat umumnya sudah memiliki batas-
batas lahan yang sudah diakui oleh masyarakat, dimana hal ini dapat mencegah terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Batas lahan-lahan yang dimiliki oleh
seseorang dengan batas lahan yang dimiliki oleh orang lain secara jelas dapat dilihat dilapangan. Batas-batas lahan milik dapat dilihat dengan adanya pembatas
yaitu jalan, sungai, tanaman pinang, tanaman kapuk, tanaman kemiri, jenis tanaman yang berbeda dan lain-lain.
Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat menyatakan bahwa tidak ada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat mengenai batas kepemilikan
lahan. Konflik mengenai batas lahan pernah terjadi, tetapi hal ini terjadi pada ahli waris yang tidak mengetahui batas awal lahan yang diwariskan oleh orang tua
atau tanah warisan yang sudah ditinggalkan lama oleh ahli warisnya yang kemudian beralih ke pihak lain dan lama kelamaan menjadi permasalahan
khususnya pada pemilik lahan disekitarnya. Penyelesaian konflik batas lahan dapat diatasi dengan jalur pertemuan dengan pihak-pihak yang bertikai.
Gambar 16 Batas kepermilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar yang ada seperti pinang.
106
10 Terbangunnya hubungan sosial antara masyarakat
Hubungan sosial masyarakat terbangun dengan adanya kebutuhan bersama dalam lingkungan masyarakat yang memiliki adat istiadat dan latar belakang yang
sama. Hubungan sosial terbentuk dalam lingkungan komunitas yang sama, sehingga dalam berbagai kondisi, peranan sosial masyarakat sangat berperan
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seperti dalam acara adat kematian dan adat pernikahan. Hubungan sosial yang terbentuk untuk pengelolaan sumberdaya alam
adalah dalam hal tolong menolong pada saat panen, penanaman dan penggunaan sarana produksi atau alat-alat pertanian. Hubungan sosial yang sama juga tercipta
pada masyarakat di Desa Buniwangi-Sukabumi Suharjito 2002. Mehendra 2009 menyebutkan bahwa salah satu pengaruh hutan rakyat dari aspek sosial
dapat dilihat dari hubungan sosial yang terjalin dan budaya bercocok tanam menjadi budaya semua orang dalam domain semua kelas umur.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek sosial masuk pada kategori berkelanjutan
dengan catatan. Hal ini dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat menanam kemiri sudah mulai menurun karena dampak dari berbagai permasalahan yang
muncul seperti produksi yang menurun, kondisi kesehatan tanaman dan lain-lain. Sementara dari aspek kepemilikan lahan, batas lahan, peraturan dalam lingkungan
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, hubungan sosial, akses terhadap pelayanan pendukung dapat membantu dalam mencapai pengelolaan
sumberdaya alam yang berkelanjutan, tetapi perlu pembenahan-pembenahan yang lebih baik dari instansi terkait untuk mendorong minat masyarakat kembali
menanam kemiri pada lahan-lahan miring. Kelestarian pengelolaan suatu sumberdaya alam yang tumbuh dalam lingkup lokal masyarakat dapat dilihat dari
sudut sejauhmana sumberdaya tersebut memberikan manfaat pada kesejahteraan masyarakat, distribusi manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat, kapasitas
masyarakat untuk mengakomodasi perubahan dan akseptabilitas sosial atau pengelolaan sumberdaya alam diterima secara ekologi, ekonomi dan nilai sosial
yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Davis et al. 2001.
107