Menemukan Tema, Latar, dan Penokohan pada Cerpen-cerpen dalam Buku Kumpulan
Pelajaran 2 Seni dan Budaya
33
“Di rumahku engkau tidak mungkin menganggur. Engkau bisa belajar mengguna-
kan komputer, mengetik, nonton TV, dan memelihara kebun.”
“Tapi, saya akan tidak bekerja, Bu” “Pada hakikatnya engkau bekerja juga.
Memelihara kebun atau membantuku di rumah juga bekerja.”
“Jadi, tidak harus menjajakan kue, Bu?” Bu Tutik mengangguk.
“Kalau begitu, tolong carikan pekerjaan yang bisa saya lakukan.”
Bu Tutik tersenyum. “Jangan khawatir.”
Bu Tutik ternyata dapat memenuhi harapan Ogal. Banyak pekerjaan yang dapat
dilakukan Ogal. Misalnya, memelihara kebun mangga, mencatat keluar masuknya barang,
dan sebagainya.
Kali ini Ogal tidak kalah sibuknya dengan sewaktu berada di desa nelayan. Bahkan
mungkin boleh dikatakan sangat sibuk. Pekerjaan di rumah Bu Tutik tidak hanya satu,
melainkan sangat banyak. Walaupun begitu, Bu Tutik tidak pernah memaksa Ogal untuk
bekerja. Semua itu hanya semata-mata menuruti keinginan Ogal.
Buah Keikhlasan, 1997
Cerpen 2
Musibah
Kemakmuran di desa nelayan itu tidak selamanya abadi. Ada saatnya naik dan ada
saatnya pula turun bak gelombang pasang yang datang.
Sudah dua bulan terakhir angin kencang selalu melanda desa itu. Jika sudah demikian,
tidak seorang nelayan pun berani mencari ikan menggunakan perahu, bahkan dengan perahu
motor pun tidak berani.
Pak Bakri, yang dikenal sebagai nelayan terkaya di desa itu juga menderita akibat
datangnya angin kencang selama dua bulan berturut-turut. Sebagai juragan nelayan, ia
merasa kehilangan pendapatan. Apalagi setelah datangnya penyakit yang misterius
menyerang sebagian besar penduduk. Bu Bakri sudah dua minggu tidak bisa turun dari
tempat tidurnya. Tubuhnya terasa kaku, seakan-akan mati.
Pak Bakri telah menjual dua perahu motornya. Jika tidak, mana mungkin ia bisa
membayar utangnya pada bank. Padahal sudah waktunya ia harus membayar cicilan
utangnya. Belum lagi biaya pengobatan ke dokter dan ke dukun akibat penyakit yang
diderita Bu Bakri. Pada saat itu Pak Bakri mulai merasakan
betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya kepada penduduk. Ia yang
selama ini suka mencela dan melecehkan penduduk yang miskin, merasa berdosa.
Manol yang selama ini dimanjakan, terasa tidak lagi dipedulikan. Kesusahan keluarga
itu terasa sangat menyiksanya.
Penduduk di desa nelayan itu benar-benar berada dalam keadaan tidak berdaya.
Kebiasaan mereka membeli barang elektronika saat musim panen ikan, kini
barang itu dijualnya. Radio, televisi, video,
Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMP Jilid 3
34
dan sebagainya, dijual agar mereka dapat mempertahankan hidupnya. Bukan cuma itu,
lemari, kursi, dan perhiasan yang dipakainya juga dijual.
Orang-orang yang berada di sekitar desa nelayan itu juga turut merasakan penderitaan.
Mereka yang membuka warung, toko, atau apa saja tidak laku. Pembelinya tidak ada.
Utang-utang para nelayan itu menunggak sampai batas waktu yang belum diketahui.
.... Tiba-tiba angin bertiup perlahan-lahan.
Deburan ombak pun mulai berkurang. Sementara wajah-wajah nelayan menatap ke
langit dengan penuh harap. Mereka mulai merasakan betapa musibah ini merupakan
ujian yang terberat yang pernah mereka alami. Betapa tidak, selama puluhan tahun belum
pernah mereka mengalami musibah seperti ini. Kalaupun ada angin, paling lama cuma
tiga hari. Itu pun rasanya sangat meresahkan. Selama ini mereka harus beristirahat total
selama dua bulan.
Buah Keikhlasan, 1997
Setelah membaca kedua cerpen di atas, kalian dapat menentukan tema, latar, serta penokohan dalam cerpen. Tema,
latar, dan penokohan masing-masing cerpen tersebut dapat kalian tuliskan sebagaimana contoh berikut.
1. Tema
a. “Sebatang Kara” bertema mengenai keteguhan hati
seorang anak yatim piatu yang tidak ingin bergantung kepada orang lain. Tema tersebut memiliki subtema
mengenai kebaikan hati seseorang.
b. “Musibah” bertema mengenai perputaran kehidupan
atau keadaan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Tema tersebut memiliki subtema kesadaran atau
penyesalan seseorang yang muncul karena adanya musibah.
2. Latar
a. “Sebatang Kara” meliputi:
1 Latar tempat: tanah pemakaman, rumah Bu
Tutik. 2
Latar suasana: kesedihan, ketegaran dan keteguhan, serta kesibukan.
3 Latar waktu: saat di pemakaman, saat di rumah
Bu Tutik. b.
“Musibah” meliputi: 1
Latar tempat: kampung nelayan dan rumah Pak Bakri.
2 Latar suasana: keadaan yang susah atau sedih
di suatu daerah karena adanya musibah dan penyakit; penyesalan.
Bingkai Bahasa
Apakah pada kedua kutipan cerpen tersebut
terdapat kalimat inversi? Pengertian kalimat
inversi yaitu kalimat yang predikatnya
terletak sebelum subjek mendahului subjek.
Contoh: Bertemulah pesuruh itu
dengan orang yang dicari.
Kalimat di atas jika diuraikan menurut
jabatannya, yaitu; –
bertemulah: predikat –
pesuruh itu: subjek –
dengan orang yang dicari: pelengkap
Untuk memahami mengenai kalimat inversi,
lakukanlah hal berikut a. Carilah contoh
kalimat inversi yang terdapat pada teks
berita atau teks karya sastra
b. Buatlah contoh bebe- rapa kalimat inversi
Pelajaran 2 Seni dan Budaya
35
3 Latar waktu: pada suatu hari saat terjadi musibah
di kampung nelayan. 3.
Penokohan a.
“Sebatang Kara” tokohnya: –
Ogal = Tegar dan bersemangat mandiri.
– Bu Tutik
= Baik hati. b.
“Musibah” tokohnya: –
Pak Bakri = Pencela yang kemudian sadar. –
Bu Bakri = Tidak terungkap jelas.
– Manol
= Manja. –
Penduduk = Pemboros.
Uji Kemampuan 3
Perhatikan dua kutipan cerpen berikut Cerpen 1
Perempuan Senja dan Lelaki yang Suka Menyendiri
Karya: M. Badri Beberapa waktu terakhir ini aku selalu
merindukan senja. Entah mengapa, kadang aku juga membencinya. Senja selalu
mengingatkanku pada bayangan perempuan yang berkelebat di setiap putaran jarum jam.
Tapi perempuan itu tak pernah bisa kusentuh, apalagi kucumbu atau entah kuapakan lagi.
Hanya suaranya yang selalu singgah di ceruk telingaku yang kian lebar. Aku kadang juga
tertawa sendiri, entah gila atau sekedar terlena oleh sandiwara yang selalu
kumainkan. Tapi bukan sandiwara percintaan seperti yang sering kulihat di sinetron-
sinetron picisan.
“Siapa sih kamu?” kataku suatu senja entah ke berapa.
“Kamu tak perlu tahu siapa diriku, seperti aku tak pernah mau tahu siapa kamu”
Seperti biasa, selesai bicara dia selalu menyelipkan seikat bunga di celah-celah
jantungku sampai tembus ke paru-paru. Bunga yang tak berwarna dan tak pernah kering.
“Apa maumu?” hardikku. “Mauku seperti maumu juga. Tak usah
marah Nikmati saja permainan ini. Aku sengaja datang untuk menemanimu. Maaf,
tapi kamu tak bisa merabaku, seperti kamu meraba huruf-huruf di keyboard atau di kaca
monitor. Kamu juga tidak bisa mengkhayal- kanku, seperti saat kamu membuat cerita-
cerita.”
“Apakah kamu sebangsa iblis atau sejenisnya?”
“Jangan kasar Belum saatnya kamu tahu siapa aku. Mungkin aku lebih manusia
daripada kamu” Tut tut tut … Suaranya lenyap ditelan
gerimis. Malam mulai merangkak dan cahaya kuning kemerah-merahan semakin sirna.
Perempuan itu juga menghilang. Selama beberapa hari, tak pernah lagi kudengar
suaranya. Tak ada lagi yang menemaniku makan atau menghabiskan malam di sekitar
taman kota sambil menikmati jagung bakar. Aku mulai membencinya, karena baru kusa-
dari senja terasa asing tanpa kehadirannya. Kemudian dia muncul lagi, juga saat senja.
Saat langit berwarna kemerah-merahan. Saat matahari kuning bulat seperti telor mata sapi.
Sejak itu aku menamainya ‘perempuan senja’, karena memang dia sering datang saat
senja. Hanya sesekali tengah malam atau
Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMP Jilid 3
36
bahkan pagi-pagi sekali. Dia juga sudah mulai mengucapkan “Selamat pagi, bagaimana
tidurnya semalam?”. Seperti biasa aku selalu mengatakan bangun kesiangan, karena
semalaman terlalu asyik mengeksploitasi imajinasi.
“Jadi kamu lagi-lagi tidak bisa menikmati menyembulnya fajar?”
“Yap” “Sungguh sial nasibmu”
“Tapi aku selalu bisa menikmati senja” Dia tertawa. Melengking kemudian
hening ... Aku pernah mencoba mencarinya di
sekitar terminal dan toko-toko swalayan. Siapa tahu perempuan itu ada di sana, sedang
menunggu taksi atau menawar pakaian. Pernah juga kucari di diskotik atau panti pijat,
tapi dia memang benar-benar tidak ada. Dia bisa muncul kapan saja dan menghilang
semaunya.
Sumber: www.cybersastra.net
Cerpen 2
Setangkai Melati Patah di Balik Senja
Karya: Ani Sakurano Kepedihan dan penyesalan telah
membelenggu bibir dari tawa dan senyumku. Tak seorang pun mendapatkannya lagi. Aku
telah mempersembahkan hanya untukmu kasih. Tapi kini engkau telah tergolek diam
dalam keabadian. Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik senja pada nisanmu,
agar engkau selalu ingat selarik senja yang telah mempertemukan kita, senja itu pula
yang mematahkan tangkaimu.
Palgunadi termenung di teras belakang rumahnya. Ini adalah untuk kesekian dia
membaca cerpen dengan judul frase “senja”, seperti yang barusan dia baca “Setangkai
Melati Senja untuk Kasihku” di sebuah harian ibu kota. Selalu judul dengan senja itulah
yang dipilih oleh Melati si penulis cerpen. Palgunadi hampir hafal seluruh judul cerpen-
cerpennya mulai dari
Menjaring Senja di Puncak Monas, Senja di Atas Danau Biwa,
Senja Di Ujung Penantian, Senja di Dua Kota, dan senja-senja lainnya.
Rasanya Palgunadi tidak akan sedemikian penasaran kalau cerita yang
didongengkan tidak sedemikian memikatnya, bahkan dari kisah yang terus diikutinya dia
mempunyai keyakinan Melati adalah seorang gadis yang merindukan kehadiran sosok
seorang laki-laki pujaan. Dan laki-laki itu adalah dia, pikir Palgunadi. Sah-sah saja
Palgunadi beranggapan seperti itu, karena dia memang tercipta sebagai pria ganteng yang
sudah melanglang buana sebagai
lelananging jagad. Sayang, Palgunadi belum pernah
mendengar ada acara bedah buku atau pemberian hadiah atas karya sastra Melati,
atau setidaknya ada kabar kehadirannya dalam diskusi kebudayaan.
Ketika Palgunadi mendengar berita bahwa cerpen-cerpen Melati telah diterbitkan
dalam sebuah buku, bergegas dia membeli buku itu, berharap ada sedikit keterangan
mengenai Melati. Namun sia-sia, ketika dibuka lembar-lembar terakhir buku tersebut,
data yang ada tak kalah misteriusnya. Nama: Melati; Tempat tanggal lahir: Bandung, suatu
ketika. Cukup dua keterangan yang tidak memberikan makna apa pun, itulah yang
didapatkan Palgunadi. Setelah itu, di bawahnya cuma tertulis karya-karya yang
pernah dihasilkannya. Dan foto yang tertempel di sana bukan foto seorang gadis
yang sedang beraksi menebar senyum, tetapi mekar bunga melati putih di balik tabir
semburat jingga warna senja.
Sumber: www.cybersastra.net, dengan pengubahan
Kerjakanlah dengan cermat di buku tugasmu
1. Tentukan tema dan latar dari cerpen 1 dengan bukti yang
faktual
Pelajaran 2 Seni dan Budaya
37
2. Tentukan penokohan dari cerpen 1 dengan bukti yang
meyakinkan 3.
Tentukan tema dan latar dari cerpen 2 dengan bukti yang faktual
4. Tentukan penokohan dari cerpen 2 dengan bukti yang
meyakinkan 5.
Bandingkan hasil kerjamu dengan hasil kerja temanmu 6.
Analisislah kembali apabila masih ada kesalahan