Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMP Jilid 3
222
Perhatikan dialog Perempuan Tua yang ketiga Dalam dialog tersebut terdapat kalimat: Memang saya merasa sepi dan sedih, tapi setiap kali
saya masih bisa merasa bahagia kalau saya sedang melakukan sesuatu untuk orang lain. Kalimat tersebut merupakan kalimat majemuk setara
dengan hubungan pertentangan dengan penanda hubung tapi. Selain tapi, hubungan pertentangan juga dapat ditunjukkan oleh kata melainkan, bukan,
akan tetapi, dan sebagainya. Contoh: Seharusnya ia belajar dengan tekun bukan malah bermain-main tanpa kenal waktu. Dalam kalimat majemuk
bertingkat, juga terdapat hubungan pertentangan. Contoh: Saya akan tetap berbuat baik, meskipun ia selalu berbuat jahil.
x Buatlah contoh kalimat majemuk setara hubungan perbandingan dan penyertaan
x Buatlah contoh kalimat majemuk bertingkat hubungan sebab-akibat dan pengandaiannya
Hubungan Penanda Hubung
Pertentangan tetapi, melainkan, bukan
Perbandingan daripada
Sebab-akibat sebab, karena, oleh karena
Pengandaian seandainya, kalau-kalau
Waktu sejak, ketika
Bingkai Bahasa
Uji Kemampuan 2
Simak dan perhatikan pementasan drama yang akan diperankan oleh kawan-kawanmu berikut
Sumur Tanpa Dasar
Karya: Arifin C. Noer
Adegan 1
Adegan dimulai ketika Juki dan Kamil tertawa terbahak-bahak. Tentu saja karena ulah lelaki
tua gila yang biasa dipanggil Kamil, yang selalu berpakaian ala kaum terpelajar
Angkatan 08. Tubuhnya sangat kurus seperti habis dihisap oleh mimpi-mimpinya sendiri.
Sementara itu dengan ganas muncul perempuan tua.
P. Tua : Huss, jangan terlalu keras. Agan sedang tidur nyenyak.
eksit Kamil : Kenapa saya suka meramal? Sebab
saya suka pada ilmu kebatinan. Kenapa saya suka ilmu kebatinan,
alias mistik dan ilmu kejiwaan? Sebab dunia sekarang sudah berat
sebelah. Nah, inilah peradaban sekarang.
Kepala terus diisi sementara dada dibiarkan masuk angin, maka kepa-
la yang terlampau berat tak dapat lagi ditopang oleh dada. Seperti ondel-
ondel terkena angin puyuh.
Maka terhuyung-huyunglah manusia zaman sekarang seperti pemabuk.
Padahal sumber kekuatan hidup sebenarnya ada di sini, nih,
menunjukkan ulu hati. Bukan di kepala seperti orang sekarang, seperti
kata Jumena.
Karena sinting dia P. Tua :
di pintu belakang Sudah, sudah Berhenti pidato
Pelajaran 10 Sastra
223
Kamil : Naah, pidato Saya ingat lagi sekarang, Pidato.
Pidato. Zaman-zaman sebelum filsafat Sokrates atau Professor Raden
Hidayat menyebutkan dengan istilah “Zaman Kata-Kata Berduri”. Boleh-
boleh saja disebut Zaman Retorika, tapi saya cenderung menyebutnya
dengan istilah sendiri sesuai semangat kemandirian Professor
Djojodiguno. Sumber kekuatan pada kata Kata mereka Padahal sumber
kekuatan hidup ada di sini Di jantung
Juki : Bukan di kaki, Den Kamil?
Kamil : Kaki itu sebenarnya tidak perlu lagi kalau orang sudah tinggi ilmunya.
Kau percaya bahwa saya setiap malam pergi ke Mekah? Sukar saya
jelaskan. Kau masih kotor. Ini ilmu orang-orang zaman dulu. Mau bukti?
Saya bisa membelah meja ini
siap dengan pukulan karate
Juki : Jangan, Den, sayang mejanya.
Kamil : Memang tidak perlu. Sifat ilmu itu tidak merusak. Tapi kalau yang
memiliki tidak kuat jiwanya, bisa jadi sinting. Hati-hati memilih kiai.
Juki : Merokok dulu, Den Kamil.
Kamil : sambil mengambil rokok Tolong-
menolong itu sifat Nabi Nuh. Juki
: Kata orang Den Kamil dulu … Kamil : Kaya?
Juki : Ya.
Kamil : Tidak salah Saya ini masih keturunan Sunan Gunung Jati tapi
lebih cenderung kepada Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang. Kata
sementara orang saya ini orang kaya, jadi saya orang kaya. Apa kata orang
sebenarnya tidak ada yang salah. Semuanya benar. Sebab semuanya
berasal dari jiwa. – Sukma Sukma, Sukma
– Tidak percaya saya ini orang kaya? Bapak saya suka menggambar,
jadi saya masih keturunan pujangga. Kau tahu bahwa saya
punya pabrik minyak kacang? Sawah? Saya punya. Ladang? Saya
punya. Tambak ikan? Punya. Rumah saya berderet sepanjang
jalan terbesar di Kota Cirebon. Toko? Tiga buah.
Juki : Istri, Den Kamil?
Kamil : Istri saya? Istri saya lebih cantik dari Siti Zulaikha yang memerkosa Nabi
Yusuf. Coba angkatlah gudang yang terbesar
di pelabuhan Cirebon, dan bawa kemari untuk menyimpan harta saya,
tidak akan cukup. Saya ini sangat kaya. Jangan sembrono. Orang kaya
itu galak. Dan empat puluh saudara, empat puluh kamar dalam rumah
saya. Tapi semuanya terbakar. Menangis Rumah saya juga
terbakar. Bidadari saya juga terbakar sayapnya. Bukan Bukan Tidak
mungkin rumah membakar dirinya sendiri.
... P. Tua : Huss … jangan terlalu bising.
Euis : Makan dulu, Mil, di dapur.
Kamil : melihat Euis lalu melihat Juki lalu
tertawa Jejak-jejaknya mulai tercium.
pada Juki Nanti saya ra- mal telapak tangan Saudara
Euis : Sudah Sudah, masuk
Kamil : sambil pergi Siapa bilang buah kuldi
itu apel?
Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMP Jilid 3
224
Kerjakanlah soal-soal di bawah ini
1. Identifikasikan karakter tokoh-tokoh dalam drama yang kamu
saksikan di buku tugas 2.
Deskripsikan latar tempat dan waktu yang digunakan dalam drama tersebut di buku tugas
3. Berikan tanggapanmu terhadap pementasan tersebut, meliputi
keaktoran, setting, dan hal-hal lainnya yang berupa penilaian, saran, dan masukan secara lisan di depan kelas
C. Mengidentifikasi Karakteristik Novel Periode 20–30-an
Sebelum mulai mengolah kemampuan mendengar kalian berkaitan dengan pembacaan kutipan novel tahun 1920-an, ada
baiknya kalian ingat kembali sejarah perkembangan sastra di In- donesia. Salah satu novel yang menjadi catatan sejarah novel In-
donesia periode 1920-an adalah Azab dan Sengsara 1920 karya Merari Siregar. Novel ini mengawali perjalanan novel Indonesia
modern, sungguhpun novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang oleh Belanda dicap sebagai “bacaan liar” sudah terbit sebelum
itu.
Menempatkan Azab dan Sengsara sebagai titik awalnya, semata-mata karena novel itu sudah menggunakan bahasa Melayu
tinggi. Walaupun demikian, tentu saja karya-karya Kartawinata yang terbit tahun 1897, Pangemanan, Tirto Adhi Soerjo, Boeng
Djan, dan Mas Marco Kartodikromo, langsung ataupun tidak langsung telah ikut memengaruhi para pengarang Balai Pustaka.
Belum termasuk para pengarang Peranakan-Eropa dan Peranakan- Cina yang karya-karyanya pernah populer, justru sebelum Balai
Pustaka lahir Mahayana, 1992:284.
Kembali pada tujuan proses pembelajaran ini, untuk lebih mengetahui tentang penggunaan bahasa serta pokok permasalahan
yang menjadi tema sentral pada masa-masa Balai Pustaka, silakan kalian simak kutipan novel berikut yang dibacakan oleh teman
kalian.
Tujuan Pembelajaran
Tujuan belajar kalian adalah mampu meng-
identifikasi ciri-ciri sastra lama novel
periode 1920–1930- an berdasarkan baha-
sa yang digunakan, menentukan sifat-sifat
tokoh, serta menyim- pulkan isi novel.
1. Saksikan sebuah pementasan drama
2. Ungkapkan tanggap- anmu berkaitan de-
ngan karakter tokoh, penggunaan kostum,
serta pendeskripsian latar dalam drama
yang kamu saksikan secara lisan
TAGIHAN
Maria terbaring di tempat tidur dalam kamarnya, letih hampir tiada bergerak-gerak.
Demam malaria sepuluh hari amat menguruskan dan memucat mukanya.
Sekarang pun ia masih sembuh, tetapi oleh karena panasnya sedang turun dapatlah ia
terlelap sebentar.
Di hadapan tempat tidur itu bersandar Tuti di atas kursi panjang. Sejak ia pulang
dari sekolah tengah hari tadi, ia duduk di sana menjaga adiknya yang sakit itu. Ketika
dilihatnya Maria tertidur, diambilnya buku dan dicobanya hendak membacanya. Tetapi
usahanya itu sia-sia belaka. Pikirannya tiada hendak terikat pada buku, tetapi selalu
berbalik-balik saja kepada Supomo. Pukul satu tadi ia diantarkannya pulang ke rumah
dari sekolah dan di jalan dikeluarkannya
Pelajaran 10 Sastra
225
menurut katanya lama terkandung dalam hatinya.
Tuti sudah lama menyangka bahwa lekas atau lambat hal itu akan tiba. Terutama dalam
waktu yang kemudian ini ia tiada sangsi sedikit jua pun lagi; menilik kepada sikap,
gerak-gerak dan kata-kata Supomo terhadap kepadanya pasti ia akan memintanya, menjadi
istrinya.
Dan ia sendiri pun, selalu jika Supomo datang bercakap-cakap dengan dia dengan
sendirinya terasa kepadanya hatinya girang. Oleh kelemahan dirinya berhubung
dengan perjuangan hatinya tiada insaf hanyutlah ia menurutkan himbauan suara
kalbunya; suatu tenaga gaib yang nikmat menunda melandanya menyambut bahagia
yang membayang di hadapannya.
Tetapi meskipun demikian, ketika perkataan yang penting itu keluar dari mulut
Supomo tadi, ia terkejut tiada dapat berkata- kata. Perkataan itu tiada dijawabnya, tiada
terjawab olehnya, meskipun berulang-ulang Supomo menyatakannya dan meminta
jawaban daripadanya.
Sejak dari ditinggalkan Supomo tiada lainlah yang dipikirkannya. Nasi tiada hendak
lulus di kerongkongannya, malahan pakaiannya sampai lupa ia menukarnya. Dan
dalam ia melayani adiknya itu, tiada berhenti- henti terkilat-kilat kepadanya perkataan
Supomo menyatakan cintanya kepadanya.
Waktu adiknya tertidur itu agak tenanglah hatinya berpikir, “Bagaimana, akan
diterimanyakah atau tiada permintaan Supomo itu …? Kalau Supomo tiada
diterimanya, apabila lagikah ia akan bersuami? Usianya sekarang sudah dua puluh
tujuh tahun. Siapa tahu, kesempatan ini ialah kesempatan yang terakhir baginya. Kalau
dilepaskan pula, akan terlepaslah untuk selama-lamanya.”
Kalau pikirannya sedang demikian maka lemahlah seluruh sendi badannya. Perasaan
kehampaan yang telah berbulan-bulan memberatkan hatinya datanglah mengepul
dan memaksanya mengatakan, “Ya” kepada Supomo. Sebab Supomo seorang yang baik
hati, penuh kasih sayang. Cintanya yang dikatakannya itu tiada boleh tidak lahir dari
kalbunya benar. Sudah lebih enam bulan ia berkenalan dengan dia.
Tetapi apabila seolah-olah telah putuslah maksudnya demikian oleh
kemenangan perasaan hatinya, maka timbullah timbangan yang menyelidiki dan
menyiasati keputusan yang diambilnya itu. “Baik ia kawin dengan Supomo? Dapatkah
ia mencintai dan menghormatinya? Dapatkah ia memberi bahagia kepadanya sebagai
suaminya? Dapatkah ia sendiri merasa memberi bahagia kepadanya sebagai
suaminya? Dapatkah ia sendiri merasa berbahagia dengan Supomo, laki-laki yang
lemah lembut, baik hati, tetapi biasa dalam segala-galanya dan tiada sedikit turut hidup
dengan pergerakkan kebangunan bangsanya?”
Bertalu-talu datang pertanyaan membanjiri pikirannya: sekejap terkilat
kepadanya, bahwa kenikmatan pergaulannya dengan Supomo waktu yang akhir ini ialah
usaha jiwanya melarikan dirinya dari perasaan kengerian akan usianya yang sudah dua puluh
tujuh tahun.
Bengis dan kejam dikoyakkan tenda kekaburan tempat bersembunyi, dan bengis
dan kejam dihadapinya soalnya yang sebenar- benarnya: Kawin untuk melepaskan perasaan
kecemasan Sebabnya cinta sebenar-benarnya tiada akan dapat ia terhadap kepada Supomo
yang dalam segala hal menurut pandangan matanya tiada lebih daripadanya, meskipun
ia mendapat ijazah di negeri Belanda ....
Dalam ia dengan kejam dan bengis membelah isi kalbunya sendiri itu,
kedengaran kepadanya bunyi orang mengetuk pintu. Dipasangnya telinganya terang-terang
dan terdengar kepadanya bunyi ketuk itu berulang-ulang. Berlahan-lahan berdirilah ia
dari tempat duduknya dan berjingkat-jingkat, supaya jangan mengusik adiknya yang lagi
tidur, berjalanlah ia keluar.
Kelihatan kepadanya seorang anak kira- kira umur empat belas tahun. Melihat rupanya
tahu sekali ia bahwa itu adik Supomo, sebab pada mukanya ada cahaya kelembutan yang
Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMP Jilid 3
226
terbayang pada air muka kakaknya. Berdebar- debar hatinya menerima surat yang bersampul
dari anak itu. Ketika ia bergesa-gesa hendak masuk, sebab ingin hendak mengetahui
isinya, dari jalan kedengaran kepadanya bel bunyi sepeda dan nampak kepadanya Yusuf.
Belum lagi ia turun dari sepedanya, sudah kedengaran ia bertanya; betapa keadaan Maria.
“Masih seperti biasa saja, tetapi sekarang ia tertidur … marilah engkau naik” jawab
Tuti. Yusuf menyandarkan sepedanya dan
naiklah ia ke rumah, mengikuti Tuti masuk ke kamar Maria. Meskipun hati-hati benar
orang berdua itu masuk, tetapi Maria terbangun juga. Mukanya yang pucat itu
tersenyum antara kelihatan dengan tiada memandang kekasihnya yang datang
melihatnya itu.
Sebentar Tuti menemani Yusuf bercakap- cakap dengan Maria, tetapi sebab tiada dapat
ia menahan hatinya hendak membaca surat yang baru diterimanya itu, berkatalah ia.
“Yusuf, duduklah engkau sebentar. Saya dari pulang sekolah tadi belum bertukar pakaian
lagi. Sekarang hari sudah setengah lima. Biarlah saya membersihkan badan sebentar.”
Lalu keluarlah ia dari kamar Maria masuk ke kamarnya. Pekerjaannya yang pertama
sekali ialah membuka sampul surat dari Supomo. Bersinar-sinar matanya menelan
segala yang ditulis di dalamnya.
Supomo menceritakan bahwa telah lama ia mencintanya, tetapi selama itu cintanya
disimpannya saja di dalam hatinya, hingga akhirnya ia tiada dapat menyimpannya lagi.
Dilukiskannya betapa ia berharap Tuti membalas cintanya itu.
Minta maaf ia mendesak Tuti tadi selekas-lekasnya memberi jawab. Pikirkanlah
segala masak-masak, supaya jangan ia menyesal di kemudian hari. Tetapi sementara
itu dimintanya juga supaya besok pagi ia mendapat jawab yang baik dari Tuti. Sebab
terlampau berat terasa kepadanya menanti seperti sekarang terombang-ambing di laut
tidak di darat tidak.
Sangat bersahaja bunyi surat itu dan di sana-sini terasa kepada Tuti pujaan yang tulus
terhadap kepada dirinya. Dan dalam hatinya yakin ia seyakin-yakinnya lemahlah rasa
hatinya sesudah membaca surat itu: Cinta yang semesra itu tidak akan mungkin tersua
lagi rasanya seumur hidup.
Sumber: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana
Kalian telah menyimak sepenggal kutipan novel di atas. Untuk menjelaskan karakteristik novel tahun 1920-an, kalian perlu
membaca novel Layar Terkembang secara keseluruhan. Selain membaca novel Layar Terkembang, kalian juga perlu untuk
membaca karya sastra novel 20-an yang lain.
Setelah menyimak pembacaan kutipan novel di atas, kalian dapat mengidentifikasi ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an
berdasarkan bahasa yang digunakan, sifat-sifat tokoh yang terdapat pada kutipan, serta kesimpulan isi kutipan novel tersebut sebagai
berikut.
1. Ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an novel zaman Balai
Pustaka-Pujangga Baru sebagai berikut. a.
Sudah mulai tampak cita-cita organisasi yang mengarah pada semangat membentuk persatuan In-
donesia.
Sumber: Dok. Penerbit