Pelajaran 6 Komunikasi
125
2. Pandanglah hadirin saat berpidato meskipun sesaat. Jangan
tertuju pada satu arah. Jika menggunakan teks, jangan membaca teks tersebut tanpa memerhatikan hadirin.
3. Sampaikan pidato sesuai dengan suasana atau isi pidato,
misalnya sedih, gembira, duka, semangat, dan sebagainya. 4.
Gunakan irama penyampaian yang variatif agar tidak monoton dan menjenuhkan.
5. Upayakan agar sesuatu yang kamu sampaikan dapat diterima
dengan jelas oleh hadirin. Upaya ini dapat dilakukan dengan volume suara, artikulasi, dan intonasi yang tepat serta bahasa
yang komunikatif.
6. Bersikaplah dengan sopan dan simpatik.
Apabila kalian menyampaikan pidato dengan menggunakan teknik pidato membaca teks, kalian dapat langsung membacanya
di depan pendengar. Namun demikian, apabila kalian berpidato menggunakan teknik ekstemporan, kalian perlu membuat kerangka
pidato atau materi sebelum berpidato. Kerangka pidato dari teks di atas dapat kalian tentukan sebagaimana berikut.
1. Ponsel di zaman serbadinamis.
2. Tips memilih ponsel.
Ingin Tahu?
Hal-hal yang harus dihin- dari dalam berpidato.
1. Bersikap menggurui, angkuh, atau
provokasi negatif yang menjerumuskan.
2. Posisi berdiri yang sembarangan.
3. Bersikap tidak acuh atau tidak memerhati-
kan hadirin.
Ingin Tahu?
Banyak orang mengalami ketidaksiapan secara mental untuk melakukan pidato. Mereka dihinggapi rasa takut berbicara di depan umum. Kondisi
demikian disebut dengan demam panggung atau takut berbicara. Beberapa cara mengatasi demam panggung di antaranya berikut.
– Relaksasi atau melemaskan otot-otot yang tegang, misalnya dengan
menggoyangkan kaki, menyalami tangan sendiri dan meletakkannya di atas kepala, dan memutar-mutarkan leher dan bahu.
– Menarik napas dalam-dalam. – Mengambil segelas air ke podium jika memungkinkan.
– Menggoyang-goyangkan tangan yang bergetar secara perlahan dan meletakkannya di atas mimbar.
– Memegang sesuatu–misalnya tisu–di kepalan tangan sebagai pengalih ketegangan.
– Sebelum tampil, pejamkan mata dan bayangkan pendengar menyimak, tertawa, dan bertepuk tangan untuk kita.
– Ucapkan sesuatu kepada seseorang sekadar mengecek dan meyakinkan bahwa suara siap dikeluarkan di podium.
Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMP Jilid 3
126
Uji Kemampuan 2
Pahamilah teks pidato berikut dengan cermat
Festival Pesisir
Teriring puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut baik peran
aktif Asosiasi Tradisi Lisan ATL menyeleng- garakan Festival Pesisir 2003. Festifal Pesisir
2003 ini penting artinya bagi pelestarian budaya tradisi lisan.
Masyarakat kita memiliki berbagai bentuk tradisi lisan yang mengandung hikmat
nilai-nilai luhur, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hal tersebut banyak diekspre-
sikan melalui ungkapan sastra lisan, lagu, dan gerak, seperti pantun, dongeng, ketoprak,
wayang kulit, dan sejenisnya.
Oleh masyarakat sekarang, tradisi lisan tersebut cenderung kurang diperhatikan lagi,
dan dipandangnya sebagai budaya masa lalu, yang semata-mata bernilai hiburan saja.
Padahal, apabila dikaji dan dicermati, di dalamnya tersirat berbagai hikmat ketela-
danan, nasihat, tuntunan perilaku bijaksana yang dapat dipetik, tetap relevan sesuai, dan
berdaya guna untuk diterapkan pada konteks masa kini.
Dalam konteks itulah, arti penting festi- val ini diharapkan dapat menggugah kesadaran
masyarakat akan perlunya upaya pelestarian dan penumbuhkembangan kembali budaya
tradisi lisan, di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mudah-mudahan pelestarian
tradisi lisan dapat makin memantapkan keta- hanan budaya masyarakat dalam menyikapi
dan mengantisipasi tantangan era global.
Semoga Tuhan memberikan bimbingan, kemudahan, dan kekuatan lahir batin dalam
mewujudkan perjuangan luhur.
Kerjakan tugas berikut dengan tepat
1. Bacalah teks pidato di atas dan persiapkan dirimu untuk
berpidato dengan teks tersebut 2.
Sampaikan pidato tersebut dengan intonasi yang tepat, serta artikulasi dan volume suara yang jelas
TAGIHAN Kerjakan tugas berikut
1. Carilah teks pidato dari buku di perpustakaan
2. Pelajarilah dengan saksama teks pidato tersebut
3. Persiapkan dirimu untuk berpidato dengan teks tersebut
4. Berpidatolah di depan teman-temanmu dan bapakibu guru
5. Mintalah tanggapan terhadap penyampaian pidato yang kamu
lakukan kepada teman-teman dan bapakibu guru 6.
Perbaikilah cara penyampaian pidato berdasarkan tanggapan yang diberikan
Portofolio
Buatlah teks pidato yang akan kamu sampaikan di
depan kelas Serahkan hasil pekerjaanmu
kepada gurumu dan berpidatolah di depan
kelas
Pelajaran 6 Komunikasi
127
C. Mengidentifikasi Kebiasaan, Adat, dan Etika dalam Novel Angkatan 20–30-an
Pernahkah kalian mendengar kisah novel “Siti Nurbaya”? Pasti kalian akan langsung teringat mengenai sebuah kisah dalam
sastra lama yang menarik, bukan? Pada pembelajaran ini, kita akan mempelajari novel sastra Indonesia tahun 20 sampai 30-an.
Novel adalah karangan prosa yang panjang, yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-
orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dibandingkan dengan roman, model penceritaan novel tidak
begitu terperinci. Ciri khas novel yaitu adanya perubahan nasib tokoh yang diceritakan.
Sejarah novel Indonesia diawali sekitar tahun 1920-an, dengan pengarang seperti Marah Rusli, Merari Siregar, Sultan Takdir
Alisjahbana, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Jamaluddin Adinegoro, Hamka Abdul Malik Karim Amrullah, Sariamin
SelasihSeleguri, Suman Hs. Hasibuan, Tulis Sutan Sati, Mohammad Kasim, dan Aman Datuk Madjoindo. Novel Indone-
sia tahun 1920 sampai 1930-an termasuk dalam angkatan Balai Pustaka.
Balai Pustaka merupakan sebuah komisi Commissie voorchet volkslectuur yang didirikan pada tanggal 14 Septem-
ber 1908. Tujuan pendirian Balai Pustaka adalah 1 memberi bacaan kepada rakyat untuk menyaingi penerbitan Cina, yang
dianggap membahayakan pemerintah Belanda serta 2 memasukkan tujuan utama pihak penjajah ke dalam jiwa bangsa
Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa syarat naskah yang masuk ke Balai Pustaka, yakni netral dari agama,
tidak mengandung politik, dan tidak menyinggung kesusilaan.
Guna meningkatkan pemahaman kalian tentang novel Indo- nesia tahun 1920 sampai 1930-an dan meningkatkan keterampilan
apresiasi kalian, bacalah kutipan novel berikut.
“Ayah sudah datang sajikanlah nasi itu Mak, saya pun sudah lapar,” kata Mariamin,
budak yang berusia tujuh tahun itu. “Baik,” jawab si ibu, lalu meletakkan
tikar yang tengah dianyamnya. “Panggillah ayahmu, supaya kita bersama-sama makan.
Ini sudah hampir setengah delapan, nanti Riam terlambat datang ke sekolah.”
Setelah itu Mariamin pun pergilah ke bawah mendapatkan ayahnya. Ibunya pergi
ke kamar makan menyediakan makanan untuk mereka itu anak-beranak. Tiada berapa lama
Mariamin datang seraya berkata, “Ayah belum hendak makan.”
“Di manakah ia sekarang?” tanya si ibu. “Di muka rumah itu, lagi bercakap-cakap
dengan orang lain. Ia sudah kupanggil, tetapi ia menyuruh saya makan dahulu.”
“Baiklah, anakku dahulu makan, hari sudah tinggi. Ibulah nanti kawan ayahmu
makan.”
Sumber: Dok. Penerbit
Tujuan Pembelajaran
Tujuan belajar kalian adalah dapat meng-
identifikasi kebiasa- an, adat, dan etika
yang terdapat dalam novel 20-30-an serta
mengaitkan isi novel dengan kehidupan
masa kini.
Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMP Jilid 3
128
Sedang anak itu makan, maka ibunya meneruskan pekerjaannya, menganyam tikar.
Meskipun ia dapat membeli tikar di pasar dengan uang dua rupiah, tiadalah suka ia
mengeluarkan uangnya, kalau tidak perlu. Benar uang dua rupiah itu tiada seberapa, bila
dibandingkan dengan kekayaan mereka itu. Tetapi ia seorang perempuan dan ibu sejati.
Bukanlah orang miskin saja yang harus berhemat, orang yang berada pun patut
demikian juga. Daripada uang dikeluarkan dengan percuma, lebih baik diberikan kepada
orang yang papa. Demikianlah pikiran Mak Mariamin. Anaknya itu pun diajarkan
berpikiran demikian; bibit hati kasihan ditanamkannya ke dalam kalbu anaknya itu.
Betul itu tiada susah baginya, karena anaknya itu lahir membawa tabiat si ibu. Syukur tiada
seperti si bapak, orang yang kurang beradab itu. Tadi pagi sebelum Mariamin makan,
ibunya telah menyuruh dia membawa beras dan ikan serta beberapa butir telur kepada
seorang perempuan tua yang amat miskin. Tempatnya ada sekira-kira sepal dari
rumahnya. Oleh sebab melalui jalan yang sejauh itulah, maka Mariamin jadi lapar,
sebagai katanya tadi. Pekerjaan itu, yakni mengantar-antarkan sedekah ke rumah orang
lain, tiadalah paksaan bagi Mariamin, tetapi itulah kesukaannya. Kadang-kadang ia tegur
ibunya, sebab terlampau lama tinggal bercakap-cakap di rumah orang yang
menerima pembawaannya itu. Mariamin amat bersenang hati campur gaul dengan
orang miskin, tiadalah pernah ia memandang orang yang serupa itu dengan hati yang jijik
sebagai beribu-ribu anak orang kaya.
“Riam, Riam” panggil seorang budak laki-laki dari bawah. Mariamin berlari ke
jendela itu, karena suara itu telah dikenalnya. Dengan tersenyum ia berkata.
“Naiklah sebentar Angkang, saya hendak bertukar baju lagi.”
“Lekaslah sedikit, Riam, biarlah kunanti di sini. Ia sudah hampir masuk sekolah,
kawan-kawan sudah dahulu,” jawab Aminuddin, seraya ia melihat matahari yang
sedang naik itu. Takutlah ia, kalau-kalau akan terlambat.
Setelah Mariamin turun, mereka itu pun berjalanlah bersama-sama menuju rumah
sekolah, dengan langkah yang cepat. Budak yang dua itu berjalan serta dengan riangnya,
tiada ubahnya sebagai orang yang bersaudara yang karib. Persahabatan siapa lagi yang lebih
rapat daripada mereka itu; bukankah mereka itu masih dekat lagi dengan perkaumannya?
Kelakuan mereka itu pun bersamaan, yang seorang setuju dengan kehendak seorang.
Lebih karib dan rapat lagi mereka itu, sesudah Aminuddin melepaskan adiknya itu daripada
bahaya banjir dahulu itu.
Mariamin adalah seorang anak yang cerdik, pengiba, dan suka berpikir. Hal ini
ternyata dari pertanyaan-pertanyaannya yang selalu dikemukakannya kepada ibunya, tatkala
mereka itu pada suatu ketika duduk di hadapan rumah mereka. Barang apa yang
dilihatnya selalu diperhatikannya, dan kalau ia tak mengerti atau tiada dapat menimbang
sesuatu hal yang dilihatnya itu, ia pun pertanyakan kepada ibunya.
“Mak, apakah sebabnya kita kaya, dan ibu si Batu amat miskin? Makanan mereka
itu hanya ubi, jarang-jarang ibunya bertanak nasi, kalau tiada bersedekah orang. Bukankah
Mak sebutkan dahulu: Tuhan pengiba; kalau begitu, mengapa mereka semiskin itu?”
demikianlah pertanyaan Mariamin kepada ibunya.
Si ibu tercengang sebentar mendengar perkataan anak itu. Ia tersenyum seraya
bertanya, “Dari manakah anak tahu, bahwa kita kaya?”
“Kita kaya; sawah lebar, kerbau banyak, dan uang ayah pun banyak, demikianlah kata
orang saya dengar. Tiada benarkah itu, Mak?”
Pelajaran 6 Komunikasi
129
Budak itu memegang tangan ibunya, seraya memandang mukanya dengan pandang
yang lemah. Ibunya memeluk dan mencium cahaya matanya itu, seraya berkata: “Ibu tidak
menidakkan pemberian Allah, nafkah kita cukup selamanya, dan Riam lebih daripada
permata yang mahal bagi ibu.”
Sudah tentu si anak itu kurang mengerti akan ibunya itu. Sebab itu, ia melihat muka
ibunya lagi dengan herannya. “Anakku bertanya tadi, apa sebabnya ada orang kaya
dan ada pula orang miskin, sedang Tuhan itu menyayangi sekalian yang diadakan-Nya. Apa
sebabnya, orang kaya itu kaya, ada. Ibu sudah berkata dahulu, Tuhan itu amat menyayangi
manusia itu, bukan?”
“Ya, Mak” sahut Mariamin, “Bagus. Allah yang Rahim amat mencintai hambanya.
Oleh sebab itu, haruslah manusia itu menaruh sayang kepada sesamanya manusia.
Mereka itu harus tolong-menolong. Riam berkata tadi ibu si Batu miskin, kita kaya.
Jadi sepatutnya bagi kita menolong mereka itu, itulah kesukaan Allah. Riam pun haruslah
mengasihi orang yang papa lagi miskin, dan rajin disuruh Mak mengantarkan makanan ke
rumah orang yang serupa itu. Sudahkah mengerti Riam, apa sebabnya orang kaya itu
kaya?”
“Sudah, yakni akan menolong manusia yang miskin,” sahut si anak yang cerdik itu.
“Benar, begitulah kehendak Allah” kata si ibu serta mencium kening anaknya itu
berulang-ulang, matanya basah oleh air mata; dalam hatinya berkata, “Mudah-mudahan
Allah memeliharakan anakku ini dan memberikan hati yang pengiba bagi dia.”
Azab dan Sengsara, 2001:81-84
Berdasarkan kutipan novel tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Kebiasaan, adat, dan etika yang terdapat dalam kutipan novel
adalah berikut. a. Budaya makan keluarga selalu dilakukan bersama-sama
lengkap; ayah, ibu, dan anak. Jika ada sesuatu hal yang di luar kebiasaan terjadi, maka anak diperbolehkan makan
terlebih dahulu. Sementara istri harus tetap mengunggu suaminya. Kutipannya sebagai berikut.
“Ayah sudah datang, sajikanlah nasi itu Mak, saya pun sudah lapar,” …
“Baik, … Panggillah ayahmu, supaya kita bersama-sama makan …”
“Ayah belum hendak makan” … “Baiklah anakku dahulu makan, hari sudah tinggi. Ibulah nanti kawan
ayahmu makan.”
b. Anak harus menurut perintah ibunya. Kutipannya sebagai berikut.
“Pekerjaan itu, yakni mengantar-antarkan sedekah ke rumah orang lain, tiadalah paksaan bagi
Mariamin …”
“Jadi sepatutnya bagi kita menolong mereka itu, itulah kesukaan Allah. Riam pun haruslah mengasihi orang
yang papa lagi miskin, dan rajin disuruh Mak mengantarkan makanan ke rumah yang serupa itu.”