Orang Lanjut Usia Orang-orang yang tidak boleh dijatuhi hukuman Mati dan Dieksekusi.

8

4.3. Orang Sakit Mental

Tidak ditemukan secara jelas aturan yang melarang pidana mati dilakukan kepada orang sakit mental di Indonesia, tidak juga dalam UU 2PNPS1964. Namun, apabila ditelusuri, KUHP Indonesia mengatur mengenai ketentuan orang sakit mental tidak dapat dipidana dan dimintai pertanggungjawaban pidana. Ketentuan tersebut disebut sebagai alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum, sehingg dilihat dari sisi orangpelakunya secara subjektif. Orang sakit mental adalah salah satu contoh subjek yang bisa dikenai alasan pemaaf sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP disebutkan: Tiada dapat dipida a ara gsiapa e gerjaka suatu perbuatan yang tidak dapat diperta ggu gja a ka kepada a, se a kura g se pur a akal a atau sakit eru ah akal. Selanjutnya juga dituliskan dalam Pasal 44 ayat 2 KUHP yang berbunyi : Jika ata per uata itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahu u tuk diperiksa. Secara Internasional, eksekusi bagi orang-orang yang sakit mental dilarang. 31 Larangan ini termasuk orang-orang yang terganggu jiwanya karena dikenakan hukuman mati. 32 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merekomendasikan agar negara- egara e ghapuska huku a ati agi ora g-orang yang menderita gangguan mental atau keterbelakangan mental, baik pada saat penentuan putusan aupu eksekusi. 33

4.4. Perempuan Hamil dan Baru Melahirkan

Dalam hukum di Indonesia, diatur juga alasan penundaan pidana mati, salah satunya kepada wanita hamil dan baru melahirkan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7 UU 2PNPS1964 yang berbunyi: Apa ila terpida a ha il, aka pelaksa aa pida a ati aru dapat dilaksa aka e pat puluh hari setelah a ak a dilahirka . Berdasarkan peraturan di atas, eksekusi pidana mati bagi terpidana mati yang sedang hamil itu ditunda hingga empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Artinya, eksekusi pidana mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil. Hal ini sudah sesuai dengan konteks Internasional, yang melarang hukuman mati dijatuhkan kepada perempuan hamil 34 dan kepada perempuan yang baru melahirkan. 35

5. Kaitan langsung Hukuman Mati dengan Hak atas Peradilan yang Adil

Karena sifat hukuman mati sangatlah besar akibatnya, maka proses peradilan terhadap kasus-kasus besar harus segera mengacu pada standar-standar internasional dan regional yang melindungi hak atas Peradilan yang Adil. Semua perlindungan dan proses yang menjamin hak atas Peradilan yang Adil yang diatur dalam standar internasional harus dilaksanakan selama berlangsungnya proses pra- persidangan, persidangan dan tingkat banding serta standar-standar tersebut harus dihargai sepenuhnya. Diyakini bahwa semua eksekusi melanggar hak atas hidup. Meski hal ini tidak sepenuhnya diterima secara internasional, namun badan-badan HAM internasional dan para ahli setuju bahwa hal itu melanggar hak atas hidup dengan mengeksekusi seseorang setelah proses 31 Paragraf ke-3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati 32 Lihat juga Laporan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi di luar proses peradilan, mendadak dan sewenang- wenang, Dok.PBB.A51457, paragraf 115 33 Resolusi ECOSOC, 198964, diadopsi tgl 24 Mei 1989, Dok.PBB;E1989INF7 34 Pasal 65 ICCPR, Pasal 45 Konvensi Amerika 35 Paragraf ke-3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati , Lihat juga Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, A51457, 7 Oktober 1996, paragraf 115 9 peradilan yang tidak adil. Tidak seorangpun yang dapat dicabut hak atas hidupnya secara sewenang- wenang. 36 Hukuman mati hanya dapat dikenakan atas dasar putusan akhir pengadilan yang kompeten setelah dilalui proses hukum yang menjamin pengadilan yang adil, paling tidak memenuhi standar seperti yang disyaratkan pada Pasal 14 Kovenan Sipol, termasuk hak-hak bagi terdakwa yang didakwa dengan tuduhan tindak kriminal dengan tuntutan hukuman berat dan terdakwa tersebut didampingi oleh penasihat hukum pada setiap proses pengadilan. 37 Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang menyatakan bahwa proses i posisi putusa atas kejahatan-kejahatan berat harus didasarkan pada standar tertinggi hakim dan juri yang independen, kompeten, objektif dan imparsial, seperti yang disyaratkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Semua terdakwa yang menghadapi imposisi hukuman berat harus mendapatkan fasilitas penasihat hukum yang kompeten pada setiap proses pengadilan. Terdakwa harus diasumsikan tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan tanpa ragu-ragu, dengan standar tertinggi dalam mencari dan menilai bukti-bukti. Selain itu, seluruh faktor yang meringankan terdakwa harus diperhitungkan. Proses pengadilan harus menjamin hak bagi tribunal yang lebih tinggi untuk menguji fakta dan aspek hukum kasus tersebut, dengan hakim-hakim yang berbeda dari hakim yang menangani kasus itu sebelumnya. Hak terdakwa untuk memohon maaf, komutasi keringanan hukuman atau pengampunan juga harus dijamin. 38 Berikut ketentuan dasar peradilan yang adil :

5.1. Hak Atas Bantuan Hukum yang Efektif

Dalam hukum acara pidana di Indonesia aturan utama terkait bantuan hukum dan penasihat hukum terdapat dalam KUHAP. Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa : Gu a kepe ti ga pe elaa , tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang- u da g i i. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 18 ayat 4 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan : “etiap ora g a g diperiksa erhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah e peroleh kekuata huku tetap . Dalam pasal 54 KUHAP, hak untuk mendapatkan bantuan hukum termasuk dalam hak tersangka dan terdakwa, dimana tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk memiih sendiri penasihat hukumnya. 39 Ketentuan lain diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 22 ayat 1 menekankan bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Sebagai implementasi UU No. 18 Tahun 2003 ini kemudian Pemerintah membuat PP No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Menindaklanjuti kedua peraturan ini, pada 2010 Perhimpunan Advokat Indonesia kemudian 36 Pasal 61 ICCPR, Pasal 4 Konvensi Afrika, Pasal 41 Konvensi Amerika 37 Paragraf ke-5 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati 38 Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB, A514577 Oktober 1996, paragraf 111 39 Pasal 55 KUHAP