Hak untuk Memohon Pengampunan dan Peringanan Hukuman

15 Hukuman atas hukuman tersebut. Amnesti, Pengampunan atau Keringanan atas Hukuman mati di u gki ka u tuk dika ulka u tuk se ua kasus.

5.6. Tidak Boleh dilakukan Eksekusi saat Proses Banding dan Permohonan Pengampunan

Pelaksanaan putusan pengadilan terdapat dalam Bab XIX tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Bab XX tentang Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan KUHAP. Dalam Pasal 270 KUHAP disebutkan b ahwa Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat putusa kepada a. Berdasarkan ketentuan Pasal 270 KUHAP tersebut, maka dapat diambil kesimpulan, hanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sajalah yang dapat dieksekusi oleh Jaksa. Sehingga ketentuan KUHAP telah menjamin bahwa dalam hal terdakwa yang dituntut dengan pidana mati mengajukan upaya hukum, tidak dapat dilakukan eksekusi. Terkait permohonan grasi, aturan penundaan eksekusi mati apabila terpidana mengajukan grasi ke Presiden diatur dalam Pasal 3 UU Grasi yang berbunyi : Per oho a grasi tidak e u da pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan p ida a ati . Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 2 ayat 3 UU Grasi, permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 kali atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selain membatasi banyaknya jumlah permohonan, UU Grasi juga membatasi jangka waktu permohonan, permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. 73 Hukuman mati hanya boleh dijatuhkan setelah diputus akhir oleh hakim pada pengadilan yang kompeten. 74 Eksekusi tidak boleh dilakukan apabila masih dalam proses banding atau berada dalam prosedur yang harus dijalankan berkaitan dengan permintaan pengampunan atau komutasi hukuman tersebut. 75 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB ECOSOC menyatakan segala informasi terkait upaya hukum dan permohonan pengampunan terpidana mati harus diinformasikan kepada pejabat atau aparat negara yang terlibat dalam pengambilan keputusan atas hukuman mati, sehingga eksekusi tidak dapat dilakukan dalam hal terpidana mati sedang melakukan upaya hukum dan permohonan pengampunan. 76

5.7. Waktu yang Cukup antara Putusan dengan Eksekusi

Terkait waktu yang cukup sebelum eksekusi mati, tidak ada pengaturan di Indonesia yang menjabarkan rentang waktu tersebut, hanya saja permohonan upaya hukum dan permintaan pengampunan adalah salah satu alasan penundaan eksekusi mati. Kondisi Indonesia tidak sesuai dengan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi diluar Pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang merekomendasikan periode sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum hukuman mati dilaksanakan oleh pengadilan, ini dimaksudkan agar ada waktu yang cukup untuk persiapan upaya hukum dan permintaan petisi untuk peringanan Hukuman. 77 73 Pasal 7 ayat 2 UU Grasi 74 Pasal 62 ICCPR, Paragraf ke-5 Perlindungan atas Hukuman Mati, Pasal 42 Konvensi Amerika 75 Paragraf ke-8 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati, Pasal 46 Konvensi Amerika, Lihat Pasal 145 dan 64 ICCPR 76 Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB ECN.419964, pada hal.553 dan Resolusi ECOSOC 199615, diadopsi 23 Juli 1996 77 Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, , paragraf 553 16

5.8. Kondisi Penjara bagi Terpidana Mati

Pada dasarnya Indonesia tidak mengenal pengaturan khusus mengenai penjara bagi terpidana yang dijatuhi hukuman mati, hanya saja diatur dalam Pasal 5 UU 2PNPS1964 mengenai dalam hal menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditempatkan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa TinggiJaksa. Dalam beberapa aturan, khususnya UU Pemasyarakatan, tidak dilakukan pembedaan hak antara terpidana mati dan terpidana lainnya, hanya saja bagi terpidana yang dijatuhi pidana seumur hidup dan pidana mati tidak mendapatkan hak-hak khusus seperti asimilasi dan pengurangan masa pidana. Indonesia mengenal mengenai mekanisme tunggu terpidana mati, berdasarkan Pasal 6 ayat 1 UU No 2PNPS1964, lamanya waktu tunggu sebelum eksekusi adalah tiga kali dua puluh empat jam 3x24 jam. Waktu tersebut diatur setelah Jaksa TinggiJaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya eksekusi pidana mati. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB menyerukan bahwa perlakuan bagi terpidana mati harus sesuai dengan standar-standar dan Aturan Minimum PBB tentang perlakuan bagi tahanan ecara efektif, dengan maksud untuk meminimalisir penderitaan tahanan yang dihukum hukuman mati dan menghindari terjadinya penderitaan yang lebih dalam. 78 Komite HAM berpandangan bahwa memperpanjang waktu hukuman mati, tidak melanggar hak-hak terpidana mati. Keputusan ini berdasarkan fakta bahwa Kovenan Sipol tidak melarang hukuman mati, meski maksud dan tujuannya adalah untuk mengurangi pelaksanaan hukuman mati dan menyatakan bahwa penetapan batas waktu maksimum akan mendorong negara-negara untuk menjatuhkan hukuman mati sebelum waktunya. 79 Namun, Komite HAM menyatakan bahwa, apabila periode penahanan tentang hukuman mati berlangsung selama 11 tahun, ini merupakan persoalan yang serius, oleh karena itu Komite menegaskan bahwa periode spesifik tersebut tidak boleh melanggar Pasal 7 dan 10 1 ICCPR. 80 78 Resolusi ECOSOC 199615, Diadopsi tanggal 23 Juli 1996 79 Robinson La Vende v, Trinidad dan Tobago 5541993, 29 Oktober 1997 80 Johnson v. Jamaica 5881994, 22 Maret 1996, Dok.PBB.CCPRC56?D5881994