Judicial killing hukuman mati demi keadilan Final I

(1)

(2)

Judicial Killing: Dibunuh Demi Keadilan Fair Trial dan Hukuman Mati di Indonesia Disusun oleh

Anggara

Senior Researcher Associate Supriyadi W. Eddyono Senior Researcher Associate Erasmus A.T. Napitupulu Researcher Associate Yonatan Iskandar Chandra Junior Researcher Associate Desain Sampul

Antyo Rentjoko Bahan praolah:

Freepik.com dan All-free-download.com Lisensi Hak Cipta

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License. Diterbitkan oleh:

Institute for Criminal Justice Reform

Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12510

Phone/Fax : +6221 7945455

icjr.or.id | @icjrid | infoicjr@icjr.or.id Dipublikasikan pertama kali pada : November 2015


(3)

Kata Pengantar

Dalam sejarahnya, perdebatan hukum pidana di Indonesia mengenai pidana mati adalah perdebatan cukup baru. Pengorganisasian kelompok masyarakat sipil yang menolak hukuman mati juga baru dimulai pada 1980-an saat Koalisi Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) terbentuk. Pada saat itu, penembakan tanpa proses peradilan juga marak yang dikenal dengan nama Petrus atau Penembakan Misterius.

Sejak saat itu terjadi perdebatan panjang diantara para ahli hukum pidana dan juga antara masyarakat anti hukuman mati dengan masyarakat yang mendukung diberlakukannya hukuman mati. Perdebatan ini juga tidak berhenti pada saat untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi memutuskan konstitusionalitas hukuman mati di pengujian UU Narkotika. Perdebatan itu juga membelah suara dari para Hakim Konstitusi dalam memandang konstitusionalitas hukuman mati dalam UUD RI Tahun 1945.

Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat pemerintah memutuskan melakukan dua eksekusi mati di awal 2015 terhadap 11 orang terpidana mati. Keputusan eksekusi mati yang dijalankan pemerintah menuai perdebatan terutama dari sisi hak atas peradilan yang adil (fair trial) dalam seluruh proses yang dijalani oleh para terpidana mati.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam penelitiannya menemukan fakta tidak hanya dalam prosesnya yang diragukan akan tetapi juga kompabilitas fair trial yang dianut oleh KUHAP dengan berbagai perjanjian internasional yang telah diratifikasi juga diragukan. ICJR mencatat bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia memberikan standar peradilan yang sama antara proses peradilan bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati dan tersangka/terdakwa pada kasus-kasus lainnya. Mestinya ada standar yang berbeda yang harus diterapkan jika Tersangka tersebut terancam dengan pidana mati. Selain itu ada banyak persoalan yang masih berulang dan mencederai standar yang diberikan KUHAP diantaranya adalah kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif, sampai dengan inkonsistensi putusan hakim.

Perdebatan ini diprediksi akan semakin memanas karena pada saat ini Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan KUHP. Pasal 67 RKUHP masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan. Perbedaannya dengan KUHP, hukuman mati dinyatakan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Namun, sifat khusus untuk penerapan yang selektif ini masih perlu diragukan karena banyaknya tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dalam RKUHP. Dalam RKUHP, terdapat 15 pasal yang mencantumkan hukuman mati dalam deliknya.

Tak ada penjelasan khusus, kenapa hukuman mati masih dipertahankan begitu juga dengan tak adanya penjelasan kenapa tindak pidana tertentu perlu dijatuhi hukuman mati. Apakah penetapannya apakah berdasarkan dampak kejahatan atau lebih dikarenakan melihat tingkat keseriusan kejahatan (gravity of the crimes)?

Penelitian yang dilakukan oleh ICJR ini berupaya untuk menggambarkan sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terhadap seorang yang diancam dengan pidana mati. Harapannya, penelitian ini bisa jadi dasar untuk melakukan advokasi untuk perbaikan hukum pidana dan sistem peradilan pidana di Indonesia

Jakarta, November 2015


(4)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... iv

BAB I Pendahuluan ... 1

1. Tujuan Penelitian ... 3

2. Ruang Lingkup Penelitian ... 3

3. Metode Penelitian ... 3

BAB II Hukuman Mati dan Hak atas Peradilan Yang Adil ... 4

1. Standar Hak Atas Peradilan Yang Adil ... 4

2. Tidak Ada Penerapan Retroaktif, namun Mengikuti Perubahan Undang-Undang ... 4

3. Hukuman Mati dan Kejahatan Serius Tertentu ... 5

4. Orang-orang yang tidak boleh dijatuhi hukuman Mati dan Dieksekusi. ... 7

5. Kaitan langsung Hukuman Mati dengan Hak atas Peradilan yang Adil ... 8

BAB III Potret Umum Putusan Pengadilan dalam Pidana Mati (Riset 42 Putusan Pidana Mati) .. 17

1. Gambaran Umum Identitas Terpidana Mati ... 17

1.1. Usia ... 17

1.2. Kebangsaan ... 18

1.3. Jenis Kelamin ... 18

1.4. Pekerjaan ... 19

1.5. Agama ... 20

2. Gambaran Putusan Pengadilan ... 20

2.1. Jenis Perkara ... 20

2.2. Sebaran Putusan ... 21

2.3. Tahun Putusan ... 22

2.4. Putusan berdasarkan Provinsi ... 22

2.5. Jenis Tuntutan ... 23

2.6. Vonis dan Alur Putusan ... 26

2.7. Alur Putusan ... 28

2.8. Penahanan ... 29

BAB IV Potret Khusus Putusan Pidana Mati ... 33

1. Penyiksaan/Intimidasi ... 33

2. Akses terhadap Bantuan Hukum/Advokat ... 35

3. Pe ggu aa “aksi Mahkota : Pelanggaran Prinsip Non Self Incrimination ... 36

4. Pengakuan Terdakwa ... 38

5. Penggunaan Saksi Penyidik (Verbalisan): Melanggengkan Kekerasan dalam Praktek Penyidikan Pidana ... 38

6. Terpidana Mati: Anak dan Remaja ... 39

7. Ketimpangan Pembuktian ... 40

8. Pelaku Utama Yang (Tak Pernah) Dijerat ... 40

9. Inkonsistensi Mahkamah Agung dan Masalah Peninjauan Kembali (PK) ... 42

10. Administrasi Peradilan ... 46

BAB V Problem Upaya Hukum dan Grasi ... 49

1. Situasi Fair Trial di Indonesia dan Regulasi di Indonesia ... 49

2. Peninjauan Kembali ... 49

3. Grasi ... 50

BAB VI Simpulan dan Rekomendasi ... 53


(5)

2. Rekomendasi ... 53

Lampiran ... 54

PEKERJAAN TERDAKWA ... 56

MODEL DAKWAAN ... 57

PASAL DAKWAAN ... 58

PASAL TUNTUTAN ... 63

ALUR VONIS ... 65


(6)

BAB I

Pendahuluan

Perdebatan mengenai moratorium hukuman mati di Indonesia memasuki babak baru setelah Presiden Joko Widodo menginstruksikan Jaksa Agung untuk melakukan eksekusi terhadap enam terpidana mati pada 18 Januari 2015.1 Persoalan makin meruncing setelah Presiden Joko Widodo tidak mengindahkan kecaman dari dunia internasional dan malah menginstruksikan Jaksa Agung untuk melakukan eksekusi terpidana mati gelombang ke-dua. Eksekusi mati ini didasarkan atas jargon bahwa Indonesia sebagai negara darurat narkotika dan kesebelas orang terpidana mati yang keseluruhannya terlibat kasus narkotika bersiap untuk diseksekusi.2

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013, telah menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP, yang menguraikan permintaan Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Konsekuensi dari putusan ini, terpidana dapat mengajukan permohonan kembali lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur.

MK menilai bahwa PK merupakan pengejewantahan hakikat proses peradilan perkara pidana yang pembuktiannya harus meyakinkan Hakim mengenai kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau kebenaran materil, yaitu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat keraguan. Dalam mencapai kebenaran materil ini, tidak seharusnya ketentuan yang bersifat formalitas membatasi upaya terpidana dan hakim untuk mencari kebenaran materil.

Namun, Mahkamah Agung (MA) pada akhir 2014 kemudian mengeluarkan SEMA No. 7 tahun 2014 (SEMA 7/2014) yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali. Keputusan MA mengeluarkan SEMA disinyalir atas intervensi dari Jaksa Agung dan Menkumham yang menyatakan bahwa PK lebih dari satu kali akan mengganggu eksekusi hukuman mati.3 Oleh MK, keputusan MA tersebut dianggap menciderai konsepsi negara hukum dan pembangkangan terhadap Konstitusi.4

Problem peradilan pidana di Indonesia memang menjadi isu khusus, beberapa laporan organisasi non pemerintah menunjukkan bahwa problem peradilan pidana di indonesia cukup memprihatinkan.5 Angka penyiksaan dan kekerasan oleh aparat dalam proses peradilan berbanding lurus dengan angka pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan oleh masyarakat.6 Beberapa kali

1

Enam terpidana mati telah dieksekusi di Nusakambangan dan Boyolali, Diakses pada http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150117_eksekusi_narkoba 2

Persiapan Eksekusi Mati Gelombang Kedua Telah Final, Diakses pada

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/611054-persiapan-eksekusi-mati-gelombang-kedua-telah-final 3

Bahas PK Lebih dari Sekali, Menkum HAM Undang Pakar, Diakses pada

http://www.jawapos.com/baca/artikel/11252/Bahas-PK-Lebih-dari-Sekali-Menkum-HAM-Undang-Pakar 4 MK Nilai MA Langgar Konsepsi Negara Hukum, Diakses pada

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54aaac4f8e2fb/mk-nilai-ma-langgar-konsepsi-negara-hukum 5

ICJR, Lapora “ituasi Refor asi Huku di “ektor Pida a: Catata di da Reko e dasi di , Diakses pada http://icjr.or.id/laporan-situasi-reformasi-hukum-di-sektor-pidana-catatan-di-2014-dan-rekomendasi-di-2015/

6

Polisi paling banyak diadukan ke Komnas HAM, Diakses pada http://beritagar.com/p/polisi-paling-banyak-diadukan-ke-komnas-ham-18326 dan Kontras: Aparat Masih Gunakan Metode Penyiksaan, Diakses pada


(7)

MA, dalam putusannya, menyatakan bahwa telah terjadi rekayasa kasus yang dilakukan oleh kepolisian. Tidak hanya kepolisian ya g disi dir , dalam beberapa putusannya, MA mengatakan bahwa Jaksa sering tidak mendakwa seseorang sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya hanya atas dasar agar terdakwa dijatuhi pidana yang berat.7 Masalah fair trial menjadi hal yang belum terjawab dalam peradilan pidana di Indonesia, setidaknya sejauh ini fakta bahwa minimnya pengawasan terhadap kewenangan aparat penegak hukum terlihat jelas dalam regulasi yang ada di Indonesia. Termasuk dalam KUHAP yang hanya menyisahkan Praperadilan sebagai lembaga komplain dan kontrol horizontal terhadap kewenangan aparat penegak hukum dalam fase penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.8

Sementara problem fair trial masih jadi tanda ta ya di I do esia, pada High-Level Panel Discussion on the Question of the Death Penalty: Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty

a d Challe ges Fa ed i that Regard dalam Sidang Dewan HAM PBB Sesi ke-28 yang dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2015, di Markas Besar PBB Jenewa, Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa menyatakan bahwa seluruh putusan pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan prinsip Fair Trial. Argumen yang dinyatakan oleh RTRI di Jenewa tersebut ditujukan untuk menjawab desakan dan kritikan dari dunia internasional terhadap sikap Indonesia yang kukuh melanjutkan serangkaian eksekusi mati terhadap terpidana mati di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 6 ayat 2 jo. Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol), di negara yang masih menerapkan hukuman mati, maka jaminan atas prinsip fair trial menjadi mutlak diberlakukan. Semua hak yang melekat pada terdakwa dalam proses peradilannya harus diberikan dan dijamin tanpa ada celah sedikitpun.9 Fair trial menjadi alat uji yang harus dilekatkan pada praktik peradilan dimana seseorang dituntut dengan hukuman mati. Persoalan penerapan fair tria terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan Laporan Amnesty International, Indonesia masuk ke dalam beberapa negara yang masih belum menerapkan prinsip fair trial untuk menjamin hak-hak terpidana mati serta ketentuan internasional lainnya.10

Tak lama setelah PTRI mengumumkan bahwa fair trial terhadap seluruh terpidana mati telah dilakukan, negara ini seakan tertampar dengan temuan atas putusan pidana yang dijatuhkan pada anak atas nama Yusman Telambanua. Tidak hanya atas dasar dirinya seorang anak, kejanggalan kasus Yusman dan kakak iparnya Rasulah Hia yang juga terpidana mati, menyeruak ke publik. Yusman dan Rasulah Hia terindikasi disiksa oleh oknum penyidik dan kasusnya diduga direkayasa, Yusman dan Rasulah Hia juga tidak mendapatkan bantuan hukum dan advokat yang layak. Penasihat Hukum keduanya malah meminta agar Pengadilan menjatuhkan pidana mati terhadap mereka.11 Kasus Yusman dan Rasulah Hia bisa jadi hanya awal dari masalah fair trial lainnya yang belum terungkap di Indonesia. Standar penjatuhan pidana mati yang telah diatur secara internasional

7

ICJR: Problem Pasal 111 dan 112 UU Narkotika terhadap Pengguna narkotika, Harus Menjadi Perhatian Serius, Diakses pada http://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-pengguna-narkotika-harus-menjadi-perhatian-serius/

8

Institusi Praperadilan sudah layak dimusiumkan, Diakses pada http://icjr.or.id/institusi-praperadilan-sudah-layak-dimusiumkan/

9 Mufti Makarim, Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) Dan Relevansinya Dengan Perdebatan Hukum Di Indonesia, Elsam, Diakses pada

http://referensi.elsam.or.id/wp- content/uploads/2014/12/BEBERAPA-PANDANGAN-TENTANG-HUKUMAN-MATI-DEATH-PENALTY-DAN-RELEVANSINYA-DENGAN-PERDEBATAN-HUKUM-DI-INDONESIA.pdf

10

Amnesty International, Death Sentences And Executions 2014, Diakses pada

https://www.amnesty.org/en/documents/act50/0001/2015/en/ 11KontraS nilai kasus vonis mati Yusman penuh rekayasa, diakses pada


(8)

berdasarkan standar HAM kini jadi tantangan serius bagi Indonesia. Atas dasar tersebut, ICJR berinisatif untuk melakukan kajian terhadap beberapa putusan hukuman mati guna melihat sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terhadap seorang yang diancam dengan pidana mati. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan dasar untuk advokasi dan kerja-kerja reformasi sistem peradilan pidana dan hukum pidana di Indonesia.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup bahasan dalam penelitian ini secara garis besar adalah memberikan gambaran situasi penerapan prinsip fair trial dalam peradilan terhadap seseorang yang diancam dan dijatuhi hukuman mati. Gambaran tersebut didapatkan dengan menguraikan, memberikan kritik, dan menguji ketentuan normatif terhadap data faktual yang direpresentasikan oleh putusan pengadilan. Selain itu, turut dipotret pelaksanaan suatu peradilan pidana secara utuh terhadap terpidana mati. Terutama dengan memberikan penekanan pada beberapa aspek dan isu tertentu. Penelitian juga akan menyasar kondisi terkini regulasi dan kebijakan Pemerintah maupun Lembaga Negara lain yang berkaitan dengan Hukuman Mati.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini menjadikan putusan pengadilan menjadi dasar analisis. Putusan yang akan dikaji merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pembacaan dilakukan terhadap 42 (Empat puluh Dua) putusan yang terdiri dari 47 (Empat Puluh Tujuh) terpidana mati yang dijadikan bahan analisis pada penelitian ini. Berdasarkan putusan tersebut setidaknya diasumsikan dapat memberikan gambaran umum mengenai potret situasi fair trial bagi terpidana mati dalam putusan pengadilan.

Pemilahan terhadap putusan tersebut dilakukan secara ketat dengan kriteria bahwa putusan adalah putusan yang terdakwanya dijatuhi pidana mati baik di tingkatan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Hasil dari analisis putusan ini dirumuskan dalam model persentase dan rata-rata serta dimuat dalam bentuk grafik dan turut juga diberikan interpretasi mengenai hasil analisis putusan tersebut.

Untuk pendekatan pada isu yang sedang berkembang yang berhubungan dengan hukuman mati, analisis dilakukan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan melihat perkembangan pengaturan dari regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.


(9)

BAB II

Hukuman Mati dan Hak atas Peradilan Yang Adil

12

1.

Standar Hak Atas Peradilan Yang Adil

Masyarakat internasional sebetulnya telah lama menyerukan dan mendorong penghapusan hukuman mati.13 Tren penghapusan tersebut kemudian dituangkan dalam beberapa perjanjian-perjanjian Internasional maupun regional.14 Pada 1997 dan 1998 Komisi HAM PBB menyerukan kepada semua negara yang belum menghapuskan hukuman mati untuk melakukan moratorium atas eksekusi dengan tujuan untuk menghapuskan hukuman mati tersebut secara keseluruhan.15 Hal ini kemudian dipraktikkan dalam beberapa Pengadilan Pidana Internasional yang tidak memasukkan hukuman mati sebagai hukuman yang dijatuhkan.16 Hal yang sama juga terjadi pada Statuta International Criminal Court (ICC), yang tidak mengijinkan ICC memberlakukan hukuman mati. Dalam konteks masih adanya negara-negara yang memberlakukan hukuman mati maka secara Internasional dikenal beberapa standar hukum yang harus dipenuhi. Diantaranya adalah jaminan atas peradilan yang adil dan ketentuan legislasi yang tidak pula boleh berbenturan dengan prinsip Internasional. Ketentuan legislasi nasional setidaknya harus mengatur larangan-larangan akan adanya aturan yang memberlakukan secara retroaktif hukuman mati, juga harus secara selektif mengkualifikasikan tindak pidana apa saja dan siapa saja yang boleh dan tidak boleh dijatuhi hukuman mati. Selanjutnya, negara juga harus dan terpenting memastikan standar-standar hak atas peradilan yang adil dianut dalam regulasi nasional yang akan mempengaruhi praktik peradilan terpidana mati. Berikut adalah gambaran ketentuan hak atas peradilan yang adil di Indonesia secara regulasi dikaitkan dengan standar internasional yang berlaku mengenai hak tersebut.

2. Tidak Ada Penerapan Retroaktif, namun Mengikuti Perubahan Undang-Undang

Asas non-retroaktif adalah aturan utama turunan asas legalitas dalam KUHP. Dalam hukum pidana, asas ini dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP17: Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada

per uata itu . Selain dalam KUHP, larangan terhadap asas non-retroaktif diatur lebih tinggi dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, yang berbunyi : Hak u tuk hidup, hak u tuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

a g erlaku surut adalah hak asasi a usia a g tidak dapat dikura gi dala keadaa apapu .

12

Sumber utama Fair Trial, Amnesti Internasional, Volume 2 tahun 2014. 13

Lihat Pasal 6 (6) ICCPR, Pasal 4 (2) dan 4(3) Konvensi Amerika 14

Protokol Tambahan Kedua ICCPR, Konvensi Amerika tentang HAM dan Penghapusan Hukuman Mati, dan Protokol No.6 Konvensi Eropa melarang eksekusi dan mengharuskan penghapusan hukuman mati pada waktu damai, Lihat Protokol Optional Kedua ICCPR, Protokol Konvensi Amerika tentang tentang HAM dan

Penghapusan Hukuman Mati, Protokol No.6 Konvensi Eropa.

15 Resolusi 1997/12, Komisi HAM, E/CN4/1997/150, Resolusi 1988/8, Komisi HAM, Sesi ke-54 E/CN.4/1998/L.12

16

Bagi negara bekas Yugoslvia dan Rwanda, Dewan Keamanan PBB secara sengaja bahkan tidak memasukkan hukuman mati sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang, meski pengadilan-pengadilan ini memiliki juridiksi atas kejahatan-kejahatan keji, seperti genosida, kejahatan kemanusiaan lain dan kejahatan perang, Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB No.825 tgl 23 Mei 1993 dan No.95 tgl 8 November 1994

17


(10)

Namun penyimpangan terhadap asas non-retroaktif sebetulnya juga diatur dalam KUHP. Pasal 1 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama. Ketentuan ini menyerupai ketentuan secara internasional, Pasal ini berlaku apabila seseorang dipidana dengan hukum baru sebelum hakim menjatuhkan vonis.

Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, aturan retroaktif tersebut juga dianut dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) yang menyebutkan : Pela ggara hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa

da diputus oleh Pe gadila HAM ad ho

Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa: Hak u tuk tidak ditu tut atas dasar huku a g erlaku surut dapat dike ualika dala hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap

ke a usiaa . Masalahnya dalam UU Pengadilan HAM hukuman mati justru menjadi salah satu pidana pokok,18 dan dapat pula dijtuhkan secara retroaktif.

Hukuman mati tidak boleh diterapkan kecuali hukuman tersebut merupakan sebuah hukuman yang diputuskan berdasarkan hukum untuk suatu kejahatan yang terjadi pada saat kejahatan itu dilakukan.19 Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar hukum, mendadak atau sewenang-wenang menyatakan pendapatnya bahwa, Pasal 6 (2) Kovenan Sipol tidak mengijinkan adanya berlakunya kembali hukuman mati setelah dihapuskan dan adanya perluasan lingkup hukuman mati.20 Termasuk Hukuman yang lebih berat dibanding dengan hukuman yang seharusnya diberlakukan tidak boleh dijatuhkan.21 Namun, seseorang yang didakwa dengan tuduhan melakukan tindakan kejahatan harus merasakan pada waktu dilakukan perubahan undang-undang yang memberlakukan hukuman yang lebih rendah.22 Sehingga seseorang yang dijatuhkan hukuman mati harus mendapatkan manfaat atas hukuman yang lebih ringan jika hukum tersebut direformasi (diubah) setelah putusan atas mereka dijatuhkan.23 Konvensi Amerika secara tegas melarang negara memperluas penerapan hukuman mati atas tuduhan kejahatan – pada saat negara tersebut menerapkan Konvensi tersebut. Konvensi ini juga melarang pemberlakuan kembali hukuman mati jika negara tersebut telah menghapusnya.24

3. Hukuman Mati dan Kejahatan Serius Tertentu

Undang-Undang pertama di Indonesia yang mencamtumkan pidana mati adalah KUHP. KUHP diterapkan di Indonesia pada masa kolonial belanda, tahun 1918. Belanda sendiri telah menghapuskan hukuman mati dalam KUHP nya pada 1878, dan secara keseluruhan menghapuskan

18

Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan HAM 19

Lihat Pasal 6(2) ICCPR, Paragraf 2 tentang perlindungan atas hukuman mati, Pasal 4(2) Konvensi Amerika, Pasal 2 (1) Konvensi Eropa

20

Laporan Pelapor khusus tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang dalam misinya ke Amerika Serikat./Dok.PBB E/CN.4/1998/Add.3, 22 Jnuari 1998, paragraf ke-3.

21 Lhiat Pasal 11 Deklarasi Universal, Pasal 15 ICCPR, Pasal 9 Konvensi Amerika, Pasal 7 Konvensi Eropa, Pasal 7 Piagam Afrika

22

Pasal 15(1) ICCPR, Pasal 9 Konvensi Amerika

23 Paragraf ke-2 tentang Perlindungan dari Hukuman Mati Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, E.S.C. res. 1984/50, annex, 1984 U.N. ESCOR Supp. (No. 1) at 33, U.N. Doc. E/1984/84 (1984) (Selanjutnya disebut Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati) 24 Pasal 4 Konvensi Amerika, Lihat juga, Laporan Tahunan Pengadilan Inter-Amerika, Advisory Opinion OC-3/83, OAS/Ser.L/V/III.10 dok.13, 1984


(11)

pidana mati pada 1983 dengan mengeluarkannya dari Hukum Militer. Sejak pengaturan di KUHP, ada beberapa Undang-Undang yang turut mengatur mengenai hukuman mati. Indonesia tidak mengenal adanya pembagian tindak pidana serius atau pidana berat, sehingga penempatan pidana mati sangat tergantung pada perumus Undang-Undang tanpa ada patokan yang pasti. Peraturan perundang-undangan yang masih mencantumkan hukum mati, sebagai berikut.

Peraturan Perundang-Undangan Ketentuan

KUHP Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat

(3), Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, Pasal 368 ayat (2).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KU HPM)

Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 73 Ke1, Ke2, Ke3 dan Ke4, Pasal 74 Ke1 dan Ke2, Pasal 76 (1), Pasal 82, Pasal 89 Ke1 dan Ke2, Pasal 109 Ke1 dan Ke2, Pasal 114 ayat (1), Pasal 133 ayat (1) dan (2), Pasal 135 ayat (1) ke1 dan ke2, ayat (2), Pasal 137 ayat (1) dan (2), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142 ayat (2).

UU Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api Pasal 1 (ayat) 1 Penpres Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewanang

Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan

Perlengkapan Sandang Pangan

Pasal 2

Perppu Nomor 21 Tahun 1959 tentang

Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi

Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)

UU Nomor 31/PNPS/1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom

Pasal 23 UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan

Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan

Pasal 479 huruf k ayat (2) Pasal 479 huruf 0 ayat (2)

UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 59 ayat (2)

UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 74, Pasal 113 ayat (2), 114 ayat (2), 119 ayat (2), 118 ayat (2), 119 ayat (2), 121 ayat (2), 132 ayat (3), 133 ayat (1), 144 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Korupsi

Pasal 2 ayat (2)

UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme

Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16

UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(12)

Secara Internasional, hukuman mati hanya dimungkinkan dijatuhkan hanya pada kejahatan-kejahatan yang paling serius.25Ko ite HAM telah e yataka ahwa arti kejahata ya g pali g serius i i harus diartika ahwa huku a ati ha ya di erlakuka pada ko disi-kondisi yang sangat tertentu (quite exceptional measure).26 Kejahatan-kejahatan yang diputus dengan hukuman mati adalah kejahatan yang menimbulkan matinya seseorang dengan sengaja atau menimbulkan akibat yang berat bagi korban.27 . Pelapor khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang menyatakan bahwa hukuman mati harus dihapuskan untuk kejahatan-kejahatan seperti kejahatan ekonomi dan obat-obat terlarang.28

4. Orang-orang yang tidak boleh dijatuhi hukuman Mati dan Dieksekusi.

Standar Internasional melarang pemberlakuan hukuman mati bagi orang-orang dengan kategori tertentu seperti orang dibawah umur 18 tahun pada saat kejadian tersebut berlangsung, orang-orang diatas umur 70 tahun, perempuan hamil dan ibu yang baru melahirkan, sakit jiwa dan sakit mental. Di Indonesia larangan ini juga berlaku, dalam beberapa aturan ada larangan tegas terhadap orang-orang yang tidak dapat dijatuhi pidana mati di Indonesia anak, dan penundaan eksekusi bagi wanita hamil. Sampai dengan saat ini, Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (UU 2/PNPS/1964) masih merupakan pedoman utama dalam melakukan eksekusi mati di Indonesia.

4.1. Anak-anak

Hukum Indonesia secara tegas dan jelas menyatakan bahwa hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada anak. Secara komprehensif larangan penjatuhan pidana mati dan seumur hidup terhadap anak tertulis tidak kurang pada tiga aturan berlevel Undang-undang, yaitu Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 3 huruf (f) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dan Pasal 64 huruf (f) UU 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kovenan Sipol menekankan dengan tegas bahwa orang berusia dibawah 18 tahun pada saat kejadian berlangsung, tidak boleh dijatuhi hukuman mati, meskipun pada saat persidangan dan putusan dijatuhkan usianya melebihi 18 tahun.29

4.2. Orang Lanjut Usia

Dalam hukum di Indonesia tidak dikenal pembatasan usia maksimum orang dikenakan pidana mati, Indonesia hanya mengatur mengenai batas minimum penjatuhan pidana mati, yaitu usia 18 tahun untuk anak. Hukum Indonesia tidak kompatibel dengan ketentuan Internasional terkait dengan terpidana mati lanjut usia, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merekomendasikan agar negara-negara harus menetapkan usia maksimum bagi orang-orang yang dikenakan hukuman mati atau dieksekusi.30

25

Pasal 6(2) ICCPR, Pasal 4(2) Konvensi Amerika, Paragraf 1 tentang Perlindungan dari hukuman mati 26

Pernyataan Umum Komite HAM NO.6, paragraf ke-7

27 Paragraf 1 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati 28

Laporan Pelapor khusus tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak sewenang-wenang, Dok.PBB: E/CN.4/1996/4, pada paragraf 556

29 Pasal 6(5) ICCPR, Pasal 37(a) Konvensi Hak-hak Anak, Angka 17.2 Beijing Rules (United Nations Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justi e Beiji g Rules , Paragraf- 3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati dan Pasal II Konvensi Jenewa tahun 1949 melarang hukuman mati dikenakan bagi orang-orang berusia dibawah 18 tahun pada saat kejahatan tersebut dilakukan. 30


(13)

4.3. Orang Sakit Mental

Tidak ditemukan secara jelas aturan yang melarang pidana mati dilakukan kepada orang sakit mental di Indonesia, tidak juga dalam UU 2/PNPS/1964. Namun, apabila ditelusuri, KUHP Indonesia mengatur mengenai ketentuan orang sakit mental tidak dapat dipidana dan dimintai pertanggungjawaban pidana. Ketentuan tersebut disebut sebagai alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum, sehingg dilihat dari sisi orang/pelakunya (secara subjektif).

Orang sakit mental adalah salah satu contoh subjek yang bisa dikenai alasan pemaaf sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP disebutkan: Tiada dapat dipida a ara gsiapa e gerjaka suatu perbuatan yang tidak dapat

diperta ggu gja a ka kepada a, se a kura g se pur a akal a atau sakit eru ah akal.

Selanjutnya juga dituliskan dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP yang berbunyi : Jika ata per uata itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya

satu tahu u tuk diperiksa.

Secara Internasional, eksekusi bagi orang-orang yang sakit mental dilarang.31 Larangan ini termasuk orang-orang yang terganggu jiwanya karena dikenakan hukuman mati.32 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merekomendasikan agar negara- egara e ghapuska huku a ati agi ora g-orang yang menderita gangguan mental atau keterbelakangan mental, baik pada saat penentuan putusan

aupu eksekusi. 33

4.4. Perempuan Hamil dan Baru Melahirkan

Dalam hukum di Indonesia, diatur juga alasan penundaan pidana mati, salah satunya kepada wanita hamil dan baru melahirkan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7 UU 2/PNPS/1964 yang berbunyi: Apa ila terpida a ha il, aka pelaksa aa pida a ati aru dapat dilaksa aka e pat

puluh hari setelah a ak a dilahirka . Berdasarkan peraturan di atas, eksekusi pidana mati bagi terpidana mati yang sedang hamil itu ditunda hingga empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Artinya, eksekusi pidana mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil. Hal ini sudah sesuai dengan konteks Internasional, yang melarang hukuman mati dijatuhkan kepada perempuan hamil34 dan kepada perempuan yang baru melahirkan.35

5. Kaitan langsung Hukuman Mati dengan Hak atas Peradilan yang Adil

Karena sifat hukuman mati sangatlah besar akibatnya, maka proses peradilan terhadap kasus-kasus besar harus segera mengacu pada standar-standar internasional dan regional yang melindungi hak atas Peradilan yang Adil. Semua perlindungan dan proses yang menjamin hak atas Peradilan yang Adil yang diatur dalam standar internasional harus dilaksanakan selama berlangsungnya proses pra-persidangan, persidangan dan tingkat banding serta standar-standar tersebut harus dihargai sepenuhnya. Diyakini bahwa semua eksekusi melanggar hak atas hidup. Meski hal ini tidak sepenuhnya diterima secara internasional, namun badan-badan HAM internasional dan para ahli setuju bahwa hal itu melanggar hak atas hidup dengan mengeksekusi seseorang setelah proses

31 Paragraf ke-3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati 32

Lihat juga Laporan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi di luar proses peradilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB.A/51/457, paragraf 115

33 Resolusi ECOSOC, 1989/64, diadopsi tgl 24 Mei 1989, Dok.PBB;E/1989/INF/7 34

Pasal 6(5) ICCPR, Pasal 4(5) Konvensi Amerika 35

Paragraf ke-3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati , Lihat juga Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, (A/51/457), 7 Oktober 1996, paragraf 115


(14)

peradilan yang tidak adil. Tidak seorangpun yang dapat dicabut hak atas hidupnya secara sewenang-wenang.36

Hukuman mati hanya dapat dikenakan atas dasar putusan akhir pengadilan yang kompeten setelah dilalui proses hukum yang menjamin pengadilan yang adil, paling tidak memenuhi standar seperti yang disyaratkan pada Pasal 14 Kovenan Sipol, termasuk hak-hak bagi terdakwa yang didakwa dengan tuduhan tindak kriminal dengan tuntutan hukuman berat dan terdakwa tersebut didampingi oleh penasihat hukum pada setiap proses pengadilan.37

Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang menyatakan bahwa proses i posisi putusa atas kejahatan-kejahatan berat harus didasarkan pada standar tertinggi hakim dan juri yang independen, kompeten, objektif dan imparsial, seperti yang disyaratkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Semua terdakwa yang menghadapi imposisi hukuman berat harus mendapatkan fasilitas penasihat hukum yang kompeten pada setiap proses pengadilan.

Terdakwa harus diasumsikan tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan tanpa ragu-ragu, dengan standar tertinggi dalam mencari dan menilai bukti-bukti. Selain itu, seluruh faktor yang meringankan terdakwa harus diperhitungkan. Proses pengadilan harus menjamin hak bagi tribunal yang lebih tinggi untuk menguji fakta dan aspek hukum kasus tersebut, dengan hakim-hakim yang berbeda dari hakim yang menangani kasus itu sebelumnya. Hak terdakwa untuk memohon maaf, komutasi (keringanan hukuman) atau pengampunan juga harus dijamin.38 Berikut ketentuan dasar peradilan yang adil :

5.1. Hak Atas Bantuan Hukum yang Efektif

Dalam hukum acara pidana di Indonesia aturan utama terkait bantuan hukum dan penasihat hukum terdapat dalam KUHAP. Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa : Gu a kepe ti ga pe elaa , tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-u da g i i. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan : “etiap ora g a g diperiksa erhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah

e peroleh kekuata huku tetap . Dalam pasal 54 KUHAP, hak untuk mendapatkan bantuan hukum termasuk dalam hak tersangka dan terdakwa, dimana tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk memiih sendiri penasihat hukumnya.39

Ketentuan lain diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 22 ayat (1) menekankan bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Sebagai implementasi UU No. 18 Tahun 2003 ini kemudian Pemerintah membuat PP No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Menindaklanjuti kedua peraturan ini, pada 2010 Perhimpunan Advokat Indonesia kemudian

36 Pasal 6(1) ICCPR, Pasal 4 Konvensi Afrika, Pasal 4(1) Konvensi Amerika 37

Paragraf ke-5 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati 38

Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB, A/51/457/7 Oktober 1996, paragraf 111

39


(15)

mengeluarkan Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.40

Pemberian bantuan hukum yang tersedia secara nasional diatur melalui UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam UU ini diatur tentang siapa saja yang dapat menerima bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, dan juga pengelola bantuan hukum.

Dalam konteks terpidana mati, KUHAP sebenarnya sudah mengatur mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa : Dala hal tersa gka atau terdak a disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat

huku agi ereka. Dengan ketentuan ini maka setiap orang yang diangka dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati berhak untuk mendapatkan bantuan hukum dari negara. Bantuan hukum itu juga harus disediakan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Semua bantuan hukum tersebut harus disediakan dengan cuma-cuma kepada tersangka atau terdakwa.41 Namun, merujuk pada padal 56 ayat (1) KUHAP, dalam penjelasannya KUHAP mengamanatkan bahwa penunjukan advokat disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga bantuan hukum, artinya ada kemungkinan aturan ini disimpangi di daerah yang minim atau tidak tersedia bantuan hukum.

Perlu untuk diperhatikan bahwa aturan hukum di Indonesia memang hanya mengatur mengenai ketersediaan dan beberapa ketentuan prosedural mengenai bantuan hukum dan penasihan hukum.42 Secara eksplisit dalam KUHAP tidak menekankan mengenai bantuan hukum yang efektif. Satu-satunya ketentuan mengenai bantuan hukum yang efektif malah diatur dalam UU SPPA. UU SPPA telah mengatur ketentuan bahwa Anak berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.43 Hal yang menjadi catatan bahwa Anak tidak dapat dipidana mati, sehingga meskipun mengatur ketentuan yang lebih progresif dari pada KUHAP, secara faktual Indonesia berarti tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai hak terpidana mati dalam mendapatkan bantuan hukum yang efektif.

Berdasarkan Kovenan Sipol ICCPR, siapapun yang ditahan atau didakwa dengan tuduhan tindak kriminal memiliki hak atas penasihat hukum selama penahanan, persidangan maupun banding.44 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB menyatakan bahwa seseorang yang menghadapi tuntutan hukuman mati harus disediakan a tua pe asihat huku yang memadai pada setiap proses persidangan .45 Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak, dan sewenang-wenang

40

Supriyadi W. Eddyono, dkk , Memetakan Situasi Penahanan Di Indonesia, ICJR, Jakarta, 2012, hlm. 60. 41

Pasal 56 ayat (2) KUHAP 42

Pasal 69 – Pasal 74 KUHAP mengatur mengenai Bantuan Hukum, mayoritas mengatur mengenai jaminan komunikasi antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya.

43

Pasal 3 huruf c UU SPPA : “etiap A ak dala proses peradilan pidana berhak: c. memperoleh bantuan

huku da a tua lai se ara efektif

44

Pasal 14(3)(d) ICCPR, Prinsip 1 Prinsip Dasar Peran Pengacara, Pasal 7 (1)(c) Piagam Afrika, Pasal 8 (2)(d) dan (e) Konvensi Amerika, Pasal 6 (3)(C) Konvensi Eropa

45 Resolusi ECOSOC 1989/64, 24 Mei 1989, Dok.PBB E/1989/INF/7, hal 128, lihat juga Perlindungan terhadap Hukuman Mati


(16)

menyatakan bahwa pada semua proses pengadilan , terdakwa yang dituntut dengan hukuman berat harus didampingi oleh pengacara kompeten dan efektif yang dibiayai negara.46

Komite HAM menegaskan bahwa kasus yang diancam dengan pidana mati tidak dapat diproses jika terdakwa tidak diwakili oleh penasihat hokum, dan penasihat hukum harus berdasarkan pilihannya sendiri, walau diperlukan penundaan pemeriksaan.47 Dalam hal dimana penasihat hukum terdakwa tidak efektif namun pengadilan tetap menugaskan penasihat hukum yang sama pada proses hukum selanjutnya padahal terdakwa mengajukan nama lain, maka hak terdakwa terhadap penasihat hukum telah dilanggar.48 Penasihat hukum wajib berkonsultasi dengan terdakwa terakit upaya hukum, dan harus diberitahukan pada terdakwa skema bantuan hukum dari negara, sehingga terdakwa memiliki alternatif lain yang masih terbuka.49

5.2. Hak atas Waktu dan Fasilitas yang Memadai dalam Mempersiapkan Pembelaan

Hukum Indonesia tidak mengatur mengenai waktu dan fasilitas memadai dalam mempersiapkan pembelaan. Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP, dinyatakan bahwa pembelaan harus dibuat dalam bentuk tertulis, dinyatakan lebih lengkap bahwa : Tu tuta , pe elaa da ja a a atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim

ketua sida g da turu a a kepada pihak a g erkepe ti ga . Penjelasan Pasal 182 ayat (1) butir c ini kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa bagi terdakwa yang tidak dapat menulis, panitera mencatat pembelaannya. Satu-satunya fasilitas yang diberikan dalam KUHAP hanyalah pencatatan oleh panitera bagi terdakwa yang tidak bisa menulis.

Secara Internasional dalam kasus-kasus hukuman mati hak untuk mendapatkan aaktu dan fasilitas yang Memadai dalam Mempersiapkan Pembelaan sangat penting. Komite HAM menyatakan bahwa,

dala kasus-kasus yang akan dikenakan hukuman berat, harus dijamin bahwa terdakwa dan

pe asihat huku a di erika aktu a g e adai u tuk e persiapka pe elaa . 50 5.3. Hak untuk menyelesaikan Proses Pengadilan tanpa Penundaan

KUHP tidak menyediakan mekanisme untuk sesegara mungkin menghadapkan tersangka setelah penahanan ke hadapan Hakim, terdakwa baru akan bertemu hakim saat sidang pertama dimulai, hal itu berarti setelah penghitungan masa penahanan pra persidangan selesai. Terkait masa penahanan pra persidangan sampai dengan seseorang dihdapkan di muka sidang, utamanya untuk seseorang yang diancam dengan pidana diatas 9 tahun, termasuk terpidana mati dapat ditahan mencapai waktu 230 hari.

Jangka Waktu Penahanan di dalam KUHAP

46

Laporan Pelapor Khusus tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB; E/CN.4/1996/4, paragraf 547

47 Lihat Pinto v.Trinidad dan Tobago, (232/1987), 20 Juli 1990, hal 69 dan Robinson v.Jamaica (223/1987), 30 Maret 1989. Laporan Komite HAM, (A/44/40), 1989, 241, Lihat Abdool Saleem Yassen dan Noel Thomas v.Guyana, 30 Maret 1998, Dok.PBB, CCPR/C/62/D/676/1996, paragraf 78, Temuan atas Pelanggaran pada Pasal 14 dimana salah seorang terdakwa tidak dihadirkan pada 4 hari pertama persidangan ulangan (retrial) kasus. 48

Lihat Pinto v.Trinidad dan Tobago, (232/1987), 20 Juli 1990, Laporan Komite HAM, Vol.II (A/45/40), 1990, pada 69, Kelly v.Jamaica, (253/1987), 8 April 1991, Laporan Komite HAM (A/46/40), 1991

49 Burrel v.Jamaica, (546/1993), 18 Juli 1996, Dok.PBB, CCPR/C/57/D/546/1993, 1996 50


(17)

Tahapan proses pemeriksaan

Penahanan/

Perpanjangan oleh Dasar Hukum Lamanya Jumlah Penyidikan Penyidik Pasal 24 ayat (1) 20 hari 60 hari

Diperpanjang oleh JPU Pasal 24 ayat (2) 40 hari

Penuntutan Penuntut Umum Pasal 25 ayat (1) 20 hari 50 hari Diperpanjang Ketua PN Pasal 25 ayat (2) 30 hari

Pemeriksaan di PN Hakim Pengadilan Negeri Pasal 26 ayat (1) 30 hari 90 hari Diperpanjang Ketua PN Pasal 26 ayat (2) 60 hari

Pemeriksaan tingkat banding

Hakim Pengadilan Tinggi Pasal 27 ayat (1) 30 hari 90 hari Diperpanjang Ketua PT Pasal 27 ayat (2) 60 hari

Pemeriksaan tingkat kasasi

Hakim Mahkamah Agung Pasal 28 ayat (1) 50 hari 110 hari Diperpanjang Ketua MA Pasal 28 ayat (2) 60 hari

400 hari 400 hari Selain dalam jangka waktu normal di atas, KUHAP juga masih memuat ketentuan pengecualian masa penahanan dalam hal seorang tersangka/terdakwa diancam dengan hukuman penjara 9 tahun ke atas (termasuk pidana mati) atau dalam hal tersangka atau terdakwa mengalami gangguan fisik atau mental yang berat sesuai dengan bukti keterangan yang diberikan dokter. Untuk kepentingan pemeriksaan, terhadap perkara yang memenuhi salah satu dari kriteria ini, penahanan bisa kembali diperpanjang selama masing-masing 2 x 30 hari untuk tiap-tiap tahap proses pemeriksaan. Dilihat dari ju lah hari ya g dite tuka dala perpa ja ga pe ge ualia i i, juga e uat waktu ya g panjang yakni selama 300 hari, sehingga jika dijumlahkan secara keseluruhan dengan masa penahanan secara normal di atas, maka seseorang berpotensi untuk ditahan selama 700 hari lamanya.

Perpanjangan pengecualian51

51

Pasal 29 KUHAP Tahapan Proses

Pemeriksaan

Diminta oleh Diberikan oleh Dasar Hukum Lamanya

Penyidikan

Penyidik Ketua PN Pasal 29 ayat (2) 30 hari Penyidik Diperpanjang Ketua

PN

Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Penuntutan

Penuntut Umum Ketua PN Pasal 29 ayat (2) 30 hari Penuntut Umum Diperpanjang Ketua

PN

Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Pemeriksaan di PN

Ketua PN Ketua PT Pasal 29 ayat (2) 30 hari Diperpanjang

Ketua PT

Diperpanjang Ketua PT

Pasal 29 ayat (2) 30 hari Pemeriksaan tingkat

banding

Hakim MA Hakim MA Pasal 29 ayat (2) 30 hari Diperpanjang

Hakim MA

Diperpanjang Hakim MA

Pasal 29 ayat (2) 30 hari Pemeriksaan tingkat

kasasi

Ketua MA Ketua MA Pasal 29 ayat (2) 30 hari Diperpanjang

Ketua MA

Diperpanjang Ketua MA

Pasal 29 ayat (2) 30 hari 300 hari


(18)

Pada dasarnya hukum acara pidana di Indonesia memiliki asas utama peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat, tepat, dan biaya ringan, menyatakan bahwa tersangka dan terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik, segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, dan berhak segera diadili oleh pengadilan.52

Selain itu, jaminan kepastian waktu untuk banding sampai dengan kasasi juga diatur dalam pelimpahan berkas perkara banding oleh Pengadilan Negeri ke pengadilan tinggim yang harus sudah dikiri 14 hari dari ta ggal per ohonan banding.53 Selanjutmya, 7 hari sesudah putus pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi harus mengembalikan berkas ke pengadilan negeri.54 Pengaturan yang sama juga dijelaskan juga pada tingkat kasasi, dalam waktu 14 hari dari tanggal permohonan kasasi, Pengadilan Negeri harus sudah mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi.55 Berikutnya, 7 hari sesudah tanggal putusan, Mahkamah Agung harus sudah mengembalikan hasil putusan kasasi ke Pengadilan Negeri. Hanya saja, dalam KUHAP tidak diatur batas berapa lama waktu Hakim memeriksa perkara banding maupun kasasi, masalah yang sama juga tidak diatur dalam pemeriksaan PK, sehingga lamanya waktu sangat tergantung pada kinerja Hakim.

Standar Internasional menegaskan bahwa proses pengadilan harus diselesaikan tanpa penundaan.56 Ko ite HAM e yataka ahwa pada semua kasus, khususnya kasus-kasus besar, terdakwa berhak untuk diadili dan naik banding tanpa penundaaan.57 Komite HAM menyatakan bahwa penundaan harus dianggap terlalu panjang untuk kasus besar: penundaan selama satu minggu antara penahanan dengan pemeriksaan terdakwa dipengadilan oleh hakim (Pelanggaran Pasal 9 (3) KOvenan Sipol), menahan terdakwa dalam tahanan selama 16 bulan (480 hari) sebelum persidangan digelar (Pelanggaran atas Pasal 9(3) KOvenan Sipol) dan Penundaan selama 31 bulan (930 hari) antara pengadilan dengan berakhirnya banding (dismissal of the appeal).

5.4. Hak untuk melakukan Upaya Hukum

Bagi terpidana mati, bagi semua putusan diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali.58 Indonesia membuka dua mekanisme upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari upaya hukum banding59 dan kasasi. Upaya hukum banding diajukan ke Pengadilan Tinggi,60 sedangkan upaya hukum kasasi diajukan ke Mahkamah Agung.61

Selain upaya hukum biasa, dikenal juga upaya hukum luar biasa. Terdiri dari Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum62 dan PK63. Khusus untuk terpidana mati, maka PK merupakan salah

52

Pasal 50 KUHAP 53 Pasal 326 KUHAP 54

Pasal 234 ayat (1) KUHAP 55

Pasal 248 KUHAP

56 Pasal 9(3) dan 14(3)(c) ICCPR, Pasal 7(1)(d) Piagam Afrika, Pasal 7(5) dan 8(1) Konvensi Amerika, Pasal 5(3) dan 6(1) Konvensi Eropa

57

Mc.Lawrence v.Jamaica, Dok.PBB, CCPR/C/60/D/702/1996, 29 September 1997, paragraf 5-6. 58 Pasal 1 angka 12 KUHAP

59

Pasal 67 KUHAP 60

Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP 61 Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP 62


(19)

satu mekanisme penting. Pada 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya No. 34/PUU-XI/201364, merubah pengaturan PK dalam KUHAP. PK kemudian bisa diajukan lebih dari satu kali. Menurut MK, kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. MK mengatakan bahwa untuk alasan keadilan dalam perkara pidana, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka pembatasan PK bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Namun, Mahkamah Agung akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 201465 untuk kemudian kembali melakukan pembatasan terhadap PK. Pada intinya SEMA 7 Tahun 2014 menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali.

Secara Internasional setiap orang yang didakwa dengan hukuman mati berhak untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi.66 Pelapor khusus PBB tentang Eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang menyatakan bahwa dalam kasus-kasus esar, proses pengadilan harus menjamin hak untuk mereview aspek-aspek faktual dan legal dari kasus tersebut ke pengadilanyang lebih tinggi, yang terdiri dari hakim yang berbeda dari hakim yang menangani kasus itu sebelumnya.67

5.5. Hak untuk Memohon Pengampunan dan Peringanan Hukuman

Ketentuan mengenai pengampunan dan peringanan hukuman diatur dalam pasal 14 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.68 Presiden juga dapat memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.69 Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.70Pidana mati adalah satu satu putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasi.71 Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung.72

Secara Internasional, setiap orang yang diputus dengan hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan dan peringanan hukuman. Hal ini dicantumkan secara jelas dalam Pasal 6(4) ICCPR Setiap orang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk meminta Pengampunan dan Peringanan 63

Pasal 263 sampai dengan 269 KUHAP 64

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi pada

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_1651_34%20PUU%202013-telahucap-6Maret2014.pdf

65 Lihat SEMA 7 Tahun 2014 pada http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/sema_07_2014.pdf 66

Pasal 14(5) ICCPR, Pasal 8(2)(h) Konvensi Amerika, Pasal 2 Protokol 7 Konvensi Eropa, Lihat Pasal 7(a) Piagam Afrika

67 Laporan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB E/CN.4/1997/60, paragraf 82

68

Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 69 Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 70

Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi)

71 Pasal 2 ayat (2) UU Grasi 72


(20)

Hukuman atas hukuman tersebut. Amnesti, Pengampunan atau Keringanan atas Hukuman mati

di u gki ka u tuk dika ulka u tuk se ua kasus.

5.6. Tidak Boleh dilakukan Eksekusi saat Proses Banding dan Permohonan Pengampunan Pelaksanaan putusan pengadilan terdapat dalam Bab XIX tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Bab XX tentang Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan KUHAP. Dalam Pasal 270 KUHAP disebutkan bahwa Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat

putusa kepada a. Berdasarkan ketentuan Pasal 270 KUHAP tersebut, maka dapat diambil kesimpulan, hanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sajalah yang dapat dieksekusi oleh Jaksa. Sehingga ketentuan KUHAP telah menjamin bahwa dalam hal terdakwa yang dituntut dengan pidana mati mengajukan upaya hukum, tidak dapat dilakukan eksekusi.

Terkait permohonan grasi, aturan penundaan eksekusi mati apabila terpidana mengajukan grasi ke Presiden diatur dalam Pasal 3 UU Grasi yang berbunyi : Per oho a grasi tidak e u da pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pida a ati . Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU Grasi, permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 kali atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selain membatasi banyaknya jumlah permohonan, UU Grasi juga membatasi jangka waktu permohonan, permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.73

Hukuman mati hanya boleh dijatuhkan setelah diputus akhir oleh hakim pada pengadilan yang kompeten.74 Eksekusi tidak boleh dilakukan apabila masih dalam proses banding atau berada dalam prosedur yang harus dijalankan berkaitan dengan permintaan pengampunan atau komutasi hukuman tersebut.75 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) menyatakan segala informasi terkait upaya hukum dan permohonan pengampunan terpidana mati harus diinformasikan kepada pejabat atau aparat negara yang terlibat dalam pengambilan keputusan atas hukuman mati, sehingga eksekusi tidak dapat dilakukan dalam hal terpidana mati sedang melakukan upaya hukum dan permohonan pengampunan.76

5.7. Waktu yang Cukup antara Putusan dengan Eksekusi

Terkait waktu yang cukup sebelum eksekusi mati, tidak ada pengaturan di Indonesia yang menjabarkan rentang waktu tersebut, hanya saja permohonan upaya hukum dan permintaan pengampunan adalah salah satu alasan penundaan eksekusi mati.

Kondisi Indonesia tidak sesuai dengan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi diluar Pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang merekomendasikan periode sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum hukuman mati dilaksanakan oleh pengadilan, ini dimaksudkan agar ada waktu yang cukup untuk persiapan upaya hukum dan permintaan petisi untuk peringanan Hukuman. 77

73 Pasal 7 ayat (2) UU Grasi

74

Pasal 6(2) ICCPR, Paragraf ke-5 Perlindungan atas Hukuman Mati, Pasal 4(2) Konvensi Amerika 75

Paragraf ke-8 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati, Pasal 4(6) Konvensi Amerika, Lihat Pasal 14(5) dan 6(4) ICCPR

76

Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB E/CN.4/1996/4, pada hal.553 dan Resolusi ECOSOC 1996/15, diadopsi 23 Juli 1996

77 Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, , paragraf 553


(21)

5.8. Kondisi Penjara bagi Terpidana Mati

Pada dasarnya Indonesia tidak mengenal pengaturan khusus mengenai penjara bagi terpidana yang dijatuhi hukuman mati, hanya saja diatur dalam Pasal 5 UU 2/PNPS/1964 mengenai dalam hal menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditempatkan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa.

Dalam beberapa aturan, khususnya UU Pemasyarakatan, tidak dilakukan pembedaan hak antara terpidana mati dan terpidana lainnya, hanya saja bagi terpidana yang dijatuhi pidana seumur hidup dan pidana mati tidak mendapatkan hak-hak khusus seperti asimilasi dan pengurangan masa pidana. Indonesia mengenal mengenai mekanisme tunggu terpidana mati, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No 2/PNPS/1964, lamanya waktu tunggu sebelum eksekusi adalah tiga kali dua puluh empat jam (3x24 jam). Waktu tersebut diatur setelah Jaksa Tinggi/Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya eksekusi pidana mati.

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB menyerukan bahwa perlakuan bagi terpidana mati harus sesuai dengan standar-standar dan Aturan Minimum PBB tentang perlakuan bagi tahanan ecara efektif, dengan maksud untuk meminimalisir penderitaan tahanan yang dihukum hukuman mati dan menghindari terjadinya penderitaan yang lebih dalam.78

Komite HAM berpandangan bahwa memperpanjang waktu hukuman mati, tidak melanggar hak-hak terpidana mati. Keputusan ini berdasarkan fakta bahwa Kovenan Sipol tidak melarang hukuman mati, meski maksud dan tujuannya adalah untuk mengurangi pelaksanaan hukuman mati dan menyatakan bahwa penetapan batas waktu maksimum akan mendorong negara-negara untuk menjatuhkan hukuman mati sebelum waktunya.79 Namun, Komite HAM menyatakan bahwa, apabila periode penahanan tentang hukuman mati berlangsung selama 11 tahun, ini merupakan persoalan yang serius, oleh karena itu Komite menegaskan bahwa periode spesifik tersebut tidak boleh melanggar Pasal 7 dan 10 (1) ICCPR. 80

78

Resolusi ECOSOC 1996/15, Diadopsi tanggal 23 Juli 1996

79 Robinson La Vende v, Trinidad dan Tobago (554/1993), 29 Oktober 1997 80


(22)

BAB III

Potret Umum Putusan Pengadilan dalam Pidana Mati (Riset 42

Putusan Pidana Mati)

1.

Gambaran Umum Identitas Terpidana Mati

1.1. Usia

Jika dilihat dari rata-rata usia dalam putusan, diketahui bahwa rata-rata usia tertinggi yang dikenai pidana mati adalah usia produktif yakni usia 21-30 tahun dengan jumlah 20 orang. Setalah itu disusul dengan rata-rata usia 31-40 tahun dengan jumlah 17 orang. Terdapat juga usia yang masih tergolong usia remaja yang dikenakan pidana mati, yakni 3 orang yang masih berusia rata-rata 18-20 tahun.

3

20

17

3 3

0 0

5 10 15 20 25

18-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun >60 tahun

RATA-RATA USIA


(23)

1.2. Kebangsaan

Dari latar belakang kebangsaan para terpidana mati, didominasi oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dengan jumlah 30 terpidana mati, sedangkan Warga Negara Asing (WNA) berjumlah 13 terpidana mati. Dari 13 terpidana mati WNA ini terdiri dari beberapa negara diantaranya Australia (2), Nigeria (3), Sierra Leone, Sinegal, Pakistan, India, Inggris, Zimbage, Belanda dan Philipina. Dengan demikian, 73% terpidana mati yang dijatuhi hukuman mati adalah WNI.

Namun jika dilihat secara jenis perkara, untuk perkara Narkotika didominasi oleh WNA yakni sebanyak 60%. Sedangkan untuk Perkara Pembunuhan Berencana secara keseluruhan dilakukan oleh WNI.

1.3. Jenis Kelamin

Kemudian jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, Jenis kelamin Laki-Laki mendominasi dengan prosentasi lebih dari 80% yaitu 41 orang, sementara perempuan berjumlah 6 orang.

4%

2% 2% 2% 7%

2% 2% 2%

2% 73%

2%

Total

Australia Belanda India Inggris Nigeria Pakistan Philipina Sierra Leone Sinegal Afrika WNI Zimbage

WNA

60 %

WNI

40 %

Kebangsaan


(24)

Jika dilihat dari jenis tindak pidana, Laki-laki tetap mendominasi dengan angka 16 untuk tindak pidana narkotika dan 24 untuk tindak pidana pembunuhan berencana. Sedangkan wanita memiliki angka 4 orang dan 2 orang untuk tindak pidana narkotika dan pembunuhan berencana.

1.4. Pekerjaan

Berdasarkan pekerjaan yang dimiliki terpidana mati, terlihat bahwa peringkat tertinggi adalah dengan profesi Wiraswasta, Tani, dengan angka 7 terpidana mati. Sedangkan pada bagian Lain-lain terdiri dari profesi Tukang Elektronik, Pelayan Toko, Konstruksi, Tukang Pelitur, Tukang Ojek, Ibu Rumah Tangga, Businessman, Nambang Sampan, Pembantu Rumah Tangga, Supir, konsultan Pertanian dan Bisnis Sepatu. Sedangkan yang tidak ada informasi mengenai pekerjaan berjumlah 7 terpidana mati. Melihat dari komposisi pekerjaan, maka pekerjaan informal cukup mendominasi.

L 87% P

13%

Total

16

24

4

2 0

5 10 15 20 25 30

Tindak Pidana Narkotika Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Laki-Laki Perempuan


(25)

1.5. Agama

Jika dilihat dari latar belakang agama, Terpidana mati yang akan dieksekusi didominasi oleh Islam dengan prosentase 47,83% dari keseluruhan total terpidana mati. Disusul dengan agama Kristen/Kahtolik dengan prosentase 43,48%. Untuk Agama lainnya seperti Hindu terdapat 2 terpidana mati, dan untuk agama Budha dan Tidak memiliki Agama masing-masing 1 orang terpidana.

2.

Gambaran Putusan Pengadilan

2.1. Jenis Perkara

Dari 47 terpidana mati, terbagi atas 3 perkara utama yaitu Narkotika, Pembunuhan Berencana serta Pembunuhan Berencana dan Pemerkosaan. Duapuluh orang dijatuhi pidana mati karena melakukan tindak pidana narkotika, 26 orang dijatuhi pidana mati karena melakukan pembunuhan berencana dan 1 orang dijatuhi pidana mati karena melakukan pembunahan berencana dan pemerkosaan.

2

7

3 4

7

3

13

7

0 2 4 6 8 10 12 14

Pekerjaan

Kristen/Katholi k 20 orang

43,48 % Islam

22 orang 47,83 % Hindu

2 orang 4,35 %

Buddha 1 orang 2,17 %

Tidak Beragama 1 orang

2,17 %

Agama/Kepercayaan


(26)

2.2. Sebaran Putusan

Mengenai asal pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili Perkara Hukuman Mati, Pengadilan Negeri Tangerang menempati peringkat teratas dengan memeriksa dan mengadili 8 perkara, disusul dengan Pengadilan Negeri Depok dengan jumlah 4 Perkara.

43% 55%

2%

Jenis Perkara

Narkotika Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana dan Pemerkosaan

PN. TANGERANG

8

3 1 1 2 1 2 2 PN DEPOK

4 1

1 1 3 1 1

1 1

1 1

1 1 1

1 2

Asal Pengadilan Negeri

PN. Tangerang PN. Denpasar PN. Medan PN. Jakarta Selatan PN. Jakarta Pusat PN. Jakarta Utara PN. Jakarta Barat PN. Sekayu PN. Depok PN. Lamongan PN. Lubuk Pakau PN. Kuala Tungkai PN. Surabaya PN. Palembang PN. Tanjung Balai Karimun PN. Rangkasbitung PN. Bale Bandung PN. Pontianak PN. Kendari PN. Amlapura PN. Sleman PN. Makale PN. Palu PN. Gunungsitoli


(27)

2.3. Tahun Putusan

Berdasarkan waktu memutus perkara, pada Tahun 2002 adalah tahun dengan putusan pidana mati terbanyak, yakni 7 terpidana mati dan berikutnya yaitu pada Tahun 2009 (6) dan Tahun 2005 (5).

2.4. Putusan berdasarkan Provinsi

Berdasarkan letak provinsi, Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama dengan 11 perkara yang dihukum mati. Menyusul dengan Provinsi DKI Jakarta sebanyak 6 perkara, Provinsi Bali dengan 5 perkara, Provinsi Sumatra Utara dengan 4 perkara dan dengan jumlah masing-masing 3 perkara yakni Provinsi Banten dan Jawa Timur.

7

2 3

2

3 3 2

6 5

4 3

2

0 1 2 3 4 5 6 7 8

TAHUN PUTUSAN

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012


(28)

2.5. Jenis Tuntutan

JAWA

BARAT

11

JAWA TIMUR 3

JAWA TENGAH

1 SUMATARA

UTARA 2 SUMATRA

SELATAN 4

BALI

5

DKI

JAKARTA

6

BANTEN

3

JAMBI 1 RIAU

1

KALIMANTAN BARAT

1

SULAWESI TENGGARA

1

SULAWESI SELATAN

1 SULAWESI TENGAH 1

BERDASARKAN PROVINSI

JAWA BARAT

JAWA TIMUR JAWA TENGAH SUMATRA UTARA SUMATRA SELATAN BALI

DKI JAKARTA BANTEN JAMBI RIAU

KALIMANTAN BARAT SULAWESI TENGGARA

2%

73% 2%

4% 17%

2%

Jenis Tuntutan

Penjara

Pidana Mati

Pidana Mati dan denda subsidair kurungan pidana mati dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan

Seumur Hidup

Seumur Hidup dan Denda Subsidair kurungan


(29)

Mayoritas jenis tuntutan yang dijatuhkan oleh Penuntut Umum adalah Pidana Mati, terdapat 34 atau 73% putusan yang langsung dituntut dengan pidana mati, dilanjutkan dengan 17% atau 8 putusan yang dituntut dengan pidana seumur hidup.

2.5.1.Pasal Tuntutan dalam perkara Tindak Pidana Narkotika

Berdasarkan tren tuntutan dalam perkara Narkotika, pasal yang sering digunakan adalah Pasal 82 ayat (1) huruf a UU 35 Tahun 2009, pada urutan kedua yakni Pasal 82 ayat (3) huruf a UU 35 Tahun 2009. Terdapat juga JPU yang mengajukan Tuntutan dengan sifat kumulatif atau dengan menuntut 2 Pasal dalam Tuntutan. Terdapat 2 Pasal yang digunakan, yang pertama Pasal 82 ayat (2) huruf a UU 35 tahun 2009, Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU 9 tahun 1976 dan Pasal 62 UU 9 tahun 1976.

Pasal 82 UU 22 Tahun 1997

(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : (a) mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima,menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidanadengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00(satu milyar rupiah);

Pasal 82 UU 22 Tahun 1997

(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam : (a) ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Pasal 23 UU 9 Tahun 1976

(4)Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.

Pasal 114 jo. 132 ayat (1) UU 35 Tahun 2009

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). (1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal tersebut.


(30)

2.5.2.Pasal Tuntutan dalam perkara Pembunuhan Berencana

Pada perkara pembunuan berencana, Pasal yang digunakan tidak variatif layaknya Narkotika, yang mendominasi adalah Pasal 340 KUHP sebagai Pasal Tuntutan yang sering digunakan. Namun terdapat juga pasal tuntutan lain yang juga digunakan, yakni 363 ayat (1) ke-3 KUHP. Sama hal nya dengan Tindak Pidana Narkotika, terdpaat juga Tuntutan yang bersifat kumulatif dengan Pasal-Pasal diantaranya; Pasal 292 KUHP, Pasal 82 UU 23 taun 2002, Pasal 480 KUHP, Pasal 378 KUHP, Pasal363 ayat (1) ke-3 dan Pasal 351 KUHP.

3.2.4. Vonis dan Alur Putusan 3.2.4.1.Vonis Tingkat Pertama 10

3

1 2

1 1 1 1

2 1 1

0 2 4 6 8 10 12

PASAL TUNTUTAN

PERTAMA

PASAL TUNTUTAN

KEDUA

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU 22/1997

Pasal 82 ayat (3) huruf a UU 22/1997

Pasal 23 ayat (4) jo. Pasal 36 ayat (4) UU 9/1976

Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) UU 35/2009 Pasal 78 ayat (1) huruf a UU 22/1997

Pasal 59 ayat (1) huruf e jo. Pasal 59 ayat (2) UU 9/1976 Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. Pasal 59 ayat (2) UU 9/1976 Pasal 59 ayat (1) huruf b UU 9/1976

Pasal 82 ayat (2) huruf a UU35/2009

Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU 9/1976

Pasal 62 UU 9/1976

24

1 1 1 1 1 1

0 5 10 15 20 25 30

PASAL TUNTUTAN PERTAMA PASAL TUNTUTAN KEDUA

Pasal 340 KUHP

Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP Pasal 292 KUHP

Pasal 82 UU 23/ 2002 Pasal 480 KUHP Pasal 378 KUHP

Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP 351 KUHP

Pasal 340

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,


(31)

Mayoritas Vonis pada pengadilan tindak pertama langsung menjatuhkan pidana mati, mencapai 79% atau 37 putusan, diikuti dengan vonis Pidana mati dan Denda Subsidair sebanyak 7%, lalu Pidana seumur hidup berjumlah 6%, pidana mati dan denda berjumlah 4%, sisanya merata bagi vonis pidana penjara dan Pidana mati dan Denda dengan subsidair kurangan berjumlah 2%.

2.6. Vonis dan Alur Putusan 2.6.1.Vonis Tingkat Banding

4% 2%

79% 7%

2% 6%

Vonis Tingkat Pertama

penjara

penjara dan denda subsidair kurungan. Pidana Mati

Pidana Mati dan Denda

Pidana Mati dan denda subsidair kurungan Seumur Hidup

2% 2%

2%

77% 7%

2% 2%

6%

Vonis Tingkat Banding

penjara

Penjara dan denda

penjara dan denda subsidair kurungan. Pidana Mati

Pidana Mati & Denda

Pidana Mati dan denda subsidair kurungan Seumur Hidup


(32)

Untuk Vonis tingkat banding, tidak banyak perubahan pola berdasarkan vonis pada tingkat pertama mayoritas putusan adalah pidana mati dengan 77% atau 36 putusan. Diikuti secara merata oleh jenis pidana lainnya.

2.6.2.Vonis Tingkat Kasasi

Untuk Vonis tingkat kasasi, dari total 40 terpidana mati yang mengajukan kasasi, hampir seluruhnya dijatuhi pidana mati, dengan mayoritas 75% hanya vonis pidana mati, 4% untuk pidana mati dengan denda. 4% juga untuk Pidana mati dengan Denda dan Subsidair kurungan, dan 4% tidak dapat diterima atau NO.

2.6.3.Vonis Tingkat Peninjauan Kembali (PK)

Untuk Vonis tingkat PK, dari seluruh putusan 51% dijatuhi pidana mati, 39% putusan tidak diketahui apakah mengajukan PK atau tidak dan 2% NO. Menariknya, koreksi terhadap pidana mati terlihat dalam Vonis PK, 2% putusan dikoreksi menjadi pidana penjara, dan 2% lainnya dikoreksi menjadi pidana seumur hidup.

75% 4%

2%

15% 4%

Vonis Tingkat Kasasi

Pidana Mati

Pidana Mati & Denda

Pidana Mati dan denda subsidair kurungan Tidak diketahui

NO

39%

2% 2% 4% 51%

2%

Vonis Tingkat PK

Pidana Mati

Penjara

penjara dan denda subsidair kurungan. Seumur Hidup

Tidak diketahui


(1)

8 25 PK/Pid/2012 Ps. 340 KUHP Pidana Mati 9 27 PK/Pid/2010 340 KUHP jo 65 ayat (1) KUHP Pidana Mati 10 29 PK/PID/2009 Ps. 340 KUHP jo. Ps. 55 (1) ke-1 KUHP Pidana Mati

11 53 PK/Pid/2002 Pasal 340 KUHP Pidana Mati

12 11 PK/Pid/2002 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo.

Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP seumur hidup 13 14 PK/Pid/2002

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP dan Pasal 78 ayat (1) b

UU No. 22 Tahun 1997

Pidana Mati 14 18 PK/Pid/2007 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 Pidana Mati 15 39 PK/Pid/2003

Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) b UU No. 9 Tahun 1976 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 23 ayat

(5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU No. 79 Tahun 1976

Pidana Mati

16 67/Pid/2012/PT.BTN Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) UU No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika Pidana Mati 17 503 K/Pid/2002 Pasal 78 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika 15 Tahun Penjara 18 178/PID.B/2009/PN.

TBK

Pasal 340 KUH Pidana Jo pasal 55 Ayat (1) KUH Pidana Dan Pasal 82 Undang Undang R.I No.23 Tahun 2002 Jo

Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana

Pidana mati

19 554 K/Pid/2009 Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

pidana mati dengan perintah agar Terdakwa

tetap ditahan 20 558 K/Pid/2009 Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP pidana mati

21 560 K/Pid/2009 Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

pida a Mati de ga perintah agar Terdakwa

tetap ditahan 22 254 K/PID/2013 Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana Mati

23 1731 K/Pid/2008

pasal 340 KUHP jo Pasal

55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 378 KUHP jo pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP jo pasal

64 ayat (1) KUHP

Pidana Mati

24 1069 K/Pid/2012 Pasal 340 & Pasal 480 ke-1 jo

Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Pidana Mati 25 1135 K/ Pid/ 2002 Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU

Narkotika Seumur Hidup

26 1835 K/ Pid/ 2010 340 KUHP Pidana Mati

27 2473 K/Pid/2007 Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana Mati 28 38 PK/Pid.Sus/2011 Ps. 82 ayat (3) UU Narkotika Hukuman Mati 29 731 K/PID.SUS/2009 Pasal 59 ayat (1) huruf e jo. ayat (2) UU Psikotropika

dan Pasal 62 UU Psikotropika Hukuman Mati 30 1443 K/Pid.Sus/2009 Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. Pasal 59 ayat (2) UU

Psikotropika Pidana mati

31 39 PK/Pid.Sus/2011 Pasal 59 ayat (1) huruf b UU Psikotropika jo. Pasal 55


(2)

6 ayat (1) sub b UU TPPU

32 28 PK/Pid.Sus/2011 Pasal 82 ayat (3) huruf a UU RI. No.22 Tahun 1997

tentang Narkotika Seumur Hidup 33 108 PK/Pid/2007 Pasal 340 KUHP jo pasal 55 (1) ke-1 KUHPi Seumur Hidup 34 65 PK/PID/2010 Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP Pidana Mati 35 987 K/Pid. Sus/2011 Pasal 114 ayat (2) Undang- undang RI Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika Seumur Hidup

36 79 PK/Pid/2008

Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana

dan Pasal 285 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana

Pidana Mati

37 90 / PID / 2012 / PT.DPS

pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP

Pidana Mati pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP

38

72/PK/Pid/2002

Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1)

ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP

Pidana Mati Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1)

KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1)

ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP

Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1)

ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP 39

08/Pid.B/2013/PN-GS Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Seumur Hidup 40

07/Pid.B/2013/PN-GS Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Seumur Hidup 41 1014/Pid.B/1998/PN.

SBY

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU22/1997 tentang

Narkotika Pidana Mati

42

No. 45 PK/Pid.Sus/2009

pasal 82 ayat (3) huruf a Undang- Undang RI Nomor 22 Tahun 1997

ten tang Narkot i ka Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP

Pidana Mati dan denda Rp 500jt subsidair 3 bulan

kurungan

ALUR VONIS

No.

No Perkara

Vonis PN

Vonis PT

Vonis MA

Vonis PK

1127 K/ Pid/ 2002 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 2 1771 K/ Pid/ 2002 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 3 1888 K/ Pid/ 2004 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 4 2107 K/Pid/ 2004 Pidana Mati &

Denda Rp. 100jt

Menguatkan Putusan PN

Menolak


(3)

5 2253 K/ Pid/ 2005 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi -

6 22/PK/Pid/2003 Pidana Mati Pidana Mati - Menolak

permohonan PK

7 24/PK/Pid/2003 Pidana Mati - - Menolak

permohonan PK 8 25 PK/Pid/2012 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

Permohonan Kasasi

Menolak permohonan PK 9 27 PK/Pid/2010 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

Permohonan Kasasi

Menolak permohonan PK 10 29 PK/PID/2009 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

Permohonan Kasasi Menolak 11 53 PK/Pid/2002 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

Permohonan Kasasi Menolak 12 11 PK/Pid/2002 Pidana mati Pidana Mati Menolak

permohonan kasasi

Menolak permohonan PK 13 14 PK/Pid/2002 Pidana mati Pidana Mati Menolak

permohonan kasasi

Menolak permohonan PK 14 18 PK/Pid/2007 Pidana mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak permohonan kasasi

Menolak permohonan PK 15 39 PK/Pid/2003 Pidana mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak permohonan kasasi

Menolak permohonan PK 16 67/Pid/2012/PT.BTN Seumur Hidup Pidana Mati - -

17 503 K/Pid/2002 18 Tahun Pidana Mati Menolak

permohonan kasasi - 18 178/PID.B/2009/PN.

TBK Pidana Mati - - -

19 554 K/Pid/2009 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN NO -

20 558 K/Pid/2009 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 21 560 K/Pid/2009 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN NO -

22 254 K/PID/2013 15 tahun penjara Menguatkan

Putusan PN pidana mati - 23 1731 K/Pid/2008 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 24 1069 K/Pid/2012 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 25 1135 K/ Pid/ 2002 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 26 1835 K/ Pid/ 2010 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 27 2473 K/Pid/2007 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 28 38 PK/Pid.Sus/2011 Pidana Mati Hukuman Mati Menolak

Permohonan Kasasi

Menolak permohonan PK 29 731 K/PID.SUS/2009 Pidana Mati dan

Denda Rp. 750jt

Pidana Mati dan Denda Rp. 750jt

Menolak


(4)

30 1443 K/Pid.Sus/2009 Pidana Mati dan

Denda Rp. 750jt Menguatkan pidana mati -

31 39 PK/Pid.Sus/2011

15 tahun penjara dan denda Rp. 500jt subsidair 4 bulan kurungan.

18 tahun penjara dan denda Rp. 600jt subsidar 6 bulan kurungan.

Pidana Mati

15 tahun penjara dan denda Rp 500jt subsidair 4

bulan kurungan 32 28 PK/Pid.Sus/2011 Seumur Hidup Menguatkan Pidana Mati Penjara Seumur

Hidup 33 108 PK/Pid/2007 Pidana Mati menguatkan

putusan PN - NO

34 65 PK/PID/2010 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

Menolak permohonan PK 35 987 K/Pid. Sus/2011 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi - 36 79 PK/Pid/2008 Pidana Mati Menguatkan

Putusan PN

Menolak permohonan kasasi

Melolak Permohonan PK

Pemohon 37 90 / PID / 2012 /

PT.DPS Pidana Mati

Menguatkan

Putusan PN - -

38 72/PK/Pid/2002 Pidana Mati Pidana Mati Menolak permohonan kasasi

Menolak permohonan PK 39

08/Pid.B/2013/PN-GS Pidana Mati - - -

40

07/Pid.B/2013/PN-GS Pidana Mati - -

41 1014/Pid.B/1998/PN

.SBY Seumur Hidup

20 Tahun dan

denda 100 juta Pidana Mati Seumur Hidup

42 No. 45 PK/Pid.Sus/2009

Pidana Mati dan denda Rp 500jt subsidair 3 bulan

kurungan

Menguatkan Putusan PN

Menolak

Permohonan Kasasi 12 tahun

MASA PENAHANAN

No.

No Perkara

Rentang Penahanan (dalam hari)

Total Masa Penahanan

(dalam hari)

Penyidikan Penuntutan

PN

PT

MA

1 1127 K/ Pid/ 2002 - - - -

2 1771 K/ Pid/ 2002 - - - -

3 1888 K/ Pid/ 2004 25 35 88 116 163 427

4 2107 K/Pid/ 2004 115 38 89 125 84 451

5 2253 K/ Pid/ 2005 58 13 132 91 92 386

6 22/PK/Pid/2003 - - - -

7 24/PK/Pid/2003 - - - -

8 25 PK/Pid/2012 - - - -

9 27 PK/Pid/2010 - - - -


(5)

- - - -

11 53 PK/Pid/2002 83 18 90 125 139 455

12 11 PK/Pid/2002 - - - -

13 14 PK/Pid/2002 - - - -

14 18 PK/Pid/2007 - - - -

15 39 PK/Pid/2003 - - - -

16 67/Pid/2012/PT.BT

N 49 7 90 108 254

17 503 K/Pid/2002 - - - -

18 178/PID.B/2009/PN

.TBK 20 56 90 60 - 226

19 554 K/Pid/2009 119 20 190 30 110 469

20 558 K/Pid/2009 119 20 120 30 110 399

21 560 K/Pid/2009 119 20 121 120 110 490

22 254 K/PID/2013 20 101 149 90 110 470

23 1731 K/Pid/2008 72 20 90 138 142 462

24 1069 K/Pid/2012 87 16 104 89 112 408

25 1135 K/ Pid/ 2002 59 9 121 90 111 390

26 1835 K/ Pid/ 2010 60 11 77 89 111 348

27 2473 K/Pid/2007 42 7 35 90 60 234

28 38 PK/Pid.Sus/2011 119 42 89 145 11 406

29 731

K/PID.SUS/2009 118 34 90 147 51 440

30 1443

K/Pid.Sus/2009 119 42 134 90 111 496

31 39 PK/Pid.Sus/2011 - - - -

32 28 PK/Pid.Sus/2011 - - - -

33 108 PK/Pid/2007 - - - -

34 65 PK/PID/2010 - - - -

35 987 K/Pid. Sus/2011 60 7 103 90 110 370

36 79 PK/Pid/2008 60 20 104 88 140 412

37 90 / PID / 2012 / PT.DPS

120 50 89 41 - 300

- - - -

38

72/PK/Pid/2002

- - - -

- - - -

- - - -

39

08/Pid.B/2013/PN-GS 96 29 150 - - 275

40

07/Pid.B/2013/PN-GS 96 29 150 - - 275

41 1014/Pid.B/1998/P

N.SBY 23 69 150 90 - 332

42

No. 45


(6)