6
pidana mati pada 1983 dengan mengeluarkannya dari Hukum Militer. Sejak pengaturan di KUHP, ada beberapa Undang-Undang yang turut mengatur mengenai hukuman mati. Indonesia tidak mengenal
adanya pembagian tindak pidana serius atau pidana berat, sehingga penempatan pidana mati sangat tergantung pada perumus Undang-Undang tanpa ada patokan yang pasti. Peraturan perundang-
undangan yang masih mencantumkan hukum mati, sebagai berikut.
Peraturan Perundang-Undangan Ketentuan
KUHP Pasal 104, Pasal 111 ayat 2, Pasal 124 ayat
3, Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365 ayat 4, Pasal 444, Pasal 368 ayat 2.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer KU HPM
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 73 Ke1, Ke2, Ke3 dan Ke4, Pasal 74 Ke1 dan
Ke2, Pasal 76 1, Pasal 82, Pasal 89 Ke1 dan Ke2, Pasal 109 Ke1 dan Ke2, Pasal 114 ayat
1, Pasal 133 ayat 1 dan 2, Pasal 135 ayat 1 ke1 dan ke2, ayat 2, Pasal 137 ayat 1
dan 2, Pasal 138 ayat 1 dan 2, dan Pasal 142 ayat 2.
UU Nomor 12Drt1951 tentang Senjata Api Pasal 1 ayat 1
Penpres Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewanang Jaksa AgungJaksa Tentara Agung dalam Hal
Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan
Perlengkapan Sandang Pangan Pasal 2
Perppu Nomor 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak
Pidana Ekonomi Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2
UU Nomor 31PNPS1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom
Pasal 23 UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan
Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-
Undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap SaranaPrasarana Penerbangan
Pasal 479 huruf k ayat 2 Pasal 479 huruf 0 ayat 2
UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 59 ayat 2
UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 74, Pasal 113 ayat 2, 114 ayat 2, 119
ayat 2, 118 ayat 2, 119 ayat 2, 121 ayat 2, 132 ayat 3, 133 ayat 1, 144 ayat 2
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi
Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat 3 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 89 ayat 1
7
Secara Internasional, hukuman mati hanya dimungkinkan dijatuhkan hanya pada kejahatan- kejahatan yang paling serius.
25
Ko ite HAM telah e yataka ahwa arti kejahata ya g pali g serius i i harus diartika ahwa huku a ati ha ya di erlakuka pada ko disi-kondisi yang
sangat tertentu quite exceptional measure.
26
Kejahatan-kejahatan yang diputus dengan hukuman mati adalah kejahatan yang menimbulkan matinya seseorang dengan sengaja atau menimbulkan
akibat yang berat bagi korban.
27
. Pelapor khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang menyatakan bahwa hukuman mati harus dihapuskan untuk
kejahatan-kejahatan seperti kejahatan ekonomi dan obat-obat terlarang.
28
4. Orang-orang yang tidak boleh dijatuhi hukuman Mati dan Dieksekusi.
Standar Internasional melarang pemberlakuan hukuman mati bagi orang-orang dengan kategori tertentu seperti orang dibawah umur 18 tahun pada saat kejadian tersebut berlangsung, orang-
orang diatas umur 70 tahun, perempuan hamil dan ibu yang baru melahirkan, sakit jiwa dan sakit mental. Di Indonesia larangan ini juga berlaku, dalam beberapa aturan ada larangan tegas terhadap
orang-orang yang tidak dapat dijatuhi pidana mati di Indonesia anak, dan penundaan eksekusi bagi wanita hamil. Sampai dengan saat ini, Undang-Undang No. 2PNPS1964 Tahun 1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer UU 2PNPS1964 masih merupakan pedoman utama dalam melakukan eksekusi mati di
Indonesia.
4.1. Anak-anak
Hukum Indonesia secara tegas dan jelas menyatakan bahwa hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada anak. Secara komprehensif larangan penjatuhan pidana mati dan
seumur hidup terhadap anak tertulis tidak kurang pada tiga aturan berlevel Undang-undang, yaitu Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 3 huruf f UU Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA, dan Pasal 64 huruf f UU 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kovenan Sipol menekankan dengan tegas bahwa orang berusia dibawah 18 tahun pada saat kejadian berlangsung, tidak boleh dijatuhi hukuman mati, meskipun pada saat persidangan dan putusan
dijatuhkan usianya melebihi 18 tahun.
29
4.2. Orang Lanjut Usia
Dalam hukum di Indonesia tidak dikenal pembatasan usia maksimum orang dikenakan pidana mati, Indonesia hanya mengatur mengenai batas minimum penjatuhan pidana mati, yaitu usia 18 tahun
untuk anak. Hukum Indonesia tidak kompatibel dengan ketentuan Internasional terkait dengan terpidana mati lanjut usia, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merekomendasikan agar negara-negara
harus menetapkan usia maksimum bagi orang-orang yang dikenakan hukuman mati atau dieksekusi.
30 25
Pasal 62 ICCPR, Pasal 42 Konvensi Amerika, Paragraf 1 tentang Perlindungan dari hukuman mati
26
Pernyataan Umum Komite HAM NO.6, paragraf ke-7
27
Paragraf 1 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati
28
Laporan Pelapor khusus tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak sewenang-wenang, Dok.PBB: ECN.419964, pada paragraf 556
29
Pasal 65 ICCPR, Pasal 37a Konvensi Hak-hak Anak, Angka 17.2 Beijing Rules United Nations Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenil
e Justi e Beiji g Rules , Paragraf- 3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati dan Pasal II Konvensi Jenewa tahun 1949 melarang hukuman
mati dikenakan bagi orang-orang berusia dibawah 18 tahun pada saat kejahatan tersebut dilakukan.
30
Resolusi ECOSOC 1989, Dok.PBB, E1989INF7, 127 hal 128
8
4.3. Orang Sakit Mental
Tidak ditemukan secara jelas aturan yang melarang pidana mati dilakukan kepada orang sakit mental di Indonesia, tidak juga dalam UU 2PNPS1964. Namun, apabila ditelusuri, KUHP Indonesia
mengatur mengenai ketentuan orang sakit mental tidak dapat dipidana dan dimintai pertanggungjawaban pidana. Ketentuan tersebut disebut sebagai alasan pemaaf, yaitu alasan yang
menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum, sehingg dilihat dari sisi orangpelakunya secara subjektif.
Orang sakit mental adalah salah satu contoh subjek yang bisa dikenai alasan pemaaf sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP
disebutkan:
Tiada dapat dipida a ara gsiapa e gerjaka suatu perbuatan yang tidak dapat diperta ggu gja a ka kepada a, se a kura g se pur a akal a atau sakit eru ah akal.
Selanjutnya juga dituliskan dalam Pasal 44 ayat 2 KUHP yang berbunyi : Jika ata per uata itu
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya
satu tahu u tuk diperiksa. Secara Internasional, eksekusi bagi orang-orang yang sakit mental dilarang.
31
Larangan ini termasuk orang-orang yang terganggu jiwanya karena dikenakan hukuman mati.
32
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merekomendasikan agar negara-
egara e ghapuska huku a ati agi ora g-orang yang menderita gangguan mental atau keterbelakangan mental, baik pada saat penentuan putusan
aupu eksekusi.
33
4.4. Perempuan Hamil dan Baru Melahirkan
Dalam hukum di Indonesia, diatur juga alasan penundaan pidana mati, salah satunya kepada wanita hamil dan baru melahirkan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7 UU 2PNPS1964 yang
berbunyi: Apa ila terpida a ha il, aka pelaksa aa pida a ati aru dapat dilaksa aka e pat
puluh hari setelah a ak a dilahirka . Berdasarkan peraturan di atas, eksekusi pidana mati bagi terpidana mati yang sedang hamil itu ditunda hingga empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
Artinya, eksekusi pidana mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil. Hal ini sudah sesuai dengan konteks Internasional, yang melarang hukuman mati dijatuhkan kepada
perempuan hamil
34
dan kepada perempuan yang baru melahirkan.
35
5. Kaitan langsung Hukuman Mati dengan Hak atas Peradilan yang Adil
Karena sifat hukuman mati sangatlah besar akibatnya, maka proses peradilan terhadap kasus-kasus besar harus segera mengacu pada standar-standar internasional dan regional yang melindungi hak
atas Peradilan yang Adil. Semua perlindungan dan proses yang menjamin hak atas Peradilan yang Adil yang diatur dalam standar internasional harus dilaksanakan selama berlangsungnya proses pra-
persidangan, persidangan dan tingkat banding serta standar-standar tersebut harus dihargai sepenuhnya. Diyakini bahwa semua eksekusi melanggar hak atas hidup. Meski hal ini tidak
sepenuhnya diterima secara internasional, namun badan-badan HAM internasional dan para ahli setuju bahwa hal itu melanggar hak atas hidup dengan mengeksekusi seseorang setelah proses
31
Paragraf ke-3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati
32
Lihat juga Laporan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi di luar proses peradilan, mendadak dan sewenang- wenang, Dok.PBB.A51457, paragraf 115
33
Resolusi ECOSOC, 198964, diadopsi tgl 24 Mei 1989, Dok.PBB;E1989INF7
34
Pasal 65 ICCPR, Pasal 45 Konvensi Amerika
35
Paragraf ke-3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati , Lihat juga Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, A51457,
7 Oktober 1996, paragraf 115