Dinamitation of Coral Reef Management (Kabalutan Island, Togean Archipelago, Tojo Una Una Regency

(1)

DEWI DWI PUSPITASARI SUTEJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Dinamika Pengelolaan Terumbu Karang (Di Pulau Kabalutan, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah)adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2013

Dewi Dwi Puspitasari Sutejo NRP. C252090151


(3)

DEWI DWI PUSPITASARI SUTEJO. Dinamitation of Coral Reef Management (Kabalutan Island, Togean Archipelago, Tojo Una Una Regency. Central Sulawesi Province). Under direction of ARIO DAMAR AND TARYONO.

Coral reef degradation that driven by various factors, e.g.: natural disaster, pollution, mining, sedimentation, tourism and fishing activities have been continuously taking place in Indonesia in the last decade. Kabalutan Island is an area which coral reef degradation driven by a factor called “commercialization and commodification of fisheries”. However, it can be also indirectly driven by policy overlap in resource management. The aim of this study are; (1) to identify the driving factors on natural resource degradation, and (2) to identify the weak point of a management system that leads to failure by seeing the dynamic of natural resource management comprehensively. The research was conducted by doing analysis on coral reef condition, policy and management. Result of the research shows that there is a dualism in natural resource management at Togean Islands; while in micro level, at Kabalutan Island, the absence of authority, right, regulation, and monitoring has been the main driver of coral reef degradation.

Keywords: coastal management analysis, coral reef, Kabalutan, and policy analysis,


(4)

DEWI DWI PUSPITASARI SUTEJO. Dinamika Pengelolaan Terumbu Karang (Di Pulau Kabalutan Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-una, Propinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh ARIO DAMAR DAN TARYONO.

Kepulauan Togean merupakan bagian dari ‘Segitiga Terumbu Karang’ (Coral Triangle) yang merupakan area-area dengan keragaman karang tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil penelitian Wallace et al. dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (merupakan tertinggi di dunia), 78 diantaranya terdapat di Kepulauan Togean. Kekayaan terumbu karang yang ada di Kepulauan Togean menjadi salah satu dasar penetapan kebijakan pengelolaan. Kepulauan Togean memiliki sejarah panjang terkait dengan kebijakan pengelolaan laut. Dimulai dari kebijakan pemerintah Sulawesi Tengah pada tahun 1989 yang menetapkan Togean sebagai Taman Wisata Laut, yang kemudian pada sekitar tahun 1993 berubah menjadi inisasi Cagar Alam dan pada akhirnya inisasi Taman Nasional melalui melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.418/MENHUT-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004. Keseluruhan kebijakan tersebut merupakan respon pemerintah dalam rangka memanfaatkan sumberdaya yang sekaligus sebagai salah satu bentuk praktek konservasi. Hanya saja pada tataran lokal (mikro), setiap inisiasi kebijakan pengelolaan serta respon yang dilakukan kerap kali belum optimal menjawab permasalahan degradasi sumber daya laut dalam hal ini terumbu karang serta masalah utama mengenai bagaimana masyarakat bisa mengambil peran dalam pengelolaan itu sendiri.

Seiring dengan proses evolusi kebijakan pengelolaan kawasan Kepulauan Togean tersebut, pola hubungan (produksi, konsumsi dan distribusi) dan akses komunitas Kabulatan atas sumberdaya laut pun turut mengalami pergeseran, dari yang awalnya berbasis pada sistem pengelolaan sumberdaya secara tradisional (subsisten) kemudian lebih berorientasi pada pasar ekspor produk perikanan bernilai tinggi (market driven). Tercatat di eratahun 1990-an, Kepulauan Togean menjadi salah satu pemasok komoditi dalam perdagangan global untuk ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) hidup. Hal ini juga yang menyebabkan kondisi ekologi dan sosial masyarakat di Pulau Togean berubah secara signifikan, khususnya bagi komunitas Bajau yang menjadi bagian dalam rantai komoditi global tersebut. Tingkat kerusakan terumbu karang pada periode ini pun meningkat tajam karena penggunaan alat tangkap yang merusak untuk mengejar tingginya permintaan pasar ekspor ikan hidup.

Dari berbagai ulasan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menganalisis kondisi terumbu karang di Pulau Kabalutan 2) Menganalisis pola pemanfaatan terumbu karang di Pulau Kabalutan 3) Menganalisis dinamika dan bentuk pengelolaan sumberdaya di Kepulauan Togean di Pulau Kabalutan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 dan Juni 2012 yang meliputi pengambilan data lapang sosial ekonomi dan data sekunder. Penelitian ini turut menggunakan data kualitatif dengan mengambil studi kasus Pulau Kabalutan dengan menggunakan pendekatan sosial ekologi. Sedangkan dalam mengalisis kebijakan dan pengelolaan itu sendiri, penulis menggunakan skema Ruddle 1996 yaitu melihat bagaimana kewenangan (Authority) yang berlaku pada


(5)

digunakan untuk menjawab dimana letak kegagalan dari suatu pengelolaan. Proses menganalisis kebijakan pengelolaan, menggunakan kerangka kerja Wolmer dan Sconess dengan menggambungkan antara tiga elemen penting yaitu;

pertama, wacana/narasi (apakah narasi politik yang berkembang? dan bagaimana terkerangkai apakah melalui ilmu atau penelitian?); kedua, aktor/jaringan (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka saling terhubung?); danketiga, politik /minat (bagaimana dinamika kekuatan yang bermain?)

Hasil penelitian menunjukan bahwa laju kerusakan terumbu karang di Selatan Kabalutan dalam kurun waktu 1998 hingga 2011 mengalami peningkatan sebesar 125%. Sementara itu, kondisi terumbu karang di Barat Kabalutan menunjukan fenomena yang berbeda, persentase tutupan karang hidup di site Barat Kabalutan dalam kategori baik yaitu 56.50%. Masih baiknya kawasan ini bila dibandingkan dengan Selatan Kabalutan yaitu karena posisinya dekat dengan perkampungan sehingga secara tidak langsung terjaga dari kegiatan perikanan yang merusak seperti penggunaan bahan peledak selain itu pada areal ini pernah diinisiasi sebagai zona inti Daerah Perlindungan Laut (DPL). Saat ini sebagian dari komunitas Kabalutan tetap menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan sementara sebagian kecil dari mereka tetap melakukan penjualan ikan hidup dengan jenis ikan sunu. Berbeda dengan pola pemanfaatan pada kurun waktu 1990an, saat ini penangkapan ikan sunu tidak menggunakan obat bius tetapi menggunakan cara yang ramah lingkungan yaitu missi. Pada rantai penjualan komoditas ikan baik hidup jenis Napoleon (Cheilinus undulatus) atau Sunu (Leopard grouper), keuntungan terbesar tetap berada pada level pengumpul. Selanjutnya saat ini di kepulauan Togean telah terjadi dualisme pengelolaan antara pusat dan daerah, yang keduanya sama-sama belum dapat menyelesaikan fenomena degradasi terumbu karang akibat pemanfaatan yang merusak.


(6)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan kritik atau tinjauan masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PROPINSI SULAWESI TENGAH

DEWI DWI PUSPITASARI SUTEJO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(8)

(9)

Nama : Dewi Dwi Puspitasari Sutejo

NIM : C252090151

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Ario Damar, M.Si Ketua

Taryono, S.Pi M.Si Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(10)

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penelitian dengan judul Dinamika Pengelolaan Terumbu Karang (Di Pulau Kabalutan, Kabupaten Tojo Una-Una, Propinsi Sulawesi Tengah)dapat diselesaikan. Tulisan ini berisi tentang dinamika pengelolaan terumbu karang dengan mengambil studi kasus di Pulau Kabalutan Kepulauan Togean. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial ekologi yang menggunakan alat analisis terumbu karang, analisis kualitatif, analisis kebijakan dan analisis pengelolaan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Bapak Taryono, S.Pi M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku penguji luar komisi, Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku penguji program studi yang telah banyak memberikan saran dan masukan didalam menyempurnakan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulisan sampaikan kepada Ayahanda Sutoyo dan Ibunda Siti Maryam, rekan kerja sekaligus rekan hidup penulis Muhammad Yusuf yang telah memberikan dukungannya. Saudara penulis yaitu Heru Awan Prabowo, Ida Hadi Nuraeni Sutejo, Salwa Yudistia Sutejo serta keluarga besar Makasar Ayahanda H. Syamsuddin Ismail. Serta teman-teman SPL-IPB angkatan tahun 2009 dan juga rekan di Sajogyo Institute (SAINS) yang telah banyak membantu didalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga Ambar Subekti di Ampana serta masyarakat Pulau Kabalutan yang telah membantu penulis saat mengambil data lapang.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna untuk bisa jadi rujukan dalam pelaksanaan penelitian, sehingga perlu adanya perbaikan dan pengembangan baik dalam teoritis dan metodologis. Saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini dan penulisan karya ilmiah selanjutnya demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Maret 2013


(11)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 09 April 1985 dari ayah Sutoyo dan ibu Siti Maryam. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara (Heru Awan Prabowo – Kakak dan Ida Hadi Nuraeni Sutejo – Adik). Pendidikan penulis diselesaikan di SDN Cijujung 2 Bogor tahun 1996, SMPN 15 Bogor tahun 1999, SMAN 8 Bogor tahun 2002 dan mendapatkan gelar Sarjana Perikanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2006.

Setelah menyelesaikan studi sarjana di IPB, penulis belajar dan bekerja sebagai pegiat di Sajogyo Institute (SAINS). Pada tahun 2009 penulis berkesempatan meneruskan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun 2013.


(12)

xxiii

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxv

DAFTAR GAMBAR ... xxvii

DAFTAR LAMPIRAN... xxix

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Kerangka Pemikiran ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Ekosistem Terumbu Karang ... 9

2.1.1. Sifat Biologis Terumbu Karang ... 9

2.1.2. Faktor-Faktor Pembatas Terumbu Karang ... 10

2.1.3. Tipe Terumbu Karang ... 11

2.2. Metode Garis Transek ………... 12

2.3. Ekologi Politik ... 14

2.4. Diskursus Wacana Konservasi ... 15

2.5. Linkup Peraturan Konservasi di Indonesia ... 19

2.6. Teori Penguasaan Sumber Daya(Land Tenure)... 26

2.7. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat ... 31

2.8. Model Pengelolaan Sumber Daya ... 33

2.8.1. Model Pengelolaan Tradisional ... 33

2.8.2. SistemCo-Management... 34

2.9. Penelitian Terdahulu di Kepulauan Togean………... 35

3. METODOLOGI ... 37

3.1. Lokasi Penelitian ... 37

3.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 37

3.3. Metode Analisis Data ... 40

3.3.1. Analisis KualitasTerumbuKarang 40 3.3.2. Analisis Kebijakan(Policy Analysis)... 40

3.3.3. Skema Pengelolaan Ruddle 1996……….. 42

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1. Profil Kepulauan Togean ... 45

4.2. Profil Pulau Kabalutan………... 46

4.3. Karakteristik Terumbu Karang di Kepulauan Togean ... 49

4.4. Kondisi Terumbu Karang di Selatan Kabalutan ... 54

4.5. Pola Pemanfataan dan Pengelolaan Sumberdaya Laut di Pulau Kabalutan ……… 56 4.6. Upaya Rehabilitasi Karang dan Pemberdayaan Komunitas 67


(13)

Kabalutan………... 4.7. Analisis Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya

Kepulauan Togean………. 72

4.7.1. Sejarah Kebijakan……… 72

4.7.2. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya... 75

4.7.3 Dinamika Ekologi dan Sosial di Pulau Kabalutan….. 82

4.7.4 Sistem Pengelolaan di Pulau Kabalutan………... 88

4.7.5 Rekomendasi Sistem Pengelolaan Pulau Kabalutan.... 92

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

5.1. Kesimpulan ... 95

5.2. Saran ... 96


(14)

xxv

Halaman

1 Perubahan pendekatan konservasi ... 17

2 PerbedaanTheory of Property RightsdanTheory of Access... 30

3 4 Jenis data dan parameter penelitian ... Jenis dan jumlah responden……… 38 39 5 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ... 47

6 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ... 48

7 Analisis persentase tutupan karang di Selatan Kabalutantahun 1998, 2008, 2010,2011 ……… 53

8 Analisis persentase tutupan karang di Barat Kabalutan tahun 2011…. 55 9 Matrik analisis ancaman terhadap terumbu karang di Kepulauan Togean ... 59

10 Harga ikan hidup pada tahun pertengahan tahun 1997……….. 58

11 Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan Kabalutan………... 62

12 Lokasi dominan penangkapan ikan sesuai jenis ………... 63

13 Pengajuan perubahan kawasan hutan Kabupaten Tojo Una-Una ... 75

14 Matriks status kawasan Kepulauan Togean ... 77

15 Daftar kawasan konservasi laut daerah kurun waktu 2002-2004 ... 81

16 Dinamika pemanfaatan, karakteristik akses dan kondisi sosial ekologi Pulau Kabalutan ………. 90

17 Skema pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya Kepulauan Togean berdasarkan Ruddle 1996………... 92


(15)

(16)

xxvii

Halaman

1 Kerangka pemikiran ... 8

2 3 Sistem pencatatan data pada metode pengamatan transek garis……… Koloni karang masif besar………... 13 13 4 SpectrumCo-Management... 34

5 Tiga aspek dalam proses kebijakan ... 42

6 Lokasi penelitian ... 44

7 Persentase sumber pendapatan komunitas Kabalutan……… 48

8 Kalender musim nelayan Kabalutan ... 49

9 Persentase tutupan karang hidup, karangmati, alga, abiotik dan biota lainnya di perairan bagian Selatan Kabalutan... 53

10 Rata-rata persentase tutupan karang di Selatan Kabalutan, 1998-2011………... 54

11 Karang yang sedang mengalami proses bleaching dan karang rusak akibat pemboman………... 55

12 Grafik rata-rata persentase tutupan karang di Selatan Kabalutan dan Barat Kabalutan tahun 2011 ………. 55

13 14 Area penangkapan nelayan kabalutan……… Jenis alat tangkap nelayanKabalutan ……….... 64 65 15 Jenis ikan dan area penangkapan nelayan Kabalutan ……… 65

16 Persentase sumber pendapatan masyarakat Kabalutan……… 66

17 Sejarah kebijakan pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean ... 76

18 Tipologi akses dan corak produksi komunitas ... 83


(17)

(18)

xxix

Halaman

1 Benthic lifeforms report dilokasi selatan kabalutan tahun 2010……... 103

2 Benthic lifeforms report di lokasi selatan kabalutan tahun 2011…… 104

3 Benthic lifeforms report di lokasi barat kabalutan tahun 2011……….. 105

4 Dinamika pemanfaatan sumber daya, karakteristik akses dan kondisi sosial ekologi Pulau Kabalutan……….. 106 5 Kuisioner Nelayan………. 108

6 Kuisioner Pengumpul ……… 122

7 Peta tata ruang kawasan hutan awal... 123

8 Peta tata ruang kawasan hutan usulan perubahan……….. 124

9 Peta tata ruang kawasan kabupaten Tojo Una-Una………... 125


(19)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan Status of Coral Reefs of The World tahun 2000 kerusakan terumbu karang di dunia mencapai 27% (Satria 2009). Kondisi kerusakan ini diperkirakan akan terus meningkat dimana pada tahun 2010 mencapai 40% dan pada tahun 2030 dapat mencapai 58%. Data juga menunjukan kerusakan terumbu karang di Asia Tenggara telah mencapai 40.000 km2dari total 150.000 km2karang dunia yang rusak atau sekitar 26,67%. Dengan perkataan lain, kawasan Asia Tenggara memiliki kontribusi terbesar terhadap kerusakan terumbu karang di dunia. Indonesia sendiri memiliki sekitar 18% dari total terumbu karang di dunia, dimana sekitar 6% dinyatakan masih tergolong baik, dan sekitar 30% telah rusak. Kerusakan terumbu karang tersebut dapat diakibatkan oleh beragam faktor seperti bencana alam, pencemaran, pertambangan, sedimentasi, aktivitas wisata (diving), dan beragam aktivitas perikanan. Namun demikian, aktivitas perikanan diduga menjadi penyebab utama dari segala kerusakan yang seringkali persepsi tersebut justru turut menimpa nelayan-nelayan yang tidak menggunakan bom (tradisional).

Bila dilihat dari fungsi ekologisnya, terumbu karang merupakan habitat, tempat berpijah, berlindung dan mencari makanan beberapa biota laut yang bernilai ekonomis (ikan, molusca, udang dan organisme lainnya), yang bermanfaat bagi keberlanjutan ekosistem itu sendiri serta sebagai sumber nafkah dan protein bagi manusia. Selain itu, terumbu karang merupakan komoditas utama bagi wisata laut yang menjadi sektor andalan bagi Indonesia. Terumbu karang juga penting dalam melindungi pantai dan ekosistem perairan dangkal lainnya sebagai penahan arus laut, sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pantai (Fredinan et al. 2009). Dengan demikian, kondisi terumbu karang dapat dijadikan indikator dalam menilai baik atau tidaknya suatu wilayah perairan, baik dari aspek tata kelola (kebijakan), kondisi ekologi maupun sosial-ekonomi masyarakat yang hidup dalam dan disekitar kawasan tersebut.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kondisi terumbu karang dunia dan khususnya Indonesia terus mengalami degradasi. Di Indonesia, beragam upaya pemulihan terumbu karang telah dilakukan diantaranya melalui penetapan


(20)

wilayah konservasi dengan beberapa pola atau yang lebih dikenal dengan nama

Marine Proctected Area (MPA). Bentuk pemulihan dan perlindungan lain dilakukan dengan membangun pola kerjasama pengelolaan antara masyarakat dengan pemerintah. Namun kompleksitas permasalahan degradasi ekologi laut khususnya terumbu karang tidak serta merta selesai dengan penetapan suatu wilayah menjadi wilayah konservasi baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Lebih luas, beragam persoalan kawasan perairan seperti penurunan stock ikan, rusaknya terumbu karang dan pencemaran tidak otomatis harus ditangani dengan solusi praktis dengan menjauhkan manusia dari sumberdaya tempat mereka bergantung. Terdapat proses yang harus dikaji lebih dari sekedar masalah teknis yakni, proses yang melibatkan kajian sosial ekonomi dan politik atas sumberdaya tersebut.

Perubahan sebuah lingkungan tidaklah bersifat netral, tetapi merupakan suatu bentuk politized environment yang banyak melibatkan aktor-aktor yang bekepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global (Bryantin Satria 2009). Lebih lanjut Escobar (1998) mengungkapkan, wacana biodiversity telah menciptakan aparatus institusional yang luas dan sistematis dalam mengorganisasikan produksi bentuk-bentuk pengetahuan dan tipe-tipe kekuasaan, yang terkait satu sama lain melalui strategi-strategi dan program-program kongkrit. Institusi-institusi internasional, NGO negara-negara utara, Taman Nasional, universitas dan lembaga penelitian di negara dunia pertama dan ketiga, perusahaan-perusahaan farmasi, dan berbagai tenaga ahli yang terdapat di masing-masing situs, kesemuanya menempati situs-situs dominan dalam jaringan.

Pilihan pengelolaan tradisional atau pengelolaan berbasis masyarakat untuk mengambil peran dalam konservasi masih dipercaya bisa mengatasi masalah degradasi terumbu karang, sehingga masih perlu dipertimbangkan kembali jika mengalihkan pengelolaan seluruhnya kepada negara. Ruddle (1996) menyatakan, tidak seperti pengelolaan perikanan konvensional, sistem pengelolaan tradisional fokus pada penyelesaian masalah penggunaan alat tangkap (merusak) dan berdasarkan pada area dan kontrol terhadap akses, dimana pemantauan dilakukan oleh komunitas lokal dan dilaksanakan berdasarkan moral dari komunitas lokal itu sendiri.


(21)

Hal serupa terjadi di Kepulauan Togean yang memiliki sejarah panjang terkait dengan kebijakan pengelolaan laut. Dimulai dari kebijakan pemerintah Sulawesi Tengah pada tahun 1989 yang menetapkan Togean sebagai Taman Wisata Laut, yang kemudian pada sekitar tahun 1993 berubah menjadi inisasi Cagar Alam dan pada akhirnya inisasi Taman Nasional melalui melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.418/MENHUT-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004. Keseluruhan kebijakan tersebut merupakan respon pemerintah dalam rangka memanfaatkan sumberdaya yang sekaligus sebagai salah satu bentuk praktek konservasi. Hanya saja pada tataran lokal (mikro), setiap inisiasi kebijakan pengelolaan serta respon yang dilakukan kerap kali belum optimal menjawab permasalahan degradasi sumberdaya laut dalam hal ini terumbu karang serta masalah utama mengenai bagaimana masyarakat bisa mengambil peran dalam pengelolaan itu sendiri.

Seiring dengan proses evolusi kebijakan pengelolaan kawasan Kepulauan Togean tersebut, pola hubungan (produksi, konsumsi dan distribusi) dan akses komunitas di Pulau Kabulatan atas sumberdaya laut pun turut mengalami pergeseran, dari yang awalnya berbasis pada sistem pengelolaan sumberdaya secara tradisional (subsisten) kemudian lebih berorientasi pada pasar ekspor produk perikanan bernilai tinggi (market driven). Tercatat di era tahun 1990-an, Kepulauan Togean menjadi salah satu pemasok komoditas dalam perdagangan global untuk ikan Napoleon hidup. Hal ini juga yang menyebabkan kondisi ekologi dan sosial masyarakat di Pulau Togean berubah secara signifikan, khususnya bagi komunitas Bajau yang menjadi bagian dalam rantai komoditi global tersebut. Tingkat kerusakan terumbu karang pada periode ini pun meningkat tajam karena penggunaan alat tangkap yang merusak untuk mengejar tingginya permintaan pasar ekspor ikan hidup.

Komunitas Bajau sendiri sebenarnya memiliki sejarah panjang cara penangkapan dengan menggunakan alat tangkap tradisional yang dipercaya mampu melakukan konservasi secara tradisional. Tetapi hal ini tidak lagi berfungsi dengan baik dan kondisi degradasi terumbu karang terus terjadi hingga hari ini. Fenomena ini pun mengundang perhatian banyak pihak mengenai apa dan bagaimana mekanisme yang paling efektif dalam mencegah kerusakan yang kian


(22)

meningkat. Apakah model tradisional atau yang berbasis komunitas (devolusi) masih efektif untuk menjawab persoalan ini, atau pengelolaan yang berbasis Negara (sentralistik) dianggap jauh lebih efektif. Di sisi lain, tidak adanya sinkronisasi kebijakan yang didesain pada level makro dengan aras mikro, menjadi satu permasalahan tersendiri khususnya yang terjadi di Pulau Kabalutan di tengah gencarnya program rehabilitasi dan advokasi yang dilakukan baik oleh pemerintah (pusat dan daerah) maupun NGO lingkungan (lokal, nasional mapupun trans-nasional).

Melalui penelitian ini, maka penting menelusuri dinamika pengelolaan terumbu karang berdasarkan periodenisasi yaitu periode sentralisasi dan periode desentralisasi. Periodenisasi penting dimasukan karena kewenangan (authority) terhadap sumberdaya pada kedua masa tersebut memberikan dampak terhadap kondisi ekologi dan sosial ekonomi komunitas khususnya di Pulau Kabalutan.

1.2. Perumusan Masalah

Sebelum era otonomi daerah, Provinsi Sulawesi Tengah menginisiasi kepulauan Togean menjadi Taman Wisata Laut, melalui Surat Gubernur Sulteng No. 503/391/DINHUT/89. Pada level nasional sekitar tahun 1992, Menteri Kependudukan dan Lingkungan mengajukan status Pulau Togean sebagai Cagar Alam Laut seluas 100.000 ha, di tahun selanjutnya yaitu tahun 1993, Bappenas juga mengajukan Kepulauan Togean sebagai Cagar Alam Multi Guna. Usulan status cagar alam tidak sempat terealisasi, yang kemudian berubah menjadi status Taman Laut Kepulauan Togean pada tahun 1997 melalui SK Gubernur. Taman Laut sebagai objek wisata bahari Sulawesi Tengah ini juga didukung oleh pemerintah daerah Tojo Una-una selaku pemerintah daerah setempat serta oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Saat ini status taman wisata laut berubah menjadi Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 418/MENHUT-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004.

Dari data profil sumberdaya Kepulauan Togean 2007, secara spasial luasan terumbu karang yang diperoleh dari hasil klasifikasi peta citra tahun 2001 dibandingkan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007 menunjukan bahwa terjadi penurunan luasan karang hidup dari 11.064,33 ha pada tahun 2001 turun menjadi


(23)

9.767,98 ha pada tahun 2007. Hal tersebut berarti selama 6 tahun terjadi penurunan luas terumbu karang hidup sebesar 1.296,35 ha (11,72%).

Sementara menurut dokumentasi Conservation International Indonesia

tahun 2005, kerusakan biofisik Pulau Togean disebabkan oleh : Pertama, penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan sianida. Penangkapan yang menggunakan sianida ini dilakukan untuk memenuhi permintaan ikan hidup untuk pasar internasional yang diawali pada tahun 1990-an, sedangkan pengeboman ikan dilakukan dalam memenuhi permintaan domestik ikan asin dan konsumsi lokal. Kedua, degradasi terumbu karang salah satunya diakibatkan oleh sedimentasi akibat penebangan hutan bagi kepentingan komersial dan untuk pertanian lokal. Hilangnya habitat hutan akan berdampak sedimentasi yang pasti merusak ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Ketiga, penangkapan yang berlebihan terutama untuk spesies yang terancam punah yaitu kura-kura, kerang raksasa dan teripang (holothuridae), kerapu. Berdasarkan kondisi tersebut

Conservation International Indonesiamenginisiasi program Daerah Perlindungan laut (DPL) berbasis masyarakat pada tahun 2005 di dua lokasi, yaitu Teluk Kilat dan Kabalutan. DPL yang diinisiasi bertujuan untuk menyadarkan nelayan akan pentingnya terumbu karang.

Seiring dengan perubahan rezim kebijakan pengelolaan yang terjadi sejak era orde baru hingga otonomi daerah di Kepulauan Togean, turut mempengaruhi kondisi ekologi dan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Pertanyaan yang muncul kemudian, sampai sejauh mana perubahan rezim pengelolaan (wacana dan praktek) dalam setiap periode berkontribusi secara nyata dalam merespon persoalan krisis ekologi serta krisis sosial-ekonomi dalam hal ini adalah kesejahteraan (ketimpangan) masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi.

Studi ini akan mengambil studi kasus di Pulau Kabalutan, yakni area inisiasi DPL, sehingga representatif sebagai kasus yang dipilih karena memiliki riwayat kerusakan terumbu karang yang terus meningkat pada periode perdagangan ikan hidup di era sentralisasi, yang pada era sebelumnya komunitas Bajau di Kabalutan memiliki riwayat penggunaan alat tangkap tradisional.


(24)

Berdasarkan uraian diatas, maka penting melakukan kajian terkait dengan dinamika pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Togean, melalui analisis sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi terumbu karang di Pulau Kabalutan

2. Bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya laut komunitas Kabalutan

3. Bagaimana dinamika kebijakan pengelolaan sumberdaya di Kepulauan Togean 4. Bagaimana bentuk pengelolaan yang sesuai di Pulau Kabalutan

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat ditetapkan beberapa tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Menganalisis kondisi terumbu karang di Pulau Kabalutan

2. Menganalisis pola pemanfaatan sumberdaya laut komunitas Kabalutan

3. Menganalisis dinamika kebijakan pengelolaan sumberdaya di Kepulauan Togean

4. Menganalisis bentuk pengelolaan yang sesuai di Pulau Kabalutan

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menunjukan dinamika pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang ada selama ini di Kepulauan Togean pada umumnya dan Pulau Kabalutan pada khususnya serta dampak terhadap kondisi ekologi dan sosial ekonomi masyarakatnya. Hasil studi diharapkan dapat menjadi dasar pijakan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut di kepulauan Togean.

1.5. Kerangka Pemikiran

Pengelolaan sumberdaya terumbu karang di Kepulauan Togean memiliki beragam model, dari rezim pengelolaan oleh negara, berbasiskan komunitas, hingga yang bersifat sektoral. Beragam model tersebut menghasilkan kebijakan dan aturan main yang berbeda satu sama lain, yang berimplikasi pada kondisi sumberdaya serta kondisi sosial ekonomi masyarakat. Latar belakang serta perilaku para pemegang kebijakan ini yang harus ditelusuri sebagai salah satu jalan menemukan pengelolaan yang paling efektif.


(25)

Pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem (konservasi) memerlukan pemahaman untuk membangun hubungan antara proses ekologi, regulasi perikanan, prilaku pengguna sumberdaya, dan hasil dari kerumitan (kompleks) dari sistem pengelolaan yaitu ekologi dan sosial ekonomi (Walters 1997 inRudd M 2003). Nilai-nilai kemanusiaan, insentif dan perilaku perlu dipertimbangkan ketika kebijakan pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem diterapkan, karena pada akhirnya hasil yang diharapkan adalah efektifitas, efisiensi dan transparansi. Nilai-nilai sosial yang berlaku dalam komunitas termasuk insentif dan prilaku merupakan aturan yang paling utama dalam pengelolaan sumberdaya berbasiskan ekosistem.

Oleh karenanya penting melihat dinamika model pengelolaan terumbu karang dari perode waktu yang ada untuk melihat kondisi ekologi terumbu karang serta dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat setempat. Studi ini akan melakukan metode penelusuran sejarah pengelolaan di Pulau Togean dengan mengambil studi kasus di Desa Kabalutan, dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan aktor yang terkait. Menganalisis kondisi terumbu karang akan dilakukan dengan mengolah data sekunder dari survei yang telah dilakukan sebelumnya. Observasi langsung diharapkan bisa menggali data dengan lengkap.

Sedangkan dalam mengalisis pengelolaan itu sendiri, penulis menggunakan skema Ruddle 1996 yaitu melihat bagaimana kewenangan (Authority) yang berlaku pada kedua periode, kemudian hak (Right), aturan (Rules) yang bekerja pada kedua periode tersebut, yang terakhir adalah bagaimana monitoring, pelaksanaan dan sanksi yang diterapkan dalam suatu pengelolaan. Skema Ruddle ini yang akan digunakan untuk menjawab dimana letak kegagalan dari suatu pengelolaan.

Proses menganalisis kebijakan pengelolaan, menggunakan kerangka kerja Wolmer dan Scones dengan menggambungkan antara tiga elemen penting yaitu;

pertama, wacana/narasi (apakah narasi politik yang berkembang? dan bagaimana terkerangkai apakah melalui ilmu atau penelitian?); kedua, aktor/jaringan (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka saling terhubung?); danketiga, politik /minat (bagaimana dinamika kekuatan yang bermain?)


(26)

Dinamika Pengelolaan Terumbu Karang

Kondisi Terumbu Karang Pulau Kabalutan

Analisis Pengelolaan

Pengelolaan Terumbu Karang Pulau Kabalutan

Analisis Terumbu Karang (Kemen LH No 4

Tahun 2001)

Studi Literatur, Wawancara Mendalam,

Kuisioner

Model Pengelolaan (Ruddle 1996) Pola Pemanfaatan Sumber

Daya Laut : Terumbu Karang

Analisis Kebijakan (Wolmer & Scones)


(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan bilogis. Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scheractina) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1982).

Terumbu karang merupakan ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir daerah tropis. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan hewan karang. Karang adalah hewan

tak bertulang belakang yang termasuk dalam Phylum Coelentera (hewan berongga) atau Cnidaria yang dapat mengelurakan CaCo3.Jika CaCo3terkena air

laut maka akan membentuk endapan kapur (TimotiusinFrediananet al. 2008). Terumbu karang termasuk ekosistem yang paling tua di bumi ini. Tahap pertama evolusi terumbu karang terjadi kira-kira 500 juta tahun yang lalu. Terumbu karang modern ada sejak lebih dari 50 juta tahun yang lalu. Waktu yang dibutuhkan terumbu karang untuk tumbuh, antara 5000 sampai 10.000 tahun.

Produktivitas primer terumbu karang diperkirakan sebesar 1500-3500 g C/m2/tahun. Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.

2.1.1. Sifat Biologis Terumbu Karang

Karang yang hidup dilaut, tampak seperti batuan atau tanaman. Tetapi mereka sebenarnya adalah sekumpulan hewan-hewan kecil yang dinamakan polip. Polip karang bentuknya seperti sebuah karung dan memiliki tangan-tangan yang dinamakan tentakel. Polip menyerap kalsium karbonat dari air laut untuk membangun rangka luar zat kapur yang dapat melindungi tubuh polip yang sangat


(28)

lembut. Pada tentakel polip terdapat racun yang digunakan untuk menangkap berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut yang sangat kecil atau disebut plankton sebagai makanan tambahannya. Tentakel karang terbuka pada malam hari dan digunakan untuk menangkap plankton yang melayang-layang terbawa arus. Karang batu mendapatkan makanan dari zooxanthella. Zoanthella adalah alga bersel satu yang hodup di dalam jaringan tubuh karang batu. Zoanthella dan karang memiliki hubungan simbiosis yang saling menguntungkan, zoanthella menyediakan makanan untuk polip karang melalui proses fosintesis, sedangkan polip karang meyediakan tempat tinggal yang aman dan terlindung untuk zoanthella.

Karang berkembang biak secara sexual dan asexual. Sexual reproduction

terjadi saat sel telur dan sperma dikeluarkan oleh karang ke kolom perairan. Sel telur dan sperma dari jenis yang sama kemudian bergabung menghasilkan larva planula. Planula tumbuh sebagai polip karang. Asexual reproduction terjadi saat planula tumbuh menjadi polip karang kemudian membelah memperbanyak diri.

2.1.2. Faktor-faktor pembatas terumbu karang

Menurut Nybakken (1989) hampir semua terumbu hanya di temukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20 oC. Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu dibawah 20 oC; akan tetapi seperti yang dicatat oleh Wells (1957) in Nybakken (1989), tidak ada terumbu karang yang berkembang biak dibawah suhu minimum tahunan di bawah 18oC. Perkembangan terumbu karang yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25 oC. Terumbu karang dapat mentoleransi suhu sampai kira-kira 36-40oC. Faktor pembatas terumbu karang adalah terumbu karang tidak bisa hidup di zona tropik yang sering terjadi upwelling air dingin, karena menyebabkan penurunan suhu periaran pantai yang dangkal sampai di bawah suhu yang diperlukan untuk perkembangan terumbu. Terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman. Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Yang menjadi alasan untuk pembatas kedalaman berhubungan dengan kebutuhan karang hermatipik akan cahaya. Cahaya adalah satu salah satu faktor yang paling penting yang membatsai terumbu karang, hal ini dikarenakan


(29)

proses fososintesis oleh zoanthella simbiotik dalam jaringan karang memerlukan cahaya yang cukup. Tanpa cahaya yang cukup laju fososintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemapuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15-20%.

Faktor lain yang menjadi pembatas adalah salinitas. Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut yang normal (32-35‰). Perubahan salinitas terkait dengan pasokan air tawar, dan yang sering dihubungkan dengan aliran air tawar adalah faktor pengendapan. Endapan baik di dalam air maupun di atas karang, mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tidak bisa bertahan dengan adanya endapan yang berat, yang menutupiny dan menyumbat struktur pemberian makananya. Endapan dalam air, juga mempunyai akibat sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooanthella dalam jaringan karang.

2.1.3. Tipe terumbu karang

Menurut bentuk dan letaknya ekosistem terumbu karang dibedakan menjadi 3 tipe yaitu: terumbu karang cincin (atoll), terumbu penghalang (barrier reef), dan terumbu karang tepi (fringing reef).

1. Terumbu karang tepi (fringing reef) berkembang pada mayoritas peisisr pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai 40 m dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan jelas mengarah secara vertikal. Terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dan kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang jenis ini ditemukan hampir di seluruh pantai tropis.

2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs) , terumbu karang in iterletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0,52 km ke arah laut lepas dengan dibatsi oleh perairan berkedalaman hingga 75 m. Terkadang membentuk


(30)

lagoon atau celah perairan yang lebaranya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang pengahalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus.

3. Terumbu karang cincin (atolls), berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau-pulau vulanik yang tengelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan.

2.2. Metode Garis Transek (Line Intercept Transect/LIT)

Metode Transek garis (Line Intercept transect/LIT) merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi penutupan karang dan penutupan komunitas bentos yang hidup bersama karang. Metode ini cukup praktis, cepat dan sangat sesuai untuk wilayah terumbu karang di daerah tropis. Pengambilan data dilakukan pada umumnya di kedalaman 3 meter dan 10 meter. Dalam melakukan identifikasi komunitas karang menggunakan metode line intercept (LIT), mengikuti English et al. (1994), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan meteran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. LIT ditentukan pada garis transek 0–10 m, 30-40 m, 60-70 m. Kemudian dilakukan pencatatan karang yang berada tepat di garis meteran dengan ketelitian hingga sentimeter. Dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri.

Jika dua koloni atau lebih tumbuh di atas koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. Panjang tumpang tindih koloni dicatat yang nantinya akan digunakan untuk menganalisa kelimpahan jenis. Kondisi dasar dan kehadiran karang lunak, karang mati lepas atau masif dan biota lain yang ditemukan di lokasi juga dicatat.


(31)

Gambar 2. Sistem Pencatatan Data Pada Metode Pengamatan Transek Garis (Sumber: Englishet al. 1994)

Gambar 3. Koloni karang masif berukuran besar yang dianggap dua data (Sumber: Englishet al. 1994)

Hasil pengumpulan data dengan metode garis transek selanjutnya dianalisa (diolah) untuk mendapatkan kesimpulan berupa besar persentase tutupan karang. Masing-masing kategori bentos dihitung persentase tutupannya dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Persentese cover=

(Y) transek Panjang

(L) kategori panjang

total


(32)

Persentase tutupan karang hidup1 =

Y

l

L

L

L

1

3

5

7

x 100

Persentase tutupan karang hidup 2 =

Y L L

L2 4 6 x 100

2.3. Ekologi Politik

Terminologi ekologi politik mulai berkembang dan digunakan pada akhir 1960-an dan 1970-an sebagai respon atas kebutuhan integrasi praktek-praktek penggunaan tanah dengan kondisi lokal-global ekonomi politik, juga sebagai suatu reaksi atas pertumbuhan politisasi lingkungan (Peet dan Watts in

Adiwibowo 2005). Khusus pada tahun 1960-an, kajian ekologi memasukan aspek politik, terutama pada pengaruh manusia terhadap lingkungan biofisik. Istilah ekologi sebenarnya merupakan konsep yang menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungannya. Ekologi bertujuan untuk memberikan ilustrasi hubungan antara manusia dan spesies lainnya. Perubahan lingkungan juga dilihat sebagai hasil hubungan antara manusia dan spesies lainnya (Forsty 2003).

Sedangkan yang dimaksud dengan Critical Political Ecology atau ekologi politik kritis diterjemahkan oleh Forsty sebagai:

1. Bagaimana faktor politik dan sosial mengkerangkai ilmu lingkungan, dan bagaimana pengetahuan mengubah politik

2. Bagaimana pemikiran baru secara filosofis dan pengetahuan sosiologi dapat memperlihatkan penglihatan yang jelas kedalam penyebab pengaruh biofisik dan dampak dari permasalahan lingkungan

3. Bagaimana kebijakan dan pemangku kebijakan dapat mengetahui pengaruh politik pada pengetahuan dan menghasilkan partisipasi publik dan pemerintahan yang efektif.

Critical Political Ecology memiliki pendekatan pada ekologi politik, pengetahuan dan politik dengan mengintegrasikan politik lingkungan dengan pengetahuan lingkungan. Menawarkan penglihatan dengan mengabungkan antara pendekatan ilmu alam dengan ilmu sosial untuk melihat masalah lingkungan. Bryant (1997) mendefinisikan ekologi politik sebagai "penyelidikan ke dalam sumber politik, kondisi dan konsekuensi dari perubahan lingkungan yang menimpa pada proses kesenjangan sosial-ekonomi dan proses politik. Dengan


(33)

mengambil persoalan politik, ekologi politik mengeksplorasi bagaimana perubahan lingkungan yang ada dalam hubungan politik dan ekonomi , dan bagaimana cara perubahan tersebut mempengaruhi hubungan tersebut. Selanjutnya, dengan memeriksa perubahan lingkungan politik, ekologi politik mengakui bahwa lingkungan dan pembangunan, kekayaan dan kemiskinan, sangat terkait erat (Bryant 1991).

Satria (2009) menjelaskan bahwa berdasarkan fasenya, ekologi politik mengkombinasikan perhatian pada ekologi dan ekonomi politik secara luas yang mencakup dialektika antara masyarakat dan sumberdaya, serta dialektika kelas dan grup dalam masyarakat itu sendiri (Blakie dan Brookfield in Forstyh 2003). Ekologi politik memiliki kaitan erat dengan bidang-bidang lainnya seperticultural ecology, human ecology, ecological anthropology, ecological economics, radical development geography, and environtmental history. Perbedaan antara political ecology, cultural ecology, cultural materialism, social ecology, dan

environtmental politics adalah ekologi politik memfokuskan diri lebih pada penjelasan politik terhadap degradasi dan perubahan lingkungan, sedangkan ekologi-budaya lebih fokus pada praktik-praktik pengelolaan sumberdaya yang dibangun secara budaya dan lokal. Sementara itu, materialisme-budaya berkembang sebagai respon terhadap ekologi budaya. Elemen dasar dalam meterialisme-budaya adalah lingkungan, masyarakat, budaya dan adaptasi. Selanjutnya ada tiga aspek dalam pola adaptasi sosial budaya, yaitu pola-pola ekologi, struktur sosial, dan ideologi. Pola ekologi merupakan cara bagaimana orang memenuhi kebutuhan materialnya di dalam lingkungannya, yang kemudian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu technoenvironmental aspect dan

demography.

2.4. Diskursus Wacana Konservasi

Narasi konservasi yang dikenal saat ini pada dasarnya merupakan produk diskursus ilmu pengetahuan yang telah mengalami perbahan, pembaharuan, dan pemutakhiran dalam satu abad terakhir. Pada akhir abad ke 19 diskursus yang dominan mengemuka adalah mengenai konsep pengawetan alam (nature preservation). Pada awal 1980-an mulai tumbuh narasi baru : konservasi alam (nature conseration). Narasi ini dalam waktu singkat berkembang manjadi


(34)

diskursus baru dan menggeser narasi pengawetan alam. Konservasi alam menjadi diskursus yang mengemuka karena didalamnya tidak hanya terkandung makna pengawetan (preservation), tetapi juga perlindungan (protection) dan pemanfaatan berkelanjutan. Menjelang akhir 1990-an narasi konservasi alam meredup dan diganti dengan konservasi keanekaragaman hayati (Adiwibowo 2009).

Disisi lain, kebijakan konservasi pada akhirnya harus kandas akibat konflik antara mereka yang berusaha mempertahankan sumberdaya dan yang bagi pihak yang dibatasi penggunaannya. Konsep keberlanjutan diperkenalkan pada tahun 1980-an dengan argument strategi konservasi dunia yaitu bahwa populasi biologis alami menghasilkan surplus yang dapat dipanen secara berkelanjutan (Klaus 2001). Menurutnya pula, bahwa jika diasumsikan bahwa populasi manusia meningkat secara perlahan dan diharapkan ada keseimbangan antara manusia dengan alam, tetapi hal itu tidak menjamin degradasi akibat eksploitasi terhindarkan, oleh karenanya dunia internasional dirasakan perlu untuk melindungi sumberdaya laut yang ditandai dengan konvensi pertama taman nasional pada tahun 1962 di Seattle, dengan jargon mempertahankan sumberdaya dari gangguan manusia (Freestone in Klaus 2001). Inisiatif ini dibangun pada tahun 1975 oleh International Union for The Conservation of Nature (IUNC) yang diadakan di Tokyo, dimana konsep kekritisan habitat dan pengelolaan sumberdaya mulai diperkenalkan. Di bawah ini dipaparkan sejarah perubahan pendekatan konservasi selama dua dekade.

Sedangkan wacana konservasi atau lebih dikenal dengan wacana biodiversiti menurut Escobar adalah “biodiversity” dipandang bukan sebagai objek nyata yang dikuakkan secara progresif oleh ilmu pengetahuan, melainkan sebagai suatu wacana yang diproduksi secara historis. Wacana ini muncul dari problematisasi atas kegiatan survivalitas manusia yang didorong oleh merosotnya keragaman hayati. Definisi-definisi biodiversiti tidak menciptakan obyek studi yang baru di luar definisi-definisi yang telah ada dalam disiplin biologi dan ekologi. Kemudian, “biodiversiti” lebih merupakan respon terhadap situasi kongkrit yang memang menarik perhatian, namun yang sudah melampaui wilayah


(35)

ilmiah. Bagi Escobar, tindakan penamaan (the act of naming) realitas baru semacam ini tidak pernah netral.

Tabel 1 Perubahan pendekatan konservasi

Tahun Sumber Pendekatan Masalah

1962 Konferensi Taman Nasional pertama di Seattle

Pendekatan dengan

menciptakan taman laut untuk mempertahankan sumberdaya dari intervensi manusia

Menarik pariwisata dan degradasi lebih lanjut

1971 UNESCO Man dan Biosfer (MAB)

Bertujuan untuk

menyeimbangkan konflik antara tujuan konservasi dan pembangunan Membutuhkan pemenuhan kriteria tertentu termasuk rencana pengelolaan 1975 IUCN-Konferensi

Taman Nasional di Tokyo

Membangun konsep habitat laut kritis dan kebutuhan pengelolaan taman nasional

Menarik pariwisata dan degradasi lebih lanjut 1980 Strategi Konservasi

Dunia

Pengakuan bahwa penggunaan tak terbatas sumberdaya mengakibtakan

ketidakberkelanjutan, tetapi surplus dapat dipanen secara berlanjutan

Model sederhana (Simplicities model) mengasumsikan tingkat panen dapat diukur secara akurat 1990 Konservasi Hewan

Liar sebagai sumberdaya

terbaharukan –IUCN (Conservation of wildlife as renewable Resources by informed Use IUCN)

Pengakuan bahwa diskriminasi antara penggunaan yang

berkelanjutan dan penggunaan lain-lain diperlukan

Mengabaikan multidimensi permasalahan sumberdaya

1992 United Nations Conference on environment and Development, earth submit, Rio De Jenero, Brazil

Hubungan konservasi dan penggunaan yang

berkelanjutan dengan sharing keuntungan yang adil

Kesulitan dalam menghitung produksi peran lingkungan dalam fluktuasi sumberdaya

1996 Second Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity Jakarta Indonesia

Integrasi pengelolaan pesisir dan laut dikenali sebagai strategi terbaik yang melibatkan semua stakeholders : pendekatan ekosistem.

Memerlukan waktu untuk konsultasi partisipatif dengan para pemangku kepentingan dari lokal kepada pemerintah untuk mengembangkan strategi bekerja terutama bagi sumberdaya yang melempau batas negara Sumber: Klauset al.(2001)

Biodiversiti tidaklah eksis dalam pengertian yang absolut. Biodiversiti merupakan suatu wacana yang mengartikulasikan suatu relasi baru antara alam dan masyarakat dalam konteks ilmu pengetahuan, budaya dan ekonomi global. Sebagai wacana ilmiah, “biodiversiti” bisa dilihat sebagai contoh utama dari apa


(36)

yang disebut dalam studi-studi sains-teknologi sebagai “jaringan” (network). Biodiversiti adalah jaringan teknosaintifik yang terdiri dari mata rantai situs-situs yang dicirikan oleh seperangkat parameter, praktek dan aktor yang heterogen. Masing-masing identitas aktor dipengaruhi oleh, dan mempengaruhi, jaringan. Intervensi atas jaringan ini dilakukan dalam bentuk model (seperti model ekosistem, strategi konservasi), teori (teori pembangunan, restorasi), obyek (dari tanam-tanaman dan gen hingga berbagai teknologi), aktor (prospektor, perencana, tenaga ahli), strategi (pengelolaan sumberdaya, hak atas kekayaan intelektual), dan sebagainya. Intervensi ini mempengaruhi dan mendorong berbagai penerjemahan, transfer, perjalanan, mediasi, sumbangan dan subversi di sepanjang jaringan itu sendiri.

Jaringan biodiversiti mula-mula muncul pada akhir 80-an dan awal 90-an dari biologi konservasi, di mana “gagasan mengenai biodiversiti” berkembang untuk pertama kali. Ia segera menjadi narasi utama dari krisis biologis yang secara global diresmikan pada apa yang disebut sebagai rite of passage yang pertama dari “negara trans-nasional”, yaitu Pertemuan Rio 1992. Menurut teori jaringan-aktor, narasi biodiversiti segera menciptakan titik-titik lintasan bagi konstruksi wacana-wacana tertentu. Proses ini menerjemahkan kompleksitas dunia menjadi narasi-narasi sederhana mengenai ancaman dan solusinya. Tujuannya sendiri adalah untuk menciptakan jaringan yang stabil bagi pergerakan obyek, sumberdaya, pengetahuan dan material.

Dalam beberapa tahun, seluruh jaringan ini telah mapan hingga mencapai tingkat yang dapat disebut sebagai “invasi ke domain publik” yang amat dahsyat. Meskipun demikian, jaringan biodiversiti ini ternyata tidak menghasilkan konstruksi yang hegemonik dan stabil sebagaimana yang terdapat dalam jaringan teknosains yang lain. Sebab, simplifikasi tandingan dan wacana alternatif yang dihasilkan oleh aktor-aktorsubalternjuga bersirkulasi secara aktif dalam jaringan tersebut dengan menimbulkan efek yang penting.

Dengan demikian, wacana biodiversiti telah menciptakan aparatus institusional yang luas yang secara sistematis mengorganisasikan produksi bentuk-bentuk pengetahuan dan tipe-tipe kekuasaan, yang terkait satu sama lain melalui strategi-strategi dan program-program kongkrit. Institusi-institusi


(37)

internasional, NGO negara-negara utara, taman nasional, universitas dan lembaga penelitian di negara dunia pertama dan ketiga, perusahaan-perusahaan farmasi, dan berbagai tenaga ahli yang terdapat di masing-masing situs, kesemuanya menempati situs-situs dominan dalam jaringan. Begitu mereka bersirkulasi sepanjang jaringan, kebenaran ditransformasikan dan ditorehkan kembali ke dalam konstelasipengetahuan-kuasayang lain. Mereka ini dilawan, disubversikan dan dicipta-ulang untuk memenuhi tujuan-tujuan berbeda oleh, misalnya, gerakan-gerakan sosial yang menjadi, pada dirinya sendiri, situs-situs wacana tanding yang penting. Jaringan ini terus menerus ditransformasikan dilihat dari sudut penerjemahan, transfer dan mediasi yang terjadi di antara dan lintas berbagai kepentingan.

2.5. Lingkup Peraturan Konservasi di Indonesia

Peraturan perundangan yang dapat diajukan sebagai acuan dalam membahas kawasan konservasi laut di Indonesia adalah UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. UU No. 27 Tahun 2007 mengatur hal-hal yang lebih umum terkait dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU ini disebutkan bahwa kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Pada Pasal 28 Ayat 1 disebutkan bahwa konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diselenggarakan untuk (1) menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; (3) melindungi habitat biota laut; dan (4) melindungi situs budaya tradisional.

Konservasi ekosistem secara spesifik diatur dalam PP No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Pada Pasal 1 Ayat 2 Ketentuan Umum disebutkan bahwa konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang. Lebih lanjut pada Pasal 5 dan 6 diatur tentang tipe pelaksanaan konservasi ekosistem. Pasal 5 menyebutkan bahwa tipe ekosistem yang terkait dengan sumberdaya ikan adalah terdiri atas


(38)

laut; padang lamun; terumbu karang; mangrove; estuari; pantai; rawa; sungai; danau; waduk; embung; dan ekosistem perairan buatan. Pasal 6 menyatakan konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan habitat dan populasi ikan; (b) rehabilitasi habitat dan populasi ikan; (c) penelitian dan pengembangan; (d) pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan; (e) pengembangan sosial ekonomi masyarakat; (f) pengawasan dan pengendalian; dan/atau; (g) monitoring dan evaluasi.

Beberapa jenis konservasi yang disebutkan dalam PP No. 60 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: (1) Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. (2) Taman Nasional Perairan adalah kawasan pelestarian alam perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi. (3) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman ikan dan ekosistemnya. (4) Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. (5) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu, sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kita mengenal mengenai kawasan konservasi dan klasifikasinya yaitu kawasan suaka alam serta kawasan pelesatarian alam. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, yang mencakup

a. Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau


(39)

ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

b. Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Sementara, kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup :

a. Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

b. Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. c. Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan

koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi alam.

Pengelolaan taman nasional dapat memberikan manfaat antara lain :

a. Ekonomi, dapat dikembangkan sebagai kawasan yang mempunyai nilai ekonomis, sebagai contoh potensi terumbu karang merupakan sumber yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi sehingga membantu meningkatkan pendapatan bagi nelayan, penduduk pesisir bahkan devisa negara.

b. Ekologi, dapat menjaga keseimbangan kehidupan baik biotik maupun abiotik di daratan maupun perairan.

c. Estetika, memiliki keindahan sebagai obyek wisata alam yang dikembangkan sebagai usaha pariwisata alam / bahari.


(40)

d. Pendidikan dan Penelitian, merupakan obyek dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.

e. Jaminan Masa Depan, keanekaragaman sumberdaya alam kawasan konservasi baik di darat maupun di perairan memiliki jaminan untuk dimanfaatkan secara batasan bagi kehidupan yang lebih baik untuk generasi kini dan yang akan datang.

Kawasan taman nasional dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman nasional di kelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya.

Sedangkan Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Adapun kriteria untuk penunjukkan dan penetapan sebagai kawasan taman wisata alam:

a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem gejala alam serta formasi geologi yang menarik;

b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian fungsi potensi dan daya atarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. c. Kawasan taman wisata alam dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman wisata alam dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya.

d. Rencana pengelolaan taman wisata alam sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan.

Upaya pengawetan kawasan taman wisata alam dilaksanakan dalam bentuk kegiatan: perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian potensi, pembinaan habitat dan populasi satwa. Pembinaan habitat dan populasi satwa, meliputi kegiatan :


(41)

pembinaan padang rumput, pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa, penjarangan populasi satwa, penambahan tumbuhan atau satwa asli, atau, pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

Sesuai dengan fungsinya, taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk : pariwisata alam dan rekreasi, penelitian dan pengembangan (kegiatan pendidikan dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan wisata alam tersebut),pendidikan dan kegiatan penunjang budaya.

Kriteria penetapan kawasan dan zonasi taman nasional berdasarkan UU No. 5/1990 and PP No. 68 /1998 adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. 2. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya.

3. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia.

4. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami. 5. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang

keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

7. Merupakan habitat satwa dan/atau tumbuhan tertentu yang prioritas an khas/endemik

Selain kriteria di atas zona ini diharapkan juga berfungsi sebagai kawasan pelestarian ekosistem sumberdaya alam kawasan. Untuk itu zona ini harus mencakup:

1. Daerah-daerah yang rentan dan sensitif terhadap gangguan 2. Ekosistem alami yang masih berfungsi dengan sempurna

3. Ekosistem-ekosistem yang ditentukan merupakan perwakilan dari kawasan TNKT.


(42)

Dalam buku rencana pengelolaan Taman Nasional Kepualauan Togean yang di susun oleh Departemen Kehutanan, telah disusun 8 jenis zona wilayah dalam kawasan ini yang terdiri dari :

1. Zona Inti (Core Zone) Zona Inti TNKT adalah zona terrestrial dan perairan. Zona ini merupakan kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Perubahan yang terjadi berlangsung secara alami. Aktivitas yang diperbolehkan hanya yang berhubungan dengan pemantauan dan pengamanan/perlindungan oleh petugas pengelola serta penelitian oleh peneliti yang mendapat izin khusus dari Kepala Taman Nasional. Zona ini umumnya merupakan bagian kawasan taman nasional yang berada jauh dari batas luar kawasan taman nasional dengan akses yang sangat minim.

Mengingat rapuhnya ekosistem yang terdapat di pulau-pulau, maka adanya daerah yang sepenuhnya tidak terganggu merupakan hal yang utama. Daerah ini berfungsi sebagai wadah genetik, yang menyediakan sumber rekolonisasi, dapat digunakan sebagai tempat perlindungan satwa yang tidak toleran terhadap gangguan, melindungi daerah aliran sungai seluruh pulau, dan berbagai fungsi lainnya. Zona inti taman nasional merupakan daerah dilarang keras untuk mengambil, memanen, menambang, mengganggu atau memindahkan sumberdaya alam apapun (baik hidup atau mati) dan dilarang untuk dikunjungi.

2. Zona Rimba (Wilderness Zone)

Zona Rimba merupakan kawasan taman nasional yang mencakup wilayah terresrtrial dan perairan, dan merupakan daerah dilarang mengambil dengan kunjungan terbatas. Zona rimba merupakan zona peralihan, berada di antara zona inti dengan zona pemanfaatan dan/atau zona lainnya ditetapkan untuk melindungi sekaligus sebagai perluasan habitat zona inti, zona ini berfungsi sebagai kawasan sumber/wahana/cadangan genetik, menyediakan sumber untuk rekolonisasi, sebagai tempat berlindung satwa yang toleran terhadap gangguan terbatas, dapat melindungi daerah tangkapan air dan berbagai fungsi lainnya.


(43)

Zona Pemanfaatan Wisata mencakup daerah terrestrial dan perairan berdasarkan fungsinya sebagai daerah perlindungan species, habitat maupun ekosistem yang mendukung fungsi zona inti dan merupakan daerah terlarang untuk melakukan pengambilan (no take), pemanenan, menambang/eksploitasi, mengganggu atau memindahkan sumberdaya alam apapun (baik hayati maupun non hayati) termasuk didalamnya memancing, mengumpulkan biota laut baik yang hidup maupun mati.

Zona ini merupakan kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata, fasilitas pengelolaan berupa bangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dapat dibangun di zona ini. Semua kegiatan wisata alam di zona ini misalnya: tracking, bersampan, menyelam dan snorkelling, harus dilaporkan sebelumnya untuk mendapatkan izin khusus untuk memasuki kawasan zona dalam bentuk lisensi atau ijin dari otoritas TNKT, dengan jumlah maksimum wisatawan yang diizinkan akan ditentukan melalui suatu Analisis Mengenai dampak Lingkungan (AMDAL) dan kajian/analisis daya dukung lingkungan.

4. Zona Pemanfaatan Tradisional (Tradisional Use Zone)

Zona Pemanfaaatan Tradisional mencakup baik daerah terrestrial maupun perairan, merupakan kawasan pengambilan dan pemanfaatan terbatas sumberdaya alam oleh masyarakat setempat yang tidak termasuk yang dilindungi untuk pengembangan usaha penangkapan atau budidaya biota laut (perairan) dan usaha budidaya tanaman pangan (terestrial) yang dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam zona ini dapat juga dimanfaatkan untuk wisata, penelitian, pemantauan dan rehabilitasi lingkungan, sesuai dengan izin terbatas yang akan dikeluarkan oleh Pengelola TNKT atas persetujuan para pimpinan desa setempat.

5. Zona Rehabilitasi (Rehabilitation Zone)

Zona rehabilitasi ditetapkan apabila terjadi kerusakan pada kawasan taman nasional yang disebabkan oleh aktifitas manusia atau akibat faktor alami misalnya bencana alam. Rehabilitasi dilakukan dengan menggunakan Jenis flora dan fauna setempat. Zona rehabilitasi yang telah dipulihkan dapat diubah


(44)

menjadi zona rimba atau zona lainnya sesuai dengan perkembangan kondisinya.

6. Zona Penelitian dan Pelatihan (Research and Training Zone)

Zona Penelitian dan Pelatihan merupakan zona pemanfaatan khusus penelitian dan pelatihan taman nasional yang mencakup areal terrestrial dan perairan. Fungsi utama zone ini adalah untuk penelitian dan pelatihan. Penangkapan ikan atau kegiatan panen lainnya dilarang keras di Zona ini. Zona penelitian dan pelatihan lingkungan. Semua aktifitas penelitian dan pelatihan di zona ini harus dilaporkan kepada pengelola taman nasional dan harus mendapatkan izin khusus.

7. Zona Pemukiman tradisional (Traditional Settlement Zone)

Zona Pemukiman Tradisional merupakan zona pemanfaatan khusus untuk pemukiman masyarakat yang berada diperairan (mis. komunitas Bajau) maupun yang berada di terrestrial yang telah ada sebelum penetapan Taman Nasional Kepulauan Togean.

8. Zona Penyangga (Buffer Zone)

Menurut penjelasan Pasal 16 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam (dan pelestarian alam, dalam hal ini taman nasional), baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan suaka alam (dan pelestarian alam)".

2.6. Teori Penguasaan Sumberdaya (Land Tenure)

Hak kepemilikan atas sumberdaya akan menentukan status kepemilikannya. Tipe-tipe kepemilikan versi Ostrom dan Schlengger 1992 adalah sebagai berikut : 1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu,

berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners).

2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik.


(45)

3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.

5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.

Menurut Bromley in Satria (2009), menyebutkan empat rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open acces), negara (state), swasta (private) dan masyarakat (common property). Pertama, didalam sumberdaya akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, kapan, dimana, siapa dan bagaimana sumberdaya alam dimanfaatkan, serta bagaimana terjadinya persaingan bebas.

Kedua, rezim negara berada di tingkat daerah hingga pusat, hak kepemilikan ini perlu berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Intevensi pemerintahan adalah dalam pengaturan pengelolaan SDP yang bertujuan untuk tujuan alokasi, keadilan dan stabilisasi yang bersifat formal. Namun, pengelolaan sumberdaya milik negara membutuhkan biaya transaksi yang tinggi terutama pada tingkat pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan karena sulitnya melaksanakan aturan dan penegakan hukum. Aturan-aturan yang dibuat untuk pengelolaan sumberdaya milik negara seringkali berbenturan dan tidak sesuai dengan kondisi lapang, sehingga respon terhdap setiap permasalahan di lapang menjadi lambat. Kendala lain yang biasanya dihadapi adalah kordinasi yang lemah serta terjadinya konflik kewenangan baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun pihak lain.

Ketiga, rezim swasta, baik individual maupun kelompok korporat. Rezim kepemilikan ini biasanya merupakan hak kepemilikan yang bersifat temporal (dalam jangka waktu tertentu) karena izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemerintahan. Pemanfaatan sumberdaya milik swasta adalah tujuan komersial dengan penggunaan tekhnologi tinggi. Dalam pengelolaannyaa, terdapat


(46)

aturan-aturan yang jelas dan kepemilikan yang dapat dialihkan. Kendala yang diahadapi adalah komitmen pihak swasta terhadap kelestarian sumberdaya alam yang reatif rendah dan cenderung terabaikan. Rezim ini pun sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi.

Keempat, rezim komunal atau masyarakat bersifat turun temurun, lokal dan spesifik. Aturan-aturan pengelolaan dapat bersifat tertulis atau tidak tertulis. Peraturan dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Sumberdaya milik msyarakat lokal sebagai mata pencaharian. Selain itu, akses seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya pun relatif sama. Ciri lain adalah memiliki resolusi konflik melalui mekanisme kelembgaan dan memiliki modal produksi khas, serta memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Kendala dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya milik bersama adalah rednahnya pertimbangan sainstifik, bersifat lokal sepesifik dan proses kelembagaan yang cukup rumit. Dari segi hukum formal, keberadaan aturan-aturan lokal pun masih kurang mendapatkan legitimasi. Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat mengambil manfaat atas sesuatu itu, contohnya udara.

Ellsworth (2002)in Antoro (2010) memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan (property rights) dengan istilah kepastian tenurial (tenure security)1. Selanjutnya Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian tenurial, yaitu:

1. Aliran Hak Kepemilikan (Property Rights)

Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah: a) Tujuan utama daripropertyadalah produksi dan akumulasi kapital. b) Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan

hak kepemilikan.

1

Istilahpropertydantenuresering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu relasi sosial yang berkaitan dengan penguasaan suatu benda, perbedaan antara keduanya adalah

property mulanya digunakan para ahli hukum untuk menyatakan hubungan kepemilikan yang bersifat privat individu, sedangkantenurelebih mengacu pada akses dan kontrol dalam hubungan kepemilikan itu, yang sering ditemukan untuk kepemilikan komunal. Pada perkembangannya,


(47)

c) Ketimpangan kepemilikan tidak akan terjadi sejauh dilakukan kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya.

d) Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk dilakukan.

2. Aliran Tradisi Pemikiran Struktur Agraria (Agrarian Structure Tradition) Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini.

3. Aliran Advokasi Kepemilikan Bersama (Common Property Advocates)

Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna. Aliran ini berasumsi bahwa :

a) Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan. b) Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada

sumberdaya yang berfungsi sosial, seperti tanah, air, hutan, dan laut. c) Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam

mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan hukum positif.

d) Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat ekonomi.

4. AliranInstitutionalist

Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro pada rezim-rezim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami bentuk rezim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini,


(48)

kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk menegakkan dan mempertahankan klaim. Rezim Agrarian Structure Tradition

dan Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi, transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada ranah politik (kebijakan) dan budaya (penyewaan tradisi). Aliran ini lebih tepat berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rezim penguasaan.

Hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers) (Peluso dan Ribot 2003). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik penguasaan sumberdaya sering berlangsung. Perbedaan perspektif kekuasaan dalam akses SDA antara Teori Hak Kepemilikan (Theory of Property Rights)dan Teori Akses (Theory of Access) disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 PerbedaanTheory of Property RightsdanTheory of Access Sumber Konsep kunci Konsekuensi

Schlager dan Ostrom (1992)

Theory of Property Rights

A bundle of rights Hak adalah faktor yang menentukan akses SDA seseorang atau sekelompok orang. Hak tertinggi terdapat pada aktor yang berkuasa melepaskan penguasaannya atas SDA.

Kepastian hukum diperoleh dari kemelekatan hak pada seseorang atau sekelompok orang atas SDA. Ribot dan Peluso

(2003)

Theory of Access

A bundle of power Kekuasaan adalah faktor yang menentukan akses SDA seseorang atau sekelompok orang.

Hak adalah klaim yang memperoleh legitimasi sosial.

Kepastian hukum merupakan arena kekuasaan, pihak yang tidak dilekati hak tetap dapat melakukan akses melalui kekuasaannya. Sumber : Antoro (2010)

Merujuk pada Merriam-webster dalam Ribot (1998) akses adalah kebebasan atau kemampuan untuk melakukan atau menggunakan. Akses lebih dekat pada istilah property Mc Pherson yaitu hak “right in the sense of an enforceable claim to some use or benefit of somethings”. Istilah “ability” atau


(49)

kemampuan lebih luas maknanya dari sekedar “right” atau hak. Right is a prescriptive concept, abilitly is descriptive term, property is de jure. Akses termasuk dalam de jure dan de facto atau extra legal. Mekasnisme Extra legal termasuk struktur dan hubungan mengelola sumberdaya yang didalamnya terdapat identitas social (status, gender, usia), hubungan social. Akses adalah kemampuan mendapatkan keuntungan dari sesuatu termasuk material, orang, lembaga dan symbol. Lebih luas yaitu hubungan sosial yang dapat melampaui hambatan atau mendapatkan keuntungan dari sumbedaya tanpa fokus pada hubungan terhadap sumberdayanya sendiri.

2.7. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

Berdasarkan panduan yang disusun oleh Tulungen et al. (2002) in Faiza (2010), pembentukan dan pengelolaan DPL-BM harus dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah setempat, dan para pemangku kepentingan lain yang ada di desa. Pemerintah setempat harus bekerja sama dengan masyarakat dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL-BM, pengembangan dan pendidikan masyarakat, serta memberikan bantuan teknis dan keuangan bagi pengelolaan DPL. Tanggung jawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL-BM ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis pendanaan dan persetujuan terhadap peraturan yang dibuat ditetapkan oleh pemerintah atas persetujuan dan kesepakatan dengan masyarakat. Masyarakat dan pemerintah dapat juga bekerja sama dengan pihak lain seperti LSM atau pihak swasta untuk membentuk dan mengelola DPL-BM.

DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara sederhana, artinya mudah dipahami dan dilaksanakan, serta dipatuhi oleh masyarakat. Zona yang umum dipunyai oleh DPL adalah Zona Inti dan Zona Penyangga, sedang di luarnya adalah Zona Pemanfaatan. Zona Inti adalah suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya alam laut lainnya sama sekali didak diperbolehkan. Begitu pula kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar serta penggunaan galah untuk mendorong perahu juga tidak diperbolehkan. Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, seperti berenang, snorkling dan menyelam untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan. Namun demikian perlu


(50)

kesepakatan dengan masyarakat kegiatan apa saja yang boleh dilakukan di zona inti, sehingga fungsi zona tersebut dapat optimal. Pada umumnya DPL, seperti : di desa Blonko, Bentenam dan Tumbak, serta desa-desa lain di Sulawesi Utara, di desa Sebesi- Lampung, serta DPL-DPL di Filipina, memiliki 2 zona utama yaitu zona inti (no-take zone) dan zona penyangga (buffer zone). Di Zona penyangga, yang merupakan zona di sekeliling zona inti, kegiatan penangkapan ikan diperbolehkan tetapi dengan menggunakan alat-alat tradisional, seperti pancing dan memanah dengan perahu tradisional. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan lampu (light fishing) dan beberapa alat tangkap yang potensial merusak terumbu karang masih dilarang di zona penyangga (Buku Panduan DPL Coremap II).

Pada tahun 2004, Conservation International Indonesia (CII) dan Pemda Kabupaten Tojo Una-Una, telah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPLBM). CII menetpakan wilayah Kabalutan dan Teluk Kilat menjadi DPLBM. Perairan Kabalutan yang dikembangkan menjadi DPL seluas 3.800 ha meliputi 10 lokasi hamparan terumbu karang yang selama ini dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan sekitar. Termasuk di dalam 10 lokasi tersebut adalah terumbu karang di Batang Toroh Sidrawi seluah 22 ha yang telah disepakati masyarakat komunitas Bajau Kabalutan menjadi Zona Inti (no-take zone). Gagasan pembentukan DPL Kabalutan timbul dari kesadaran sebagian besar nelayan di desa Kabalutan bahwa telah terjadi penyusutan hasil tangkapan ikan akibat lokasi-lokasi karang telah dirusak oleh aktivitas pemboman dan pembiusan ikan (La’apo 2010).

Beberapa kegiatan masyarakat bersama CII dalam pengembangan DPL di Periaran Teluk Kilat Maupun Kabalutan, antara lain (CII 2006inLa’apo 2010): 1. Penetapan lokasi perlindungan, termasuk zona inti melalui pertemuan desa

secara partisipatif dan intensif menuju suatu kesepakatan bersama masyarakat. Di Kabalutan telah terdapat zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidrawi seluas 22 ha. Di teluk kilat terdapat 2 zona inti yang masing-masing dikelola masyarakat Lembonato dan Matabiyai, yaitu Urung Dolom dan Manggafai dengan total luas areal sekitar 36.92 ha.


(51)

2. Pembuatan peraturan desa yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam dan air.

3. Penyediaan sarana penunjang, contohnya papan peringatan, pelampung, sabua (pos penjagaan) disekitar daerah DPL

4. Studi Banding ke TN Bunaken dan DPLBM di Desa Blongko dan Tumbak Sulawesi Utara.

5. Peningkatan kapasitas lokal dalam melakukan monitoring dan evaluasi terumbu karang dan hutan mangrove

6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dan pemenrintah daerha setempat.

7. Kerjasama dengan Balai Taman Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil (small grant).

2.8. Model pengelolaan sumberdaya 2.8.1. Model pengelolaan tradisional

Pengelolaan sumberdaya tradisional di wilayah Asia –Pasifik berdasarkan pada hak kepemilikan dan berasosisi dengan rejim yang merefleksikan kekuatan struktur lokal dan berdasarkan organisasi sosial. Sistem tradisional didukung oleh kewenangan (authority) yang berbeda antara area satu dengan area yang lain dan kemungkinan termasuk pemimpin adat, pemimpin agama atau ahli perikanan. Pelaksanaan aturan pengelolaan sangat spesifik dan dikontrol oleh kewenangan local (Ruddle 1996)

Tidak seperti pengelolaan perikanan konvensional, sistem pengelolaan tradisional fokus pada penyelesaian masalah penggunaan alat tangkap dan berdasarkan pada area dan kontrol terhadap akses, dimana pemantauan dilakukan oleh komunitas lokal dan dilaksanakan oleh moral dari komunitas lokal dan kewenangan politik. Hal tersebut merupakan kekuatan paling baik dari system, yang bisa dikontribusikan kepada kerangka pengelolaan modern (Ruddel 1996).

Sedangkan Nikijuluw dalam wahyudin 2004, mendefinisikan Pengelolaan Berbasis Masyarakat merupakan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya. Hal ini menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada


(52)

masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka.

Menurut definisi hak kepemilikan berbasis masyarakat dimaknai sebagai “berasal dari dan dilakukan oleh masyarakat”. Layaknya hak asasi manusia, yang menurunkan hak kewenangan mereka dari dan diakui oleh hukum internasional, dan juga oleh konsep hukum alam, kepemilikan berbasis masyarakat tidak tergantung pada pemberian hak oleh pemerintah. Namun ciri yang diperlihatkan adalah bahwa hak tersbut didapat dari mandat masyarakat dimana mereka berada, bukan dari negara tempat dimana mereka berada. Pengakuan hukum formal terhadap kepemilikan berbasis masyarakat biasanya diperlukan dan dapat membantu untuk menyakinkan bahwa hak tersebut dihormati, dilindungi dan digunakan untukmencapai kepentingan publik (Lynch dan harwell 2006).

2.8.2. SistemCo-Management

Co-manajement didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan /atau kewenangan antara pemerintah dan pengguna sumberdaya lokal untuk mengelola sumberdaya tertentu, misalnya perikanan, terumbu karang. Meletakan antara dua strategi manajemen pengendalian terpusat dan manajemen diri atau masyarakat

-co-manajement mencakup spektrum yang luas dari pengaturan manajemen (ICRAM 1998). Sedangkan Ruddle 1996 menjelaskan pada sistem co management, keputusan dibagi antara pusat dan pemerintah provinsi serta kewenangan komunitas.

Tinggi

Rendah Pengelolaan "Top Down"

Konsultatif Kooperatif Delegasi Pengelolaan "Bottom up" Co Management P en g ar u h K el o m p o k P en g g u n a d al am P en g am b il an K ep u tu sa n P en g el o la an P en g ar u h P em er in ta h d al am P en g am b il an K ep u tu sa n P en g el o la an


(53)

Proses pengelolaan kolaboratif harus memenuhi unsur sebagai berikut : 1. Konsultatif : proses konsultatif dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan

kelompok atau komunitas yang ada, tetapi semua keputusan tetap berada dan diputuskan oleh pemerintah.

2. Kooperatif atau kerjasama : pemerintah melakukan kerjasama dengan komunitas lainnya sebagai rekan setara dalam membuat keputusan.

3. Kewenangan pengelolaan delegasi (terutama untuk peraturan operasional) didelegasikan kepada kelompok pengguna lain/komunitas dan pemerintah diinformasikan mengenai keputusan yang diambil.

2.9. Penelitian Terdahulu di Kepulauan Togean

Kepulauan Togean merupakan salah satu bagian dari inisiasi wilayah segitiga terumbu karang (CTI), yang terkenal memiliki keanekaragaman terumbu karang yang tinggi. Keragaman tersebut menjadikan Kepulauan Togean fokus penelitian dari beberapa peneliti, baik yang memfokuskan pada penelitian ekologi maupun sosial budaya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang tersebut. Beberapa yang menjadi referensi dalam penelitian ini memiliki fokus pada perubahan pola pemanfaatan nelayan Togean yang didorong oleh pasar ikan hidup level global. Lowe 1998 mengawali penelitiannya dengan judul “An Analysis of Local People’s Histories, Perceptions, and Experiences of Outsiders And Their Projects in the Togean Islands of Sulawesi, Indonesia. A Report to Conservation International” yang disponsori oleh Conservation Internasional.

Penelitian tersebut dilakukan antara tahun 1994 dan 1997, Celia memperlajari bagaimana perdagangan ikan hidup terbangun di pulau Togean, khususnya di desa yang ditinggali oleh suku Sama atau Bajau. Penelitian ini menggambarkan bahwa yang paling menerima konsekuensi dari hancurnya terumbu karang adalah suku Sama, akan tetapi dibalik perdagangan ikan hidup keuntungan terbesar dimiliki oleh orang-orang non bajau, yaitu para pengumpul serta para pendatang. Penelitian ini juga menunjukan bahwa introdusir metode dan alat tangkap merusak diperkenalkan oleh para pengumpul.


(1)

Selain dari penjualan hasil laut, dari mana sumber pendapatan rumah tangga Bapak/Ibu peroleh?

Berapa Frekuensi upah yang diterima oleh Bapak/Ibu? (harian, mingguan, bulanan) Berapa jumlah uang yang diterima (Rp) Siapa anggota rumah tangga yang bekerja Gaji sebagai pegawai

Buka kios

Menerima kiriman dari anggota keluarga

Buruh di kota Kuli bangunan

……….

F.3. Pengeluaran Rutin Rumah Tangga Nelayan (dalam 1 tahun terakhir)

38. Berapa pengeluaran rumah tangga rutin harian Bapak/Ibu ? Sebutkan?...

Sebutkan jenis pengeluaran terbesar rumah tangga rutin harian Bapak/Ibu ? Berapa (Rp/hari)?...

39. Dimana Bapak / Ibu membeli kebutuhan sehari-hari?

[a] toko/kios dalam desa [b] toko/kios pedagang pengumpul dalam desa [c] toko/kios di luar desa [d] toko/kios pedagang pengumpul di luar desa [e] lainnya, ...

Sebutkan alasannya,

Untuk kebutuhan melaut sehari-hari, bagaimana cara Bapak / Ibu memperoleh sarana produksi (bahan bakar minyak, dan lain-lain) yang dibutuhkan ?

[a] pinjam uang ke bandar lokal [b] beli langsung ke kios Saprodi ke kota [c] beli tunai di kios saprodi milik pedagang pengumpul dalam desa

[d] hutang ke bandar pemilik kios saprodi dalam desa [f]lainnya,sebutkan


(2)

Lampiran 6 Kuisioner Pengumpul

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PANDUAN PERTANYAAN

KONDISI DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU KABALUTAN

I. Identitas Pengumpul

a. Nama

:

b. Pendidikan terakhir

:

c. Pekerjaan Utama

:

d. Suku

:

e. Suku Istri

:

f. Alamat / Dusun

:

g. Lama tinggal di Desa :

1. Sudah berapa lama Bpk menjadi pengumpul ?

2. Berapa banyak nelayan Kabalutan yang menjual ikan kepada Bpk ?

3. Jenis Ikan apa saja yang Bpk beli dari nelayan ? berapa harga masing2 ikan

yang dibeli?

4. Dalam sehari dalam cuaca baik berapa banyak ikan yang dijual oleh para

nelayan ?

5. Apakah ada penurunan jumlah penjualan ikan hidup selama beberapa tahun

terkahir ini ? jika ada, menurut Bpk disebabkan oleh apa?

6. Kemana Bpk menjual ikan selama ini ?

7. Setiap bulannya berapa ton/kg yang bisa Bpk jual kepada Bos ?

8. Apakah Bapak Tau kemana ikan yang sudah dibeli akan dikirim oleh Bos?

9. Setiap berapa waktu sekali (hari/bulan/kecukupan stok), Pembeli/Bos akan

mengambil ikan dari penampungan Bpk ?

10. Apakah Bapak memberikan pinjaman kepada nelayan? Dalam bentuk

apa?bagaimana mekanisme pembeliannya?


(3)

(4)

(5)

(6)