Perkembangan Inflasi Perkembangan Tempat Hiburan

dikendalikan Pemerintah dan adanya kenaikan harga BBM. tetapi pada tahun 1999 terjadi perkembangan terendah sebesar - 93,82 . Hal ini bisa dilihat dari nilai Tingkat Inflasi di tahun 1998 sebesar 95,21 menjadi 1,39 atau turun sebesar - 93,82 Tabel 3. Perkembangan Inflasi Kota Surabaya Tahun 1994 Sampai Dengan Tahun 2008 Tahun Inflasi Perkembangan 1994 8,25 - 1995 7,20 - 1,05 1996 6,68 - 0,52 1997 9,11 2,43 1998 95,21 86,10 1999 1,39 -93,82 2000 10,46 9,07 2001 14,13 3,67 2002 9,15 - 4,98 2003 3,79 - 5,36 2004 6,06 2,27 2005 14,12 8,06 2006 6,71 - 7,41 2007 5,55 - 1,16 2008 11,06 - 5,51 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah

4.2.4. Perkembangan Tempat Hiburan

Perkembangan Tempat Hiburan dari tahun ke tahun mengalami fluktuatif. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4 yang menjelaskan bahwa pada tahun 1994 sampai 2008, Perkembangan terbesar Tempat Hiburan pada tahun 2008 sebesar 244,17 dan terendah sebesar – 30,12 , Tempat Hiburan terbesar pada tahun 2008 sebesar 1122 unit Tempat Hiburan dan Tempat Hiburan yang terendah yaitu pada tahun 2007 sebesar 326 unit ini dikarenakan adanya krisis yang melanda financial dunia yang berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia khususnya Surabaya serta bertambah banyaknya tempat-tempat hiburan di surabaya seperti bertambah banyaknya: tempat bowling, salon kecantikan, kolam renang, pusat kesehatan, panti mandi uap, teater terbuka, sarana olah raga, dan panti pijat. Tabel 4. Perkembangan Tempat Hiburan Kota Surabaya Tahun 1994 Sampai Dengan Tahun 2008 Tahun Tempat Hiburan unit Perkembangan 1994 587 1995 598 1,87 1996 615 2,84 1997 619 0,65 1998 636 2,74 1999 653 2,67 2000 662 1,37 2001 701 5,89 2002 697 -0,57 2003 487 -30,12 2004 351 -27,92 2005 349 -0,56 2006 518 48,42 2007 326 -37,06 2008 1122 244,17 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah

4.3. Hasil Analisis Asumsi Regresi Klasik BLUE Best Linier Unbiased Estimator.

Agar dapat diperoleh hasil estimasi yang BLUE Best Linier Unbiased Estimator atau perkiraan linier tidak bias yang terbaik maka estimasi tersebut harus memenuhi beberapa asumsi yang berkaitan. Apabila salah satu asumsi tersebut dilanggar, maka persamaan regresi yang diperoleh tidak lagi bersifat BLUE, sehingga pengambilan keputusan melalui uji F dan uji t menjadi bias. Dalam hal ini harus dihindarkan terjadinya kasus-kasus sebagai berikut :

1. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai “korelasi antara data observasi yang diurutkan berdasarkan urut waktu data time series atau data yang diambil pada waktu tertentu data cross-sectional” Gujarati, 1995:201. Untuk mengujji variabel-variabel yang diteliti apakah terjadi autokorelasi atau tidak dapat digunakan uji Durbin Watson, yaitu dengan cara membandingkan nilai Durbin Watson yang dihitung dengan nilai Durbin Watson dL dan du dalam tabel. Distribusi penetuan keputusan dimulai dari 0 nol sampai 4 empat. Kaidah keputusan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Jika d lebih kecil daripada d L atau lebih besar daripada 4-d L , maka hipotesis nol ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. 2. Jika d teletak antara d U dan 4-d U , maka hipotesis nol diterima yang berarti tidak ada autokorelasi. 3. Jika nilai d terletak antara d L dan d U atau antara 4-d L dan 4-d U maka uji Durbin-Watson tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti, untuk nilai- nilai ini tidak dapat disimpulkan ada tidaknya autokorelasi di antara faktor-faktor penganggu. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model penelitian maka perlu dilihat nilai DW tabel. Diketahui jumlah variabel bebas