BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK HIBURAN DAN RETRIBUSI PARKIR DI KOTA SURABAYA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Ilmu Ekonomi

Oleh :

EDITH APRILANA

0611010019 / FE / IE

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

PAJAK HIBURAN DAN RETRIBUSI PARKIR DI KOTA SURABAYA

Disusun oleh : Edith Aprilana 0611010039/ FE/ IE

Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 03 September 2010

Pembimbing Utama : Tim Penguji :

Ketua

Dr. Syamsul Huda, SE, MT Dr. Syamsul Huda, SE, MT Sekretaris

Drs. Ec. Wiwin Priana, MT Anggota

Drs. Ec. Hj. Titiek Nur H

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, MM NIP. 030 202 389


(3)

(4)

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAKSI ... xi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu... 8

2.2 Landasan teori... 11

2.2.1 Pengertian Pajak……… 11

2.2.1.1 Jenis-jenis Pajak ... 13

2.2.1.2 Fungsi Pajak ... 14

2.2.1.3 Tarif Pajak ... 15

2.2.1.4 Prinsip Pajak ... 16

2.2.1.5 Teori Pemungutan Pajak ... 17

2.2.2 Pajak Daerah... 18


(5)

2.2.2.1 Pengertian Daerah ... 18

2.2.2.1.1 Pembangunan Daerah………. 19

2.2.2.2 Pengertian Pajak Daerah ... 20

2.2.2.3 Ruang Lingkup Pajak Daerah ... 22

2.2.2.4 Sumber-sumber Keuangan Daerah di kota Surabaya ... 22

2.2.2.5 Sumber-sumber Pendapatan Daerah ... 23

2.2.3 Pajak Hiburan Sebagai Komponen Pajak Daerah ... 24

2.2.3.1 Pengertian Pajak Hiburan ... 24

2.2.3.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hiburan ... 25

2.2.4 Retribusi Parkir ... 25

2.2.4.1 Definisi Retribusi Parkir ... 25

2.2.4.2 Penggolongan Retribusi Parkir ... 27

2.2.4.3 Hambatan yang dihadapi dalam pemungutan retribusi parkir di kota Surabaya ... 28

2.2.5 Pendapatan Perkapita ... 29

2.2.5.1 Pengertian Pendapatan Perkapita ... 29

2.2.5.2 Fungsi Pendapatan Perkapita ... 32

2.2.6 Tingkat Inflasi ... 33

2.2.6.1 Definisi Inflasi ... 33

2.2.6.2 Penggolongan Inflasi ... 34

2.2.6.3 Cara Mengatasi Inflasi ... 37

2.2.7 Jumlah Tempat Hiburan ... 38

2.2.7.1 Pengertian Tempat Hiburan ... 38


(6)

2.2.7.2 Subyek Pajak Hiburan ... 39

2.2.7.3 Obyek Pajak Hiburan ... 39

2.3 Kerangka Pikir ... 41

2.4 Hipotesis ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel... 46

3.2 Teknik Penentuan Sampel... 47

3.3 Tehnik Pengumpulan Data... 48

3.4 Teknik Analisis dan Uji Hipotesis ... 48

3.4.1 Teknik Analisis ... 48

3.4.2 Uji Hipotesis ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Obyek Penelitian………….……….. 55

4.1.1 Kondisi Geografis... 55

4.1.2 Kependudukan... 56

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian……….……… 57

4.2.1 Perkembangan Penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir ……… 57

4.2.2 Perkembangan Pendapatan Perkapita……….……….. 58

4.2.3 Perkembangan Inflasi……….... 4.2.4 Perkembangan Tempat Hiburan……….………... 60


(7)

vii

4.3 Hasil Analisis Asumsi Regresi Klasik

(BLUE / Best Linier Unbiased Estimator)……… 61

4.3.1 Analisis Dan Pengujian Hipotesis…...………... 65

4.3.2 Uji Hipotesis Secara Parsial………...……….… 67

4.3.3 Pembahasan………….……….……...…... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 71

5.2 Saran... 73


(8)

Gambar 2 Kriteria Uji F ... 51

Gambar 3 Kriteria Uji t ... 52

Gambar 4 Daerah Keputusan Uji Durbin Watson ... 53

Gambar 5 Kurva Statistik Durbin Watson………. ... 63

ix 


(9)

 

viii

Surabaya... 58

Tabel 2 Perkembangan Pendapatan Perkapita Kota Surabaya... 59

Tabel 3 Perkembangan Tingkat Inflasi Kota Surabaya... 60

Tabel 4 Perkembangan Tempat Hiburan Kota Surabaya... 61

Tabel 5 Tes Autokorelasi ... 63

Tabel 6 Tes Multikolinieritas ... 64

Tabel 7 Tes Heterokedastisitas dengan Korelasi Rank Spearman ... 64

Tabel 8 Analisis Varian (Anova) ... 67

Tabel 9 Hasil Analisis Variabel Pendapatan Perkapita (X1), Inflasi (X2), dan Jumlah Tempat Hiburan (X3), terhadap Penerimaan Pajak Hiburan (Y1) dan Retribusi Parkir (Y2) kota Surabaya ... 68


(10)

x

Lampiran 2 Analisa Regresi Linier Berganda dengan Progra SPSS 13.0 Lampiran 3 Tabel Uji F

Lampiran 4 Tabel Uji t


(11)

EDITH APRILANA

Abstraksi

Surabaya sebagai daerah yang heterogen penduduk, budaya, bahasa dan beraneka ragam kegiatan serta ditambah dengan kesibukan-kesibukan yang mewarnai setiap saat, maka tepat sekali pemerintah melalui instansi terkait bekerja sama dengan swasta untuk mengadakan jenis dan tempat hiburan bagi masyarakat yang membutuhkan, karena dari jenis dan tempat hiburan itu dapat dipungut pajak, yaitu Pajak Hiburan. Salah satu usaha yang dapat meningkatkan pendapatan kota Surabaya diusahakan bersumber dari pajak hiburan dan retribusi parkir yang perlu terus ditingkatkan.

Adapun tujuan penelitian Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi dan Jumlah Tempat Hiburan terhadap peningkatan penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya baik secara simultan maupun parsial. Untuk mengetahui manakah dari ketiga variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya.

Setelah dilakukan uji statistik untuk mengetahui pengaruh secara simultan antara variabel bebas Pendapatan Perkapita (X1), Inflasi (X2), dan Jumlah Tempat Hiburan (X3), terhadap variabel terikatnya Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2) diperoleh F hitung > F tabel maka Ho ditolak dan Hi diterima, yang berati bahwa secara keseluruhan faktor-faktor variabel bebas berpengaruh secara simultan dan nyata terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2).

Variabel yang berpengaruh paling dominan diantara tiga variabel bebas terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya dan Retribusi Parkir kota Surabaya : Dapat diketahui dengan melihat koefisien determinasi parsial yang paling besar, dimana dalam perhitungan ditunjukkan oleh variabel Pendapatan Perkapita dengan koefisien determinasi parsial (r2) sebesar 0,872 atau sebesar 87,2 % untuk Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya dan 0,556 atau sebesar 55,6 % Retribusi Parkir kota Surabaya.

Kata Kunci : Penerimaan Pajak Hiburan (Y1), Retribusi Parkir (Y2), Pendapatan Perkapita (X1), Tingkat Inflasi (X2), Jumlah Tempat Hiburan (X3)


(12)

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan di segala bidang, pembangunan tersebut dilakukan dengan tujuan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur, Dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan ber kedaulatan rakyat dalam suatu perikehidupan bangsa yang aman, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Ini berarti bahwa pembangunan itu berdasarkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara mengejar kemajuan lahiriah dan batiniah. Jadi Pembangunan Nasional dilaksanakan merata di seluruh tanah air dan tidak untuk satu golongan atau sebagian masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia, serta harus dapat dirasakan seluruh rakyat. (Suparmoko 2006 : 5)

Pembangunan pada hakekatnya adalah proses perubahan yang terus menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke arah tujuan yang ingin dicapai.Dalam rangka mewujudkan ini maka dilaksanakan pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan melalui repelita dan pelaksanaan operasionalnya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tiap tahunnya.


(13)

Disisi lain, pembangunan Daerah merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional, sehingga setiap daerah berkewajiban mensukseskan pembangunan daerah terutama yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, setiap daerah harus mampu menggali segala sumber dana yang ada di daerahnya sendiri, yang berguna sebagai pembiayaan pembangunan daerahnya masing-masing, sehingga kegiatan pembangunan berjalan dengan baik dan lancar.

Pajak merupakan salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan tanpa terkecuali. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dijelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga Pendapatan Asli Daerah yang antara lain diperoleh dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat, serta membangun daerahnya sendiri dengan pemberian hak otonomi. Daerah otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurusi rumah tangga sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Siahaan 2005 : 14)

Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah kesiapan daerah dalam hal keuangan, baik dari sisi pengeluaran dan penerimaan daerah. Karena kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat


(14)

bervariasi, tergantung pada kondisi masing-masing daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak,ataupun daerah yang intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi maupun rendah. Hal ini berdampak pada besar tidaknya basis pajak di daerah-daerah yang bersangkutan. Di sisi lain, dilihat dari kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi publik setiap daerah juga sangat bervariasi, dimana saranaprasarana dan infrastruktur lainnya masih ada yang belum memadai.

Dengan demikian, Pemerintah Kota Surabaya sebagai ibu kota Jawa Timur, yang juga kota terbesar ke-2 setelah Jakarta dan merupakan salah satu pusat dagang dan industri, maka harus dapat menyelenggarakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya yang sebagian harus dengan kekuatan sendiri. Untuk itu perlu adanya sumber-sumber pendapatan, dalam hal ini adalah Pendapatan Asli Daerah.

Surabaya sebagai daerah yang heterogen penduduk, budaya, bahasa dan beraneka ragam kegiatan serta ditambah dengan kesibukan-kesibukan yang mewarnai setiap saat, maka tepat sekali pemerintah melalui instansi terkait bekerja sama dengan swasta untuk mengadakan jenis dan tempat hiburan bagi masyarakat yang membutuhkan, karena dari jenis dan tempat hiburan itu dapat dipungut pajak, yaitu Pajak Hiburan.

Peningkatan penerimaan Pajak Hiburan dari tahun ke tahun diupayakan untuk dapat meningkat terus menerus.Pajak Hiburan sebagai salah satu Penerimaan Asli Daerah dan merupakan komponen dari pajak daerah ada di Surabaya, merupakan penerimaan daerah yang potensial, sehingga sangat relevan


(15)

sekali untuk selalu meningkatkan penerimaan Pajak Hiburan, Mengingat kebutuhan hiburan di kota Surabaya sangat besar sekali karena dengan adanya hiburan dapat mengurangi kepenatan yang selalu dirasa sebagian besar penduduk di Surabaya. Pemasukan pajak hiburan dilihat dari data Realisasi penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kota Surabaya yang dapat dilihat dari Badan Pusat Statistik Surabaya pada tahun 2002 sebesar Rp.7.711.516.000.00, pada tahun 2003 sebesar Rp.8.784.662.000.00 atau mengalami perkembangan sebesar 13,91 %, pada tahun 2004 penerimaan pajak hiburan naik menjadi Rp.10.540.421.843.00 atau mengalami perkembangan sebesar 19,98 %, kemudian pada tahun 2005 sebesar Rp.11.515.307.018.00 atau mengalami perkembangan sebesar 9,24 %. Dengan naiknya penerimaan pajak hiburan akan dapat menambah penerimaan daerah yang pada akhirnya dapat membiayai pembangunan daerah di Kota Surabaya. (Anonim, 2005 : 423)

Salah satu sumber dana yang diharapkan adalah dari sector retribusi parkir karena mempunyai potensi serta prospek yang cerah, karena melihat perkembangan kendaraan bermotor yang semakin meningkat tidak tertutup kemungkinan untuk meningkatkan penerimaan retribusi dari sektor parkir.dengan ditingkatkannya pungutan tersebut diharapkan hasil yang diperoleh dari retribusi dalam pelaksanaan parkir, sistem pemungutannya mengacu pada peraturan daerah yang berlaku yaitu dengan memberikan tanda penerimaan berupa karcis. Dimana yang dimaksud disini, karcis parkir oleh petugas harus diletakkan atau ditempatkan pada kendaraan yang di parkir ada tempat yang mudah dilihat, dimana karcis tersebut berlaku untuk satu kali parkir.


(16)

Semakin banyaknya tempat parkir yang ada di Kota Surabaya saat ini tidak dikung oleh peningkatan pendapatan daerah dari sektor retribusi parkir, justru semakin memprihatinkan. Adapun penerimaan retribusi parkir pada tahun 2002 sebesar Rp. 6.398.176.000, pada tahun 2003 sebesar Rp. 6.404.181.000 atau mengalami perkembangan sebesar 9.38 %, tahun 2004 sebesar Rp. 6.603.156.500 atau mengalami perkembangan sebesar 3,10 %, kemudian pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar Rp. 7.071.901.100 atau mengalami perkembangan sebesar 7,09 %. ( Anonim, 2005 : 423 )

Pembangunan yang yang akan dilaksanakan tersebut diperlukan adanya suatu penyusunan perencanaan yang sistematis, khususnya sumber-sumber keuangan daerah yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara daerah. Sumber pendapatan daerah diartikan secara luas bukan saja penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat yang dalam praktek biasa bagi hasil pungut daerah atau subsidi langsung kepada daerah untuk keperluan tertentu, tetapi juga penerimaan yang berasal dari pemerintah itu sendiri atau pendapatan asli daerah sendiri. (Rimu, 1992 : 20)

Perbandingan antara pajak hiburan dengan retribusi parkir adalah sebagai berikut :

1. Pajak Hiburan adalah pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan, hiburan adalah semua jenis pertunjukkan, permainan, permainaan ketangkasan dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran.


(17)

2. Retribusi parkir adalah pungutan yang dikenakan atas penyediaan jasa pelayanan parkir bagi kendaraan angkutan orang atau barang yang memanfaatkan parkir di tepi jalan umum atau tempat khusus parkir.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka salah satu usaha yang dapat meningkatkan pendapatan kota Surabaya diusahakan bersumber dari pajak hiburan dan retribusi parkir yang perlu terus ditingkatkan.

Dengan demikian, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih tentang pengaruh Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi dan Jumlah Tempat Hiburan terhadap penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya maka perumusan masalah yang diuraikan adalah sebagai berikut :

1. Adakah pengaruh antara Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi dan Jumlah Tempat Hiburan terhadap penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya ?

2. Manakah dari ketiga variabel yang paling dominan pengaruhnyaterhadap penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi dan Jumlah Tempat Hiburan terhadap peningkatan penerimaan


(18)

Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya baik secara simultan maupun parsial.

2. Untuk mengetahui manakah dari ketiga variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk digunakan :

1. Sebagai bahan informasi mengenai faktor-faktor yang menentukan penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota Surabaya

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang mengadakan penelitian berkaitan dengan masalah tersebut.

3. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian yang akan datang.


(19)

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Pajak Hiburan telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti dari berbagai pihak dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda.

Penulis memperoleh informasi kepustakaan dari penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan Pajak Hiburan, yaitu oleh:

Agustyarini (2003) dengan judul penelitian : “Analisis Beberapa Faktor

Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hiburan Sebagai Salah Satu Pendapatan Daerah di Kotamadya Surabaya.” Variabel bebas yang digunakan

adalah Jumlah Penduduk, Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi. Dari hasil analisis pengujian secara simultan dapat disimpulkan bahwa Jumlah Penduduk (X1),Pendapatan Perkapita (X2), Tingkat Inflasi (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Pajak Hiburan di Kotamadya Surabaya. Sedangkan secara parsial dapat disimpulkan bahwa Jumlah Penduduk (X1) dan Pendapatan Perkapita (X2) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pajak Hiburan dan menunjukkan hubungan positif, sedangkan variabel Tingkat Inflasi (X3) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pajak Hiburan dan menunjukkan hubungan negatif (berbanding terbalik).

Saputra (2006) dengan judul penelitian : “Analisis Beberapa Faktor

Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hiburan Sebagai Salah Satu Pendapatan Daerah di Kota Surabaya.” Variabel bebas yang digunakan adalah


(20)

Tingkat Partisipasi Kerja, Pendapatan Perkapita, Tempat Hiburan. Dari hasil analisis pengujian secara simultan dapat disimpulkan bahwa Tingkat Partisipasi Kerja (X1), Pendapatan Perkapita (X2), Tempat Hiburan (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Pajak Hiburan di Kota Surabaya. Sedangkan secara parsial dapat disimpulkan bahwa Tingkat Partisipasi Kerja (X1) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Pajak Hiburan dan menunjukkan hubungan negatif, sedangkan variabel Pendapatan Perkapita (X2) dan Tempat Hiburan (X3) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pajak Hiburan dan menunjukkan hubungan positif. Hal ini berarti dengan meningkatnya pendapatan perkapita Surabaya mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi atau menggunakan tempat hiburan.

Penulis memperoleh informasi kepustakaan dari penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan Retibusi Parkir, yaitu oleh:

Inayati (1994) dengan judul penelitian “Beberapa Faktor Yang

Berpengaruh Terhadap Penerimaan Retribusi Parkir di Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya”. Variabel bebas yang digunakan adalah Tingkat

Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Jumlah Kendaraan Bermotor. Dari hasil analisis pengujian secara simultan dapat disimpulkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (X1), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (X2) dan Jumlah Kendaraan Bermotor (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Retribusi Parkir di Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya. Sedangkan secara parsial disimpulkan bahwa variabel TPAK (X1), PDRB (X2) dan Jumlah Kendaraan Bermotor (X3)


(21)

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan Retribusi Parkir di Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya dan mempunyai hubungan positif.

Hartanti (1996) dengan judul penelitian “Faktor-faktor Yang

Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Pasar di Kabupaten Sidoarjo”.

Variabel bebas yang digunakan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Jumlah Pedagang, dan Jumlah Petugas Pemungut Retribusi. Dari hasil analisis pengujian secara simultan dapat disimpulkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (X1), Jumlah Pedagang (X2), dan Jumlah Petugas Pemungut Retribusi (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Retribusi Pasar di kabupaten Sidoarjo. Sedangkan secara parsial disimpulkan bahwa variabel PDRB (X1) dan Jumlah Petugas Pemungut Retribusi (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Retribusi Pasar di kabupaten Sidoarjo. Sedangkan variabel Jumlah Pedagang (X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Retribusi Pasar di kabupaten Sidoarjo.

Selain itu penelitian terdahulu juga di dapat dari berbagai jurnal, antara lain sebagai berikut :

Riduansyah (2003) dengan judul penelitian ”Kontribusi Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor)”. Dalam

penelitian tersebut tidak dicantumkan variabel apa yang akan digunakan.

Sofwani, Wahab, Fuad (1997) dengan judul penelitian “Mobilisasi


(22)

Pembangunan Daerah (Studi di Kabupaten Muara Enim)” Dalam penelitian

tersebut tidak dicantumkan variabel apa yang akan digunakan.

Penelitian yang diteliti sekarang berbeda dengan penelitian yang terdahulu dimana terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian-penelitian yang akan dilakukan. Persamaan tersebut terletak pada variabel terikat yaitu penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir, sedangkan perbedaanya adalah waktu, tempat, masalah, dan beberapa variabel yang menjadi obyek penelitian. Perbedaan antara variabel sebagai berikut:

a) Penelitian sekarang menggunakan variabel pendapatan perkapita, tingkat inflasi, dan jumlah tempat hiburan.

b) Variabel yang digunakan pada penelitian terdahulu antara lain tingkat partisipasi angkatan kerja, produk domestik regional bruto (PDRB), jumlah kendaraan bermotor, dan jumlah penduduk.

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Pengertian Pajak

Pandiangan (2002 : 19) mendefinisikan Pajak adalah pembayaran

(pengalihan) sebagian harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang, namun pembayarnya tidak mendapatkan suatu balas jasa secara langsung, untuk digunakan membiayai pengeluaran negara guna meningkatkan kualitas masyarakatnya.

Mardiasmo (2003 : 1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara


(23)

jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Saragih (2003 : 61) pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan

kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali. Ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah.

Suparmoko (2000 : 94) dalam bukunya Keuangan Negara dalam teori dan

praktek menyatakan bahwa pajak adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa yang secara langsung dapat ditunjuk.

Meskipun pendapat dari para ahli diatas berbeda-beda, maka dapat disimpulkan pengertian pajak adalah sebagai berikut :

A. Pajak yang dipungut oleh negara berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya.

B. Dalam pembayarannya pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi individual oleh pemerintah (tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan kontraprestasi individual).

C. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.

D. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah, sehingga tujuan utama pajak sebagai keuangan negara.

E. Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. (Munawir, 1992 : 4)


(24)

2.2.1.1. Jenis-jenis Pajak

Menurut Waluyo dan Wirawan, 2002 : 11 Pengelompokan pajak dapat didasarkan atas sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam masing-masing pajak.

A. Pembagian Berdasarkan Golongan

1. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan sebagai contoh: Pajak Penghasilan

2. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain, sebagai contoh: Pajak Pertambahan Nilai.

B. Pembagian Berdasarkan Pemungutannya

1 Pajak Negara atau Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang penyelenggaraan pemungutannya di daerah-daerah, dilakukan oleh kantor pelayanan pajak setempat dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan Rumah Tangga Negara pada umumnya, misalnya : Pajak Penghasilan, Pajak Ekspor, Pajak Minyak Bumi.

2 Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya berada pada Pemerintah Daerah, baik Tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kotamadya yang hasil pemungutannya digunakan untuk pemungutan pembiayaan Rumah Tangga Daerahnya, misalnya:


(25)

Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Reklame, Pajak Tontonan, Pajak Radio, Bea Balik Nama.

C. Pembagian Berdasarkan Sifatnya

1. Pajak yang bersifat perorangan (Subyektif) adalah pajak-pajak yang pemungutannya berpangkal pada diri orangnya (subyeknya), keadaan diri wajib pajak mempengaruhi besar kecilnya jumlah pajak yang harus dibayar. Daya pikul dari wajib pajak diukur dengan memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pendapatan dan Pajak Kekayaan.

2. Pajak yang bersifat kebendaan (Obyektif) adalah pajak-pajak yang pemungutannya berpangkal pada obyeknya dan pajak tersebut dipungut karena keadaan perbuatan dan kejadian yang dilakukan atau terjadi dalam wilayah negara Indonesia dengan tidak mengindahkan kediaman atau sifat subyeknya. Contoh: Pajak Perseroan, Bea Naterai, Pajak Rumah Tangga.

2.2.1.2. Fungsi Pajak

Penarikan pajak yang dilakukan pemerintah pada dasarnya mempunyai dua fungsi pokok, yaitu:

1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)

Adalah sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh: Dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan Dalam Negeri (Sebagai kas Negara).


(26)

2. Fungsi Mengatur (Reguler)

Adalah alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi, atau fungsi pengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Contoh: Dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan. (Waluyo dan

Wirawan, 2002 : 8-9) 2.2.1.3.Tarif Pajak

Jenis pajak dapat mempengaruhi jenis tarif pajak yang akan ditetapkan. Dan umumnya setiap jenis pajak mempunyai tarif pajak yang berbeda dengan jenis pajak yang lain.

Pada dasarnya terdapat empat jenis tarif pajak, yaitu : 1. Tarif Pajak Proporsional

Adapun yang dinamakan tarif pajak proporsional adalah suatu tarif yang menggunakan prosestase yang tetap (tidak berubah), berapapun jumlah dasar pengenaan pajaknya.

2. Tarif Pajak Progresif

Tarif pajak progresif adalah suatu tarif bertingkat atau berlapis, yang dinyatakan dalam prosentase dan persentasenya akan makin besar atau makin tinggi apabila jumlah dasar pengenaan pajaknya makin besar.

3. Tarif Pajak Degresif

Yang dimaksud tarif pajak degresif adalah suatu tarif pajak yang persentasenya makin kecil apabila jumlah dasar pengenaan pajaknya makin besar. Berarti jenis ini kebalikan dari tarif pajak progresif.


(27)

4. Tarif Pajak Tetap

Yang dimaksud tarif pajak tetap adalah suatu tarif pajak yang besarnya tetap (biasanya langsung dinyatakan dalam nilai uang) berapapun besarnya dasar pengenaan pajak. (Pandiangan, 2003 :20-26).

2.2.1.4. Prinsip Pajak

Dalam pengenaan pajak tersebut, prinsip-prinsip perpajakan yang paling terkenal adalah dikemukakan oleh Adam Smith, yang biasa disebut dengan “Smith Canons” yaitu :

1. Prinsip Kesamaan atau Keadilan (Equality)

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

2. Prinsip Kepastian (Certainty)

Artinya pengenaan pajak harus jelas, tegas, dan pasti. Peraturan pajak hendaknya dibuat sederhana sehingga mudah dimengerti oleh wajib pajak dan akan mempermudah administrasi pemerintah.

3. Prinsip Kecocokan atau kelayakan (Convenience)

Artinya bahwa pemungutan pajak hendaknya jangan sampai terlalu menekan wajib pajak, dengan kata lain harus disesuikan dengan keadaan wajib pajak, sehingga pembayaran bisa dilakukan secara sukarela.


(28)

4. Prinsip Ekonomi (Economy)

Artinya secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak. (Waluyo dan Wirawan,

2002 : 8-9)

2.2.1.5 . Teori Pemungutan Pajak

Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak, terdapat beberapa teori yang menjelaskan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Menurut Mardiasmo (2003 : 3-4) teori tersebut antara lain adalah :

1. Teori Asuransi

Negara melindungi keselamatan jiwa, harga benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

2. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyat di dasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yangharus dibayar.

3. Teori Daya Pikul

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan dua pendekatan yaitu :


(29)

 Unsur Obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang.

 Unsur Subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.

4. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pemungutan pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

5. Teori Asas Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat.

2.2.2. Pajak Daerah 2.2.2.1. Pengertian Daerah

Dalam pokok-pokok pemerintahan Daerah, yang dimaksud daerah otonom yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu yang berhak, berwenang dan berkwajiban mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana daerah ini terbagi atas :


(30)

A. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah kota yang bersifat otonom.

B. Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administratif.

2.2.2.1.1. Pembangunan Daerah

Pembangunan daerah dapat diartikan sebagai semua kegiatan pembangunan yang ada atau dilakukan didaerah yang unsurnya terdiri dari :

1 Kegiatan dan proyek pembangunan nasional yang ada didaerah itu ;

2 Kegiatan dan proyek pembangunan daerah itu sendiri diluar yang telah direncanakan oleh pemerintah pusat.

Sasaran pembangunan daerah yang diinginkan adalah berkembangnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab dititik beratkan pada daerak Kabupaten / Kota, meningkatnya kemandirian dan kemampuan daerah dalam merencanakan dan mengelola pembangunan didaerah dan makin terkoordinasinya pembangunan antar sektor dan antar daerah serta antar pembangunan sektoral dengan pembangunan daerah.

Masalah pokok pembangunan daerah terletak pada penekanan-penekanan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endegeoneous development) dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan pada pengambilan inisiatif yang berasal dari daerah dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi. Terdapat 2 teori mengenai konsep pembangunan daerah yaitu :


(31)

1 Konsep pembangunan dari atas (top-down planning).

Teori ini mengatakan bahwa timbulnya pembangunan itu karena adanya dorongan dari luar dan tuntutan inovasi. Dengan melalui beberapa kelompok sektoral yang dinamis atau kelompok geografis, pembangunan diharapkan dapat merembes ke daerah-daerah sekitarnya, baik merata spontan maupun secara diarahkan. Konsep pembangunan ini memerlukan pengaruh dari pemerintah pusat, dan perencanaanya dilakukan dari atas kebawah.

(Sjafrizal, 1997 : 41)

2 Konsep pembangunan dari bawah (bottom-up planning).

Konsep ini didasarkan pada mobilitas maksimal sumber-sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan yang tujuan utamanya adalah pemenuhan kebutuhan pokok bagi masyarakat daerah itu. Adapun wujud pembangunannya adalah proyek-proyek kecil dengan system padat karya (labor intensive system), menggunakan teknologi tepat guna dan

potensi-potensi daerah itu sendiri, perencanaan pembagunannya dilakukan dari bawah. (Sjafrizal, 1997 : 40)

2.2.2.2. Pengertian Pajak Daerah

Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai


(32)

penyelenggaran Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah. (Anonim, 1999

: 20)

Saragih ( 2003 : 61) pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat

dipaksakan kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali. Ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah.

Menurut Suandy (2000 : 29) pembagian administratif daerah maka pajak

daerah dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

1) Pajak Provinsi.

Macam atau jenisnya adalah:

A) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

B) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; C) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

D) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

2) Pajak Kabupaten / Kota. Macam atau jenisnya adalah:

A) Pajak Hotel B) Pajak Restoran C) Pajak Hiburan D) Pajak Reklame


(33)

F) Pajak Parkir

2.2.2.3. Ruang Lingkup Pajak Daerah

Lapangan pajak Daerah hanya terbatas pada lapangan pajak yang belum digunakan oleh Negara (pusat). Misalnya, pajak atas pendapatan tidak boleh dipungut oleh daerah karena sedah dipungut negara. Sebaliknya, negara juga tidak boleh memungut pajak yang telah dipungut daerah.

Selain itu , terdapat ketentuan bahwa pajak dari daerah yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh memasuki lapangan pajak dari Daerah yang lebih tinggi tingkatannya

2.2.2.4. Sumber-sumber Keuangan Daerah di kota Surabaya

Dalam menunjang daripada pembangunan dan keberhasilan baik dari program-program yang telah ada bagi kepentingan umum.

Adapun sumber-sumber dari penerimaan negara antara lain :

1. Hasil-hasil perusahaan daerah adalah : PDAM, yang tarifnya sangat disesuaikan dengan kepentingan umum, tidak semata-mata untuk mengejar keuntungan.

2. Hasil-hasil barang milik pemerintah atau yang dikuasai oleh pemerintah.

3. Denda-denda dari perampasan untuk kepentingan umum.

4. Hak-hak waris atau harta peninggalan terlantar, harta waris yang tidak ada ahli warisnya dan menolak menerimanya, hal ini diurus oleh balai harta.


(34)

5. Hibah, wasiat suatu sumber keuangan daerah yang paling menentukan dari sektor pajak (Nasution, 1996 : 20)

2.2.2.5. Sumber-sumber Pendapatan Daerah

Menurut Siahaan (2005 : 14) Sumber-sumber pendapatan daerah yaitu :

A. Pendapatan Asli Daerah sendiri, yang terdiri dari : 1. Hasil Pajak Daerah ;

2. Hasil Retribusi Daerah ;

3. Hasil Perusahaan Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya, yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah;

4. Lain-lain pendapatan asli daeah yang sah, antara lain hasil penjualan asset tetap daerah dan jasa giro.

B. Pendapatan yang berasal dari dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. C. Pinjaman Daerah, yaitu semua transaksi yang mengakibatkan daerah

menerima sejumlah uang atau manfaat bernilai uang dan pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. D. Lain-lain penerimaan yang sah, antara lain hibah atau penerimaan dari

daerah Propinsi atau daerah Kabupaten / Kota lainnya, dana darurat, dan penerimaan lainnya.


(35)

2.2.3. Pajak Hiburan Sebagai Komponen Pajak Daerah 2.2.3.1. Pengertian Pajak Hiburan

Pajak Hiburan adalah merupakan salah satu Pajak Daerah Tingkat II yang dikenakan kepada semua lapisan penyelenggaran hiburan. Hiburan adalah segala jenis pertunjukan, permainan dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga. Yang dimaksud pembayaran disini adalah jumlah uang yang dibayarkan sebagai suatu tanda yang akan dipergunakan untuk menonton, mengunjungi, atau menikmati sesuatu atau tontonan dan hiburan yang diselenggarakan.

Pengenaan Pajak hiburan tidak ada mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Mengingat kondisi kabupaten dan kota di Indonesia tidak sama, termasuk dalam hal jenis hiburan, maka Pemerintah Daerah setempat harus megeluarkan peraturan daerah tentang Pajak Hiburan yang akan menjadi landasan hokum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Hiburan di daerah kabupaten atau kota setempat. (Siahaan, 2005 : 297)

Dari pengertian diatas dan batasan mengenai hiburan atau tontonan, maka definisi Pajak Hiburan dapat diringkas sebagai berikut:


(36)

B) Pajak Hiburan termasuk pajak tidak langsung yaitu pajak yang dipungut tidak secara periodik dan pembayarannya dapat dilimpahkan kepada orang lain atau penanggung pajak.

C) Pajak Hiburan adalah pajak yang dikenakan atas pertunjukan dan keramaian yang pelaksaannya dapat dipaksakan.

2.2.3.2. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hiburan

Dasar hukum pemungutan Pajak Hiburan pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagai berikut :

1) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

3) Peraturan Daerah Kabupaten / Kota yang mengatur tentang Pajak Hiburan. 4) Keputusan Bupati / Walikota yang mengatur tenteng Pajak Hiburan

sebagai aturan pelaksanan peraturan daerah tentang Pajak Hiburan pada kabupaten / Kota tersebut. (Siahaan, 2005 : 299)

2.2.4. Retribusi Parkir

2.2.4.1. Definisi Retribusi Parkir

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 pasal 1, Retribusi parkir adalah pungutan yang dikenakan atas penyediaan jasa pelayanan parkir bagi bagi kendaraan angkutan orang atau barang yang memanfaatkan parkir di tepi jalan umum atau tempat khusus parkir. Bahwa pungutan disini didasarkan kepada jasa pemerintah daerah yang telah diberikan secara langsung dan dapat


(37)

ditunjukkan kepada wajib bayar, karena disini harus ada pemberian jasa yang nyata, maka pemerintah daerah harus mendahulukan jasa itu supaya ada dasar atau alasan pungutan. (Anonim, 1998 : 5)

Dalam retribusi, yang dimaksud jasa adalah pelayanan riil yang dapat menambah kesejahteraan atau melancarkan usaha bagi mereka yang memerlukan, sedangkan retribusi daerah yang ada di daerah kota adalah sebagai berikut :

A) Uang Leges

B) Uang Dispensasi Jalan atau Jembatan C) Uang Penambangan atau Penyebrangan D) Uang Sewa Tanah atau Bangunan E) Uang Pemeriksaan atau Pembantaian F) Uang Sepadan atau Izin Bangunan

G) Pemberian Izin Perusahaan Perindustrian Kecil H) Uang Atas Pemakaian Tanah

I) Jembatan Timbang

J) Uang Terminal (Bus, Non bus, Taxi) K) Rumah Sakit dan Balai Pengobatan L) Tempat Rekreasi

M)Pasar

N) Pesanggrahan, Losmen, Hotel O) Pemeriksaan Susu


(38)

Q) Sampah atau kebersihan lainnya

R) Sewa rumah, Gedung, Kost, Pondokan, Asrama S) Pengeluaran Hasil Ternak dan Unggas

T) Agen Pariwisata dan Biro Perjalanan

U) Administrasi KTP, Surat Jalan, Akte Kelahiran V) Penerbitan Sertifikat Tanah atau dari Agraria W)Usaha retribusi Kaki Lima.(Anonim, 1999 : 54)

Dari pengertian diatas dan batasan mengenai parkir, maka definisi Retribusi Parkir dapat diringkas sebagai berikut:

A) Retribusi Parkir termasuk lapangan Pajak Daerah

B) Retribusi Parkir termasuk pajak tidak langsung yaitu pajak yang dipungut tidak secara periodic dan pembayarannya dapat dilimpahkan kepada orang lain atau penanggung pajak.

C) Retribusi Parkir adalah pungutan yang dikenakan atas penyediaan jasa pelayanan parkir bagi bagi kendaraan angkutan orang atau barang yang memanfaatkan parkir di tepi jalan umum atau tempat khusus parkir.

2.2.4.2. Penggolongan Retribusi Parkir

Dasar hukum dari retribusi parkir adalah Perda No. 4 Th. 1990. Sebagaimana telah dikemukakan diatas tentang retribusi daerah. Jadi, yang dimaksud dengan retribusi parkir adalah pembayaran atau imbalan jasa atas penggunaan tempat-tempat parkir yang dikelola oleh pemerintah daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan tempat parkir disini adalah tempat yang


(39)

ditentukan dan dijanjikan oleh kepala daerah sebagai wilayah atau fasilitas umum tempat parkir. Tempat parkir dibagi menjadi :

1. Tempat parkir umum adalah tempat untuk memarkir kendaraan meliputi jalan pelataran parkir lingkungan parkir, gedung parkir yang disediakan oleh pemerintah.

2. Tempat parkir khusus adalah tempat untuk memarkir kendaraan meliputi pelataran parkir dan gedung parkir disediakan oleh swasta atau instansi bukan pemerintah daerah. (Anonim, 1993 : 58)

2.2.4.3. Hambatan yang dihadapi dalam pemungutan retribusi parkir di Kota Surabaya

Keberhasilan pemerintah kota Surabaya dalam meningkatkan penerimaan pendapatan daerahnya dapat dikatakan sangat mengembirakan karena selalu terdapat peningkatan dari tahun ke tahun. Keadaan yang demikian ini bukan berarti usaha yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya tidak menemui hambatan dan rintangan sama sekali. Pemerintah daerah kotamadya Surabaya menghadapi berbagai hambatan dalam usahanya meningkatkan penerimaan daerahnya, dalam hal ini retribusi parkir. Hambatan tersebut antara lain :

A. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar retribusi parkir khususnya penggunan parkir. Ini disebabkan kurangnya pengertian masyarakat tentang fungsi retribusi parkir yang masuk Pendapatan Asli Daerah yang pada akhirnya untuk kemajuan pembangunan.


(40)

B. Sanksi atas penyimpangan pelaksanaan pemungutan retribusi parkir yang telah ditentukan menurut peraturan perundang-undangan seringkali sulit dilaksanakan karena berbagai hal, antara lain :

1 Kurangnya tenaga atau personel pelaksanaan dan pengawasan

2 Kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan pungutan retribusi parkir

3 Kurang baiknya pelayanan yang diberikan oleh para petugas parkir sehingga dapat menimbulkan keengganan pada masyarakat atau menimbulkan sikap negatif

4 Biaya pemungutan lebih besar dari nilai yang telah ditentukan bila dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. (Anonim, 1993 : 55)

2.2.5. Pendapatan Perkapita

2.2.5.1. Pengertian Pendapatan Perkapita

Dalam segi perekonomian factor-faktor produksi dibedakan menjadi empat golongan yaitu : tanah, tenaga kerja, modal, skill, apabila keempat factor produksi tersebut digunakan dalam proses produksi akan diperoleh pendapatan, yaitu tanah dan harta tetap lainnya memperoleh sewa, tenaga kerja memperoleh upah/gaji, modal mendapatkan bunga, dan keahlian atau skill.

Asumsi yang ada pada masyarakat mengenai pendapatan adalah jumlah seluruh uang yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu. Pendapatan juga didefinisikan sebagai hasil yang


(41)

berupa gaji dan upah, yang diterima oleh para pekerja sebagai kompensasi atas pekerjaan yang telah dilakukannya dan dapat dipergunakan untuk konsumsi. (Samuelson, 1993 : 258)

Pendapatan penting bagi setiap orang dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, semakin tinggi pendapatan seseorang maka banyak pula kebutuhan hidup sehari-hari yang dapat terpenuhi. Oleh karena itu sering negara berusaha meningkatkan pendapatan masyarakat karena secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan nasional, karena pendapatan nasional sampai sekarang ini tetap dianggap sebagai penyebab politik ekonomi. Salah satu tujuan masyarakat dan negara kita dibidang perekomian adalah keadilan dan kemakmuran untuk mencapai tujuan tersebut kita membuat rencana dan melaksanakan pembangunan berjangka, factor-faktor yang mempengaruhi tingginya kemakmuran dapat dilihat dari sector pendapatan negara. Pendapatan nasional merupakan salah satu cara mengukur kemakmuran suatu negara atau wilayah tertentu. Oleh sebab itu cara-cara untuk meningkatkan kemakmuran negara adalah menaikkan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita.

Pendapatan perkapita seringkali digunakan pula sebagai indicator pembangunan, selain untuk membedakan antara negara-negara maju dan Negara Sedang Berkembang. (Anonim,1994 : 23)

Yang dimaksud dengan pendapatan perkapita adalah pendapatan rata-rata setiap jiwa dalam satu wilayah atau daerah yang diperoleh dengan cara


(42)

membagi jumlah total produksi barang dan jasa yang dihasilkan penduduk atau dapat dirumuskan sebagai berikut :

Pendapatan Perkapita Penduduk =

Penduduk Jumlah

PDRB

(Sukirno, 1993 : 23)

Dimana :

PDRB (Produk Domesrik Regional Bruto) adalah total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Jumlah penduduk adalah banyaknya jumlah yang menetap di suatu wilayah atau daerah tertentu selama minimal 60 hari berturut-turut atau berada di suatu wilayah dalam jangka waktu yang lama atau tidak dapat ditentukan.

Dari pengertian diatas, maka kesimpulan dari pendapatan perkapita adalah sebagai berikut:

A) pendapatan perkapita adalah pendapatan rata-rata setiap jiwa dalam satu wilayah atau daerah

B) Pendapatan perkapita penting bagi setiap orang dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, semakin tinggi pendapatan seseorang maka banyak pula kebutuhan hidup sehari-hari yang dapat terpenuhi. Oleh karena itu sering negara berusaha meningkatkan pendapatan masyarakat karena secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan nasional, karena pendapatan nasional sampai sekarang ini tetap dianggap sebagai penyebab politik ekonomi.


(43)

2.2.5.2. Fungsi Pendapatan Perkapita

Tingkat perkembangan pendapatan perkapita yang dicapai sering kali digunakan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan suatu negara dalam mencapai cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat.

Disamping itu, pendapatan perkapita mempunyai beberapa kegunaan lain. Dua diantara lainnya yang penting adalah :

1 Untuk membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat

2 Untuk membandingkan laju perkembangan ekonomi yang dicapai oleh berbagai negara di dunia ini dari masa ke masa.

Dalam menggunakan data pendapatan perkapita sebagai bahan untuk menjadi dasar perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan lajunya pembangunan ekonomi berbagai negara, nilai pendapatan perkapita tidak lagi dinyatakan dalam nilai mata uang negara itu sendiri, tetapi dinyatakan dalam mata uang dollar Amerika Serikat, dan selalu digunakan nilai tukar resmi diantara mata uang negara yang bersangkutan dengan dollar Amerika Serikat tersebut. Data pendapatan perkapita dari berbagai negara yang telah dinyatakan dalam Dollar Amerika Serikat tersebut selanjutnya diperbandingkan untuk menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi diantara penduduk negara-negara tersebut. Kalau yang diinginkan adalah membandingkan tingkat laju pembangunan ekonomi pada suatu jangka waktu tertentu. Untuk setiap negara paling sedikit harus tersedia data pendapatan perkapita dari tahun permulaan dan tahun terakhir dari jangka masa tertentu. (Sukirno, 1993 : 23)


(44)

2.2.6. Tingkat Inflasi 2.2.6.1. Definisi Inflasi

Nopirin (2000 : 25) definisi sederhana mengenai inflasi dinyatakan

bahwa inlasi merupakan proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus selama periode tertentu. Apabila kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) atau pada suatu saat tertentu dan hanya sementara belum tentu menimbulkan inflasi.

Boediono (2001 : 155), Inflasi adalah Kecenderungan dari

harga-harga untuk naik secara terus menerus.

Dari pengertian diatas tersebut, maka dapat disimpulkan pengertian inflasi adalah sebagai berikut:

A) Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus selama periode tertentu.

B) Inflasi menimbulkan tingkat bunga meningkat dan mengurangi investasi. Dengan adanya inflasi, maka tingkat bunga meningkat, sehingga akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan menurun. Faktor-faktor yang dapat mendorong kenaikan harga dan menimbulkan inflasi antara lain :

1. Pemerintah terlalu berambisi untuk menyerap sumber-sumber ekonomi lebih besar daripada sumber-sumber ekonomi yang dapat dilepaskan oleh pihak bukan pemerintah pada tingkat harg a yang berlaku.


(45)

2. Masyarakat berusaha memperoleh tambahan pendapatan relatif lebih besar daripada kenaikan produktifitas mereka.

3 Permintaan barang-barang dan jasa naik lebih cepat daripada tambahan keluaran (output).

4 Adanya kebijakan pemerintah baik yang bersifat ekonomi atau non ekonomi yang mendorong kenaikan harga-harga.

5 Pengaruh alam yang dapat mempengaruhi produksi dan kenaikan harga.

6 Pengaruh inflasi Luar Negeri, ini terlihat melalui pengaruhnya terhadap harga barang-barang impor. (Insukindro 1996 : 2-3)

2.2.6.2. Penggolongan Inflasi

A. Penggolongan yang didasarkan atas besarnya laju inflasi dibagi dalam tiga kategori :

1. Inflasi Merayap (Creeping Inflation)

Ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10 per tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka relatif lama.

2. Inflasi Menengah (Galloping Inflation)

Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (biasanya double digit atau bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya,


(46)

harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya.

3. Inflasi Tinggi (Hyper Inflation)

Merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Pertukaran uang makin cepat dan harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul akibat pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang ditutupi dengan mencetak uang. (Nopirin, 2000 : 27)

B. Penggolongan yang didasarkan atas parah tidaknya inflasi tersebut, dibagi dalam beberapa macam inflasi, yaitu :

1. Inflasi Ringan (dibawah 10% per tahun) 2. Inflasi Sedang (antara 10-30% per tahun) 3. Inflasi Berat (antara 30-100% per tahun) 4. Hyperinflasi (diatas 100% per tahun) C. Macam inflasi berdasarkan asal inflasi :

1. Domestic Inflation

Adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri misalnya karena defisit anggaran belanja yang biasanya dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya.


(47)

2. Imported Inflation

Adalah inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi ini timbul karena kenaikan harga di luar negeri atau di negara-negara langganan berdagang dalam negeri. (Boediono, 2001 : 158)

D. Jenis inflasi menurut sebabnya, dibedakan menjadi dua macam yaitu :

1.Inflasi Tarikan Permintaan (Demand-pull Inflation)

Inflasi ini timbul karena dalam Negeri (baik masyarakat maupun pemerintah) akan berbagai barang sangat kuat dan besar, melebihi keluaran (output) yang ada dalam perekonomian tersebut. Kedaan ini terjadi misalnya pengeluaran pemerintah meningkat dan dibiayai dengan pencetakan uang. Kebijakan tersebut akan mengakibatkan naiknya harga barang-barang dan dengan sendirinya akan mengakibatkan laju inflasi.

Gambar 2 : Terjadinya Demand Pull Inflation 

      Harga      D2      S 

       P2       D1              P1      D2        D 1         

      Q1      Q2      Output       Sumber : Boediono, 2001, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro,  

        Penerbit BPFE UGM,Yogyakarta, Halaman 156.   


(48)

Sebagaimana  dalam  gambar  perekonomian  dimulai  pada  P1  dan 

tingkat output riil dimana (P1,Q1) berada pada perpotongan antara kurva 

permintaan D1 dan kurva penawaran S. Kurva permintaan bergeser keluar 

D2 pergeseran seperti itu dapat berasal dari faktor kelebihan pengeluaran 

permintaan. 

Pergeseran kurva permintaan menaikkan output riil (dari Q1 ke Q2) 

dan tingkat harga (dari P1 ke P2) maka inilah yang disebut demand pull 

inflation (inflasi tarikan permintaan) yang disebabkan penggeseran kurva  permintaan menarik keatas tingkat harga dan menyebabkan inflasi.  

2. Inflasi Dorongan Penawaran (Cost push Inflation)

Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan turunnya produksi. Jika proses ini berjalan terus maka timbullah cost push inflation. (Nopirin, 2000 :30)

 Gambar 3 :Terjadinya Cost Push Inflation 

       Harga      S2        P2       S1        P1 

      D        

     Q1         Q2      Output 

  Sumber : Boediono, 2001, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro,           Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta, Halaman 157.   


(49)

  Pada gambar diatas bahwa bila ongkos produksi naik (misalnya  kenaikan sarana produksi naik dari luar negeri atau karena harga bahan  bakar minyak) maka kurva penawaran masyarakat bergeser dari S1 ke S2, 

harga tentu saja naik dan menyebabkan inflasi dorongan biaya.   

2.2.6.3. Cara Mengatasi Inflasi

Cara mengatasi inflasi dapat dilakukan melalui beberapa kebijaksanaan antara lain :

A. Kebijaksanaan Moneter

Sasaran kebijaksanaan moneter di capai melalui jumlah yang beredar. Uang diatur oleh bank sentral melalui cadangan minimum yang dinaikkan agar jumlah uang menjadi lebih kecil sehingga dapat menekan laju inflasi. B. Kebijaksaan Fiskal

Menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat mempengaruhi harga kebijaksanaan fiskal yang berupa pengurangan, pengeluaran pemerintah serta kenaikkan pajak akan dapat mengurangi permintaan total sehingga inflasi dapat ditekan. Pajak di masa inflasi dapat di gunakan untuk mencegah atau menghambat inflasi, atau dapat digunakan untuk memberikan proteksi terhadap produksi dalam negeri.


(50)

C. Kebijaksanaan dan yang berkaitan dengan output

Kenaikkan jumlah output dapat dicapai dengan kebijaksanaan penurunan bea masuk sehingga impor harga cenderung meningkat dan menurunkan harga, dengan demikian kenaikkan output dapat memperkecil inflasi.

D. Kebijaksanaan penentuan harga dan indexing

Kebijaksanaan ini dilakukan dengan celling harga serta berdasarkan pada index harga tertentu untuk gaji atau upah. (Anonim, 1999 : 10)

2.2.7. Jumlah Tempat Hiburan 2.2.7.1. Pengertian Tempat Hiburan

Hiburan adalah segala jenis pertunjukan, permainan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran.

Tempat Hiburan merupakan sarana yang disediakan dengan berbagai jenis hiburan dan fasilitas didalamnya, sesuai dengan yang diinginkan bagi setiap orang yang membutuhkan hiburan. Atau bisa diartikan suatu tempat dimana orang atau masyarakat akan memperoleh kesenangan, hiburan untuk mengisi liburan, menghilangkan kepenatan dan kejenuhan karena kesibukan dalam bekerja (refresing).


(51)

Pemerintah provinsi sebagai daerah otonom, telah memberikan wewenang yang lebih luas kepada Kabupaten / Kota untuk mengatur dan mengembangkan potensi dan sumber daya yang ada di daerah, termasuk diantaranya wewenang pengaturan dalam bidang / sector kepariwisataan.

Dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya khususnya Dinas Pariwisata memiliki tugas sebagai pembina terhadap obyek-obyek wisata di Surabaya membutuhkan respon balik yang positif dalam mensosialisasikan Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Walikota tentang usaha kepariwisataan.

Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum di Kota Surabaya dari waktu ke waktu telah menunjukkan perkembangan yang signifikan dengan bertumbuhnya jumlah tempat-tempat hiburan seperti Karaoke Keluarga, Karaoke Dewasa, Salon, Acara Musik atau Konser musik Gelanggang permainan dan lain-lain. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga diharapkan dapat berlangsung secara bertahap dan mencapai sasaran yang optimal. (Anonim, 2004 : 5-6)

2.2.7.2. Subyek Pajak Hiburan

Subyek pajak hiburan dalam arti yang menanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang menonton atau menikmati hiburan. Secara sederhana subyek pajak adalah konsumen yang menikmati hiburan. Dengan demikian setiap konsumen, selain membayar tiket hiburan, diwajibkan pula membayar Pajak Hiburan kepada penyelenggara.


(52)

2.2.7.3. Obyek Pajak Hiburan

Obyek Pajak Hiburan adalah Penyelenggaraan hiburan atau tempat hiburan itu sendiri dengan dipungut bayaran.

Obyek Pajak Hiburan meliputi berbagai Jenis Hiburan. Dengan demikian, Obyek Pajak Hiburan meliputi :

A. Pertunjukan Film;

B. Pertunjukan Kesenian;

C. Pertunjukan Pagelaran;

D. Penyelenggaraan Diskotik, musik hidup, karaoke, klab malam, ruang musik, balai gita (singing hall), pub, ruang selesa musik, klub eksekutif, dan sejenisnya.

E. Permainan Bilyard, Bowling;

F. Permainan Ketangkasan, termasuk mesin keping dan sejenisnya;

G. Panti Pijat, mandi uap, usaha Kebugaran jasmani;

H. Pertandingan Olah Raga;

I. Penyelenggaraan tempat-tempat Wisata, taman rekreasi, seluncur, kolam pemancingan, kolam renang, pasar malam, sirkus dan sejenisnya;

J. Rental kaset VCD dan sejenisnya;


(53)

Pada beberapa daerah, obyek pajak hiburan diperluas menjadi termasuk pelayanan yang disediakan pada tempat hiburan, termasuk penjualan makanan dan minuman.

Pada Pajak Hiburan, tidak semua penyelenggaraan hiburan dikenakan pajak. Yaitu penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, dan kegiatan keagamaan. (Siahaan, 2005 : 300)

Dalam pemungutan Pajak Hiburan, dengan semakin bertambah dan banyaknya tempat hiburan yang ada di Surabaya, yang menjadi obyek pajak atau Jumlah Tempat Hiburan yang kena pajak. Maka diharapkan potensi pemungutan terhadap Pajak Hiburan akan semakin besar pula, yang berarti bahwa penerimaan pajak untuk Kota Surabaya akan semakin besar, tentu saja hal tersebut akan menyebabkan pendapatan pajak untuk Kota Surabaya ikut meningkat.

2.3. Kerangka Pikir

Pajak adalah peralihan kekayaan dari sector swasta ke sector pemerintah, berdasarkan peraturan-peraturan yang dapat dipaksakan dan mengurangi income anggota masyarakat yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Titik berat atau fokus pemanfaatan pajak selalu berbeda dari waktu ke waktu. Reformasi perpajakan tahun 2000 ditempuh sebagai upaya mengoptimalkan potensi pajak dalam menopang


(54)

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara periode tahun 2000 dan seterusnya. ( Soemitro R 1992 : 53)

Penerimaan Pajak Hiburan dapat diartikan sebagai pemasukan keuangan dari wajib pajak kepada pemerintah daerah yang digunakan sebagai sumber pembangunan daerah. Penerimaan pajak hiburan diharapkan setiap tahunnya mengalami peningkatan,karena Pajak Hiburan telah memberikan sumbangan terbesar bagi penerimaan Pendapatan Daerah. Dimana dalam penerimaan Pajak Hiburan ini dipengaruhi oleh variabel pendapatan perkapita, tingkat inflasi dan jumlah tempat hiburan.

Retribusi Parkir adalah pungutan yang dikenakan atas penyediaan jasa pelayanan parkir bagi bagi kendaraan angkutan orang atau barang yang memanfaatkan parkir di tepi jalan umum atau tempat khusus parkir. Dimana dalam penerimaan Retribusi Parkir ini juga dapat dipengaruhi oleh variabel pendapatan perkapita, tingkat inflasi, jumlah tempat hiburan.

( Anonim, 1998 : 5 )

Dalam penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota Surabaya, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pendapatan perkapita, tingkat inflasi, dan jumlah tempat hiburan

Faktor yang pertama adalah pendapatan perkapita, dimana Pendapatan perkapita seringkali digunakan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat. Apabila jumlah pendapatan perkapita meningkat maka frekuensi kemampuan masyarakat untuk mengunjungi tempat hiburan


(55)

dan membayar retribusi parkir akan meningkat juga, sehingga pada akhirnya penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir juga meningkat. (Soemarso,

1998 : 337)

Faktor yang kedua adalah tingkat inflasi, dimana Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara terus menerus dalam periode tertentu. Apabila terjadi inflasi maka biaya-biaya umum (harga beras, bahan bakar, tingkat upah, harga tanah, sewa barang-barang modal dan lain sebagainya) akan mengalami kenaikan maka penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir akan menurun, maksudnya kenaikan tingkat inflasi akan mengakibatkan menurunnya pendapatan riil masyarakat sehingga bila pendapatan riil menurun maka masyarakat akan cenderung hanya memenuhi kebutuhan primernya saja, sehingga menyebabkan turunnya penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir. Sebaliknya apabila inflasi turun maka harga-harga barang ikut turun, sehingga masyarakat mampu untuk pergi ke tempat hiburan, tentunya hal ini akan mempengaruhi Penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya. (Samuelson, 1993 : 296)

Faktor yang ketiga adalah jumlah tempat hiburan, dimana semakin banyak dan bertambahnya jumlah, tempat dan jenis hiburan di Daerah atau Wilayah Kota Surabaya, maka akan mempengaruhi obyek pajak untuk mengunjungi tempat-tempat hiburan yang akan semakin meningkatkan potensi penerimaan Pajak Hiburan di daerah Kotamadya Surabaya. Hal ini terkait juga dengan kewajiban perpajakan, yaitu penyelenggara hiburan


(56)

tersebut merupakan wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban perpajakan di bidang pajak hiburan. (Siahaan, 2005 : 301)

Gambar 1: Kerangka pikir .

Pendapatan  Kemampuan 

Perkapita  Mengunjungi 

Sumber : Peneliti

Keterangan :

Sumber : Peneliti Keterangan :

Apabila jumlah pendapatan perkapita meningkat maka kebutuhan primer masyarakat dapat terpenuhi, sehingga kemampuan masyarakat untuk mengunjungi tempat hiburan dan membayar retribusi parkir akan meningkat juga serta pada akhirnya penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di Surabaya juga meningkat.

Tingkat Inflasi   (X2) 

(X1) 

Jumlah tempat  Hiburan 

(X3) 

Tempat hiburan 

Penerimaan Pajak  Hiburan (Y )1  

Pendapatan   

riil 

Retribusi Parkir  (Y )2  

Obyek Pajak   


(57)

Apabila inflasi turun akan mengakibatkan naiknya pendapatan riil masyarakat sehingga kebutuhan primer masyarakat dapat terpenuhi maka akan meningkatkan penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota Surabaya.

Apabila semakin strategis atau semakin baik suatu tempat hiburan maka akan semakin banyak atau semakin tertarik orang untuk mengunjunginya. Karena bila semakin banyak orang yang ingin mengunjungi tempat hiburan maka akan semakin banyak obyek pajak. Dengan semakin tingginya obyek pajak tentu akan menambah penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota Surabaya.

2.4. Hipotesis

Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan hipotesis yang merupakan kesimpulan sementara terhadap permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Diduga pendapatan perkapita, tingkat inflasi dan jumlah tempat hiburan berpengaruh terhadap penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di Kota Surabaya.

2. Diduga variabel pendapatan perkapita mempunyai pengaruh paling dominan terhadap variabel penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di Kota Surabaya.


(58)

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional dan pengukuran variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada variabel dengan cara memberi arti atau spesifikasi kegiatan yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Definisi operasional dan pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

A. Variabel Terikat (Independent Variable) 1. Y1 Yaitu Penerimaan Pajak Hiburan

Merupakan tingkat penerimaan pajak hiburan Kota Surabaya, dimana yang dikenakan terhadap semua pembayaran dari sector hiburan, dimana segala jenis hiburan yang penyelenggaraannya dipungut bayaran (yang menjadi obyek pajak) sebagai penanggung pajak yang menyetorkan ke kas Pemereintah Daerah Kota Surabaya. Jumlah penerimaan pajak hiburan ini dihitung dalam satuan rupiah.

2. Y2 Yaitu Retribusi Parkir

Merupakan pembayaran atau imbalan jasa atas penggunaan tempat-tempat parkir yang dikelola oleh pemerintah daerah, sedangkan yang dimaksud dengan tempat parkir disini adalah tempat yang ditentukan dan diijinkan oleh kepala daerah sebagai wilayah atau fasilitas umum tempat parkir. Jumlah retribusi parkir ini dihitung dalam satuan rupiah.


(59)

B. Variabel Bebas (Independent Variable)

Merupakan variabel yang dapat mempengaruhi variabel terikat / variabel yang dapat berdiri sendiri yaitu :

1. X1 = Pendapatan Perkapita

Adalah rata-rata pendapatan masyarakat yang diperoleh dari jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dibagi dengan jumlah penduduk. Jumlah pendapatan perkapita dihitung dalam satuan (Rupiah).

2. X2 = Tingkat Inflasi

Adalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok secara terus menerus pada periode tertentu di Kota Surabaya. Inflasi dihitung dalam satuan prosentase selama setahun (%)

3. X3 = Jumlah Tempat Hiburan

Adalah banyaknya suatu tempat dimana orang atau masyarakat kota Surabaya akan memperoleh kesenangan, menghilangkan kepenatan dan kejenuhan karena kesibukan dalam bekerja (refresing). Jumlah Tempat Hiburan dihitung dalam satuan (Unit).

3.2. Teknik Penentuan Sampel

Sampel data yang akan digunakan adalah data berkala (time series data) dalam periode selama 15 tahun yaitu dari tahun 1994 – 2008.


(60)

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari badan pusat statistik Surabaya dan perpustakaan pusat UPN ”Veteran” Jawa Timur..

Pengumpulan dapat dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dihasilkan dari studi-studi literatur serta data-data sekunder yang didapat dari instansi-instansi terkait dengan penelitian, dalam hal ini Badan Statistik Surabaya.

3.4. Teknik Analisis Dan Uji Hipotesis 3.4.1. Teknik Analisis

Dalam menguji hipotesis pengaruh pendapatan perkapita, tingkat inflasi dan jumlah tempat hiburan terhadap penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota Surabaya, maka dilakukan analisis dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Melakukan analisis regresi untuk menentukan arah dan besarnya pengaruh pendapatan perkapita, tingkat inflasi dan jumlah tempat hiburan terhadap penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota Surabaya, menggunakan model matematika sebagai berikut:

Y = f (X1, X2, X3)……… (Supranto, 2001 : 25) Dimana :

Y1 = penerimaan pajak hiburan Y2 = retribusi parkir X1 = pendapatan perkapita


(61)

X2 = tingkat inflasi

X3 = jumlah tempat hiburan

Bentuk dasar tersebut kemudian dapat ditentukan model yang lebih akurat. Model tersebut adalah regresi berganda penerapan beberapa model baik linier maupun non linier.

Y = 0 + 1 X1, +2 X2,+3 X3,  ..………… (Sulaiman, 2004 : 80) Dimana :

Y1 = penerimaan pajak hiburan Y2 = retribusi parkir

0 = Konstanta

1-3 = Koefisien regresi X1 = pendapatan perkapita X2 = tingkat inflasi

X3 = jumlah tempat hiburan

 = Variabel pengganggu.

Adapun untuk mengetahui apakah model analisis tersebut cukup layak digunakan dalam pembuktian selanjutnya dan untuk mengetahui sampai sejauh mana variabel-variabel bebas mampu menjelaskan variabel terikat, maka perlu untuk mengetahui nilai R2 (koefisien determinasi) dengan menggunakan formula sebagai berikut:

Dimana :

R2 =

Total J

gresi Re J

K K


(62)

Dimana :

R2 = Koefisien determinasi JK = Jumlah kuadrat

3.4.2 Uji Hipotesis

A. Melakukan uji F untuk melihat significant tidaknya pengaruh variabel-variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel-variabel terikat. Dengan langkah pengujian sebagai berikut:

1. Merumuskan Hipotesis

H0 : 1 = 2 = 3 = 0 …. tidak ada pengaruh/tidak signifikan H0 : 1 2 3  0 …. ada pengaruh/tidak signifikan 2. Menentukan Level of Significant (a) sebesar 5%.

3. Menghitung nilai Fhitung dengan Ftabel dengan ketentuan sebagai berikut: derajat bebas pembilang adalah k dan derajat bebas penyebut adalah (n – k – 1) dengan confident interval sebesar 95%. Keterangan:

n = jumlah sample

k = jumlah parameter regresi

a) Apabila Fhitung > Ftabel maka Ho ditolak Hi diterima, artinya secara simultan variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.

b) Apabila Fhitung < Ftabel maka Ho diterima Hi ditolak, artinya secara simultan variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.


(63)

Gambar 2. Kurva Distribusi/Penerimaan Hipotesis Secara Simultan

Ho ditolak Ho diterima

T tabel

Sumber : Supranto, 2001, Ekonometrik, Buku Satu, FEUI, Jakarta hal. 152. 

B. Melakukan uji untuk menguji tingkat significant pengaruh beberapa variabel secara parsial. Dengan menggunakan langkah-langkah:

1. Merumuskan hipotesis

H0 : 1 = 2 = 3 = 0 …. tidak ada pengaruh H0 : 1 2 3  0 …. ada pengaruh

2. Menentukan Level of Significant (a) sebesar 5%.

3. Menghitung nilai thitung dengan menggunakan persamaan:

) ( Se t

1 1 hitung

 

……….….. (Sulaiman, 2004 : 87)

Dengan keterangan:

1 = Koefisien regresi variabel Se = Standart Error koefisien regresi

4. Membandingkan thitung > ttabel Ho ditolak dan Hi diterima, yang artinya 95% kaidah keputusannya adalah:

a Bila thitung > ttabel maka Ho ditolak Hi diterima, yang artinya ada pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat.


(64)

b Bila thitung < ttabel maka Ho diterima dan Hi ditolak, yang artinya tidak ada pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Gambar 3. Kurva Distribusi Penolakan/Penerimaan Hipotesis Secara Simultan

Daerah Penolakan  Daerah Penolakan  (Ho) 

(Ho)

Daerah  Permintaan Ho

t

‐ ttabel  tabel

Sumber : Supranto, 2001, Ekonometrika, Buku Satu, FEUI, Jakarta hal. 152. C. Uji BLUE (Best Linier Unbiased Estimator)

Persamaan regresi harus bersifat BLUE artinya pengambilan melalui uji F dan uji t tidak boleh bias. Tetapi untuk melaksanakan operasi Regresi linier tersebut diperlukan asumsi yang harus dipenuhi:

a. Tidak terjadi auto korelasi. b. Tidak terjadi heterokedastisitas. c. Tidak terjadi multikolinearitas.

1. Autokorelasi

Autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi yang antara anggota observasi yang terletak berderetan secara dalam bentuk waktu (jika datanya time series) atau korelasi antara tempat yang berderetan atau berdekatan kalau datanya cross sectional. (Gujarati, 1993 : 201).

Metode Durbin Watson dalam mendeteksi autokorelasi menggunakan rumus:


(65)

     

 t N

1 t 2 t N t 2 t 2 1 t t e ) e e ( d Keterangan:

d : Nilai Durbin Watson et : Residual pada waktu ke – t

et – 1 : Residual pada waktu ke t – 1 (satu periode sebelumnya)

n : Banyaknya data

Gambar 4. Daerah Keputusan Uji Durbin Watson

Sumber: Gujarati, 1995, Basic Ekonometrik Edisi ke-3, Hal. 216.

2. Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah adanya hubungan yang sempurna antara sempurna antara semua atau beberapa variabel eksplanatori dalam model regresi yang dikemukakan (Gujarati, 1995 : 157)

Tidak ada  Autokorelasi Positif 

dan Negatif    Daerah Keragu‐

raguan  

Daerah Keragu‐ raguan   Ada  Autokorelasi  Positif  Ada  Autokorelasi  Negatif 


(66)

Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilihat dengan ciri-ciri : a) Kolinerity sering ditandai dengan nilai R2 yang tinggi.

b) Koefisien korelasi sederhana tinggi. c) Nilai Fhitung tinggi (signifikan).

3. Heterokedastisitas

Pada regresi linier nilai residual tidak boleh ada hubungan dengan variabel bebas. Hal ini bisa diketahui berdasarkan pengujian korelasi Rank Spearman antara residual dengan seluruh variabel bebas.

Rumus rank Spearman adalah :

) 1 N ( N

d 6 1

r 2

2 i 8

 

……… (Gujarati 1995 : 177).

Dimana :

di = Perbedaan rank antara residual dengan variabel bebas ke-1 N = Banyaknya data


(67)

4.1. Deskripsi Obyek Penelitian 4.1.1. Kondisi Geografis

Secara geografis Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya terletak antara 7° 21’ Lintang selatan dan 112° 36’ Lintang Selatan sampai dengan 112° 54’ Bujur Timur. Wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 – 6 meter diatas permukaan laut, kecuali di sebelah selatan yang mencapai daerah Llidah dan Gayungan

Adapun batas – batas wilayah kota Surabaya adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Selat Madura

b. Sebelah Timur : Selat Madura c. Sebelah Selatan : Kabupaten Sidoarjo d. Sebelah Barat : Kabupaten Gresik

Luas wilayah seluruhnya kurang lebih 326,36 KM² yang terbagi dalam 5 wilayah pembantu Walikotamadya,28 wilayah kecamatan dan 163 Desa/Kelurahaan, secara administrative 5 wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya yaitu:

a. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya pusat meliputi kecamatan Tegalsari, kecamatan Bubutan, kecamatan Genteng, kecamatan Siwalankerto. b. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya utara meliputi kecamatan

Semampir, kecamatan Krembangan, kecamatan Kenjeran, kecamatan Pabean Cantikan.


(68)

Rungkut, kecamatan Tambak Sari, kecamatan Mulyorejo, kecamatan Gunung Anyar, kecamatan Tenggilis Mejoyo.

d. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya selatan meliputi kecamatan Gayungan , kecamatan Jambangan , kecamatan Wonocolo, kecamatan Wonokromo, kecamatan Sawahan, kecamatanDukuh Pakis, kecamatanWiyung,dan kecamatan Karang Pilang

e. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya Barat meliputi kecamatan Tandes, kecamatan Suko Manunggal, kecamatan Asem Rowo , kecamatan Benowo, kecamatan Lakarsantri.

4.1.2. Kependudukan

Kota Surabaya merupakan kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi setelah DKI Jakarta yang merupakan ibukota Negara Indonesia dimana jumlah penduduk kota Surabaya pada tahun 1998 mencapai 2.373.282 jiwa, yang terdiri dari 1.184834 laki – laki dan 1.188448 perempuan.

Tingkat kepadatan penduduk yang terjadi di kota Surabaya di sebabkan dengan adanya beberapa factor, yaitu :

a. Faktor Geografis dan letak strategis

Surabaya merupakan gerbang utama bagi kawasan Indonesia bagian Timur, memiliki posisi penting dan fasilitas yng menunjang bagi kegiatan perekonomian seperti perdagangan Retribusi Parkir, perhubungan, dan perbankan.


(69)

Pertumbuhan dan perkembangan baik Retribusi Parkir besar, sedang, kecil, maupun Retribusi Parkir kerajinan tangan merupakan daya tarik tersendiri bagi arus penyebaran urbanisasi. Hal ini dapat diketahui bahwa wilayah kecamatan yang banyak memiliki Retribusi Parkir, tingkat kepadatan penduduk lebih besar di bandingkan dengan wilayah yang jarang Retribusi Parkirnya. Dengan besarnya jumlah penduduk akan mempengaruhi terhadap jumlah tenaga kerja yang tersedia di masyarakat, yang perlu di tampung pada berbagai sector ekonomi.

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian

Deskripsi hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang data- data serta perkembangan Penerimaan Pajak Hiburan, Retribusi Parkir sehingga dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi terhadap perkembangan Pendapatan Perkapita , Tingkat Inflasi , dan Tempat Hiburan .

4.2.1. Perkembangan Penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir

Perkembangan Penerimaan Pajak Hiburan, dan Retribusi Parkir, dari tahun ke tahun mengalami fluktuatif. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 yang menjelaskan bahwa pada tahun 1994 sampai 2008, Penerimaan Pajak Hiburan terbesar pada tahun 2008 sebesar Rp.14.163.716.352 dan Penerimaan Pajak Hiburan yang terendah yaitu pada tahun 2000 sebesar Rp.5.043.583.000, Perkembangan Penerimaan Pajak Hiburan terbesar terjadi pada tahun 2001 sebesar 35,61 % dan terendah sebesar -14,19 % terjadi pada tahun 2000, Retribusi Parkir terbesar pada tahun 2008 sebesar Rp.7.683.521.700 dan yang terendah yaitu pada tahun 2000


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Setelah dilakukan uji statistik untuk mengetahui pengaruh secara simultan antara variabel bebas Pendapatan Perkapita (X1), Inflasi (X2), dan Jumlah Tempat Hiburan (X3), terhadap variabel terikatnya Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2) diperoleh F hitung > F tabel maka Ho ditolak dan Hi diterima, yang berati bahwa secara keseluruhan faktor-faktor variabel bebas berpengaruh secara simultan dan nyata terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2).

ya (Y2).

2. Pengujian secara parsial atau individu Pendapatan Perkapita (X1) terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2). Diketahui hasil perhitungan secara parsial diperoleh t hitung > t tabel , maka Ho ditolak dan Hi diterima pada level signifikan 5 % sehingga secara parsial Pendapatan Perkapita (X1) berpengaruh secara nyata dan positif terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Suraba


(2)

73

3. Pengujian secara parsial atau individu Inflasi (X2) terhadap Penerimaan Pajak Hiburan Kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir Kota Surabaya (Y2). Diketahui hasil perhitungan secara parsial diperoleh t hitung < t tabel, maka Ho diterima dan Hi ditolak, pada level signifikan 5 % sehingga secara parsial Inflasi (X2) tidak berpengaruh secara nyata positif terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2).

4. Pengujian secara parsial atau individu Jumlah Tempat Hiburan (X3) terhadap Penerimaan Pajak Hiburan Kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir Kota Surabaya (Y2). Diketahui hasil perhitungan secara parsial diperoleh t hitung < t tabel, maka Ho diterima dan Hi ditolak, pada level signifikan 5 % sehingga secara parsial Jumlah Tempat Hiburan (X3) tidak berpengaruh secara nyata positif terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2).

5. Variabel yang berpengaruh paling dominan diantara tiga variabel bebas terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya dan Retribusi Parkir kota Surabaya : Pendapatan Perkapita (X1), Inflasi (X2), dan Jumlah Tempat Hiburan (X3), dapat diketahui dengan melihat koefisien determinasi parsial yang paling besar, dimana dalam perhitungan ditunjukkan oleh variabel Pendapatan Perkapita dengan koefisien determinasi parsial (r2) sebesar 0,872 atau sebesar 87,2 % untuk Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya dan 0,556 atau sebesar 55,6 % Retribusi Parkir kota Surabaya.


(3)

74

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka berikut ini diketahui beberapa saran sebagai bahan pertimbangan sebagai berikut :

1. Pemerintah daerah maupun Pemerintah pusat dapat memberikan proses perizinan yang tidak rumit agar lebih banyak lagi Investor hiburan maupun pengusaha hiburan untuk menanamkan modalnya dan memperoleh modal dengan mudah. 2. Pemerintah daerah membuat kebijakan terhadap tarif pajak daerah khusus hiburan

untuk meningkatan penerimaan pajak agar para investor hiburan tidak keluar dari daerah Surabaya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agustyarini, Penny, 2003, “Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hiburan Sebagai Salah Satu Pendapatan Daerah Di Kotamadya Surabaya”, Skripsi FE-IESP, UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Anonim, 1993, Ketetapan-ketetapan MPR Republik Indonesia Beserta GBHN Tahun 1993-1998, Penerbit Sinar Wijaya, Surabaya.

______, 1994, Sumber-Sumber Keuangan Daerah, Kantor Badan Pusat Statistik.

______, 1998, UUD 1945, Penerbit Apollo, Surabaya.

______, 1999, Undang-Undang Otonomi Daerah, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

______, 2005, Surabaya Dalam Angka, Badan Pusat Statistik. ______, 2004, Dinas Pariwisata Daerah Surabaya.

Boediono, 2001, Pengantar Ilmu Ekonomi No. 2 Ekonomi Makro, Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Gujarati, Demodar, 1993, Ekonometrika Dasar, Penerbit Erlangga, Jakarta. Halim, Abdul, 2004, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Unit

Penerbit Dan Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta.

Hartanti, 1996, “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Pasar Di Kabupaten Sidoarjo”, Skripsi FE-IESP, UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Inayati, 1994, “Beberapa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penerimaan Retribusi Parkir di Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya”, Skripsi FE-IESP, UPN :Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Insukindro, 1996, Teori Ekonomi Makro I, Penerbit Karunia, Jakarta.

Jusuf, Rimu, 1992, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Penerbit PT. Bina Aksara.


(5)

Munawir, H.S, 1992, Perpajakan, Edisi Keempat, Cetakan Pertama, Penerbit Liberty Yogyakarta

Nasution, 1996, Pajak dan Retribusi Daerah, Penerbit Karunika, Universitas Terbuka, Jakarta.

Nopirin, Ph. D, 2000, Ekonomi Moneter, Buku Dua, Edisi Pertama, Cetakan kesepuluh, Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Pandiangan, Liberty, 2002, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Riduansyah, Muhammad, 2003, Jurnal Penelitian “Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor)”, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta.

Samuelson, Paul A, 1993, Mikro Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Saputra, Gunadi Ragil, 2006, “Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hiburan Sebagai Salah Satu Pendapatan Daerah Di Kota Surabaya”, Skripsi FE-IESP, UPN :Veteran” Jawa Timur, Surabaya. Saragih, Panglima, 2003, Desentralisasi Fiskal Dan Keuangan Daerah Dalam

Otonomi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sjafrizal, 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat, Prisma LP3ES, No 3 Tahun XXVI, 27-42

Siahaan, Marihot. P, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemarso, SR, 1998, Dampak Reformasi Perpajakan 1984 terhadap Efisiensi Sistem Perpajakan Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. XLVI no 3, hal 337-338.

Sofwani, Ahmad; Wahab, Solichin Abdul; Fuad, A.B. Barrul, 1997, Jurnal Penelitian “Mobilisasi Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Rangka Pembangunan Daerah (Studi di Kabupaten Muara Enim)”, FISIP, Unibraw, Malang.


(6)

Sukirno, Sadono, 1993, Ekonomi Pembangunan : Proses, masalah, dan dasar kebijaksanaan, Penerbit Fakultas Ekonomi UI dengan Bima Grafika, Jakarta.

Sulaiman, Wahid, 2004, Analisis Regresi Menggunakan SPSS, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Sumitro, Rohmat, 1992, Asas dan Dasar Perpajakan, Cetakan Kelima, Penerbit PT Eresco, Bandung.

Suparmoko, 2000, Keuangan Negara : Dalam Teori dan Praktek, Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Supranto, 1990, Ekonometrik, Buku Dua, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta.

Waluyo dan B. Ilyas, Wirawan, 2002, Perpajakan Indonesia, Buku Satu, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.