menurunkan motivasi kerja dan kinerja karyawan. Atasan yang mempunyai ketrampilan kecerdasan emosional yang baik, akan mampu membangkitkan
motivasi kerja dan pembenahan diri karyawan yang positif. 2.2. Landasan Teori
2.2.1. Teori Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan hal penting yang dimiliki oleh individu didalam bekerja. Setiap individu pekerja memiliki karakteristik yang berbeda-
beda, maka tingkat kepuasan kerjanya pun berbeda-beda pula. Tinggi rendahnya kepuasan kerja dapat memberikan dampak yang tidak sama. Kepuasan kerja yang
tinggi sangat memungkinkan untuk mendorong terwujudnya tujuan organisasi. Sementara tingkat kepuasan kerja yang rendah merupakan ancaman yang akan
membawa kehancuran organisai segera maupun secara perlahan. Menurut Vroom 1979 dalam Gibson et.al. 2002 terdapat empat teori
pendekatan yang dapat digunakan dalam kepuasan kerja. Adapun teori kepuasan kerja yang pertama kali dikembangkan adalah :
a. Teori pemenuhan kebutuhan Kepuasan kerja akan berbeda-beda secara langsung berkaitan dengan tingkat
kebutuhan individu yang dapat dipuaskan secara aktual Schaffer : 1979 dalam kutipan Gibson et. al.: 2002. Kemudian dikembangkannya;
b. Teori ketidaksesuaian Kepuasan atau ketidakpuasan dengan sejumlah aspek pekerjaan tergantung
pada selisih antara apa yang dianggap telah didapatkan dengan apa yang diinginkan dan karakteristik pekerjaan dimaknai dengan jumlah minimum
Universitas Sumatera Utara
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang ada Locke : 1969 dalam Wexley dan Yukl : 2005.
c. Teori keadilan. Dikatakan adil jika karyawan beranggapan bahwa rasio antara masukan dan
keluaran sepadan dengan rasio karyawan yang lain Wexley dan Yukl : 2005. d. Teori dua faktor.
Faktor pertama yang membuat orang merasa tidak puas dan berkaitan dengan kondisi kerja ekstrinsik yaitu gaji, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, status,
prosedur, mutu penyelia, hubungan antar pribadi dan faktor kedua yang menyebabkan orang puas dan berkaitan dengan kondisi intrinsik meliputi
pencapaian, pengakuan, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kemungkinan berkembang dan tanggung jawab Herzberg Theory dalam Wexley dan Yukl :
2005. Teori Dua Faktor Frederc Herzberg diturunkan atas pembagian hierarki
kebutuhan Maslow menjadi kebutuhan atas dan bawah. Maslow membagi kebutuhan manusia berdasarkan hierarki dari kebutuhan yang paling rendah ke
kebutuhan yang paling tinggi. Kebutuhan manusia menurut Maslow berdasarkan tingkatan adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan
sosial ,
kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Yuwono et. al. 2005 pembagian dua buah atas dan bawah itu
membuat teori Herzberg dikenal orang sebagai two factor theory atau motivator hygiene theory. Kebutuhan tingkat atas pada teori Herzberg yang diturunkan dari
maslow adalah penghargaan dan aktualisasi diri yang disebut sebagai motivator, sedangkan kebutuhan yang lain digolongkan menjadi kebutuhan bawah yang
Universitas Sumatera Utara
disebut sebagai hygiene factor. Prinsip dari teori Herzberg ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menurut
teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yang satu dinamakan Dissatisfier atau hygiene factors dan yang lain dinamakan
satisfier atau motivators.
Schermerhon, Hunt dan Osborn 2002:162 mendefinisikan kepuasan kerja adalah “the degree to which individuals feel positivelyor negatively about their
jobs. It is an attitude or emotional response to one’s tasks as well as to the physical and social conditions of the workplace”. Locke dalam Luthans, 2006 :
243 memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif dan evaluative dan menyatakan bahwa kepuasan kerja
adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Satisfier atau motivators adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi,
pengakuan, wewenang, tanggungjawab dan promosi. Dikatakan tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas, tetapi
kalau ada, akan membentuk motivasi kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh sebab itu faktor ini disebut sebagai pemuas. Hygiene factors adalah
faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, hubungan pribadi, kondisi kerja dan status.
Luthans 2006 : 243 memberikan definisi kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal
yang dinilai penting. Gibson et. al. 2002 menyatakan bahwa kepuasan kerja dihasilkan dari persepsi karyawan terhadap pekerjaannya yang didasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
faktor lingkungan kerja seperti penyelia, prosedur dan kebijakan, afiliasi kondisi kerja dan kelompok kerja serta tunjangan. Kepuasan dipengaruhi oleh beberapa
dimensi, diantaranya adalah:
a. Pembayaran, maksudnya suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayaran.
b. Pekerjaan, maksudnya sampai sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan menerima tanggung jawab.
c. Kesempatan promosi, maksudnya ada peluang untuk mendapatkan kemajuan. d. Penyelia, maksudnya kemampuan untuk memperlihatkan ketertarikan dan
perhatian kepada karyawan. e. Rekan kerja, maksudnya sampai sejauhmana rekan satu kerja berteman,
mampu dan mendukung. Menurut Smith et. al. dalam Luthans 2006 menyatakan faktor-faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu : a. Pekerjaan itu sendiri, artinya suatu pekerjaan dapat memberikan pekerjanya
tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima atau memperoleh tanggung jawab.
b. Gaji, artinya berkenaan dengan pemberian kompensasi yang berupa imbalan uang yang diterima dan sejauhmana keseimbangan bila dibandingkan dengan
rekan kerja yang lain dalam organisasi. c. Promosi, artinya proses pemindahan karyawan dari satu jenjang ke jenjang
lain yang lebih tinggi dan selalu diikuti oleh tugas, tanggung jawab dan wewenang yang lebih tinggi dari jabatan yang diduduki sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
d. Penyelia, artinya perhatian terhadap karyawan yang diukur berdasarkan seberapa besar penyelia mementingkan kepentingan individu dalam
kesejahteraan karyawan. e. Kerjasama, artinya saling mendukung antar rekan kerja yang ramah dan
mudah bekerjasama yang merupakan sumber kesederhanaan. 2.2.2. Teori Komitmen Organisasi
Spector 2000 menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah deskrispi individu yang mengidentifikasikan dirinya dan dilibatkan dengan organisasinya
dan tidak ingin meninggalkan organisasinya. Robbins dan Judge 2007 mendefinisikan komitmen sebagai suatu
keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya dalam organisasi. Begitu
juga dengan Mathis dan Jackson dalam Sopiah, 2008 : 155 mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau
menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya.
Mowday dalam Sopiah, 2008 : 155 menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional yaitu dimensi perilaku penting yang
dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan. Komitmen organisasional adalah identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat
terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan
bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Lincoln dalam Sopiah, 2008 : 155 komitmen organisasi mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota dan kemauan anggota pada organisasi.
Blau dan Boal dalam Sopiah, 2008 : 155 mendefinisikan komitmen organisasional sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan terhadap organisasi
dan tujuan organisasi. O’Reilly dalam Sopiah, 2008 : 156 menyatakan komitmen karyawan
pada organisasi sebagai ikatan kejiwaan individu terhadap organisasi yang mencakup keterlibatan kerja, kesetiaan, dan perasaan percaya terhadap nilai-nilai
organisasi. Selanjutnya Steers dan Porter dalam Sopiah, 2008 : 156 menyatakan bahwa suatu bentuk komitmen yang muncul bukan hanya bersifat loyalitas yang
pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang
bersangkutan. Steers dalam Sopiah, 2008 : 156 mendefinisikan komitmen organisasi
sebagai rasa identifikasi kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi, keterlibatan kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi, dan
loyalitas keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap perusahaannya. Dengan
demikian komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap
organisasi artinya lebih dari keanggotaan formal karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi
kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Universitas Sumatera Utara
Luthans 2006 : 249 mendefinisikan komitmen organisasi sebagai 1 keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; 2 keinginan
untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; 3 keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain ini merupakan sikap
yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatianya terhadap organisasi dan
keberhasilan dan kemajuan yang berkelanjutan. Sedangkan Sunarto 2009 : 101 mendefinisikan komitmen organisasi
sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam
organisasi itu.
1. Dimensi pertama, adalah affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan
keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam
organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu. Meyer dan Allen dalam Luthans, 2006: 249 merumuskan tiga
dimensi komitmen dalam berorganisasi.
2. Dimensi kedua, continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota
organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi
anggota organisasi tersebut. 3. Dimensi ketiga, normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan
untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative
Universitas Sumatera Utara
commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut.
Allen dan Meyer dalam Hidayat, 2010 berpendapat bahwa setiap dimensi
memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan dimensi affective tinggi bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi. Sementara itu pegawai dengan dimensi continuance tinggi tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi.
Karyawan yang memiliki komponen normative yang tinggi tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya. Setiap organisasi memiliki dasar
dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen yang dimilikinya. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar affective memiliki
tingkah laku yang berbeda dengan karyawan yang berdasarkan ontinuance. Karyawan yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk
menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghidari kerugian finansial dan kerugian
lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu dimensi normative yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi,
tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Dimensi normative menimbulkan perasaan kewajiban pada karyawan untuk memberi
balasan atas apa yang telah diterimanya. Meyer dan Allen dalam Soekidjan, 2006 membagi komitmen organisasi
menjadi tiga macam atas dasar sumbernya :
Universitas Sumatera Utara
a. Affective commitment, berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai
yang sama. b. Continuance Commitment, komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya-
biaya yang akan ditanggung jika tidak bergabung dengan organisasi. Disini juga didasari oleh tidak adanya alternatif lain.
c. Normative Commitment, komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai anggotakaryawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini
terjadi juga internalisasi norma-norma. Dari ketiga jenis komitmen di atas tentu saja yang tertinggi tingkatannya
adalah affective commitment. Anggotakaryawan dengan affective commitment tinggi akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti
terhadap organisasi. Sedangkan tingkatan terendah adalah continuance commitment. Anggotakaryawan yang terpaksa menjadi anggotakaryawan untuk
menghindari kerugian financial atau kerugian lain, akan kurangtidak dapat diharapkan berkontribusi berarti bagi organisasi. Untuk normative commitment,
tergantung seberapa jauh internalisasi norma agar anggotakaryawan bertindak sesuai dengan tujuan dan keinginan organisasi. Komponen normatif akan
menimbulkan perasaan kewajiban atau tugas yang memang sudah sepantasnya dilakukan atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan organisasi
Soekidjan, 2006. Muhyi 2005:31 mengemukakan beberapa cara untuk membangun
komitmen karyawan terhadap organisasi sebagai berikut : 1. Keadilan dan kepuasan
Universitas Sumatera Utara
2. Keamanan kerja 3. Organisasi secara keseluruhan
4. Keterlibatan karyawan 5. Kepercayaan karyawan
Disamping itu juga, komitmen karyawan terhadap organisasi dapat terus ditingkatkan. Ada beberapa hal yang dapat meningkatkan komitmen karyawan
terhadap organisasi: 1. Berusaha meningkatkan input karyawan kedalam organisasi. Karyawan yang
merasa bahwa suara mereka didengar cenderung lebih terikat secara efektif. 2. Perkuat dan komunikasikan nilai-nilai dasar, sikap dan tujuan organisasi. Hal
ini tidak berarti bahwa perusahaan harus dirubah menjadi kelompok tanggung jawan sosial.
Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Steers dalam Sopiah, 2008
menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi komitmen seorang karyawan : 1. Ciri pribadi pekerja termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi
kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan. 2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan
rekan sekerja. 3. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara
pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya tentang organisasi.
David dalam Sopiah, 2008:163 mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan :
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan kepribadian.
2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan.
3. Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi, kehadiran serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang dilakukan
organisasi terhadap karyawan. 4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat berpengaruh
terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja
dalam organisasi tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan. Stum dalam Sopiah, 2008:164 mengemukakan ada 5 faktor yang
berpengaruh terhadap komitmen organisasi yaitu budaya keterbukaan, kepuasan kerja, kesempatan personal untuk berkembang, arah organisasi, penghargaan kerja
yang sesuai dengan kebutuhan.
2.2.3. Teori Kecerdasan Emosional