Masalah-masalah sosial budaya ditujukan terhadap kondisi kehidupan bermasyarakat seseorang dengan kelompok lingkungannya yang sudah tidak
lagi menerapkan asas gotong royong. Anggota masyarakat kehilangan sikap solidaritas kelompok untuk hidup bersama dan lebih mementingkan
kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama.
d. Kritik Sosial Masalah Moral
Abdulkadir 2005: 68-69 menjelaskan mengenai konsep moral, moral adalah kebiasaan berbuat baik, sedangkan kebiasaan berbuat buruk disebut
amoral. Nilai moral adalah nilai atau hasil perbuatan yang baik, bermoral artinya mempunyai kebiasaan berbuat baik. Moral bersifat kodrati, artinya
sejak diciptakan Tuhan, manusia sudah dibekali dengan sifat-sifat baik, jujur dan adil. Moral bersifat asasi, yaitu sifat yang diturunkan Tuhan kepada
manusia agar selalu berbuat baik, jujur, adil dan itu adalah benar serta bermanfaat bagi perilaku sendiri dan juga bagi orang lain masyarakat tempat
ia hidup. Manusia
ketika dilahirkan
bukan hanya
dikaruniai potensi
individualitas dan sosialitas, melainkan juga potensi moralitas atau kesusilaan. Dalam diri manusia ada kemampuan untuk berbuat kebaikan dalam arti susila
atau moral, seperti bersikap jujur, dan bersikapberlaku adil Siswoyo, 2008: 12.
Moral menunjukkan kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; tentang isi hati atau perasaan
sebagaimana terungkap dalam perbuatan Susilawati, dkk, 2009: 7.
Dengan demikian moral selalu menunjukkan baik buruknya perbuatan atau tingkah laku manusia sebagai manusia. Tolok ukur untuk menilai baik
buruknya tingkah laku manusia disebut norma. Prinsip moral yang amat penting adalah melakukan yang baik dan menolak yang buruk.
Sikap sosial yang secara moral dapat dinilai buruk yaitu, misalnya sikap radikal, sikap membenci golongan yang dianggap menindas orang kecil, sikap
acuh tidak acuh atau masa bodoh, sikap kasihan. Sikap-sikap macam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka layak dihindari. Jadi kritik sosial masalah
moral adalah kritik yang ditujukan kepada sikap atau perbuatan manusia, apakah sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku.
e. Kritik Sosial Masalah Kemanusiaan
Manusia adalah makhluk cipataan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan itu dibuktikan oleh akal, perasaan, dan kehendak yang
membedakannya dengan makhluk lain. Karena kesempurnaan itu, manusia mempunyai nilai yang sama di mana saja. Manusia yang bernilai adalah
manusia yang selalu mengarahkan setiap tingkah laku dan perbuatannya pada kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatan bagi semua manusia Abdulkadir, 2005:
11. Lebih lanjut dijelaskan oleh Abdulkadir 2005: 93 mengenai berbagai
aspek kehidupan manusia yang dapat dikategorikan menjadi 2 ungkapan, yaitu ungkapan aspek kehidupan manusiawi dan ungkapan aspek kehidupan tidak
manusiawi. Aspek kehidupan manusiawi diungkapkan sesuai dengan nilai budaya sebagai pandangan hidup, melalui sikap dan perbuatan yang saling
menyayangi, melindungi, menghargai, menguntungkan, menyenangkan dan membahagiakan yang dirasakan sebagai keindahan hidup. Aspek kehidupan
tidak manusiawi diungkapkan melalui sikap dan perbuatan yang merugikan, menggelisahkan dan menjadikan manusia menderita karena dirasakan tidak
adil, tidak bertanggung jawab, jelek dan jahat. Dalam realita, ada pula yang menanggapi manusia lain serta lingkungan
hidupnya secara tidak manusiawi, mengabaikan nilai manusia lain guna memenuhi kepentingannya sendiri. Bertindak kasar, sewenang-wenang,
menyakiti, membuat orang menderita, bahkan dimusnahkan. Sumber masalah pada tingkat pemahaman dan kesadaran yang sangat rendah terhadap nilai
manusia dan kehidupan manusiawi, dan menjadi sebab timbulnya konflik kemanusiaan yang merugikan manusia lain.
Dengan demikian, kritik sosial mengenai masalah kemanusiaan ditujukan terhadap tindakan-tindakan seseorang atau sekelompok orang yang
menyakiti secara fisik kepada orang lainnya, bertindak kasar, membuat orang lain menderita dan melakukan tindakan-tindakan tidak manusiawi yang
merugikan dan menyengsarakan orang lain.
f. Kritik Sosial Masalah Agama dan Kepercayaan
Agama, menurut Durkheim via Faruk, 2010: 30 merupakan institusi penting yang menopang integrasi sosial. Gagasan mengenai yang suci dalam
agama, sesuatu yang berbeda dari yang keseharian, sesuatu yang melampaui dunia keseharian yang nyata, merupakan simbol dari keberadaan kolektivitas
yang transenden, yang mengatasi dunia pengalaman keseharian.