4. Latar atau
setting
Latar dalam naskah drama, yang meliputi latar tempat, waktu, dan suasana akan ditunjukkan dalam teks samping Wiyatmi, 2009: 51. Latar tempat tidak
berdiri sendiri. Berhubungan dengan waktu dan ruang.Latar waktu juga berarti apakah lakon terjadi di waktu siang, pagi, sore, atau malam hari. Ruang dapat
berarti ruang dalam rumah atau luar rumah, tetapi juga dapat berarti lebih mendetail, ruang yang bagaimana yang dikehendaki penulis lakon Waluyo, 2001:
23. Marquaß 1998: 48-51 membedakan unsur latar menjadi 2 unsur pokok, yaitu latar tempat dan latar waktu.
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Ada dua jenis latar tempat yang terdapat
dalam sebuah naskah drama, yaitu konsep latar visual dan konsep latar verbal. 1
Das visuelle Raumkonzept : das Bühnenbild soll so echt und
ausführlich aussehen, dass die Illusion eines echten Schauplatzes erzeugt wird.
Konsep latar visual: gambaran panggung harus tampak asli dan detail yang menghasilkan ilusi tempat pertunjukan yang nyata.
2
Das verbale Raumkonzept : Die Vorstellung des konkreten
Schauplatzes entsteht erst in die Fantasie des Zuschauers und wird durch die Äußerungen der Figuren hervorgerufen.
Konsep latar verbal: ide tempat pementasan yang konkret terbentuk dari fantasi penonton dan muncul melalui ungkapan-ungkapan tokoh-
tokohnya.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Marquaß 1998:
52 berpendapat ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menganalisis latar waktu suatu naskah drama, yaitu
die historische Ereignisse und Zustände auf Figuren und Handlung
kejadian dan peristiwa bersejarah yang dialami oleh tokoh dan alur cerita, serta
welche Bedeutung haben die Zeitpunkte des Geschehens für die Figuren
makna apa yang terkandung dalam sebuah
peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu untuk tokoh tertentu.
B. Drama Epik
Episches Theater
Secara etimologis epik berasal dari kata Yunani,
Epos
, yang berarti kisah, kata. Haryati, dkk 2009: 50 menjelaskan
“Das epische Theater ist eine
Theaterform, in der versucht wird, das Theater durch die Einführung eines
Erzählers zu “episieren”, artinya teater epik adalah sebuah bentuk teater yang di dalamnya narator mencoba untuk “mengepikkan” sebuah teater.
Salah satu penggagas drama epik tersebut adalah Bertolt Brecht. Drama- drama awal Brecht itu radikal, anarkistik dan antiborjuis, tetapi tidak antikapitalis
Selden,1996: 30. Sesudah membaca Marx di sekitar tahun 1926, Brecht mulai mengagumi teori- teori Marx. Teori dramanya juga sangat terpaut dengan paham
Marxisme. Bagi Marx manusia itu ditentukan oleh produksi mereka, baik yang diproduksinya maupun cara berproduksinya.
Kesting 1959: 57 mengungkapkan bahwa Brecht merupakan satu- satunya dramawan modern yang karya-karyanya dipengaruhi oleh paham teoritik,
yakni Marxisme. Marxisme tidak hanya mempengaruhi dramaturgi dari teater epik, tetapi juga teori pementasannya. Marxisme telah membuat gagasan Brecht
memiliki arah yang jelas. Teater epik merupakan perpaduan antara teori Marx
dengan konsep-konsep epik dalam teater. Brecht menginginkan sebuah teater yang analitis, teater yang membangkitkan daya kritis penonton terhadap
persoalan-persoalan yang sedang diperbincangkan di atas panggung Haryati, dkk, 2009: 51.
Brecht akhirnya mampu memadukan konsep-konsep epik tentang teater dengan wacana-wacana marxisme dalam karyanya. Ia adalah penentang aliran
Realisme Sosialis yang menyukai ilusi, realistik, kesatuan formal dan pahlawan- pahlawan yang “positif”. Ia menyebut alirannya ini sebagai “Anti-Aliran
Aristoteles”. Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik, pengenalan penonton dan pahlawan dengan empati yang menghasilkan “katarsis”
perasaan. Brecht berpendapat, dramawan hendaknya menghindari alur yang dihubungkan secara lancar dan sesuatu arti yang tak terelakkan atau keuniversalan
Selden,1996: 30-31. Brecht 1957: 19-20 telah membuat tabel perbandingan yang berisi
perbedaan-perbedaan teorinya dengan teori Aristoteles. Dari tabel tersebut terlihat jelas bahwa teater epik begitu kontras perbedaannya dengan teater dramatik
Aristoteles. Ini membuktikan bahwa Brecht sangat tegas menolak teori yang dirumuskan Aristoteles. Tetapi ada satu hal yang disetujui oleh Brecht dari
pendapat Aristoteles, yakni fungsi menghibur. Teater epik memiliki ciri yang berbeda dengan teater Aristoltelian.
Perbedaan dari teater aritotelian dan teater epik menurut Haryati, dkk 2009: 54- 55 adalah: