Kritik Bertolt Brecht terhadap Masalah Kemanusiaan

melelahkan. Akan tetapi ia mendapat perintah untuk mencambuk tahanan tersebut. Tahanan tersebut melihat kekesalan dan keengaganan tentara SS tersebut dan memintanya untuk memukulnya di bokong. Karena cambukan tersebut terdengar agak mencurigakan, pemimpin kelompok tentara SS memerintahkan dengan tegas untuk memukul di bagian perut. Kekejaman dan kebrutalan tentara SS tidak hanya berupa mencambuk para tahanan di kamp konsentrasi, tetapi mereka yang berkeliling di sekitar pemukiman warga tidak segan-segan menembak dan melukai warga sipil yang tidak berdosa. Pada babak pertama yang berjudul Volksgemeinschft , dua orang tentara SS yang mabuk menembak ke segala arah dan brutal di daerah pemukiman warga hingga memakan korban, seperti kutipan berikut. DER ERSTE Er schafft allet Er bleibt wie erstarrt stehen und lauscht. Ein F enster ist wo geöffnet worden. DER ZWEITE Was is det? Er entsichert seinen Dienstrevolver. Ein alter Mann beugt sich im Nachthemd aus dem Fenster, und man hört ihm leise Emma, bist du’s? rufen. DER ZWEITE Det sind se Er fährt wie ein Rasender herum und fängt an, nach allen Richtungen zu schießen. Brecht, 1997: 429-430 YANG PERTAMA Dia membawa semuanya Ia berhenti, berdiri membeku dan mendengarkan. Sebuah jendela telah terbuka. YANG KEDUA Apa itu? Ia mengokang revolvernya. Seorang pria tua membungkuk dalam baju tidurnya ke luar jendela, dan mendengar seseorang memanggil dengan pelan “Emma, kau kah itu?”. YANG KEDUA Itu mereka Ia berkeliling seperti orang gila dan mulai menembak ke segala arah. Dua orang tentara SS mabuk yang tidak diketahui namanya tersebut berjalan sempoyongan dan menembak membabi buta setelah mendengar suara jendela yang terbuka. Tidak lama kemudian terdengar suara tangisan yang menghiasi heningnya malam itu. Tanpa alasan yang jelas kedua tentara SS yang mabuk itu menembak warga sipil. Tindakan tidak manusiawi ini telah tertanam kuat di kepala mereka. Hilangnya rasa kemanusiaan dan belas kasihan telah membentuk mereka menjadi orang-orang yang menebar teror dan membuat takut warga. Bersamaan dengan aksi- aksi teror NAZI, Hitler merancang serangkaian aksi propaganda yang agresif. Hal tersebut telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah kemanusiaan yang dikritik Brecht dalam drama ini adalah kritik terhadap berbagai macam aksi yang dilakukan oleh NAZI. Aspek kehidupan tidak manusiawi digambarkan dengan jelas melalui sikap bertindak kasar, sewenang-wenang, menyakiti dan membuat orang lain menderita serta tersakiti. Tentara SS milik Hitler telah dididik menjadi orang- orang yang menakutkan, menebar teror, kejam dan brutal kepada siapa pun. Mereka hanya patuh kepada Hitler sebagai pemimpin tertinggi mereka. Pada masa pemerintahan Hitler, NAZI dan para pendukungnya tidak segan-segan untuk memukul bahkan membunuh orang. Banyak diantaranya adalah warga sipil yang tidak bersalah menjadi korban.

6. Kritik Bertolt Brecht terhadap Masalah Agama dan Kepercayaan

Agama merupakan institusi penting yang menopang integrasi sosial. Gagasan mengenai yang suci dalam agama, sesuatu yang melampaui dunia keseharian yang nyata. Hal tersebut merupakan simbol dari keberadaan kolektivitas yang transenden. Agama bisa menjadi kekuatan sosial yang luar biasa. Setiap orang yang berkehendak baik, bersama-sama, bisa juga menggunakan agama demi perdamaian dunia. Masalah agama dan kepercayaan adalah masalah mengenai hubungan seseorang dengan Tuhannya. Beberapa masalah mengenai agama dan kepercayaan disinggung Brecht dalam drama Furcht und Elend des Dritten Reiches . Babak kedua puluh yang berjudul Die Bergpredigt atau yang berarti “Khotbah di atas Gunung” menggambarkan seorang nelayan yang bernama Herr Hannes Claasen sedang sekarat. Ia ditemani istri dan anak laki-lakinya serta seorang pendeta. Ia terbaring menahan sakit dan bertanya tentang kehidupan setelah mati pada seorang pendeta. Ia meragukan apakah kehidupan setelah mati juga akan ada perang dan orang-orang memiliki kehidupan yang sama seperti sebelumnya. Ia mengkhawatirkan masa depan anaknya, karena ia merasa masa depan Jerman adalah menuju peperangan. Ia tidak ingin anaknya merasakan kesengsaraan akibat perang. Kepercayaan seseorang mengenai kehidupan setelah mati membuktikan bahwa orang tersebut percaya akan adanya Tuhan dan agama. Tujuan agama sendiri untuk membawa umatnya menuju perdamaian. Agama manapun mengajarkan umatnya, bahwa kehidupan setelah mati ada dan bersifat kekal. Kehidupan di dunia fana hanyalah sementara. Hal tersebut diperkuat oleh kutipan berikut. DER STERBENDE Sagen Sie, gibt es wirklich was danach? DER PFARRER Quälen Sie sich denn mit Zweifeln? DIE FRAU In den letzten Tagen hat er immer gesagt, es wird soviel geredet und versprochen, was soll man da glauben. Sie dürfen es ihm nicht übelnehmen, Herr Pfarrer. DER PFARRER Danach gibt es das ewige Leben. DER STERBENDE Und das ist besser ? DER PFARRER Ja. DER STERBENDE Das muß es auch sein. Brecht, 1997: 467 ORANG YANG SEKARAT Katakanlah padaku, apakah benar-benar ada sesuatu setelah itu? PENDETA Anda menyiksa diri sendiri karena keraguan? ISTRI Beberapa hari terakhir ia selalu berkata bahwa ada begitu banyak pembicaraan dan janji tentang apa yang seharusnya orang yakini. Anda jangan tersinggung, Pak Pendeta. PENDETA Setelah itu ada kehidupan yang abadi. ORANG YANG SEKARAT Dan itu lebih baik? PENDETA Ya. ORANG YANG SEKARAT Pasti begitu. Melalui kutipan di atas terlihat bahwa Herr Hannes Claasen yang sedang terbaring lemah bertanya mengenai keberadaan dunia setelah mati pada seorang pendeta. Herr Hannes Claasen merasa tidak puas dengan kehidupannya di dunia yang berada di bawah rezim NAZI. Herr Hannes Claasen merasa kehidupannya sebagai bagian dari Jerman di bawah kepemimpinan Hitler amatlah berat. Tiap individu dalam masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk berpendapat. Jika rakyat ingin hidup selamat, maka mereka harus patuh pada NAZI dan menutup mulut mereka rapat-rapat. Hal tersebut dilakukan agar mereka dapat hidup sedikit lebih tenang di bawah rezim Hitler. Pendeta meyakinkan Herr Hannes Claasen bahwa Tuhan tahu segalanya. Herr Hannes Claasen merasa di kehidupan yang abadi setelah mati, setiap orang bebas berpendapat. Ia bisa mengeluarkan semua pemikiran-pemikirannya tanpa rasa takut dan bersalah. Selain itu kebijakan-kebijakan NAZI dengan mengontrol harga-harga kebutuhan sehari-hari dan bahan bakar membuat rakyat dalam kesulitan. Herr Hannes

Dokumen yang terkait

Kritik Sosial Dalam Drama Loker Karya Yulhasni : Analisis Sosiologi Sastra

3 91 68

Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

52 294 162

Kritik Sosial dalam Naskah Drama Monolog Surat Kepada Setan Karya Putu Wijaya: Telaah Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA

0 5 13

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA RT 0 RW 0 KARYA IWAN SIMATUPANG: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Rt 0 Rw 0 Karya Iwan Simatupang: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia Di SMA.

0 2 17

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA RT 0 RW 0 KARYA IWAN SIMATUPANG: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Rt 0 Rw 0 Karya Iwan Simatupang: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia Di SMA.

2 8 12

ASPEK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA “NYAI ONTOSOROH” KARYA FAIZA MARDZOEKI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Aspek Sosial Dalam Naskah Drama “Nyai Ontosoroh” Karya Faiza Mardzoeki: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 1 12

ASPEK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA “NYAI ONTOSOROH” KARYA FAIZA MARDZOEKI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Aspek Sosial Dalam Naskah Drama “Nyai Ontosoroh” Karya Faiza Mardzoeki: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

1 13 12

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA MONOLOG Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Monolog Surat Kepada Setan Karya Putu Wijaya: Telaah Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra.

1 11 11

PENDAHULUAN Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Monolog Surat Kepada Setan Karya Putu Wijaya: Telaah Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra.

3 13 10

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA MONOLOG Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Monolog Surat Kepada Setan Karya Putu Wijaya: Telaah Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra.

0 11 22