tertentu yang menimbulkan suatu kegagagalan dalam perbaikan keadaan gizi yang diinginkan.
b Kewajiban Sosial dan Susunan Makanan
Pengaruh lainnya dalam susunan makanan adalah efek dari kewajiban sosial.Pada beberapa masyarakat, prestasi di bidang ekonomi dinilai kurang daripada
penerimaan di lingkungan sosial.Partisipasi dari keluarga dan anggota masyarakat lebih dihargai daripada hadiah kekayaan.Lebih baik diberikandihidangkan makanan
sebagai imbalan daripada dibayar dengan uang.Keadaan seperti ini dapat menyebabkan penyediaan susunan makanan yang tidak mencukupi bagi keluarga.
c Makanan sebagai Simbol Hubungan Sosial
Makanan sering kali diberi nilai secara simbolis dalam agama dan dalam mengutarakan suatu sosial.Menghidangkan makanan merupakan suatu simbol dari
suatu persaudaraan, kekeluargaan, penerimaan, dan kepercayaan.Jumlah dan aneka ragam makanan yang dihidangkan pada suatu peristiwa tertentu merupakan status
simbol di dalam masyarakat.Biasanya bahan, warna, bentuk, jenis makanan, alat, ukuran, dan lain-lain adalah khas spesifik untuk acara-acara tertentu.
2.4.2. SosioBudaya Menurut Undang-Undang
Hak asasi manusia di bidang budaya berdasarkan undang-undang dimuat dalam pasal 28C, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan kesejahteraan umat manusia.”
Universitas Sumatera Utara
2.5.Masyarakat Suku Alas
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan latar belakang etnis, suku, dan
tatanan kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain Wirjatmadi dan Adriani, 2012.
Berdasarkan Lembaga Sejarah dan Purbakala Depatemen P dan K Hasan, 1980 terdapat sebelas suku bangsa di provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu Aceh,
Gayo, Alas, Tamiang, Singkel, Aneuk Jamee, Kuet, Pulau, Jawa, Batak dan campuran Aceh dan Aneuk Jamee. Dari kesebelas suku bangsa yang berada di Aceh,
suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh dan biasa disebut Tanah Alas. Kata “Alas” dalam bahasa Aceh, Alas
berarti “tikar”. Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan.Dengan karakter alam yang demikian
bisa dipastikan bahwa daerah tersebut sangatlah subur.Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan Anonim, 2014.
Menururt Muhammad Umar, bahwa kata Alas dapat diartikan “dasar” serta dasar juga dapat diartikan “pertama”, sehingga kata Alas menjadi dasar dan pertama,
maka dapat dimaknai bahwa suku yang pertama mendiami daerah tersebut dinamakan “Alas” Ridwan, 2005. Menurut LAKA 2003, suku Alas di Kabupaten Aceh
Tenggara memiliki 26 marga, yaitu: Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, Selian, Acih, Beruh, Gale, Karo-karo, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe,
Universitas Sumatera Utara
Pase, Pelis, Pinim, Rahim, ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang, dan marga Tarigan.
Upacara adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, tumbuh dan berkembang secara historis pada masyarakat suku alas.Salah satu upacara
tradisional yang masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya adalah upacara perkawinan, kematian, khitanan, turun mandi, dan perayaan hari-hari
besar agama. Hal ini tidak terlepas dari makanan yang disajikan setiap upacara adat
tersebut berlangsung yang ada kaitannya dengan status gizi dan kejadian hipertensi pada masyarakat tersebut.Adapun makanan tradisional dari suku alas yang sering
disajikan pada upacara adat mereka adalah bebek labakh, manukh labakh, ikan labakh, puket megaukh, lepat bekhas, gelame, buah khum-khum, ikan pacik kule,
teukh mandi, puket mekuah, tumpi, godekh, puket sikuning, cimpe, dan getuk.Dari semua makanan yang disajikan di atas, rata-rata mengandung tinggi kalori, lemak
jenuh, tinggi garam dan tinggi protein yang kemungkinan akan memicu terjadinya obesitas dan hipertensi.
2.5.1. Adat-Istiadat Suku Bangsa Alas