Sosial Budaya dan Pola Makan

keluarga.Sebelum rombongan menikmati hidangan, terlebih dahulu membaca doa yang dipimpin oleh imam atau yang dituakan. Hidangan diutamakan untuk kaum pria, setelah sajian cukup untuk pria baru giliran berikutnya untuk kaum wanita. Adapun kebiasaan menambah nasi atau lauk dalam kenduri diperbolehkan.Bahkan dalam masyarakat suku bangsa Alas nasi tambah dinamakan kepel.Pada masa lalu juga ditemukan suatu kebiasaan di kalangan perempuan.Mereka diperbolehkan makan dalam satu talam untuk empat orang.Begitu juga orang laki-laki yang sebaya diperbolehkan makan dalam satu piring atau dalam satu talam. Selain adat makan di atas, cara mengunyah makanan juga memiliki aturan. Cara mengunyah makanan yang dianjurkan oleh orangtua yaitu tidak boleh cepat- cepat namun juga tidak boleh lambat sekali, sewajarnyadan sesopan mungkin.Begitu juga dalam mengambil makanan pada upacara kenduri dianjurkan untuk mengambil seperlunya.Jadi tidak diperbolehkan ada sisa dalam piring. Apabila hal itu dilanggar maka dapat diartikan sebagai rasa tidak menghormati tuan rumah dan bisa menimbulkan perasaan malu bagi orangtua yang dianggap tidak pernah mengajarkan adat makandan minum pada anaknya.

2.6. Sosial Budaya dan Pola Makan

Pola konsumsi makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus-menerus sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat.Pola konsumsi ini diajarkan dan Universitas Sumatera Utara bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang Soediaoetama, 2006. Lingkungan sosial memberikan gambaran jelas tentang perbedaan pola makan.Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuai kebiasaan yang dianut. Masyarakat mengkonsumsi bahan makanan tertentu yang mempunyai nilai sosial sesuai dengan tingkat status sosial yang terdapat pada masyarakat tersebut Suhardjo,1989. Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Budaya dapat diartikan sebagai gabungan kompleks asumsi tingkah laku, cerita, mitos, metapora dan berbagai ide lain yang menjadi satu menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat. Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial, dan norma budaya bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik. Kebudayaan masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi.Aspek sosio budaya pangan adalah fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut. Pola makan suatu daerah berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor atau indikasi setempat yang dapat dibagi dalam dua bagian yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Faktor yang berhubungan dengan persedian atau pengadaan bahan pangan. Dalam kelompok ini termasuk geografi, iklim, kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah produksinya di suatu daerah. 2. Faktor adat-istiadat yang berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio ekonomi dan adat kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi pangan penduduk. Jumlah penduduk merupakan kunci utama yang menentukan tinggi rendahnya jumlah konsusmsi pangan anggota keluarga. 2.7. Pola Makan dan Status Gizi Wirjatmadi dan Adriani 2012, mengatakan nutrisi sangat berguna untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit.Selain karena faktor kekurangan nutrisi, akhir-akhir ini juga muncul penyakit akibat salah pola makan seperti kelebihan makan atau makan makanan yang kurang seimbang.Untuk menghindari penyakit akibat pola makan yang kurang sehat, diperlukan suatu pedoman bagi individu, keluarga, atau masyarakat tentang pola makan yang sehat. Pola makan itu dibentuk sejak masa kanak-kanak yang akan terbawa hingga dewasa. Oleh karena itu, untuk membentuk pola makan yang baik, sebaiknya dilakukan sejak masa kanak-kanak. Status gizi adalah salah satu indikator kesehatan masyarakat yang amat penting untuk dievaluasi secara periodik.Kelebihan gizi atau gizi yang lebih dapat berdampak buruk terhadap kesehatan seseorang seperti halnya dengan obesitas.Menurut Call dan Levinson, Status Gizi seseorang pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu makanan yang dimakan dan keadaan kesehatannya.Kualitas dan Universitas Sumatera Utara kuantitas makanan yang dimakan seseorang banyak tergantung pada kandungan zat gizi makanan tersebut. 2.8. Status Gizi dan Kejadian Hipertensi Peningkatan Indeks Massa Tubuh IMT erat kaitannya dengan penyakit hipertensi baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Kenaikan berat badan BB sangat berpengaruh pada mekanisme timbulnya kejadian hipertensi pada orang yang obes akan tetapi mekanisme terjadinya hal tersebut belum dipahami secara jelas namun diduga pada orang yang obes terjadi peningktan volume plasma dan curah jantung yang akan meningkatkan tekanan darah.Mereka yang berat badan lebih 20 dari normal mengalami risiko 2 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang normal Hadju, 2003. Berdasarkan laporan dari Swedish Obese Study diketahui bahwa angka kejadian hipertensi pada penderita obes sebesar 13,6. Begitu pula hasil survey MONICA III 2000 diketahui bahwa prevalensi hipertensi meningkat pada orang yang memiliki berat badan lebih atau obes dan kolesterol total dibandingkan dengan yang mempunyai berat badan normal Sihombing, 2010. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33 memiliki berat badan lebih overweight.Asupan kalori dan lemak yang tinggi bukan saja memicu terjadinya obesitas tetapi juga meningkatkan resiko hipertensi.Orang yang gemuk beresiko lebih tinggi menderita hipertensi daripada orang kurus.Sekitar 50 penderita obesitas mengalami hipertensi.Dibalik perut gendut atau bahkan buncit Universitas Sumatera Utara tersimpan sejumlah persoalan besar yang memicu tekanan darah tinggi.Lemak di bagian perut mendesak ginjal, sehingga kinerja ginjal terganggu.Akibatnya terjadi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hipertensi Lingga, 2012. 2.9. Landasan Teori Landasan teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan landasan teori yang telah disusun, khususnya mengenai hubungan antara satu faktor risiko dengan faktor risiko lainnya.Berdasarkan Dirjen PP PL 2006, faktor risiko hipertensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.Faktor-faktor yang berpengaruh kejadian hipertensi adalahfaktor risiko yang tidak dapat diubah atau faktor risiko melekat yaitufaktor demografi meliputi umur, jenis kelamin, ras, dan keturunanmeliputi genetik, riwayat keluarga. Faktor risiko yang dapat diubahyaitu faktor demografi meliputi tingkat pendidikan, status perkawinan,jenis pekerjaan, jabatan pekerjaan, letak geografi dan pola hidupmeliputi rokok, gizipola makan, alkohol, olah raga, aktivitas fisik sertastatus kesehatan yang meliputi obesitasIMT, penggunaan estrogenpilKB, stres kejiwaan. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2. Landasan Teori Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Hipertensi dan Penyakit yang DiakibatkannyaDirjen PP PL , 2006 Faktor yang tidak dapat diubah D em o g raf i − Umur − Jenis kelamin − Ras K et ur una n − Genetik − Riwayat keluarga Faktor yang dapat diubah D em o g raf i − Pendidikan − Status perkawinan − Jenis pekerjaan − Letak geografi P ol a hi dup − Merokok − Gizi pola makan − Alkohol − Olah raga − Aktivitas fisik S ta tu s k es eh at an − ObesitasIMT − Penggunaan estrogen Pil KB − Stress kejiwaan H I P E R T E N S I Universitas Sumatera Utara

2.10. Kerangka Konsep

Dokumen yang terkait

Gambaran Karakteristik dan Sosial Budaya Masyarakat Terhadap Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat 2014

4 83 118

SUKU ALAS KABUPATEN ACEH TENGGARA.

0 5 21

HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KERJO Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kerjo Kabupaten Karanganyar.

0 2 18

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

1 1 19

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 2

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 9

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 46

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 5

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

0 0 39

GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAWIT SEBERANG KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT

0 1 15