Sektor Publik Peran Strategis Pemangku Kepentingan
publik memiliki mekanisme kerjasama dan struktur vertikal dan horizontal yang relatif kuat. Berkaitan dengan penyediaan modal, pemerintah memiliki alokasi
dana meskipun seringkali terbatas yang dapat diperuntukkan bagi pengadaan infrastruktur pariwisata.
Sumber: O’Riordan 1981.
Gambar 14. Hirarki Tujuan Nasional
Pembangunan pariwisata di Indonesia merupakan urusan pemerintah yang bersifat concurrent urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah dan
optional . Hal ini dikarenakan semua daerah memiliki potensi pariwisata namun
tidak semua bernilai unggul. Bagi daerah yang memiliki potensi wisata dan dapat menjadikannya sektor unggulan dalam pembangunannya maka dapat menetapkan
sektor tersebut menjadi urusannya optional. Hal tersebut diwujudkan melalui upaya Pemda membentuk suatu unit kerja dalam mengurusnya. Sejauh ini,
dukungan pemerintah pusat terhadap pariwisata alam ditunjukkan dengan sejumlah produk hukum yang mendukung keberadaan pariwisata alam dan
ekowisata, sebagaimana disajikan pada Tabel 19, dimana concern pemerintah terhadap wisata alam dimulai ketika menerbitkan UU No.9 Tahun 1990 tentang
kepariwisatawaan.
Prioritas 1: keamanan nasional, kesehatan masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja
Prioritas 2: redistribusi kesejahteraan, pembangunan wilayah, redistribusi pendapatan dan pemerataan
kesempatan sosial
Prioritas 3: perhatian lingkungan, pembangunan sistem kontrol dan pengawasan, keselarasan ekologi
Tabel 19. Produk Hukum Terkait Ekowisata di Indonesia Produk Hukum
Perihal
UU No.91990 Kepariwisataan
UU No.51990 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
PP No. 18 1994 Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman wisata Alam SK Menhut No.
446Kpts-II1996 Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin
Pengusahaan Pariwisata Alam SK Menhut No.
447Kpts-II1996 Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Pariwisata Alam
SK Menhut No. 448Kpts-II1996
Pengalihan Kepemilikan Sarana dan Prasarana Kepariwisataan Kepada Negara
SK Menhut No. 167Kpts-II1996
Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam
Surat Edaran Mendagri
No.660.1836V Bangda2000
Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah PP No.62007
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Hakikat pengembangan pariwisata di daerah tidak dapat lepas dari tiga
aspek, yaitu sosial budaya, ekonomi dan ekologi. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Destinasi wisata diharapkan tidak merusak kondisi sosial budaya
masyarakat, menciptkan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat serta tidak merusak lingkungan.
Gambar 15. Keterkaitan Aspek Pengembangan Pariwisata Daerah
Destinasi yang mencerminkan
keseimbangan ekologi sosial
budaya dan ekonomi
ekonomi ekologi
sosial budaya
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah yang menjadikan sektor wisata khususnya wisata bahari sebagai sektor unggulan.
Hal ini tercermin dalam misi kabupaten yaitu mewujudkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai kawasan wisata bahari yang lestari dan menegakkan hukum yang
terkait dengan pelestarian lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan. Pemda sejauh ini telah melakukan beberapa langkah strategis terkait
pengembangan wisata bahari di wilayah ini. Upaya yang telah dilakukan antara lain adalah:
1. Menetapkan kawasan pariwisata taman laut di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebagai The International Marine Tourism Destination Area
” sebagai kawasan pariwisata eksklusif dan kawasan pariwisata teluk Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan sebagai kawasan pariwisata massal. 2. Peningkatan sarana dan prasarana dan perbaikan kualitas lingkungan. Hal ini
ditunjukkan dengan pembangunan jaringan listrik bawah laut yang hingga saat ini sudah sampai pada tahap II Tahap I berlokasi di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara dan Tahap II berlokasi Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, perbaikan Dermaga Muara Angke sebagai pintu gerbang masuk ke kawasan
Kepulauan Seribu dan peningkatan landasan lapangan terbang air strip di P.Panjang dengan fasilitas penunjangnya.
3. Merevisi Tata Ruang Kabupaten. Saat ini 47 pulau diperuntukan sebagai kawasan rekreasi dan pariwisata dimana pemanfaatannya harus berbadan
hukum dan harus memperoleh SIPPT, dimana 60 persen areal pemanfaatan untuk komersial dan 40 persen untuk penyediaan fasilitas umum.
4. Sejumlah program pada tahun 2008, diantaranya rehabilitasi ekosistem laut mangrove, terumbu karang, padang lamun, pembangunan restoran apung di
P. Pramuka dan di P. Untung Jawa, menjadikan P. Lancang sebagai destinasi baru setelah P. Untung Jawa.
5. Menetapkan areal perlindungan laut berbasis masyarakat, melalui SK Bupati No.307 Tahun 2004, dimana pengelolaan areal perlindungan laut dilakukan
secara kolaboratif antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya. Namun sejauh ini manfaat ekonomi dari keberadaan pulau-pulau wisata
belum dirasakan secara luas oleh masyarakat lokal. Artinya masih banyak hal yang belum dilakukan oleh Pemda untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari
keberadaan wisata bahari tersebut. Banyak hal strategis yang dapat dilakukan dalam pengembangan wisata, diantaranya adalah:
1. Melakukan konsultasi kebijakan pengembangan daerah tujuan wisata. Sudin Pariwisata dan Bappekab dapat menyusun arahan pengembangan masterplan
pariwisata melalui kerjasama dengan dinas yang lebih tinggi atau industri wisata dalam melakukan pemasaran produk ekowisata.
2. Melakukan terobosan penting untuk memperbaiki kerangka dasar pengembangan pariwisata secara umum, seperti perbaikan iklim investasi,
peningkatan keamanan wisatawan, peningkatan kebersihan. 3. Melakukan pengawasan dan arahan dalam perkembangan kegiatan wisata agar
tidak mengingkari prinsip keberlanjutan sustainability. Dalam hal ini pemerintah dapat bekerja sama untuk menciptakan tata kelola Taman
Nasional, termasuk dalam hal penyediaan infrastruktur wisata.
4. Bertanggungjawab dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur kawasan ekowisata, terutama yang terkait dengan urusan logistik,
seperti fasilitas listrik, komunikasi, air bersih dan kebersihan. 5. Memiliki otoritas yang kuat untuk memfasilitasi kerjasama antar kelompok
masyarakat yang melakukan berbagai kegiatan di sekitar kawasan wisata, misalnya dengan membentuk serikat pedagang kerajinan dan pengelola
kawasan wisata. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sektor publik seringkali berhadapan
dengan keterbatasan pemahaman tentang prinsip ekowisata dan pembangunan berkelanjutan. Kerjasama inter sektoral dan lintas sektoral masih seringkali
sebatas wacana dan sulit dalam praktiknya. Arogansi sektoral dan daerah yang semakin kuat di kalangan pemerintah, terutama setelah otonomi daerah seringkali
menghambat kelancaran pengembangan ekowisata Kusworo dan Damanik, 2003. Terkait dengan upaya perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan,
sektor publik terkesan kurang fleksibel untuk mengubah peraturan agar dapat lebih konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.