dengan mendirikan jaring yang kuat di antara pariwisata dan sektor ekonomi lainnya termasuk pertanian, perikanan, pabrik, konstruksi dan produksi
kerajinan. 4. Maksimalisasi tenaga kerja lokal, termasuk untuk hal-hal yang bersifat teknis,
pengawasan dan tingkatan manajerial mampu memberi keuntungan untuk wilayah dan menutupi kebocoran penghasilan dan pertukaran tenaga kerja ke
luar. 5. Mendukung kepemilikan lokal unit usaha wisata. Kepemilikan lokal dan
manajerial skala kecil ini seringkali diistilahkan dengan Small Medium Enterprises
scale SMEs. Unit usaha ini dapat menghasilkan keuntungan langsung bagi pemilik unit usaha serta tenaga kerja dan seluruh keuntungan
akan tetap ada di dalam pulau. 6. Melakukan capacity bulding bagi masyarakat lokal dengan tujuan
meningkatkan pengetahuan dan keahlian masyarakat lokal. 7. Optimalisasi pendapatan pajak pada kegiatan wisata. Unit usaha wisata harus
menyadari bahwa pariwisata dalam hubungannya dengan pajak dapat menawarkan keuntungan ekonomi yang penting bagi daerah. Implementasi
kebijakan pajak seharusnya dimonitor secara dekat untuk memastikan bahwa pajak tersebut menghasilkan keuntungan tanpa menciptakan masalah baru.
VII. PENILAIAN EKONOMI JASA LINGKUNGAN
Pada bab VI penulis hanya menganalisis dampak ekonomi aktifitas wisata pada suatu wilayah. Pada bab ini analisis akan diarahkan pada nilai jasa
lingkungan yang diberikan oleh sumberdaya untuk kegiatan rekreasi. Wells 1997 menyatakan bahwa analisis ekonomi wisata yang komprehensif harus
meliputi penilaian dampak ekonomi dan penilaian economic value dari jasa lingkungan untuk kegiatan wisata. Tolak ukur yang mudah dan bisa dijadikan
acuan dalam menetapkan nilai ekonomi suatu ekosistem adalah dengan memberikan “price tag” harga dari barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya
tersebut. B agaimana menetapkan “price tag” pada suatu sumberdaya yang kadang
tidak dinilai intangible? Wisata luar ruangan outdoor recreation merupakan kegiatan rekreasi yang memanfaatkan jasa ekosistem ecosystem services. Jasa
ekosistem memiliki nilai namun sering diperlakukan sebagai jasa lingkungan tak bernilai undervalued sehingga sering dieksploitasi secara berlebihan
overexploited. Nilai ekonomi yang pasti tepat, pada praktiknya sulit mendapatkan, yang dapat dilakukan adalah mengestimasi nilai ekonomi melalui
sejumlah pendekatan. Istilah nilai ekonomi total total economic value dikenal dalam ekonomi
sumberdaya dan lingkungan SDAL yaitu suatu nilai yang berusaha menggambarkan nilai keseluruhan dari suatu SDAL pada suatu wilayah tertentu.
Nilai tersebut merupakan penjumlahan dari nilai guna use value dan nilai non guna non use value. Nilai jasa lingkungan untuk kegiatan pariwisata
dikelompokkan sebagai nilai manfaat atau guna langsung direct use value. Nilai ini direfleksikan oleh “harga” dari penggunaan suatu lokasi wisata. Harga ini tidak
hanya sejumlah tarif masuk yang dibayarkan, tetapi juga meliputi biaya perjalanan dan biaya waktu yang diperlukan untuk melakukan rekreasi. Sejumlah biaya yang
dikeluarkan oleh wisatawan mereflekasikan WTP wisatawan untuk jasa rekreasi. Penilaian individu terhadap suatu kunjungan rekreasi didasarkan pada harapan
akan adanya manfaat benefit dari kegiatan tersebut. Pengeluaran wisatawan semata bukan merupakan penilaian yang tepat
akan economic value suatu sumberdaya, karena terdapat sejumlah wisatawan membayar melakukan pengeluaran lebih rendah dibandingkan kesediaan
membayarnya Dixon dan Sherman, 1990; Linberg, 1991. Perbedaan antara WTP wisatawan dengan pengeluaran aktual wisatawan disebut surplus konsumen.
Dalam literatur ekonomi surplus konsumen dikenal sebagai manfaat bersih dan hal ini merepresentasikan suatu nilai value yang sangat berguna bagi penentu
kebijakan, manajer dan pengembil keputusan yang lain berkaitan dengan kegiatan rekreasi dan industri wisata Marsinko et al. 2002.
Secara teori surplus konsumen digambarkan sebagai area di atas harga dan di bawah kurva permintaan, demikian pula dengan surplus konsumen wisatawan.
Sebagian besar objek wisata alam yang dikelola oleh masyarakat lokal, tidak memiliki tarif masuk atau kalaupun ada tarif masih cenderung tidak berubah
sepanjang waktu. Ketiadaan harga atau variasi harga mengakibatkan sulitnya menduga fungsi permintaan dan surplus konsumen. Oleh karena itu digunakan
harga implisit untuk menentukan harga suatu objek wisata alam melalui pendekatan ITCM. Teknik ini digunakan untuk menduga unpriced goods melalui
metode pengungkapan preferensi revealed preference method.