Nilai Pengganda dari Pengeluaran Wisatawan

langsung yang dirasakan dari pengeluaran wisatawan berdampak pada keseluruhan ekonomi lokal. Nilai pengganda mengukur dampak langsung, tidak langsung dan induced. Hasil penelitian menunjukkan dari keseluruhan nilai pengganda di P. Untung Jawa memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai di P. Pramuka. Tabel 13 menunjukkan nilai Keynesian Local Income multiplier di P. Untung Jawa sebesar 1.85 artinya peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 1.85 rupiah. Sedangkan nilai di P. Pramuka sebesar 1.16, artinya peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 1.16 rupiah. Tabel 13. Nilai Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Bahari di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka Tahun 2008 Kriteria Nilai Multiplier P. Untung Jawa P. Pramuka Keynesian Local Income multiplier 1.85 1.16 Ratio Income Multiplier Tipe 1 1.47 1.40 Ratio Income Multiplier Tipe 2 1.94 1.78 Nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 di P. Untung Jawa sebesar 1.47, artinya peningkatan 1 rupiah pendapatan unit usaha dari pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1.47 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal, demikian halnya dengan nilai di P. Pramuka. Sedangkan nilai Ratio Income Multiplier Tipe 2 di P. Untung Jawa sebesar 1.94 artinya peningkatan 1 rupiah pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1.94 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung, tak langsung dan induced berupa pendapatan pemilik unit usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya untuk konsumsi di tingkat lokal, demikian halnya dengan nilai di P. Pramuka. Beberapa literatur menyatakan Ratio Income Multiplier ini juga dikenal sebagai ortodox tourism income multiplier, yang menunjukkan kaitan antara tambahan pengeluaran wisatawan dan perubahannya sebagai hasil dari tingkat pendapatan pada perekonomian Vanhove, 2005. Multiplier ortodox memiliki tingkat kepraktisan dalam penghitungan dan nilainya menunjukkan keterkaitan internal dalam ekonomi lokal. Multiplier keynesian ini merupakan pengganda terbaik yang menggambarkan dampak keseluruhan dari peningkatan pengeluaran wisatawan pada perekonomian lokal META, 2001. Income multiplier secara umum mengukur tambahan pendapatan gaji, upah, sewa, bunga dan profit dalam perekonomian sebagai hasil dari peningkatan pengeluaran wisatawan Cooper et al . 1998. Secara keseluruhan nilai pengganda di P. Untung Jawa lebih tinggi dibandingkan nilai di P. Pramuka. Hal ini diakibatkan oleh beberapa fakta, yaitu: 1 jumlah kunjungan di P. Untung Jawa jauh lebih tinggi walaupun rata-rata pengeluaran per wisatawan lebih rendah, 2 jumlah unit usaha yang ada di P. Untung Jawa lebih banyak, dan 3 unit usaha di P. Untung Jawa umumnya mempekerjakan tenaga kerja lokal tidak seperti di P. Pramuka. Selain itu tersedianya sarana wisata yang relatif lengkap dan besarnya peran pemerintah dalam pembangunan sarana wisata di P. Untung Jawa turut berperan dalam meningkatkan dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat lokal. Oleh karena itu, aktivitas wisata alam di P. Pramuka tidak dapat dipandang sebelah mata. Walaupun belum mendapat perhatian serius dari Pemda, namun kegiatan ini turut berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat lokal dan hal ini ditunjukkan oleh nilai multiplier pendapatan. Pariwisata alam layak dikembangkan di P. Pramuka dan agar manfaat ekonominya meningkat maka dibutuhkan peran proakktif dari Pemda.

6.5 Dampak Aktifitas Wisata Bagi Masyarakat Pulau

Hingga saat ini kedatangan wisatawan di kedua pulau disambut baik oleh penduduk lokal. Jika melihat iritation index dari Doxey 1976 mengenai perubahan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan secara linier maka, sikap masyarakat di kedua pulau dapat digolongkan ke dalam euphoria dan apathy. Euphoria ditunjukkan dengan kondisi dimana kedatangan wisatawan diterima dengan baik, hal ini umumnya terjadi pada fase awal pengembangan pariwisata suatu daerah dan umumnya tujuan wisata belum mempunyai perencanaan. Sedangkan apathy ditunjukkan oleh kondisi masyarakat yang menerima wisatawan sebagai sesuatu yang lumrah dan hubungan antara masyarakat dengan wisatawan didominasi oleh hubungan komersial. Perencanaan yang dilakukan pada fase ini umumnya hanya menekankan aspek pemasaran. Bagi penduduk lokal yang tidak terkait dengan kegiatan wisata, umumnya menilai keberadaan wisatawan memberikan dampak bagi masyarakat lokal khususnya dalam meningkatkan pendapatan. Walaupun beberapa masyarakat di P. Pramuka menyatakan terganggu dengan keberadaan wisatawan, secara umum masyarakat di kedua pulau tidak merasa dirugikan dengan keberadaan wisatawan. Rasa ketergangguan masyarakat umumnya dikarenakan cara berpakaian para wisatawan dan tingkah laku wisatawan yang sedikit bebas tidak mempertimbangkan norma masyarakat sekitar. Umumnya masyarakat mengkhawatirkan dampaknya bagi kaum muda di wilayah tersebut. Keuntungan yang dirasakan masyarakat lokal dari pariwisata, pada praktiknya masih terbatas. Kesempatan kerja yang tersedia pun masih pekerjaan kelas rendahan. Sejumlah kendala penting terjadi dalam upaya peningkatan keterlibatan penduduk setempat dalam wisata berbasis masyarakat lokal, yaitu: 1 keterbatasan keterampilan dan pengalaman, 2 keterbatasan akses terhadap pasar, 3 kurangnya modal untuk investasi, 4 minimnya legal aspek atau hak kepemilikikan tempat wisata, 5 ketidakmampuan bersaing dengan usaha wisata yang lebih besar, 6 kurangnya dukungan untuk sektor informal, dan 7 kurangnya ketersediaan finansial Ashley, 1995. Beberapa negara maju mempunyai usaha yang sistematis untuk mengatasi kendala-kendala ini. Salah satu kendala signifikan pada pelibatan masyarakat lokal dalam wisata alam adalah kurangnya dukungan finansial. Tanpa kredit bersuku bunga rendah dan mekanisme yang workable, kesempatan masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam wisata sangat terbatas. Partisipasi masyarakat dalam wisata alam dapat direalisasikan melalui join venture dengan sektor swasta atau pemerintah. Hal tersebut akan membutuhkan capacity building dalam masyarakat dan peranan LSM dalam hal ini sangat penting. Selain itu, dari kedua pulau terlihat bahwa masyarakat lokal menghadapi situasi yang berbeda dengan pihak swasta dalam memutuskan produk wisata apa yang akan dihasilkan. Pihak swasta investor menentukan produk berdasarkan