Penilaian Ekonomi Jasa Lingkungan untuk Wisata Alam

salah satu aspek dari nilai manfaat total suatu pulau namun hal itu menunjukkan bahwa, dengan manajemen dan konservasi yang tepat, maka kegiatan wisata ini bisa merupakan suatu sumber penting bermanfaat bagi masyarakat lokal dan sumberdaya alam. Tabel 1. Nilai Ekonomi Total Keberadaan Protected Area Penilaian ekonomi suatu protected area = Nilai guna + Nilai bukan guna Langsung: berkaitan dengan kegiatan yang langsung berhubungan dengan penggunaan area tersebut, contohnya: rekreasi, pendidikan, penelitian, berburu. Memiliki nilai pasar Nilai pilihan: jaminan untuk mepertahankan pilihan dari pemanfaatan potensial penggunaan suatu sumberdaya. Protected area seolah-olah sebagai bank sumberdaya Tak Langsung: berkaitan dengan kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan penggunaan area tersebut, contohnya fungsi ekologi, perlindungan sumber air, pengaruh cuaca dan lainnya. tidak memiliki nilai pasar Nilai keberadaan: manfaat dari keberadaan kawasan terlindung. Seringkali diukur dengan keinginan untuk mendonasikan sejumlah uang atau waktu Nilai Pewarisan: manfaat yang ditimbulkan jika suatu sumberdaya tetap ada di masa yang akan datang Sumber: Wells 1997 dan IUCN 1998. Umumnya studi penilaian manfaat rekreasi yang dihasilkan oleh suatu sumberdaya yang bersifat open access dan tidak memiliki tarif non-priced recreation dilakukan dengan metode biaya perjalanan Travel Cost Method atau TCM dan metode kontingensi Contingent Valuation Method atau CVM. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, kedua teknik ini pada dasarnya berupaya memperoleh kurva permintaan dari suatu barang lingkungan. Secara umum teknik valuasi sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan manfaat benefit dan pendekatan biaya cost. Teknik valuasi dengan pendekatan benefit dibagi menjadi dua, yaitu: 1 teknik pengukuran langsung direct yang didasarkan pada survei dimana kesediaan membayar willingness to pay atau WTP diperoleh langsung dari responden stated preference dan 2 teknik pengukuran tak langsung indirect yang mengandalkan harga implisit atau WTP terungkap revealed preference. Sumber: Turner, Pearce dan Bateman 1994. Gambar 4. Metode-metode Penilaian Manfaat Sumberdaya Alam dan Lingkungan CVM merupakan salah satu metode direct sedangkan TCM merupakan salah satu metode indirect. Hasil valuasi melalui CVM umumnya lebih rendah dibandingkan teknik revealed preference khususnya TCM. Hal ini disebabkan pada penghitungan TCM khususnya Individual TCM ITCM selain dihitung biaya perjalanan dan faktor sosial ekonomi, juga turut diperhitungkan nilai waktu Monetary Evaluation Method Demand Curve Approaches Non Demand Curve Approaches Expressed Preference Methods Revealed Preference Methods Contingent Valuation Method Travel Cost Method Hedonic Pricing Method Income Compensated Hicsksian Demand Curve Uncompensated Marshalian Demand Curve Welfare maesure Consumer Surplus Welfare maesure Dose Response Methods Replacement Cost Mitigation Behaviour Opportunity Cost Demand Curves not Obtained No true welfare measures But information useful to policy makers dan faktor lokasi rekreasi substitusi Garod dan Kenneth, 1999. TCM telah banyak digunakan di negara maju untuk mendapatkan kurva permintaan terhadap jasa-jasa rekreasi Hufschmidth et al. 1987. TCM digunakan untuk menilai barang-barang yang dinilai terlalu rendah underpriced. Metode biaya perjalanan menilai secara implisit reaksi harga dan jumlah yang diminta konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan. Hal ini dilakukan dengan meneliti perilaku pengeluaran berdasarkan biaya perjalanan untuk mengkonsumsi barang lingkungan. Beberapa tahun ini, dalam menurunkan nilai surplus konsumen perhatian telah beralih dari Zonal TCM ZTCM ke ITCM Willis dan Garrod, 1999. Hal ini dikarenakan seringkali dalam analisis yang didasarkan pada WTP individual, pengamatan teramat kecil dibandingkan populasi keseluruhan zona. Beberapa masalah penyebab bias telah juga banyak dibahas dalam ITCM. Penyebab bias tersebut diantaranya disebabkan oleh bias pemilihan contoh, dimana semakin sering seseorang berkunjung maka peluang untuk terpilih sebagai contoh juga akan semakin besar. Banyak studi telah menilai economic value dari kegiatan rekreasi pada kawasan pantai dan terumbu karang dengan menggunakan TCM dan CVM dan selanjutnya mengestimasi surplus konsumen wisatawan. Hundloe 1990 menggunakan TCM untuk menghitung surplus konsumen dari wisatawan domestik dan asing pada kawasan terumbu karang di Australia. Surplus konsumen wisatawan domestik sebesar US 117 500 000 per tahun sedangkan US 26 700 000 per tahun pada wisatawan asing. Sedangkan CVM digunakan untuk mengestimasi nilai total dari keberadaan lokasi wisata. Nilai rekreasi berhubungan dengan penggunaan suatu sumberdaya untuk kegiatan rekreasi merupakan penilaian ekonomi yang signifikan. Menurut Spurgeon 1992 peningkatan jumlah wisatawan merupakan manfaat terbesar langsung secara finansial bagi seluruh pengguna sumberdaya tersebut. Costanza et al. 1998 dalam Ruitenbeek 1999 menyatakan bahwa nilai rata-rata terumbu karang secara global pada tahun 1994 adalah US 6 075 per hektar per tahun, dimana nilai sebesar US 3 008 per hektar per tahun merupakan nilai dari pemanfaatannya sebagai tempat rekreasi. Garod dan Kenneth 1999 melakukan valuasi nilai rekreasi pada 74 Forest Recreation Areas FRAs di Malaysia, yang keseluruhan lokasi bersifat open access dan tidak memiliki tarif masuk. Studi ini membandingkan nilai surplus konsumen yang diperoleh setiap wisatawan untuk setiap kali kunjungan dengan menggunakan ITCM dan CVM. Hasil studi menunjukkan surplus konsumen per kunjungan dengan ITCM lebih besar dibandingkan dengan CVM. Nam dan Tran 2001 menggunakan TCM dan CVM untuk menilai jasa rekreasi dari kawasan terumbu karang di P. Hon Mun Vietnam. Berdasarkan analisis ITCM diperkirakan surplus konsumen per kunjungan adalah VND 422 277 dan manfaat rekreasi per kunjungan adalah VND 651 661. Berdasarkan jumlah total pengunjung pada tahun 2000, manfaat total kegiatan rekreasi adalah VND 126.948 milyar per tahun. ITCM pada studi ini hanya diterapkan untuk pengunjung domestik dan tidak meliputi pengunjung asing sebab umumnya wisatawan asing hanya melakukan sedikit sekali kunjungan ke lokasi tersebut rata-rata satu kali. Sedangkan untuk wisatawan asing bernilai 202.4 juta dimana surplus konsumen sebesar VND 23.8 juta. Hasil CVM menunjukkan nilai WTP diperkirakan sebesar VND 6 juta, dimana WTP pengunjung domestik adalah VND 17 956 dan WTP wisatawan asing VND 26 786. Nilai WTP ini dirasakan sangat rendah jika dibandingkan nilai WTP pada areal wisata lain di dunia. Berkaitan dengan penetapan tarif masuk Isangkura 2000 melakukan studi mengenai valuasi lingkungan mengenai sistem tarif masuk taman nasional di Thailand. Studi ini menilai manfaat jasa lingkungan suatu taman nasional, dengan mengkombinasikan metode TCM dan CVM dengan contingent ranking method. Studi ini menganalisis efek lokasi rekreasi substitusi terhadap surplus konsumen. Hasil penelitian ini mampu menilai jasa lingkungan taman nasional serta menunjukkan bahwa terdapat efek substitusi di antara lokasi objek wisata di dalam satu kawasan. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menetapkan tarif masuk ke lokasi tersebut yang selama ini gratis. Biqwanto 2004 melakukan valuasi ekonomi terumbu karang di Kepulauan Seribu. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang di wilayah ini pada tahun 1999 adalah Rp 62 548 478 926 per tahun. Kegiatan perikanan tangkap merupakan kontributor terbesar 28.55 persen, kegiatan marikultur sebesar 14.23 persen sedangkan kegiatan pariwisata sebesar 3.17 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan ekosistem terumbu karang saat ini masih bertumpu pada ekploitasi manfaat langsung yaitu konsumtif di sektor perikanan tangkap, sedangkan manfaat langsung non konsumtif seperti kegiatan pariwisata belum menjadi hal utama. Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa TCM telah banyak digunakan sebagai metode untuk menilai manfaat jasa lingkungan dari keberadaan sumberdaya khususnya untuk kegiatan rekreasi. Metode tak langsung ini pada akhirnya akan memberikan estimasi besarnya surplus konsumen. Saat ini ITCM lebih banyak digunakan karena metode ini dipandang memberikan akurasi yang lebih tinggi, terutama dalam membangun fungsi permintaan, tidak hanya memperhitungkan biaya perjalanan dan faktor sosial ekonomi, tetapi juga keberadaan lokasi rekreasi substitusi. Selain itu untuk mengestimasi tarif masuk suatu objek wisata dapat digunakan CVM. Khusus untuk di Kepulauan Seribu estimasi nilai jasa lingkungan sebagai manfaat langsung non konsumtif belum dilakukan secara spesifik di kedua lokasi penelitian.

2.3 Analisis Kebijakan Pengelolaan Wisata Alam

Kebijakan pembangunan kepariwisataan nasional dan daerah, selalu diarahkan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, sekaligus menciptakan kesempatan kerja. Pembangunan sektor ini diharapkan akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD dan memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat lokal. Demikian pula dengan pengembangan wisata alam tidak lepas dari prinsip ekonomi, konservasi dan pelibatan masyarakat lokal. Analisis kebijakan dalam pengelolaan wisata alam penting dilakukan. Mengingat kegiatan ini dilakukan oleh banyak pihak, yaitu wisatawan, masyarakat lokal, pihak swasta, pemerintah serta lembaga non pemerintah, yang masing- masing memiliki tujuan yang berbeda. Industri wisata menginginkan kondisi bisnis yang kondusif, diantaranya melalui keamanan finansial, pekerja yang terlatih dan bertanggungjawab, atraksi yang diadakan untuk menstabilkan jumlah kunjungan dan pengembalian investasi yang nyata. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM fokus pada sejumlah isu pelestarian lingkungan dan budaya, seperti proteksi lingkungan melalui upaya pencegahan, perbaikan serta perbaikan kerusakan dan memotivasi orang-orang untuk lebih peduli dan selanjutnya tidak menghabiskan sumberdaya. Masyarakat lokal menginginkan lingkungan alami untuk hidup dengan kondisi ketersediaan yang cukup pada pangan, air bersih, sarana kesehatan, pekerjaan dengan upah yang sesuai, pendidikan, rekreasi, penghormatan terhadap tradisi dan budaya serta kesempatan untuk menentukan masa depan. Sedangkan pemerintah ingin menjadikan kegiatan ini sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dan berasumsi bahwa kesemua hal tersebut dapat berjalan apabila terdapat aksesibilitas, sarana prasarana infrastruktur dan aturan dalam penggunaannya Wearing dan Neil, 2000. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait kebijakan pengembangan pariwisata alam. Stein et al. 2003 melakukan studi mengenai penilaian mengenai pengembangan ekowisata di Florida dari berbagai sudut pandang stakeholder. Hasil penelitian tersebut menunjukkan para stakeholder memiliki visi dan prioritas yang berbeda. Pelaku wisata yakin bahwa kegiatan wisata berbasis alam akan membantu menyediakan manfaat langsung atau pun tidak langsung pada daerah. Sedangkan badan manajemen lahan publik concern kepada isu manfaat ekologis dan isu manajemen sumberdaya. Kedua kelompok sepakat untuk melibatkan industri pariwisata dan masyarakat lokal lebih dalam pada perencanaan wisata berbasis alam. Penelitian Sarampe 2004 pada ekoturisme di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, menunjukkan potensi objek ekoturisme di wilayah tersebut adalah wisata hutan, bahari dan budaya. Minat wisatawan cukup tinggi, namun pengelolaan sarana dan fasilitas masih rendah bahkan dapat dikatakan belum ada