Analisis Kelembagaan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang

5.4.5. Analisis Kelembagaan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Cakalang

Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi dan atau aturan main the rules of the game . Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga- lembaga formal seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok Nelayan dan Petani Ikan, Bank dan sejenisnya. Atau dalam masyarakat yang secara lebih formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual anggotanya yang membangun pengaturan dalam interaksi antar anggota-anggota dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Pada analisis kelembagaan perikanan komoditas cakalang dalam penelitian ini, dikaji pada tiga unsur kelembagaan yang dilakukan dengan pendekatan deskripsi kualitatif yang menitik beratkan pada tiga aspek yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan, dan aturan representasi. Analisis deskriptif kelembagaan perikanan ini ditinjau dari hubungan kelembagaan antara Pemerintah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang. Batas Yurisdiksi Banyak permasalahan dan isu dalam ekonomi yang berkaitan dengan struktur dari batas yurisdiksi. Konsep batas yurisdiksi dapat memberi arti batas kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya. Dalam kasus pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap komoditas cakalang, batas yurisdiksi memegang peranan penting dalam menentukan penanggung dan keluaran. Sumberdaya perikanan laut termasuk komoditas cakalang yang lokasinya tersebar sangat luas di wilayah perairan nusantara, dalam melaksanakan pengendaliannya mengalami kesulitan karena mahalnya biaya-biaya transaksi biaya pemantauan, enforcement dari claim negara ataupun pihak-pihak tertentu atas sumberdaya tersebut, sehingga dalam prakteknya tidak mungkin dapat terwujudkan. Dengan demikian, sumberdaya perikanan tersebut mengalami ‘semacam akses terbuka’ quasi open access resources dimana semua pihak mau memaksimumkan keuntungan dari sumberdaya tersebut, sedangkan tidak satupun mau memelihara kelestariannya. 120 Berdasarkan kondisi kelembagaan perikanan dari unsur pemerintah daerah menunjukan bahwa batas kekuasaan atau otoritas kelembagaan dimaksud memiliki kekuasaan yang terbatas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang. Menurut Peraturan Menteri kelautan dan perikanan Nomor: PER.17MEN2006 tentang usaha perikanan tangkap, Pasal 19 ayat 2; pemerintah kabupaten atau Bupati diberi kewenangan untuk menerbitkan SIUP dan atau SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran 5 – 10 GT kepada orang atau badan hukum yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan WPP yang menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan atau tenaga kerja asing. Mencermati aturan di atas dan dikaitkan dengan kondisi aktivitas penangkapan ikan cakalang di wilayah perairan Kepulauan Morotai bagian utara Laut Maluku maka terdapat ketimpangan yang besar. Di perairan Kepulauan Morotai misalnya banyak terdapat kapal asing yang berkapasitas antara 30 – 200 GT yang melakukan kegiatan penangkapan ikan cakalang, baik yang mempunyai izin dari pemerintah pusat, atau izin dari pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, maupun izin dari pemerintah Provinsi Maluku Utara. Ironisnya izin tersebut tidak dikoordinasikan kepada pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, sehingga pemerintah daerah Halmahera Utara mengalami kesulitan dalam melakukan pengawasan. Mestinya daerah-daerah yang wilayah perairannya berada di wilayah perbatasan harus diberi kewenangan khusus dalam mengelolah sumberdaya perikanan baik yang mengatur tentang perizinan dan pengawasan karena pada wilayah ini aktivitas penangkapan ikan sangat tinggi dan sangat rawan akan terjadi kegiatan-kegiatan pencurian ikan oleh nelayan daerahnegara tetangga. Sementara itu untuk unsur kelembagaan nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara tidak mengatur tentang otoritas atau kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang. Namun nelayan di lokasi penelitian mempunyai kesamaan pola pikir bahwa keberadaan sumberdaya laut yakni “sumberdaya perikanan adalah milik bersama common property dan siapa saja mempunyai hak yang sama atas sumberdaya tersebut”. Sesuai hasil pengamatan di lapangan, pada prinsipnya masyarakat nelayan khususnya yang lebih berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya laut tidak merasa keberatan terhadap penilaian di atas, namun lokasi pemanfaatannya haruslah diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu aktivitas 121 mereka di dalam usaha penangkapannya, seperti keberadaan kapal dan rumpon yang dari nelayan asing Fhillipina dan Taiwan. Dalam konteks sesama nelayan lokal, dengan adanya rumpon di suatu wilayah penangkapan telah memberi signal bagi nelayan lainnya bahwa daerah penangkapan tersebut merupakan lokasi penangkapan yang sudah ditetapkan nelayan tertentu dan memberi kejelasan kepada nelayan lainnya bahwa daerah tersebut merupakan batas wilayah operasinya, sehingga bila terdapat nelayan lain ataupun masyarakat yang beroperasi di wilayah tersebut akan menimbulkan konflik. Sedangkan untuk alat tangkap yang sifatnya bergerak aktif seperti jaring, relatif sukar untuk menentukan batas-batas wilayah penangkapan karena tidak ada rambutanda yang menandakan kepemilikan fishing ground oleh nelayan tertentu. Hak Kepemilikan Konsep hak pemilikan selalu mengandung makna sosial, yang mencakup hak rights dan kewajiban obligations yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Implikasinya adalah 1 hak individu merupakan tanggung jawab bagi orang lain, dan 2 kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya perikanan. Dalam kaitannya dengan sifat sumberdaya perikanan laut yang open access, maka hak kepemilikan menjadi suatu polemik diantara para ahli perikanan, dimana jika sumberdaya perikanan menjadi milik setiap orang bukan milik siapapun maka tak seorangpun yang mau bersusah payah untuk memelihara dan mengurus sumberdaya tersebut. Hal ini karena dia tak merasa pasti akan menerima sebagian dari hasil pengelolaannya karena tidak mempunyai hak kepemilikan dari hasilnya. Sebaliknya jika ada lembaga hak milik perseorangan, belum cukup untuk menjamin pengelolaan yang efisien atas sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, hak kepemilikan tersebut haruslah diberikan dalam kadar yang cukup di mana bisa menjamin bahwa pengelola dapat mengendalikan milik tersebut sepenuhnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di bagi dalam wilayah pengelolaan perikanan WPP. Perairan Kepulauan Morotai adalah bagian dari Laut Maluku yang merupakan salah satu WPP di perairan 122 Indonesia. Dalam setiap WPP tersebut diatur jarak dan wilayah penangkapan dari garis pantai yang disesuaikan dengan kapasitas kapal perikanan yang dimiliki. Namun dengan pengawasan yang lemah secara umum operasionalnya sangat merugikan nelayan lokal. Untuk itu maka kegiatan pengawasan mestinya ditingkatkan terutama pada wilayah- wilayah perbatasan dan wilayah yang potensial. Sedangkan secara tradisional masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Morotai dalam penentuan hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut masih bersifat milik bersama dimana belum adanya hak kepemilikan perorangan ataupun lembaga pemerintah maupun pengusahaswasta. Namun demikian, lokasi penangkapan bagi nelayan setempat biasanya sudah berjalan secara alami dan sudah merupakan kesepakan yang tidak tertulis antara nelayan maupun kelompok nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Namun mengingat wilayah ini berada di daerah perbatasan dengan Provinsi Sulawesi Utara dan Negara Fhillipina serta Republik Palau maka gangguan dan kegiatan illegal fishing sering terjadi dari nelayan Sulawesi Utara dan Nelayan asing tersebut. Kejadian illegal fishing tersebut terjadi karena koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah yang tidak jalan sebagaimana mestinya sehingga pengawasan kapal yang beroperasi sesuai dengan wilayah perizinan tidak berjalan dengan baik. Aturan Representasi Aturan representasi rules of representation mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka, sehingga analisis kelembagaan mengenai alternatif aturan representasi akan berguna untuk memecahkan masalah efisiensi dalam pengambil keputusan. Dalam hubungan pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam hal aturan representasi tercermin pada pengambilan keputusan, baik yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program pengembangan perikanan, perizinan usaha perikanan, pajak, retribusi dan lain- lain sebagainya. 123 Dalam konteks ini menunjukan dominasi pemerintah daerah sangat besar, pemerintah daerah sebagai penguasa di daerah sering melakukan keputusan yang sepihak tanpa melakukan musyawarah dengan pengusaha dan nelayan. Kondisi ini terjadi karena pertama; kelembagaan nelayan dan pengusaha tidak mempunyai kekuatan untuk bergaining dengan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan; yang kedua; belum adanya aturankelembagaan di tingkat daerah yang secara spesifik mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap cakalang, sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut belum mempunyai orientasi yang spesifik sesuai dengan potensi dan permasalahan di daerah. Setelah mencermati pembahasan tentang kondisi kelembagaan perikanan, interaksi antar lembaga perikanan dan analisis kelembagaan dalam tiga aspek yaitu yurisdiksi, properti right dan aturan representasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara, menunjukan adanya benang merah mengapa sub sektor perikanan di Kepulauan Morotai khususnya dan Kabupaten Halmahera Utara umumnya belum berkembang dengan baik. Para pakar ekonomi dalam Gonarsyah 2001 mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil kombinasi dari adanya distorsi pasar dan keunggulan komparatif comparative advantage. Distorsi dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah government policy, baik yang bersifat langsung seperti tarif maupun tak langsung seperti regulasi, dan atau karena adanya ketaksempurnaan pasar market imperfection, misalnya adanya monopolimonopsoni domestik. Sementara keunggulan komparatif, yang dicirikan oleh rendahnya biaya relatif di tingkat produsen dapat terjadi karena adanya keunggulan statik static advantage akibat relatif kaya akan sumberdaya alam tertentu, sumberdaya manusia dan lokasi yang strategis; atau karena adanya keunggulan pembelajaran learning advantage yang bersifat dinamik, yang diperolah dari proses pendidikan, pelatihan, pengalaman dan penelitian; atau kombinasi dari keunggulan statik dan keunggulan pembelajaran termasuk kearifan tradisional. Berdasarkan analisis Locational Quotient yang dilakukan secara umum pada wilayah Halmahera Utara di sub bab sebelumnya dalam dua titik waktu yaitu tahun 2000 dan 2004, menunjukan bahwa sub sektor perikanan di Halmahera Utara memiliki keunggulan komparatif, namun kemudian dianalisis dengan metode Shift Share ternyata 124 sub sektor perikanan memiliki keunggulan kompetitif daya saing yang rendah. Hal ini terjadi karena adanya distorsi pasar yang tidak mendukung sub sektor perikanan di Halmahera Utara. Distorsi tersebut terjadi karena adanya kebijakan pemerintah government policy yang terkait dengan tarif maupun aturan-aturan regulasi. Kebijakan pemerintah government policy yang terkait dengan tarif yang paling berpengaruh pada sub sektor perikanan adalah tarif harga ikan dan harga BBM. Perkembangan harga ikan dan tarif BBM di Kepulauan Morotai Halmahera Utara sangat tidak mendukung berkembangnya sub sektor perikanan, pada satu sisi harga ikan sangat rendah sedangkan di sisi yang lain harga BBM sangat tinggi. Kondisi ini sangat menghambat aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang karena biaya produksi cukup mahal. Selain itu aturan-aturan regulasi yang mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang juga masih merugikan bagi berkembangannya sub sektor perikanan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara terutama nelayan kecil. Kondisi wilayah Kepulauan Morotai yang berada di wilayah perbatasan yang potensial akan sumberdaya perikanan cakalang tidak didukung oleh regulasi yang dapat mengatur pemanfaatan potensi tersebut, akibatnya banyak terjadi pencurian ikan illegal fishing, baik yang dilakukan oleh nelayan daerah lain maupun nelayan asing. Kondisi ini memang terjadi karena pengelolaan sumberdaya perikanan di Kepulauan Morotai yang bersifat open acces. Kelembagaan perikanan di Kepulauan Morotai khususnya kelembagaan perikanan cakalang belum mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang secara lestari, masalah ini dikhawatirkan dalam jangka panjang sumberdaya perikanan di Kepulauan Morotai akan mengalami overfishing. Untuk mengatasi jangan sampai terjadi overfishing pada sumberdaya perikanan cakalang dalam jangka panjang, menurut Fauzi 2000b, instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan sektor perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara yakni dengan memadukan kebijakan harga output dan harga input produksi. Instrumen kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang patut dipertimbangkan dalam kaitan dengan permasalahan ini yakni kebijakan yang mengarah pada pengurangan output maupun input yang berlebihan. Salah satu cara konvensional yang umum digunakan untuk mengurangi output produksi yaitu dengan menerapkan 125 sistem quota dan limited entry pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap seperti pembatasan jumlah kapal maupun alat tangkap yang beroperasi dalam suatu perairan maupun jumlah trip penangkapan, sedangkan untuk harga input yaitu dengan penetapan pajak. Strategi lainnya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi kelebihan faktor output dan input produksi adalah dengan mengembangkan potensi ekonomi wilayah pulau-pulau kecil perbatasan di luar sektor perikanan, sehingga surplus tenaga kerja dapat diserap dengan melalui mobilisasi vertikal dan horizontal tenaga kerja. Selain itu, strategi konservasi dengan mengembangkan Marine Protected Area MPA yang mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dapat dijadikan pilihan karena sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi dalam jangka panjang dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan nelayan secara komprehensif. Dalam perspektif sosial budaya masyarakat di Kepulauan Morotai secara historis mempunyai kelembagaan lokal yang berfungsi mengelolah sumberdaya perikanan secara lestari. Kelembagaan-kelembagaan tersebut seperti Kelembagaan Siu di Desa Mira, Sangowo, dan sekitarnya sekarang Kecamatan Morotai Timur, Kelembagaan Hau Gumi dan Giop yang terdapat disemua desa-desa nelayan. Kemudian ada satu kelembagaan perikanan yang cukup berpengaruh dan menjadi falsafah kehidupan nelayan di Kepulauan Morotai adalah kelembagaan Dolabololo. Kelembagaan Dolabololo adalah kumpulan syair yang merupakan pegangan bagi masyarakat Moloku Kie Raha termasuk nelayan di Kepulauan Morotai yang berisi petunjuk atau arahan tentang hubungan antar manusia dengan sesamanya maupun dengan alam sekitarnya. Dalam memanfaatkan sumberdaya laut, para nelayan yang menangkap ikan, memegang teguh falsafah yang terkandung di dalam Dolabololo. Di dalam Dolabololo terdapat syair yang berbunyi HAU FOMA TAI PASI MORO-MORO FO MAKU GISE yang artinya kurang lebih adalah semua nelayan adalah hamba Allah yang mencari nafkah dari harta Allah, sehingga tidak boleh ada yang disembunyikan diantara para nelayan tersebut. Ditinjau dari sosial kapital, kelembagaan di atas memberikan kekuatan tersendiri yang mendudukan para nelayan pada posisi yang sama dalam mencari nafkah. Dengan cara seperti ini telah tercipta suatu pemerataan equity, sehingga tidak ada yang tumbuh cepat dan tidak ada pula yang “ketinggalan kereta”. Kelembagaan seperti ini sangat efektif dalam membina dan memperkokoh sosial kapital diantara mereka, dan 126 ternyata sosial kapital ini telah terbangun selama berabad-abad, dan telah terbukti sangat ampuh dalam menghadapi berbagai gejolak perekonomian, pengaruh politik maupun pengaruh paham eksternal lainnya seperti yang dialami pada zaman penjajah Mansyur, 2000. Namun kelembagaan-kelembagaan lokal tersebut telah lenyap dari tradisi nelayan di Kepulauan Morotai. Menurut Anwar 1994, sebenarnya di Indonesia banyak kelembagaan yang mengandung aspek-aspek pengaturan komunal dan pengelolaan wilayah pantai yang dapat berfungsi sebagai kontrol dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Namun demikian pemerintah kurang manghargai arti dari kelembagaan ini, maka secara de facto sumberdaya perairan menjadi akses terbuka di sebagian besar perairan Indonesia. Untuk itu maka, upaya revitalisasi kelembagaan lokal yang dimiliki oleh nelayan di Kepulauan Morotai merupakan satu hal yang penting dalam penataan kelembagaan perikanan di Kepulauan Morotai atau paling tidak nilai-nilai dari kelembagaan perikanan tradisional tersebut ditransformasikan ke dalam lembaga perikanan yang dikelola dengan menggunakan manajemen moderen. Selain itu, penataan kelembagaan perikanan yang sering dijumpai di desa-desa pantai nelayan seperti kelembagaan bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, serta kelembagaan pemasaran dan perkreditan menjadi hal lain yang juga sangat penting untuk dibenahi di Kepulauan Morotai. Dalam hal kelembagaan bagi hasil, aktivitas nelayan di Kepulauan Morotai telah ada sejak lama, sistem bagi hasil ini dijumpai dan berlaku antara pemiliki modal dan operator, serta pembagian hasil antara operator dalam hal ini antara juragang dan anak buah kapal dalam satu unit armada penangkapan, namun pembagiannya terasa belum seimbang antara keduanya. Dengan prosentase 50 untuk pemilik modal dan 50 untuk operator menggambarkan pembagian yang menguntungkan pemiliki modal, karena dalam 50 untuk operator kemudian dibagi untuk juragang dan anak buah kapal. Sedangkan dalam kelembagaan hubungan kerja yaitu bersifat mutualistik antara pihak pungusaha perusahaan dan nelayan. Dalam kelembagaan ini pengusaha sebagai pemilik modal dan nelayan memiliki tenaga kerja dan ketrampilan dalam usaha perikanan, mereka memiliki perjanjiankesepakatan dimana pengusaha menyediakan modal dan peralatan dan nelayan berfungsi sebagai pemasok hasil perikanan tersebut kepada pengusaha, namun kondisi ini nelayan berada pada posisi tawar yang lemah 127 terutama dalam penentuan harga ikan. Kondisi yang sama di alami pada kelembagaan pemasaran dan perkreditan, dalam kelembagaan ini fungsi pemasaran dan perkreditan dilakoni secara sepihak oleh pengusaha perikanan, hal ini karena lembaga-lembaga perkreditan seperti perbankan dan koperasi di Kepulauan Morotai belum berperan dengan baik. Nelayan di Kepulauan Morotai umumnya melakukan kredit berupa modal usaha dan peralatan penangkapan kepada pengusaha dan sebaliknya hasil dari penangkapan tersebut wajib di pasarkan atau dijual kepada pengusaha yang memberikan kredit tersebut. Dalam konteks penataan kelembagaan bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, serta kelembagaan pemasaran dan perkreditan di Kepulauan Morotai hal yang perlu dibenahi adalah penataan aturan yang dapat menguatkan posisi tawar yang menguntungkan pihak nelayan. Untuk penguatan posisi tawar nelayan terhadap pengusaha maka harus diawali dengan penataan kelembagaan nelayaan itu sendiri. Untuk mencapai kondisi tersebut perlu kerja keras dari pemerintah daerah dan tokoh- tokoh masyarakat stakeholders yang bergerak di bidang perikanan, karena saat ini kondisi kelembagaan perikanan khususnya perikanan cakalang berada pada kondisi yang tidak terorganisir dengan baik, bahkan ada desa-desa nelayan yang tidak memiliki organisasi nelayan. Selain itu peningkatan peranan perbankan dan koperasi menjadi satu prioritas yang harus cepat ditata. Peranan perbankan harus dapat mengadakan skim kredit yang memudahkan nelayan untuk mengakses modal usaha, hal yang sama juga berlaku pada penataan koperasi, terutama koperasi nelayan yang terasa penting untuk memenuhi modal usaha dan peralatan serta kebutuhan nelayan. Dengan gambaran sub sektor perikanan khususnya komoditas cakalang dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara di atas, maka diperlukan adanya kelembagaan pemerintah daerah, nelayan dan pengusaha yang terorganisir secara integratif, baik secara organisasi maupun secara aturan mainnya rules of the game dalam mengembangakan sub sektor perikanan, sehingga harapan untuk menjadikan sub sektor perikanan sebagai sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif kedepan dapat terwujud. 128 129

5.5. Networking Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Morotai Halmahera Utara