Asimilasi Antara Penduduk Migran Dengan Penduduk Lokal (Studi kasus : Interaksi Multietnis di Kelurahan Tigabinanga,Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo)

(1)

ASIMILASI ANTARA PENDUDUK MIGRAN DENGAN PENDUDUK LOKAL

(Studi kasus : Interaksi Multietnis di Kelurahan Tigabinanga,Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo)

Oleh :

Sri Handayani Ginting

(100901075)

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

ABSTRAK

Keberadaan masyarakat yang majemuk tidak menutup kemungkinan untuk bisa hidup berbaur. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dihilangkan ketika masyarakat kembali menyadari bahwa ia adalah mahluk sosial dan berawal dari proses interaksi yang terjalin aktif sehingga menimbulkan suatu pengenalan satu akan yang lain. Keberadaan penduduk lokal (Suku Karo) yang dikenal memiliki nilai adat istiadat yang kental dan pembuka wilayah Kelurahan Tiga Binanga (Host Population), bisa menerima kedatangan para migran yang berasal dari daerah dan kebudayaan yang berbeda. Pekerjaan ganda yang dimiliki oleh penduduk lokal menjadikan mereka sangat membutuhkan bantuan jasa tenaga kerja guna membantunya dalam mengelola berbagai kegiatan atau usahanya. Interaksi yang mereka jalin terlihat bukan seperti hubungan majikan dan buruh namun terlihat seperti keluarga. Penduduk lokal mempercayakan kegiatannya dikerjakan oleh penduduk migran dan bukan oleh kerabatnya yang lain. Perbedaan yang ada otomatis membutuhkan banyak startegi bagi penduduk migran, untuk mendekatkan diri dan mengenal penuduk lokal yang memiliki latarbelakang kebudayaan yang berbeda dengannya. Hal tersebutlah yang pada saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga.

Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga merupakan lokasi penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif melalui teknik observasi, wawancara dan penghayatan. Penelitian ini dilakukan terhadap 17 (tujuh belas) orang informan. 12(dua belas) penduduk migran dan 5 (lima) orang penduduk lokal.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa adanya proses asimilasi antara penduduk migran dan penduduk lokal. Berawal dari interaksi yang aktif dan sikap masyarakat yang sama-sama saling menghargai satu sama lain serta lebih mementingkan tujuan bersama. Hubungan penduduk migran dan penduduk lokal menimbulkan rasa ketergantungan satu sama lain. Strategi yang dilakukan penduduk migran untuk mendekatkan diri dengan penduduk lokal berujung kepada hubungan kerja sama yang baik sehingga terbentuk suatu ikatan kekeluargaan. Penduduk migran diberikan penghormatan “Marga” dan berlanjut kepada adanya proses amalgamasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Tidak bersikap etnosentrisme namun mau belajar dan mengenal kebudayaan yang lain dapat meningkatkan nilai teloransi selaku rakyat Indonesia dan hal tersebut menjadi kekayaan Bangsa Indonesia.


(3)

KATA PENGANTAR

Kemuliaan bagi Allah yang Esa yang Maha Kasih dan Adil. Oleh karena anugerah-Nya semata, saya dapat menyelesaikan tugas saya sebagai mahasiswa S1 di departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Saya sangat bersyukur oleh bimbingan-Nya melalui doa, firman, dan dukungan orang-orang di sekeliling saya, Ia menyatakan kehendak-Nya dalam mengarahkan saya sebagai mahasiswa yang takut akan Allah.

Dalam pengerjaan skripsi ini, saya menyadari keterbatasan saya dalam hal pengetahuan, pengalaman, dan kelemahan lainnya sebagai mahasiswa. Namun, itu tidak menjadi penghalang bagi saya untuk selalu berjuang memberikan yang terbaik sebagai mahasiswa. Saya menyadari penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan doa dan kerja sama dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun materil. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua saya yaitu, Bapak B. Ginting dan Mamak K. Br Sebayang yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian serta doa dalam setiap keterbatasannya sebagai manusia, tetapi terus berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Untuk Biring, K’Maria, B’Darwan, Arya, terimakasih untuk dukungannya.

2. Bapak Prof. Badarudin M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang juga pernah membimbing saya dalam memahami sosiologi. 3. Ibu Dr. Rosmiani, MA, selaku Sekretaris Dekan yang telah memberikan

motivasi dan semangat dalam belajar dan mengajarkan banyak ilmu selama saya menjadi mahasiswa.

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi yang telah memberikan pengajaran yang sangat berarti selama saya menjadi seorang mahasiswa sehingga saya mengerti bagaimana seharusnya menjadi mahasiswa yang berprestasi dan rajin dalam belajar.

5. Bapak Dr. Sismudjito, M.Si, selaku dosen pembimbing saya yang membantu saya dalam menyelesaikan skripsi. Beliau juga telah


(4)

memberikan pengajaran yang sangat berarti selama saya menjadi seorang mahasiswa. Terimakasih untuk motivasi dan kasih sayang yang diberikan. 6. Seluruh dosen pengajar Departeen Sosiologi yang telah membimbing saya

selama saya menjadi mahasiswa.

7. Seluruh pegawai departemen dan pendidikan yang membantu dan mendukung proses penyelesaan studi dalam urusan administrasi di Departemen dan Pendidikan.

8. PKK dan teman-teman KTB saya, Calvary Evangelion, yaitu Kakak Mutiara Ginting M.Sp, Yolanda Friscilia Pandia, Santiur Manurung. Terimakasih atas persekutuan kita dalam belajar menjadi mahasiswa yang takut akan Allah. Semoga kita menjadi garam dan terang dimanapun kita berada.

9. Adik-adik rohani saya yang saya kasihi yaitu, Tania Naibaho (Sosiologi 2013) dan Bonar (Sosiologi 2013). Terimakasih atas doa dan perhatian kalian. Semoga kalian juga bisa bertumbuh di dalam Tuhan dan mengerjakan studi kalian dengan tetap mengandalkan Tuhan.

10.TPP (Tim Pengurus Pelayanan) UKM KMK USU UP PEMA FISIP 2013 (Davit, Chintya, Kak Damai, Bang Mian, Chandra, Elisabet, Marisi, Meriau, Yolanda, Santiur). Terimakasih atas dukungan dan motivasi teman-teman, semoga kita menjadi alumni yang bisa menjadi berkat bagi setiap orang.

11.Seluruh keluarga besar UKM KMK USU dan UKM KMK UP PEMA FISIP, tetap semangat dalam mengerjakan tugas sebagai seorang murid Kristus.

12.Seluruh keluarga besar IMKA EGUANINTA FISIP (B’Salmen Sembiring, Terangta, Ginta, Jopy, Indah, Ana, Nobina, Sinta,) serta teman-teman dari IMKA Universitas lain (Jefry, Philip, dll), mari kita tetap belajar mengenal dan memlihara kebudayaan kita.

13.Seluruh sahabat dan rekan-rekan saya yang telah mendukung saya di dalam doa. Buat kakak terkasih K’Desmi, K’Yanti, K’Melva, Sahabat saya Bonifasia, Netanel, Esron, Christina, B’Resmando, Emita, Priska, Ruly,


(5)

Nevo, Oki, ABSTEIN, B’Bowo, B’ Iwan Peyek, Lemon, Lyus, Dicky, dan teman-teman lainnya.

14.Seluruh informan yang telah membantu saya dalam proses penelitian skripsi.

15.Seluruh staf pegawai kantor Kelurahan Tiga Binanga.

Medan, Oktober 2014


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Defenisi Konsep ... 12

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1Interaksi Sosial ... 14

2.2 Interaksionisme Simbolis ... 15

2.3 Hubungan Antar-Kelompok ... 18

2.4 Teori Asimilasi Budaya ... 19

2.5 Adaptasi Sosial ... 21

2.6 Amalgamasi ... 24

2.7 Teori Migrasi ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 28


(7)

3.2 Lokasi Penelitian ... 28

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 29

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.5 Interpretasi Data ... 31

3.6 Jadwal Kegiatan ... 31

BAB IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 32

4.1.1Keadaan Geografis ... 32

4.1.2 Keadaan Penduduk ... 35

4.2 Profil Informan ... 38

4.2.1Profil Penduduk Migran ... 39

42.2 Profil Penduduk Lokal ... 64

4.3 Pola Asimilasi Antara Penduduk Migran dengan Penduduk Lokal . 72 4.3.1Terjalin interaksi yang baik ... 72

4.3.2 Terjalin Kerja Sama ... 74

4.3.3 Adanya Simbiosa Mutualisme ... 77

4.3.4 Terjalin Hubungan Kekeluargaan ... 79

4.3.5 Terjadi Amalgamasi ... 82

4.4 Strategi yang Dilakukan Oleh Penduduk Migran Sehingga Mampu Menjalin Kerja Sama dan Membentuk Kekeluargaan denegan Penduduk Lokal ... 85


(8)

4.4.2 Belajar Mengenal Nilai dan Norma di Tengah-Tengah Masyarakat ... 86 4.4.3 Berusaha Mendekatkan Diri ... 87

4.4.3.1 Sering Berkunjung ke Rumah Penduduk Lokal ... 88 4.4.3.2 Memberi Makanan Kepada Tetangga atau Penduduk Lokal ... 89 4.4.3.3 Meningkatkan Intensitas Pertemuan di Warung ... 90 4.4.3.4 Berpartisipasi di dalam Kegiatan-kegiatan

Sosial Budaya ... 91 4.4.4.4 Memperlihakan Kualitas Kerja ... 93 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 96 5.2 Saran ... 98 DAFTAR PUSTAKA ... 100 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Desa/ Kelurahan Tahun 2007 Kecaamatan Tiga Binanga

4.2 Data Jumlah Penduduk di Kelurahan Tiga Binanga 4.3 Agama Penduduk di Kelurahan Tiga Binanga 4.4 Jumlah Sarana Ibadah

4.5 Jumlah Penduduk 10 (Sepuluh) tahun ke Atas Menurut Pekerjaan 4.6 Jumlah Usaha yang Ada di Desa

4.7 Data Penduduk Migran Berdasarkan Usia, Pendidikan Terakhir, Asal, dan Lama Tinggal


(10)

ABSTRAK

Keberadaan masyarakat yang majemuk tidak menutup kemungkinan untuk bisa hidup berbaur. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dihilangkan ketika masyarakat kembali menyadari bahwa ia adalah mahluk sosial dan berawal dari proses interaksi yang terjalin aktif sehingga menimbulkan suatu pengenalan satu akan yang lain. Keberadaan penduduk lokal (Suku Karo) yang dikenal memiliki nilai adat istiadat yang kental dan pembuka wilayah Kelurahan Tiga Binanga (Host Population), bisa menerima kedatangan para migran yang berasal dari daerah dan kebudayaan yang berbeda. Pekerjaan ganda yang dimiliki oleh penduduk lokal menjadikan mereka sangat membutuhkan bantuan jasa tenaga kerja guna membantunya dalam mengelola berbagai kegiatan atau usahanya. Interaksi yang mereka jalin terlihat bukan seperti hubungan majikan dan buruh namun terlihat seperti keluarga. Penduduk lokal mempercayakan kegiatannya dikerjakan oleh penduduk migran dan bukan oleh kerabatnya yang lain. Perbedaan yang ada otomatis membutuhkan banyak startegi bagi penduduk migran, untuk mendekatkan diri dan mengenal penuduk lokal yang memiliki latarbelakang kebudayaan yang berbeda dengannya. Hal tersebutlah yang pada saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga.

Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga merupakan lokasi penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif melalui teknik observasi, wawancara dan penghayatan. Penelitian ini dilakukan terhadap 17 (tujuh belas) orang informan. 12(dua belas) penduduk migran dan 5 (lima) orang penduduk lokal.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa adanya proses asimilasi antara penduduk migran dan penduduk lokal. Berawal dari interaksi yang aktif dan sikap masyarakat yang sama-sama saling menghargai satu sama lain serta lebih mementingkan tujuan bersama. Hubungan penduduk migran dan penduduk lokal menimbulkan rasa ketergantungan satu sama lain. Strategi yang dilakukan penduduk migran untuk mendekatkan diri dengan penduduk lokal berujung kepada hubungan kerja sama yang baik sehingga terbentuk suatu ikatan kekeluargaan. Penduduk migran diberikan penghormatan “Marga” dan berlanjut kepada adanya proses amalgamasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Tidak bersikap etnosentrisme namun mau belajar dan mengenal kebudayaan yang lain dapat meningkatkan nilai teloransi selaku rakyat Indonesia dan hal tersebut menjadi kekayaan Bangsa Indonesia.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan memiliki sekitar 500-an suku bangsa. Sejak berdiri, wilayah Indonesia dihuni oleh berbagai kelompok etnik, agama dan ras yang hidup bersama dalam suatu wilayah Indonesia. Keanekaragaman yang berbeda-beda menjadi kekayaan bangsa Indonesia, setiap suku yang ada didalamnya memiliki ciri-ciri dan latar belakang kebudayaan yang berbeda yang berjajar dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki lima buah pulau besar yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan banyak lagi pulau-pulau kecil yang ditempati oleh masyarakat Indonesia. Pulau-pulau tersebut ditempati oleh suku-suku yang beranekaragam dengan bahasa, sikap, dan budaya yang mencirikan jati diri mereka.

Bangsa Indonesia tetap menjunjung tinggi BHINEKA TUNGGAL IKA yaitu meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua, yang artinya bahwa masyarakat Indonesia menghormati setiap perbedaan yang dimiliki oleh setiap suku bangsa yang ada didalamnya. Budaya dan kebiasaan yang khas pada suatu suku bangsa merupakan salah satu ciri untuk membedakan antara suatu suku bangsa dengan suku bangsa yang lain. Kekhasan itu dapat dianggap sebagai kebudayaan dari suku bangsa yang bersangkutan. Keberagaman budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah sebuah potensi untuk membentuk identitas kita sebagai bangsa Indonesia (Wirutomo, 2012:87).


(12)

Kebudayaan suku bangsa salah satunya adalah tingkah laku atau prilaku manusia baik dalam kehidupan sehari-harinya, maupun caranya ia berhubungan dengan orang lain, karena hal tersebut menimbulkan interaksi. Setiap tindakan yang ditunjukkan dari setiap suku bangsa yang berbeda biasanya akan menimbulkan pola interaksi yang berbeda pula, seturut dengan latar belakang budaya yang mereka miliki masing-masing.

Manusia memiliki naluri untuk senantiasa berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang berkesinambungan tersebut menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan pola interaksi sosial. Manusia memiliki sifat yang dapat digolongkan ke dalam manusia sebagai makhluk sosial artinya dituntut untuk menjalin hubungan sosial dengan sesamanya. Hubungan sosial merupakan salah satu hubungan yang harus dilaksanakan, mengandung pengertian bahwa dalam hubungan itu setiap individu menyadari tentang kehadirannya di samping kehadiran individu lain. Hal ini disebabkan bahwa dengan kata sosial berarti “hubungan yang berdasarkan adanya kesadaran yang satu terhadap yang lain, di mana mereka saling berbuat, saling mengakui dan saling mengenal atau mutual action dan mutual recognition”. Manusia sebagai makhluk sosial, dituntut pula ada kehidupan berkelompok, sehingga keadaan ini mirip sebuah community, seperti desa, suku bangsa dan sebagainya yang masing-masing kelompok memiliki ciri yang berbeda satu sama lain (Santosa, 1999:13).

Tidak dipungkiri bahwa selama manusia itu masih hidup maka manusia tersebut akan melakukan interaksi antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia tersebut adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Interaksi merupakan syarat utama terjadinya


(13)

aktivitas-aktivitas sosial. Melalui interaksi tersebut maka manusia mampu mengevaluasi dirinya. Kehidupan masyarakat yang setiap harinya melakukan aktivitas guna kelangsungan hidup, dimana interaksi terjadi melalui kontak sosial dan komunikasi. Manusia senantiasa untuk bertemu dan berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitarnya. Arti penting dari komunikasi adalah bahwa seorang memberikan tafsiran pada prilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Kontak sosial terjadi apabila orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Melalui komunikasilah masyarakat akan menjalin kerja sama (Soekanto, 1990:67).

Salah satu penelitian yang menunjukkan kehidupan masyarakat yang majemuk dalam penelitian Novendra dan kawan-kawan dalam buku Integrasi Nasional di Daerah Riau Suatu Pendekatan Budaya tentang hubungan sosial penduduk ”asal” dengan ”pendatang” yaitu masyarakat Melayu dan Banjar. Terjalinnya hubungan sosial menimbulkan kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan. Bidang ekonomi misalnya, interaksi terjadi di pasar. Pedagang di pasar Tembilahan adalah orang-orang Banjar, hanya sebagian kecil dari Cina dan Minang. Para penduduk melayu yang bertindak sebagai pembeli, berinteraksi dengan parapenjual dari Banjar. Bentuk kerja sama lain terlihat dalam lingkungan tempat tinggal yang membaur dengan lingkungan RT atau RW dan membentuk kelompok arisan. Dari bidang sosial kerjasama mereka terlihat pada peristiwa-peristiwa hari raya, pesta perkawinan atau sunat Rasul, upacara keagamaan, siskamling dan gotong-royong. Secara keseluruhan bahwa interaksi masyarakat


(14)

Melayu dan Banjar baik, akrab dan saling tenggang rasa diakibatkan karena pemukiman mereka yang membaur dan mereka memiliki satu keyakinan agama (Novendra dkk, 1995/1996 : 25-26).

Contoh kasus di atas yang membahas pola interaksi masyarakat Banjar dan Melayu memperlihatkan meskipun mereka memiliki banyak perbedaan baik dari kebudayaan dan prilaku namun tetap saja mereka dapat bekerjasama dalam aktivitas sehari-hari. Hal tersebut dipengaruhi juga oleh kondisi tempat tinggal mereka yang membaur dan keyakinan yang sama, namun bagaimana pola interaksi masyarakat jika masyarakat Indonesia yang melakukan migran hidup di suatu daerah dengan banyak perbedaan dan dalam lingkungan tempat tinggal yang tidak membaur. Tidak semua hubungan antar kelompok etnik mengarah kepada konflik. Keberagaman kelompok etnik dan perbedaan budaya yang ada dalam suatu masyarakat juga dapat menghasilkan hubungan kerja sama, bahkan pembauran antar kelompok etnik dalam interaksi sehari-hari secara alamiah. Dalam konteks sehari-hari kita juga dapat merasakan perbedaan budaya dan keberagaman kelompok etnik tidak serta merta menjadi halangan dalam berinteraksi. Hal itu justru merupakan potensi masyarakat yang secara positif dapat dikembangkan sebagai unsur-unsur pembentuk identitas masyarakat Indonesia (Wirutomo, 2012:88).

Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis yaitu Batak, Angkola atau Mandailing, Melayu dan Nias, serta terdapat juga berbagai daerah di dalamnya. Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Karo merupakan sebuah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo. Suku Karo yang


(15)

dalam bahasa aslinya disebut Kalak Karo merupakan salah satu suku asli di Sumatera Utara. Suku ini memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa Karo atau Cakap Karo dan aksaranya sendiri. Bramderisco. 2010. Suku Karo

http://bramderisco.wordpress.com/tag/suku‐karo/. diakses 7 Maret 2014, pukul

21.31 WIB.

Kabanjahe sebagai Kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten Karo merupakan salah satu wilayah yang memiliki masyarakat majemuk. Kabanjahe dominan ditempati oleh masyarakat asli suku Karo dan beberapa suku pendatang lainnya. Suku Karo ini mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi suku Karo sendiri. Masyarakat Karo kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Dilihat dari letak geografis Tanah Karo maka mata pencarian utama masyarakat Karo adalah pertanian dan peternakan. Penduduk asli di daerah Kabanjahe adalah masyarakat Suku Karo. Meskipun di Kabanjahe didomisili oleh masyarakat Suku Karo, namun tidak terpungkiri persebaran masyarakat baik dari kalangan Suku lain juga tetap terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dari keanekaragaman masyarakat yang tinggal dan bekerja di Kabanjahe. Suku Karo yang merupakan mayoritas dari penduduk Kabanjahe, yaitu 60% dari keseluruhan penduduk kota ini. Selain dari Suku Karo masih ada suku-suku lain di Kabanjahe, seperti Suku Toba, Simalungun, Dairi, Minangkabau, Jawa dan Cina. Payung, 1981. Pelapisan sosial di Kabanjahe. Jakarta: UI FISIP

http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=91277&lokasi=lokal,


(16)

Persebaran masyarakat yang berasal dari suku lain menjadikan semakin tingginya keanekaragaman di wilayah Kabanjahe dan semakin memungkinkan adanya interaksi sosial didalamnya. Sejauh ini meskipun pulau Sumatera memiliki berbagai macam suku namun hingga saat ini belum pernah ditemukan konflik antara suku didalamnya. Demikian juga dengan daerah Kabanjahe yang penduduk aslinya adalah Suku Karo yang hingga pada saat ini juga belum pernah ditemukan kerusuhan antar etnik. Terlihat meskipun dengan beranekaragam suku yang ada didalamnya menjadikan interaksi masyarakat semakin meningkat dan hidup saling menghormati perbedaan. Dapat diartikan bahwa dengan keanekaragaman tersebut tidak menjadi konflik bagi masyarakat.

Masyarakat yang tinggal di Kabanjahe terdiri dari berbagai ragam etnik, bukan hanya Suku Karo. Hal tersebut di buktikan dengan banyaknya dijumpai rumah peribadatan masyarakat baik Mesjid dan bangunan Gereja suku seperti GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun ), HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), keragaman suku yang meningkatkan tingkat interaksi juga terdapat di daerah Tiga Binanga yang merupakan salah satu daerah Kecamatan di wilayah Kabanjahe. Penduduk asli masyarakat Tiga Binanga adalah Suku Karo atau diidentikkan dengan etnis yang lebih dahulu menghuni teritori pemukiman. Mereka hidup dengan bekerja sebagai petani dan akrab dengan alam. Kehidupan masyarakat di Kecamatan Tiga Binanga tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Karo. Kehidupan masyarakat yang terdapat di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga yang menjadi tuan tanah (host population) dengan sistem kebudayaan yang masih kental dengan peradatan. Artinya terdapat budaya karo yang menjunjung nilai kekerabatan


(17)

hingga saat ini tetap dipertahankan yang biasa disebut dengan sangkep nggeluh. Yaitu suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri atas senina, anak beru dan kalimbubu (Tribal Collibium) ( Prinst, 2008:43).

Masyarakat Suku Karo memiliki lahan perladangan yang luas karena nenek moyang mereka merupakan pembuka tanah (Host Population) di wilayah Tiga Binanga. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan sejarah berdirinya wilayah Kelurahan Tiga Binanga yang dahulunya dikepalai oleh Ngadang Sebayang yang menjadi pemimpin selama empat dasawarsa di Kelurahan Tiga Binanga. Hingga saat ini yang menjadi tuan tanah di wilayah Kelurahan Tiga Binaga adalah bermarga Sebayang yang merupakan keturunan dari Ngadang Sebayang yang menjadi pembuka Kelurahan tersebut. Menjabat menjadi Kepala Kampung selama 46 tahun menjadikan keturunan dari beliau memiliki warisan tanah yang luas, hingga sekarang masyarakat tetap mempertahankan sistem pertanian sebagai salah satu sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian. Irwan. 2011.

Silima Merga. Tanah Karo. (http://silima‐

merga.blogspot.com/2011/02/gambaran‐umum‐kecamatan‐tiga‐binanga.html

diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 8.29 WIB).

Kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah Kelurahan Tiga Binanga dapat dikatakan memiliki semangat tinggi dalam bekerja. Terlihat hampir keseluruhan masyarakat bekerja keras guna meningkatkan pendapatan perekonomian untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Misalnya saja dilihat dari semangat kerja masyarakat Suku Karo, meskipun mereka memiliki lahan pertanian yang luas namun masyarakat tidak hanya sepenuhnya berprofesi sebagi petani. Masyarakat juga melakukan pekerjaan sampingan seperti membuka


(18)

usaha dagang, baik membuka pertokoan, rumah makan dan layanan sosial lainnya, ada juga masyarakat yang berjualan ketika tiba hari selasa yang merupakan hari pekan bagi masyarakat Kecamatan Tiga Binanga. Selain itu ada juga masyarakat yang membuat usaha home industry, misalnya seperti menganyam tikar, membuat kursi dari bahan bambu. Artinya masyarakat memiliki pekerjaan ganda sehingga membutuhkan orang lain guna membantu mengelola pekerjaannya.

Berdasarkan hasil Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 Kabupaten Karo, Kalvin Sitepu sebagai kordinator BPS Kecamatan Tiga Binanga menyatakan bahwa kondisi kehidupan sosial ekonomi meningkat di Kelurahan Tiga Binanga. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata pendapatan hasil panen masyarakat khususnya dari sektor pertanian ladang sawah yaitu mencapai 356 ton/Ha/tahun. Jadi hal tersebut dapat menjadi salah satu pemicu banyaknya masyarakat yang berasal dari luar daerah Tiga Binanga tertarik untuk datang dan mencari pekerjaan. Peningkatan kehidupan sosial ekonomi penduduk Kelurahan Tiga Binanga dapat dilihat dari semakin tingginya kesadaran para masyarakat akan pentingnya peran pendidikan dalam memperbaiki kualitas kehidupan serta semakin bersemangatnya penduduk bekerja dalam upaya meningkatkan pendapatan ekomoni.

Kalvin. 2013.Tiga Binanga dalam angka. Kabanjahe : BPS

(http://karokab.bps.go.id/data/publikasi/kca030_13/files/search/searchtext.xml

diakses 11 Februari 2014, pukul 21.00 WIB).

Penduduk migran yang datang dan memasuki Kelurahan Tiga Binanga berasal dari suku Jawa, Batak Toba , Padang dan Nias. Beberapa suku yang ada di Sumatera seperti Suku Batak Toba, Padang dan Nias memiliki suatu ciri budaya merantau dan Kelurahan Tiga Binanga ini menjadi salah satu tempat bagi


(19)

suku-suku tersebut untuk mengadu nasib. Hal ini disebabkan karena masyarakat di Kelurahan Tiga Binanga memiliki lahan perladangan yang luas dan secara otomatis membutuhkan pekerja yang banyak guna mengerjakan kegiatan pertanian. Selain itu juga banyak ditemukan usaha-usaha masyarakat yang membutuhkan pekerja sehingga menjadi suatu peluang bagi penduduk migran untuk memperoleh pekerjaan. Peningkatan luas lahan panen masyarakat mencapai 676 ha/tahun serta hasil produksi mencapai 2407 ton/tahun. Kalvin. 2013.Tiga Binanga dalam angka. Kabanjahe : BPS

(http://karokab.bps.go.id/data/publikasi/kca030_13/files/search/searchtext.xml

diakses 11 Februari 2014, pukul 21.30 WIB). Hal tersebut menjadikan anggota keluarga tidak sanggup untuk mengerjakan pekerjaan ladangnya. Maka dari itu mereka membutuhkan banyak tenaga kerja guna membantu mereka dalam mengelola pekerjaannya. Pada awalnya kegiatan pertanian dikerjakan oleh kerabat atau keluarga sipemilik lahan secara bergotong-royong, namun sekarang justru migran tersebut yang mengambil alih sebagai pekerja. Penduduk lokal justru mengajak para migran untuk bekerjasama dengannya dalam mengelola lahan pertaniannya. Padahal penduduk lokal memiliki kerabat-kerabat yang dapat diajak untuk bekerja sama dalam megelola pekerjaan ladangnya. Namun penduduk lokal mempercayakan para migran yang tidak memiliki hubungan kekerabatan untuk bekerjasama. Hal yang menjadi sorotan lainnya adalah hubungan antara penduduk migran dengan penduduk lokal tersebut tidak hanya sebatas hubungan majikan dengan pekerja. Namun hubungan mereka menjadi terlihat lebih akrab satu dengan yang lainnya. Berawal dari interaksi yang kerap dilakukan sehingga memungkinkan juga timbulnya pola asimilasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Maka dari itulah penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pola asimilasi antara penduduk migran dengan penduduk lokal. Melalui penelitian ini,


(20)

diharapkan terlihat jelas adanya pola asimilasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Termasuk didalamnya strategi adaptasi seperti apa yang dilakukan oleh penduduk migran sehingga mereka dapat membentuk kerja sama dan sistem kekerabatan dengan penduduk lokal yang ada di daerah Kelurahan Tiga Binanga.

1.2Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah dijelaskan melihat kondisi wilayah Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo yang memiliki jenis tanah yang subur dan penduduk lokal tersebut hidup dengan sistem peradatan yang masih kental. Namun kondisi wilayah saat ini terlihat ramai didatangi oleh penduduk migran yang berasal dari suku dan kebudayaan yang berbeda dengan penduduk lokal, namun dapat membentuk suatu sistem kekerabatan dan menjalin kerja sama. Untuk itu adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana Pola asimilasi penduduk Migran dengan Penduduk Lokal di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo ? 2. Bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh Penduduk Migran

sehingga mampu menjalin kerja sama dan membentuk kekeluargaan dengan penduduk lokal di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :


(21)

1. Dari analisa mengetahui bagaimana pola asimilasi penduduk Migran dan Penduduk Lokal yang ada di Kelurahan Tiga Binanga Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo serta bagaimana strategi yang mereka lakukan untuk membentuk kerja sama dan menjalin sistem kekerabatan.

2. Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti beserta para pembacanya guna meningkatkan pemahaman akan kehidupan masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

a. Hasil penelitan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi dalam pengembangan ilmu khususnya sosiologi Pedesaan, Sosiologi Keluarga dan Hubungan Antar-Kelompok.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber dan masukan bagi pembacanya guna lebih memahami kehidupan masyarakat sosial khususnya lebih mengetahui bagaimana pola asimilasi penduduk Migran dengan Penduduk Lokal serta bagaimana strategi yang dilakukan oleh pendatang migran sehingga membentuk kerja sama dan menjalin sistem kekerabatan di Kelurahan Tiga Binanga kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo.

1.4.2Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis dalam membuat karya ilmiah dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.


(22)

1.5 Definisi Konsep a. Asimilasi

Asimilasi adalah Suatu proses sosial dimana seseorang diperhadapkan dengan kebudayaan asing dan kebudayaan asing tersebut disaring dan diterima namun kebudayaan asing tersebut tidak merubah kebudayaan aslinya. Dalam hal ini menjelaskan adanya asimilasi yang berawal dari interaksi sosial antara masyarakat lokal (Host Population) yaitu masyarakat Suku Karo dengan masyarakat Migran yang berasal dari Suku Jawa, Batak Toba, Padang dan Nias. Bermula dari interaksi sosial sehingga adanya proses asimilasi, setelah hal tersebut terealisasikan sehinnga memungkinkan terjadinya suatu proses amalgamasi di tengah-tengah masyarakat.

b. Penduduk Lokal

Penduduk lokal merupakan masyarakat yang tinggal di dalam suatu daerah dengan tetap menerakpan kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka atau yang lebih dahulu menghuni teritori pemukiman (host population). Masyarakat lokal (asli) juga memiliki salah satu dari marga yang terdapat di wilayah tempat tinggalnya. Masyarakat memiliki lahan serta usaha-usaha yang membutuhkan bantuan orang lain dalam mengelola pekerjaannya.

c. Penduduk Migran

Penduduk migran adalah orang-orang yang melakukan migrasi. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya dan perpindahan tersebut menyoroti bahwa di daerah tersebut lebih memiliki


(23)

potensi untuk mendapatkan pekerjaan guna memperbaiki tingkat prekonomian. Perpindahan tersebut juga cenderung menghasilakan proses amalgamasi di daerah yang ditempati.

d. Strategi Adaptasi

Strategi merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok untuk menghasilkan suatu fokus yang ingin dicapai. Dalam menjalankan strategi tersebut pasti ditemukan usaha dan kerjasama antara satu dengan yang lainnya. Adaptasi merupakan penyesuaian diri oleh penduduk migran dengan penduduk lokal. Dalam strategi adaptasi ini masyarakat migran datang dan menerapkan kebiasaan-kebiasaan serta aturan yang terdapat di wilayah tempat mereka merantau.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 1nteraksi Sosial

Interkasi sosial dapat diartikan oleh para ahli seperti S.S Sargent yang berpendapat bahwa interaksi sosial pada pokoknya memandang tingkah laku sosial yang selalu dalam rangka kelompok seperti struktur dan fungsi dalam kelompok. Tingkah laku sosial dipandang sebagai akibat adanya struktur kelompok seperti struktur dan fungsi kelompok. H. Bonner memberi rumusan interaksi sosial adalah hubungan antara dua atau lebih individu manusia ketika kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu lain, atau sebaliknya (Sentosa, 2009:11).

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial, oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi.

Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan. Interaksi tersebut lebih mencolok manakala terjadi perbenturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok.


(25)

Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:

A. Adanya kontak sosial (sosial-contact)

Dalam bahasa latin cum (bersama-sama) dan Tango (menyentuh). Secara harafiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, oleh karena orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya. Kontak sosial dapat pula bersifat primer dan skunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka. Sebaliknya kontak yang skunder memerlukan suatu perantara. B. Adanya komunikasi

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting. Dalam komunikasi kemungkinan seringkali terjadi pelbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyuman, misalnya dapat ditafsirkan sebagai keramah-tamahan, sikap bersahabat itu bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau anatara kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah satu syarat terjadinya kerja sama (Soekanto, 1990 :61-64).

2.2 Interaksionisme Simbolik

Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan interaksionisme simbolik (symbolic


(26)

interactionism). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead. Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi sosial, kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interkasi.

Herbert Blumer dalam Kamanto Sunarto (2004: 35-36), salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran Mead mengenai interaksionisme simbolik. Menurut Blumer pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga :

A. Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (Thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya.

B. Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya.

C. Makna diperlukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang menghadapi sesuatu yang dijumpainya.

Blumer dalam buku Poloma (2010:263) menyatakan keistimewaan pendekatan kaum interaksionis simbolis ialah manusia dilihat saling menafsirkan atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan bukan hanya saling bereaksi kepada setiap tindakan itu menurut metode stimulus-repon. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu. Ia menyatakan, “dengan demikian interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain, Dalam kasus perilaku manusia, mediasi ini sama dengan penyisipan suatu proses penafsiran di antara


(27)

stimulus dan repon”. Blumer berpandangan tidak mendesakkan prioritas dominasi kelompok atau struktur, tetapi melihat tindakan kelompok sebagai kumpulan dari tindakan inividu: “masyarakat harus dilihat sebagai terdiri dari tindakan orang-orang, dan kehidupan masyarakat terdiri dari tindakan-tindakan orang itu”. Blumer menunjukan ide ini dengan menujukan bahwa kelompok yang demikian merupakan respon pada situasi-situasi dimana orang menemukan dirinya.

Interaksionisme-simbolis yang diketengahkan Blumer dalam Margaret M. Poloma (2010 : 264-266) mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar, yang dapat diringkas sebagia berikut:

A. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi

B. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain.

C. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik ; makna merupakan produk interaksi-simbolis.

D. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek.

E. Tindakan manusia adalah tindakan interpretative yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

F. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok: hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai; “organisasi sosial dari prilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”. Sebagian besar tindakan bersama terlumer dalam Polsebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan”dan “aturan sosial”.


(28)

2.3 Hubungan Antar-Kelompok

Pembahasan menegnai hubungan antar kelompok cenderung dipusatkan pada deskripsi dan penjelasan hubungan sosial anatara kelompok yang statusnya berbeda. Kata kelompok dalam konsep hubungan antar kelompok mencakup semua kelompok yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria ciri fisiologis, kebudayaan, ekonomi dan perilaku. Faktor yang mempengaruhi kelompok minoritas dapat dikaji dengan menggunakan dimensi sejarah, demografi, sikap, institusi, gerakan sosial dan tipe utama hubungan antar-kelompok. Suatu bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian terhadap hubungan antar-kelompok ialah hubungan mayoritas-minoritas. Dalam defenisi Kinloch kelompok mayoritas ditandai oleh adanya kelebihan kekuasaan, konsep mayoritas tidak dikaitkan dengan jumlah anggota kelompok. Adapula ilmuan sosial yang berpendapat bahwa konsep mayoritas didasarkan pada keunggulan jumlah anggota (Sunarto, 2004 :143-149).

Stanley Liberson mencoba mengklasifikasikan pola hubungan antara kelompok. Menurutnya kita dapat membedakan antara dua pola utama: pola dominasi kelompok pendatang atas pribumi (migrant superordination), dan pola dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous Superordination). Menurut Liberson perbedaan pola hubungan superordinasi-subordinasi antara migran penduduk asli menentukan pola hubungan antara kedua

kelompok. Dominasi pribumi di bidang ekonomi dan politik, di pihak lain, kurang

memancing konflik dengan pihak migran yang didominasi. Penguasa pribumi cenderung dapat mempertahakan keutuhan institusi politik dan ekonomi mereka.


(29)

Kelompok pribumi dominan, di pihak lain, berusaha mempertahankan dominasi mereka dengan jalan mengendalikan jumlah dan jenis migran yang masuk dalam masyarakat mereka. Dalam situasi dominasi penduduk setempat, di pihak lain, kelompok migran cenderung mengasimilasikan diri dengan penduduk setempat (Sunarto, 2004 :150-151).

Melihat kondisi saat ini, Kelurahan Tiga Binanga banyak dikunjungi oleh para migran yang berasal dari berbagai Daerah dengan berbagai perbedaan baik ekonomi, kebudayaan dan ciri pisiologis. Maka dari itu akan terjadi hubungan antar-kelompok yaitu adanya hubungan yang terjalin antara masyarakat Suku Karo sebagai penduduk pribumi serta mendominasi wilayah teresebut dengan penduduk migran yang berasal dari Suku Jawa, Batak Toba, Padang dan Nias. Adanya perbedaan kebudayaan menyebabkan terjadinya proses saling mempengaruhi, mengubah dan memperbaiki kelakuan individu sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di Kelurahan Tiga Binanga. Hubungan antar-kelompok juga terlihat dari adanya proses asimilasi dan amalgamasi pada masyarakat Kelurahan Tiga Binanga , sehingga dalam penelitian ini saya menyoroti hal tersebut di tengah-tengah masyarakat Kelurahan Tiga Binanga kecamatan Tiga Binanga.

2.4 Teori Asimilasi Budaya

Arti dari kata asimilasi menurut Koentjaraningrat (2002: 248) adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.


(30)

Koentjaraningrat (2002: 255) mengatakan bahwa asmilasi timbul bila ada, golongan- golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda- beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga, kebudayaan- kebudayaan golongan- golongan tadi masing- masing berubah sifat khasnya, dan juga unsur- unsurnya masing- masing berubah wujudnya menjadi unsur- unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Dalam peristiwa seperti itu biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas, sehingga sifat- sifat khas dari kebudayaan lambat- laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan Mayoritas.

Asimilasi merupakan adanya usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan bersama. (Setiadi dan Kolip, 2011: 81). Apabila orang-orang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok manusia atau masyarakat, maka dia tidak akan lagi membeda-bedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa mereka dianggap sebagai orang asing. Dalam proses asimilasi, mereka mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan secara tujuan-tujuan kelompok. Apabila dua kelompok manusia mengadakan asimilasi, batas-batas anatara kedua kelompok tadi dengan pengembangan sikap-sikap yang sama, walau kadangkala bersifat emosional, dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi (Soekanto, 1990 : 81).

A. Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain:

1. Teloransi

2. Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi 3. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya

4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat 5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan


(31)

6. Perkawinan campur (amalgamation)

7. Adanya musuh bersama dari luar (Setiadi dan Kolip 2011: 83-84).

2.5 Adaptasi Sosial

Walaupun konsep tindakan sosial tetap dipakai sebagai dasar teori, perburuan intelektual Parsons dalam Poloma (2010: 171 ) secara perlahan ternyata bergeser dari tekanan atas tindakan sosial ke struktur dan fungsi masyarakat. Parsons melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan sosial bisa terorganisir. Disamping itu terdapat dua sistem tindakan lain yang saling melengkapi yaitu ; sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol serta sistem kepribadian para pelaku individual. Sistem sosial individu menduduki satu tempat (status), dan bertindak (peranan) sesuai dengan norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh sistem.

Konsepsi Parsons mengenai Teori Induk dimana Parsons setuju terhadap kesatuan ilmu-ilmu prilaku, yang keseluruhannya meruapakan suatu studi tentang sistem yang hidup (living system). Dia menyatakan bahwa konsep fungsi merupakan inti untuk memahami semua sistem yang hidup. Dia menekankan bahwa sistem yang hidup itu adalah sistem terbuka yaitu mengalami saling pertukaran dengan lingkungannya.

Functional imperatives atau prasyarat. Ciri-ciri umum yang ada dalam seluruh sistem yang hidup adalah prasyarat atau functional imperative. Menurut Parsons terdapat fungsi-fungsi atau kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup demi kelestariannya. Dua pokok penting yang termasuk dalam kebutuhan fungsional ini adalah :


(32)

1) yang berhubungan dengan kebutuhan sistem internal atau kebutuhan sistem ketika berhubungan dengan lingkungannya (sumbu internal-eksternal), dan

2) yang berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana yang perlu untuk mencapai tujuan itu (sumbu instrumental-consummatory).

Berdasarkan premis itu secara deduktif Parsons menciptakan empat kebutuhan fungsional. Keempat fungsi primer itu, yang dapat dirangkaikan dengan seluruh sistem yang hidup adalah Latent pattern-maintenance (L), integration (I), Goal attainment (G) dan Adaptation (A). Dalam hal ini kita akan membahas mengenai adaptasi. Adaptasi menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungan. Ada dua dimensi masalah yang pertama, harus ada penyesuaian diri sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras yang tidak dapat diubah (inflexible) yang datang dari lingkungan (atau kalau menggunakan terminology Parsons yang terdahulu, pada kondisi tindakan). Kedua, ada proses transformasi aktif dari situasi itu. Ini meliputi penggunaan segi-segi situasi itu yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi, usaha untuk memperoleh alat itu secara analisis harus dipisahkan dari pencapaian tujuan. Lingkungan, meliputi yang fisik yang sosial. Untuk suatu kelompok kecil, lingkungan sosial akan terdiri dari satuan intitusional yang lebih besar dimana kelompok itu berada. (Dalam studi Bales mengenai kelompok kecil, lingkungan itu adalah lingkungan akademis). Untuk sistem-sistem yang lebih besar seperti misalnya masyarakat secara keseluruhan, lingkungan akan meliputi


(33)

sistem-sistem sosial lainnya (masyarakat lain) dan lingkungan fisik (Jhonson, 1990 : 130).

Persons menyatakan bahwa adaptasi merupakan Kebutuhan fungsional berupa kemampuan sistem menjamin kebutuhannya dari lingkungan dan mendistribusikan sumber-sumber itu ke seluruh sistem; dalam masyarakat fungsi ini dilakukan oleh sistem ekonomi (Poloma, 2010: 170-181).

Contohnya dalam buku Suprapti dan kawan-kawan yang berjudul adaptasi migran musiman terhadap lingkungan tempat tinggal daerah khusus ibukota Jakarta Raya dimana masyarakat yang berpindah tersebut bertujuan untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya. Di tempat perantauan hubungan sosial dengan warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya hanya terbentuk dalam hubungan sepintas lalu atau saling kenal. Namun demikian, dengan beberapa warga biasanya tetangga bersebelahan rumah hubungan sosial cukup akrab. Hubungan akrab terwujud dalam saling bertandang dan berbincang-bincang, saling memberi makan, saling memberi bantuan dan sebagainya, yang mereka wujudkan karena frekuensi tatap mukanya cukup tinggi. Dengan mereka yang pergi ke Jakarta bekerja sebagai penjaja bakso dan penjaja sayur juga memiliki hubungan interaksi yang cukup baik dengan warga disekitar tempat tinggal mereka. Terlebih lagi bagi para pelanggan dagangannya serta hubungan dengan pemilik kontrakan.

Bentuk hubungan yang mereka wujudkan cukup mendalam atau akrab yang tercermin pula dalam kehidupan sehari-harinya, bersenda-gurau, mengungkapkan masalah yang dialami, memberikan makanan dan memberi bantuan. Dalam hubungan dengan para pembeli erat kaitannya dengan hubungan


(34)

dagang secara kekeluargaan. Supaya banyak pembeli dan dagangan cepat laku, para penjaja sayur bersikap ramah dan berusaha melayani dengan sebaik-baiknya dan memberi pelanggan berhutang dengan bayar bulanan. Sementara hubungan dengan pejabat RT setempat terjalin dengan cara berpartisipasi dan mematuhi peraturan yang berlaku, misalnya memberi sumbangan untuk kegiatan perayaan hari-hari besar nasional, memberi sumbangan untuk warga RT yang kemalangan, membayar iuran keamanan dan iuran sampah khusus bagi migran yang mengontrak. Serta migran juga tetap menjalin hubungan dengan keluarga di daerah asal mereka (Suprapti dkk, 1990: 167-187).

2.6 Amalgamasi

Perkawinan campur (amalgamation) agaknya merupakan faktor paling menguntungkan bagi lancarnya proses asimilasi. Hal itu terjadi apabila seorang warga dari golongan tertentu menikah dengan warga golongan lain. Apakah itu terjadi antara golongan minoritas dan mayoritas dan sebaliknya. Proses asimilasi dipermudah dengan adanya kawin campur walau memakan waktu yang agak lama. Hal ini disebabkan oleh karena antara penjajah dan yang dijajah terdapat perbedaan-perbedaan ras dan kebudayaan. Penjajah pada mulanya tidak menyetujui perkawinan campur dan ini memperlambat proses asimilasi. Setelah waktu yang relatif agak lama penjajah biasanya memperistri wanita-wanita warga masyarakat yang dijajahnya. Apabila dari mereka yang dijajah ada yang dipekerjakan (sebagai budak, pegawai rendahan dan sebagainya), maka golongan ini dapat memegang peranan sebagai perantara antara kedua kebudayaan tersebut,


(35)

dengan cara memperluas kebudayaan penjajah di kalangan masyarakat yang dijajah (Soekanto, 1990 :80-84).

Isu-isu pembaruan antara warga pribumi dan nonpribumi, perkawinan antara suku, antar ras yang terpisah-pisah sebagaimana yang pernah disosialisasikan oleh pemerintah diharapkan mampu menekan perpecahan antar kelomok suku, agama, ras dan antargolongan (Setiadi dan Kolip 2011 : 84). Amalgamasi juga ditemukan di Kelurahan Tiga Binanga dimana adanya perkawinan campur antara penduduk migran dengan penduduk lokal. Penduduk migran yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dengan penduduk lokal bersatu dan menghasilkan budaya campuran.

2.7 Teori Migrasi

Migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah tindakan itu bersifat suka rela atau terpaksa. Migran biasanya mempunyai alasan-alasan tertentu yang menyebabkan mereka meninggalkan kampung halamannya dan seterusnya memilih tempat-tempat yang mereka anggap dapat memenuhi kalau sekiranya tetap bertahan di tempat asal. Migran akan bergerak dari tempat yang kurang berkembang menuju daerah-daerah yang lebih maju. Alasan migran paling utama meninggalkan negara/daerah asal adalah karena faktor ekonomi, terutama disebabkan sukarnya menapatkan pekerjaan, serta wujudnya keinginan untuk mendapatkan penghasilan lebih tinggi. Ada yang melakukan migrasi karena mengikut keluarga.


(36)

Proses migrasi terjadi sebagai jawaban terhadap adanya sejumlah perbedaan antartempat. Perbedaan tersebut menyangkut faktor-faktor ekonomi, sosial dan lingkungan baik pada tataran individu maupun masyarakat. Faktor ekonomi merupakan faktor primer yang mempengaruhi migrasi. Faktor ekonomi tersebut seperti mobilitas jabatan (mobilitas sosial), upah yang lebih tinggi, kesempatan kerja yang lebih banyak dan lainnya. Aswatini mengemukakan bahwa alasan pindah biasanya disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan, kesulitan ekonomi, tekanan penduduk dan faktor geografis (Nasution, 1999: 109-110).

Secara teoritis pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, negara, kawasan ataupun daerah tertentu akan diikuti oleh perubahan-perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Perubahan pola konsumsi masyarakat misalnya merupakan salah satu aspek yang terlihat paling memonjol. Aktivitas migrasi yang belangsung dari wilayah ke wilayah tertentu pun merupakan imbas positif yang berkembang sebagai konskuensi pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Makin baik perkembangan ekonomi suatu wilayah maka kemungkinan terjadinya perkembangan volume migrasipun makin tinggi.

Kedatangan migran kedalam suatu wilayah dapat juga menimbulkan etnosentrisme misalnya dalam penelitian Muba Simanihuruk mengenai interaksi antara migran pendatang dengan penduduk lokal studi tentang interaksi antara migran Batak toba, Tionghoa dan Melayu di Pangkalan Brandan. Hasil penelitian menunjukkan, ertnis Melayu menganggap (terutama) etnis Tionghoa bersifat licik dan tidak dapat disaingi lagi karena mereka telah menguasai hampir semua mata rantai ekonomi, termasuk kegiatan ekonomi nelayan yang


(37)

menjadi pekerjaan utama mereka. Kebencian yang sama juga ditujukan oleh kelompok etnis Batak Toba dengan tingkatan yang lebih rendah, dengan tuduhan bahwa kelompok etnis Tionghoa “pintar”menipu. Namun pada dimensi kultural dan agama, mereka masih bisa berafilasi. Bahkan dalam kegiatan ekonomi, etnis Batak Toba dan Tionghoa melakukan kerjasama ekonomi yang saling menguntungakan, dimana etins Batak Toba menyewakan rumah-rumah mereka di pusat bisnis kota dengan harga relatif mahal pada kelompok orang-orang Tionghoa. Simbioasa mutualisme juga terjelma pada saat kelompok etnis Tionghoa meminjam modal kepada etnis Toba yang berprofesi sebagai rentenir (bank berjalan). Sebaliknya terjadi dengan etnis Melayu dimana secara kultural berbeda jauh dengan kelompok etnis Batak Toba dan Tionghoa di samping perbedaan secara ekonomi. Di kubu lain, etnis Tionghoa merasa diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintah dan sering dijadikan sapi perahan baik oleh aparat negara dan kelompok di luar mereka (Muba, 2002:45-47).


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Studi kasus sebagai kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa tertentu. Studi kasus (case study) merupakan penelitian yang penelaahannya kepada suatu kasus dilakukan secara intensif, mendalam dan mendetail. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang dapat menghasilkan data , tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati (Moleong,2006). Dengan demikian peneliti akan memperoleh data atau informasi lebih mendalam mengenai Pola asimilasi antara penduduk lokal dengan migran pendatang.

3.2Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tiga Binanga kecamatan Tiga Binanga kabupaten Karo Sumatera Utara. Alasan peneliti memilih judul ini karena peneliti cukup memahami daerah lokasi penelitian dan mengenal masyarakat yang tinggal di daerah tersebut sehingga memudahkan si penliti dalam mengambil dan mengumpulkan data karena kemudahan mengambil data adalah hal yang terpenting dan signifikan dalam sebuah penelitian. Peneliti melihat bahwa pada kondisi saat ini daerah kelurahan Tiga Binanga ramai sekali didatangi oleh para migran yang berasal dari berbagai daerah.


(39)

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah :

3.3.1.1Pola asimilasi penduduk migran dengan penduduk lokal. Di mana penduduk lokal (asli) adalah masyarakat Suku Karo dan penduduk migran berasal dari Suku Jawa, Batak Toba, Padang dan Nias.

3.3.1.2Strategi adaptasi yang dilakukan oleh penduduk migran 3.3.2 Informan

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah : 3.3.2.1Warga masyarakat kelurahan Tiga Binanga

3.3.2.2Para migran yang pada saat ini tinggal di Kelurahan Tiga Binanga minimal kurun waktu 3 tahun.

3.4Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah : 3.4.1 Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer adalah peneliti melakukan kegiatan langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Adapun teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara :

3.4.1.1 Observasi

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk penghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2007:


(40)

115). Observasi adalah kemampuan seorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya. Dalam hal ini penelitian dapat melihat secara langsung pola asimilasi penduduk migrant dan penduduk lokal.

3.4.1.2 Wawancara

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada orang-orang yang menjadi informan dari peneliti ini bisa disebut dengan metode interview guide yakni aturan-aturan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan. Metode pengumpulan data dengan wawancara yang dilakukan berulang-ulang kali dan membutuhkan waktu yang cukup lama bersama informan di lokasi penelitian (Bungin, 2007 : 108). Wawancara mendalam yang dimaksud adalah percakapan yang sifatnya luwes terbuka dan tidak baku. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap informan yaitu penduduk migran dan penduduk lokal.

3.4.1.3 Penghayatan (einfuehlen)

Suatu teknik pengumpulan data dimana peneliti melakukan penghayatan secara mendalam.

3.4.2Pengumpulan Data Sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan data yang dilakukan melalui penelitian studi kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung data diperoleh dari buku-buku ilmiah, tulisan ilmiah, laporan


(41)

penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang dianggap relevan dan keabsahan dengan masalah yang diteliti.

3.5 Interpretasi Data

Pengumpulan data mulai dari menelaah seluruh data yang tersedia yaitu pengamatan dan wawancara mendalam yang sudah ada dalam catatan lapangan. Data-data yang sudah diperoleh dari lapangan kemudian dipelajari yang kemudian dikumpulkan untuk dapat di analisis berdasarkan dukungan teori dan kajian pustaka yang telah disusun, hingga pada akhirnya sebagai laporan penelitian.

3.6Jadwal Kegiatan

No. Kegiatan

Bulan ke -

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi √

2 Acc judul √

3 Penyusunan Proposal penelitian √ √ √

4 Seminar proposal √

5 Revisi Proposal √

6 Penelitian ke Lapangan √ √ √

7 Pengumpulan dan Analisis Data √ √ √

8 Bimbingan Skripsi √ √ √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √ √ √


(42)

BAB IV

TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan Geografis

Tiga Binanga merupakan sebuah nama kelurahan di Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo yang berjarak 0 km dari Kecamatan Tiga Binanga dan 37 km dari Kota Kaban Jahe. Luas wilayah Kelurahan Tiga Binanga adalah 535 Ha atau 160,38 Km2 dan terletak 600-700M di atas permukaan laut. Secara letak geografis Kelurahan ini di kelilingi oleh sungai sehingga kerap juga di panggil Singalor Lau (arti dalam bahasa Indonesia yang di aliri suangai). Makna dari Tiga Binanga adalah Tiga yag berarti pekan/pajak/pasar dan Binanga adalah sungai. Batas-batas Kelurahan Tiga Binanga secara administratif adalah sebelah utara berbatas dengan Uruk Biru, sebelah selatan berbatas dengan Desa Gunung, sebelah timur berbatas dengan Desa Kuala dan sebelah barat berbatas dengan Desa Kuta Galuh. Kelurahan Tiga Binanga didirikan oleh Marga Sebayang dari Desa Kuala sebagai marga tanah beserta dengan anak berunya Marga Ginting Tampune, Sembiring Brahmana, Tarigan Sibayak Juhar dan Karo-Karo Sinulingga sebagai anak beru tanah dan kalimbubunya Marga Sembiring Meliala sebagai kalimbubu tanah.


(43)

yang melangsungkan perjalanan jauh lintas Medan ke Kota Cane, Aceh, Dairi dan Kota lainnya. Tiga Binanga merupakan Daerah yang dilintasi jalan Provinsi sehingga Daerah Tiga Binanga tidak asing di kalangan masyarakat yang tinggal di luar Tiga Binanga. Selain itu Tiga Binanga juga merupakan tempat bertemunya para penjual dan pembeli. Hasil-hasil alam seperti rempah-rempah yang dijual oleh masyarakat juga di datangi oleh pembeli yang berasal dari daerah Tapian nauli (Tapanuli dalam bahasa Karo).

Kehidupan sosial budaya masyarakat Kelurahan Tiga Binanga masih menerapkan nilai-nilai peradatan yang diajarkan oleh leluhur mereka. Masyarakat masih hidup dalam ikatan kekeluargaan yang sangat erat yang di sebut dengan sangkep nggeluh (kerabat dalam bahasa indonesia). Sikap saling menghormati di tengah-tengah kehidupan masyarakat hingga saat ini tetap di pertahankan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari sikap hormat yang diberikan kepada Kalimbubu (si pemilik darah atau keluarga dari ibu) yang posisikan sebagai Dibata ni idah (Tuhan yang terlihat). Selain itu hingga pada saat ini masyarakat masih tetap melaksanakan pesta-pesta budaya seperti pesta tahunan (Kerja Tahun) yang dilaksanakan setiap tahun, acara pernikahan/kematian secara adat, menerapkan sistim rebu (budaya tidak bercakapan antara mertua dengan menantu perempuan dan menantu laki-laki).

Ketetapan masyarakat Tiga Binanga dalam memelihara adat istiadat mereka menjadi suatu ciri khas bagi Suku Karo yang ada di Daerah tersebut, selain itu warisan budaya leluhur dalam meracik obat-obatan tradisional juga tetap dipertahankan sehingga Kecamatan Tiga Binanga


(44)

bukanlah Daerah yang asing bagi kalangan masyarakat yang berdomisili di Tanah Karo.

Tabel 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2007 KECAMATAN TIGA BINANGA

No Desa/Kelurahan Luas

(Km2)

Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)

1. Lau Kapur 8 507 63,38

2. Kem-Kem 6 523 87,17

3. Gunung 7,64 741 96,99

4. Simp Pergndangen 6 370 61,67

5. Pergendangen 7 1591 227,29

6. Tiga Binanga 11 4493 408,45

7. Kuta Galoh 5 548 109,60

8. Kuta Raja 8 487 60,88

9. Bunga Baru 10 919 91,90

10. Pertumbuken 6 501 83,50

11. Kuala 11 1201 109,18

12. Kuta Buara 4 277 69,25

13. Simolap 3 330 110,00

14. Kuta Bangun 11 1619 147,18

15. Sukajulu 3,74 562 150,27

16. Kuta Mbaru Punti 14 715 51,07

17. Kuta Great 10 308 30,80

18. Limang 12 1054 87,83

19 Perbesi 17 2392 140,71

Jumlah 160,38 19138 140,71

Sumber : Katalog BPS Tiga Binanga Dalam Angka 2007

4.1.2 Keadaan Penduduk

Berdasarkan Pengumpulan data-data menurut Desa untuk Kecamatan/ Daerah Dalam Angka tahun 2011 mencapai 4415 Jiwa. Penduduk dimayoritasi oleh etnis Suku Karo dan agama Kristen Protestan. Mayoritas masyarakat berprofesi sebagai petani.


(45)

Tabel 4.2 Data Jumlah Penduduk di Kelurahan Tiga Binanga

No. Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-Laki 2162 Jiwa

2. Perempuan 2253 Jiwa

3. Total 4415 Jiwa

4. Jumlah Rumah Tangga 1200 RT

Sumber: Daftar isian Pengumpulan Data-Data Menurut Desa untuk KCDA Tahun 2011

Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut adalah sebagai berikut.

Tabel 4.3 Agama Penduduk di Kelurahan Tiga Binanga

No. Agama Jumlah

1 Islam 1500 Jiwa

2 Kristen 2015 Jia

3 Katholik 900 Jiwa

4 Hindu -

5 Budha -

Total 4415 Jiwa

Sumber : Daftar isian Pengumpulan Data-Data Menurut Desa untuk KCDA Tahun 2011

Adapun jumlah sarana ibadah di Desa sebagai berikut.

Tabel 4.4 Jumlah Sarana Ibadah

No. Sarana Ibadah Jumlah

1 Masjid 2 Buah

2 Langgar/Musholla -


(46)

4 Kuil -

5 Vihara -

Sumber : Daftar isian Pengumpulan Data-Data Menurut Desa untuk KCDA Tahun 2011

Adapun jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan sebagai berikut.

Tabel 4.5 Jumlah Penduduk 10 tahun ke-atas Menurut Pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah

1 Pertanian 3025 Jiwa

2 Industri 15 Jiwa

3 Jasa 50 Jiwa

4 PNS/POLRI 43 Jiwa

5 Lainnya - Jiwa

6 Tidak Bekerja - Jiwa

Sumber : Daftar isian Pengumpulan Data-Data Menurut Desa untuk KCDA Tahun 2011

Adapun jumlah usaha yang di miliki oleh penduduk adalah sebagai berikut.

Tabel 4.6 Jumlah Usaha yang ada di Desa

No. Jenis Usaha Jumlah

1 Kedai Kopi 62 Usaha

2 Kedai Kelontong 29 Usaha

3 Gudang/Expedisi -

4 Industri Besar/Sedang 6 Usaha

5 IndustriKecil 2 Usaha

6 Industri RT/Anyaman 6 Usaha

7 Bengkel Mobil 14 Usaha

8 Bengkel Sepeda Motor 12 Usaha

9 Bengek Sepeda 2 Usaha


(47)

Sumber : Daftar isian Pengumpulan Data-Data Menurut Desa untuk KCDA Tahun 2011

4.2 Profil Informan

Adapun penduduk migran dan penduduk lokal yang menjadi informan berjumlah 17 (Tujuh belas) orang. Berikut data penduduk migran dan penduduk lokal tersebut.

Tabel 4.7 Data Penduduk Migran Berdasarkan Usia, Pendidikan Terakhir, Asal dan Lama Tinggal.

No Nama Usia

(Tahun) Pekerjaan Pendidikan Terakhir Asal Lama Tinggal 1 Nila Agustina

29 Bertani 3 SMA Siantar 20 Tahun 2 Lilis

Suryani Mendrofa

32 Bertani 3 SMA Dairi 25 Tahun

3 Lesmi Melfawati

Tindaon

31 Bertani 3 SMK Siantar 13 Tahun

4 Marfel Jambak

53 Wiraswasta 6 SD Campag

o, Padang

44 Tahun

5 Julardi 54 Wiraswasta SMA Padang 44 Tahun

6 Asir Maulana

52 Wiraswasta SMA Padang 37 Tahun

7 Andi Riswanto

47 Wiraswasta SMA Tebing

Tinggi

14 Tahun 8 Binharun

Sitorus

45 Bertani SMA Siantar 24

Tahun

9 Nurhayati 50 Wiraswasta SMP Kota

Cane

32 Tahun

10 Legiono 39 Bertani SMP Bahoro

k

26 Tahun

11 Safitri 28 Bertani SMP Siantar 20

Tahun 12 Rahmawat

i Tanjung

34 Wiraswasta SMA Padang 10

Tahun Sumber : Hasil Temuan di Lapangan.


(48)

4.2.1 Profil Penduduk Migran

4.2.1.1 Nila Agustina (29 Tahun)

Nila Agustina adalah seorang migran yang berasal dari Kota Siantar. Ia merupakan anak pertama dari lima bersaudara dan berasal dari etnis Jawa. Nila Agustina mengecap pendidikan hingga sekolah menengah atas, mempunyai empat saudara yang mana adiknya yang pertama dan kedua adalah perempuan dan yang ketiga dan keempat adalah laki.Kedua adik perempuannya sudah berumah tangga dan adik yang laki-laki tinggal bersama dengan orang tuanya.

Pada tahun 1993 ayah dan ibu Nila pergi merantau dari Siantar ke Kelurahan Tiga Binanga. Meraka melihat bahwa di Daerah Tiga Binanga mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Pada saat itu Nila masih memasuki sekolah kelas 1SD. Di Tiga Binanga Ayah Nila bekerja sebagai buruh di toko bangunan Apolo dan ibunya bekerja sebagai penjual kue di pasar. Mereka mengontrak salah satu rumah dari penduduk yang yang tinggal di Tiga Binanga bernama Terulin Ginting. Mereka juga belajar berbahasa Karo dan mengikuti aturan –aturan adat yang berlaku, contohnya seperti cara berpakaian. Perbedaan kebudayaan dan keyakinan tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk berinteraksi. Dengan sikap saling menghormati dan keramah tamahan yang senantiasa diaplikasikan oleh keluarga Nila dengan penduduk yang ada di sekitar tempat tinggal mereka menjadikan mereka semakin nyaman dan seakan memiliki keluarga baru di Tiga Binanga. Bos tempat Ayahnya bekerja di toko bangunan Apolo


(49)

juga menrasakan kecocokan dalam bekerja dan berkomunikasi dengan ayah Nila sehingga bos di tempat kerjanya juga mengajak Ayah Nila untuk menjalin kekeluargaan dan akan di berikan marga Karo-Karo sesuai nama marga si pemilik usaha. Namun karena segan melihat bosnya Ayah nila menolak karena merasa tidak pantas. Kemudian hari si pemilik rumah kontrakannya yang bernama Terulin Ginting juga mengajak Ayah Nila untuk bekerja di lahannya. Mendapati bahwa ayah Nila dan keluarganya memiliki kejujuran dan rasa rendah hati maka sikap tersebut menarik simpati dari Terulin Ginting untuk memberikan marga kepada keluarga bapak Nila. Sejak itu Nila bersama keluarganya di sahkan menjadi bermarga Ginting.

Dengan adanya marga yang dimiliki oleh Ayah Nila dan keluarganya maka ketika ada pesta dari keluarga besar Ginting, adanya perayaan pesta tahunan maka Ayah Nila sekeluarga juga turut berpartisipasi selayaknya mereka adalah benar penduduk lokal. Mereka tidak menemukan adanaya diskriminasi ketika mereka bekerja dan berkomunikasi dengan penuduk setempat. Ketika ada perayaan hari-hari besar mereka juga berpartisipasi, baik kegiatan arisan, siskamling dan bakti sosial.

Nila yang sudah disahkan menjadi beru Ginting pada tahun 2005 menikah dengan Intim Sembiring Meliala berumur 27 tahun yang merupakan putra Daerah di Kelurahan Tiga Binanga. Pertemuan mereka diawali karena tempat sekolah yang sama dan seringnya terjalin komunikasi antara sesama pemuda di Kelurahan Tiga Binanga. Meskipun


(50)

keduanya memiliki perbedaan suku dan agama, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang. Keduanya memutuskan untuk menjadi muslim, Pesta pernikahan mereka dilaksanakan dengan adanya pelaksanaan akad nikah dan dilaksanakan juga dengan kebudayaan etnis Karo. Nila mendapati bahwa kehidupannya setelah merantau dari Siantar jauh lebih baik. Beliau sudah memiliki keluarga dan anak di Kelurahan Tiga Binanga sehingga memutuskan untuk tidak kembali lagi ke daerah asalnya di Siantar. Pada saat ini Nila bersama dengan suaminya mengelola lahan yang merupakan warisan yang diberikan kepada suaminya.

4.2.1.2 Lilis Suryani Mendrofa (32 tahun)

Lilis Suryani Mendrofa adalah seorang migran yang berasal dari Dairi, namun menurut penjelasan dari informan bahwa sejak lama ayah beserta keluarganya sudah lama merantau ke Dairi, dan sebelumnya Lilis Suryani Mendrofa berasal dari Gunung Sitoli Nias. Beliau adalah anak ke empat dari lima bersaudara. Pada waktu Lilis berusia 2 tahun keluarganya pergi merantau ke Daerah Dairi. Sejak kecil hingga menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah umum Lilis beserta keluarganya tinggal di Dairi. Pada tahun 1989 setelah tamat dari sekolah menengah umum, Lilis beserta keluarganya pindah merantau ke Daerah Tiga Binanga. Di Tiga Binanga Lilis dan keluarganya bekerja sebagai buruh harian di lahan perkebunan masyarakat.


(51)

Lilis dan keluarganya tinggal di rumah keluarga dari ibunya yang mana ibunya adalah etnis karo dan mempunyai kelaurga di Daerah Tiga Binanga. Pada awalnya Lilis mengakui bahwa ia tidak canggung ketika ingin menyapa orang-orang di sekitarnya, hal tersebut di akibatkan karena Lilis beserta keluarganya pandai dalam berbahasa Karo. Bahasa Karo mereka pahami dari didikan ibunya yang terbiasa menggunakan bahasa Karo kepada anak-anaknya baik pada saat mereka tinggal di Dairi. Bukan menjadi hal yang baru bagi Lilis untuk mengenali kebudayaan masyarakat etnis Karo, karena ketika musim liburan pada masa sekolah dulu Lilis beserta keluarganya kerap berliburan ke Tiga Binanga sambil bekerja sebagai buruh harian di Tiga Binanga.

Mengenali kebudayaan etnis Karo lebih banyak Lilis dapati dari proses memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga mudah bagi Lilis untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat. Pada tahun 2000 Keluarga Lilis di berikan marga Ginting dari kerabat ibunya yang tinggal di Tiga Binanga. Pemberian marga tersebut merupakan suatu kehormatan bagi keluarga Lilis, hal tersebut didasari oleh sikap hormat dan ketulusan hati dari Ayah Lilis sekeluarga dan sikap kepedulian terhadap keluarga sehingga mereka di sahkan menjadi kelurga Ginting. Pemberian marga tersebut menjadikan Lilis dan keluarganya tergolong dalam keluarga besar Ginting. Keluarga Lilis merasa senang dan memiliki keluarga kandung di tempat perantauan.

Llilis Suryani mengakui bahwa beliau tidak pernah mendapatkan sindiran atau pelecehan karena Lilis adalah orang Nias. Pada tahun 2002


(52)

Lilis Suryani Mendrofa yang telah di sahkan menjadi Lilis Suryani br Ginting menikah dengan Mahendra Sebayang yang merupakan putra Daerah Tiga Binanga. Awalnya Lilis menganut agama islam dan Mahendra Kristen Protestan. Ketika ingin melaksanakan pesta pernikahan maka mereka memutuskan untuk sama-sama memeluk agama Kristen protestan. Sekarang pernikahan mereka sudah di karuniai dua anak perempuan. Kegiatan mereka sehari-hari adalah mengelola lahan yang di miliki oleh suaminya. Setiap kegiatan di Kelurahan seperti siskamling, gotong-royong, kegiatan keagamaan keluarga Lilis turut ambil bagian. Mereka menyadari bahwa Tiga Binanga adalah Daerah masa depan mereka, keluarga dan juga sumber penghasilan mereka ada di Tiga Binanga dan memutuskan untuk tidak akan pernah pindah dari Kelurahan Tiga Binanga.

4.2.1.3 Lesmi Melfawati Boru Tindaon (31 tahun)

Lesmi Melfawati Boru Tindaon adalah migran yang berasal dari Daerah Siantar. Beliau mengenal Daerah Tiga Binanga dari teman sekolahnya yang sering berkunjung ke Tiga Binanga. Pada tahun 2001 Lesmi datang dan bekerja ke Tiga Binanga sebagai salah satu karyawan penjual sirih yang di ekspor ke Batam. Lesmi tinggal dengan bosnya di Kelurahan Tiga Binanga. Lesmi memilih Tiga Binanga sebagai tempat perantauan karena melihat hasil alam di Tanah Karo termasuk Tiga


(53)

Binanga berlimpah ruah dan penduduk Tiga Binanga di kenal sebagai orang ramah.

Kesulitan awal bagi Lesmi saat beradaptasi dengan penduduk Tiga Binanga adalah keterbatasan Lesmi dalam berbahasa Karo. Strategi awal yang Lesmi lakukan adalah banyak memperhatikan orang-orang di sekitarnya dan sedikit untuk berbicara termasuk sangat menjaga sikap. Kesopanan penduduk Tiga Binanga menjadikan Lesmi nyaman untuk tinggal di Tiga Binanga. Setelah delapan bulan tinggal di daerah Tiga Binanga Lesmi semakin mengenal kebudayaan Masyarakat Karo. Perlahan Lesmi belajar menggunakan bahasa Karo, makan sirih sambil bercerita dengan orang tua, di tengah keramaian atau jka ada acara pesta Lesmi juga mengenakan sarung sehingga sikap Lesmi juga semakin sama dengan gadis-gadis Karo pada umumnya.

Lesmi mengakui bahwa ia tidak pernah dilecehkan karena berasal dari etnis Batak yang terkenal kasar dan pemarah. Justru ia mengakui bahwa penduduk Tiga Binanga menyambutnya selayaknya anak mereka. Tetangga di rumah Lesmi menumpang juga ramah dan suka bercanda sehingga menjadikan hubungan Lesmi dengan penduduk setempat semakin hangat. Pada tahun 2004 Lesmi menikah dengan Joseph Sebayang yang merupakan putra Daerah Kelurahan Tiga Binanga. Mereka berjumpa di pasar ketika Lesmi sedang membantu bosnya berjualan sirih. Sebelum Lesmi menikah bosnya memberi bru kepada Lesmi yaitu bru Karo, sehingga Lesmi Melfawati Tindaon menjadi Lesmi Melfawati Br Karo dan dijadikan anak angkat oleh bos tempat ia bekerja.


(54)

Interaksi yang Lesmi jalin dengan penduduk Tiga Binanga rukun dan menyenangkan. Tidak ada lagi keinginan Lesmi untuk kembali ke Siantar karena keluarganya di Siantar juga sudah tercerai berai dan Lesmi memiliki keluarga baru di Tiga Binanga. Perbedaan kebudayaan Lesmi dan suaminya tidak menghalangi mereka untuk berumah tangga, saat ini rumah tangga mereka sudah di karuniai dua orang anak perempuan dan pekerjaan mereka adalah bertani. Lesmi beserta suami mengelola lahan milik keluarga suaminya. Kehidupan sosial mereka juga tergolong baik, dalam setiap kegiatan baik bakti sosial, gotong royong, arisan, pesta dan acara-acara keagamaan mereka ikuti. Lesmi merasa bahwa masyarakat suku Karo benar-benar orang yang sopan, suka menjaga perasaan orang lain dan memiliki nilai kekeluargaan yang tinggi.

4.2.1.4 Marfel Jambak (53 tahun)

Marfel Jambak adalah salah satu migran yang berasal dari Campago Padang Pariaman. Beliau berasal dari Etnis Melayu dan anak kedua dari dua bersaudara. Marfel mengecap bangku pendidikan hingga bangku sekolah dasar (SD). Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar kedua orang tua Marfel meninggal dunia sehingga beliau tidak bisa lagi meneuskan penidikannya ke jenjeng yang lebih tinggi. Pada saat itu kakaknya yang bernama Ulfa sudah memasuki jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan sudah mulai bisa bekerja membantu usaha menjahit keluarganya.


(55)

Pada tahun 1960-an Ulfa kakak dari Marfel membuka usaha menjahit di Tiga Binanga, perlahan beliau merasakan adanya perkembangan dalam usaha menjahit di Tiga Binanga, sehingga mengajak Marfel juga ikut membuka usaha di Tiga Binanga. Pada tahun 1970 Marfel datang ke Tiga Binanga dan membuka kios tempat menjahit yang di beri nama Oscar. Marfel perlahan di kenal oleh penduduk sekitar Tiga Binanga terkhusus yang menjadi pelanggannya. Hubungan Marfel dengan pelanggan serta pemilik kios yang di kontraknya terjalin baik.

Awal dari strategi yang Marfel lakukan guna mendekati penduduk Tiga Binanga adalah dengan menerapkan sikap keramahan satu sama lain. Marfel mengakui bahwa meskipun ia belum terlalu mengenal dan mengetahui persis nama orang lain, tetapi dengan keramahannya beliau mau menyapa terlebih dahulu. Marfel juga belajar berbahasa Karo, Marfel banyak memperhatikan sikap yang kerap dilakukan oleh Etnis Karo yang mendominasi di Tiga Binanga.

Keinginan untuk belajar dan memperhatikan orang lain juga menerapkan nilai dan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat dan menjaga kerukunan satu sama lain, Marfel mengakui bahwa ia di senangi oleh orang-orang yang tinggal di sekitar rumahnya mengontrak serta pelanggan-pelanggannya. Maka dari itu setelah 6 tahun tinggal di Tiga Binanga Marfel di berikan kehormatan sebuah Marga dari pelanggannya. Marga yang diberikan adalah marga Sebayang. Sejak dari itu Marfel memiliki keluarga baru di Tiga Binanga selain dari kakak kandungnya. Pada saat itu setatus Marfel adalah lajang.


(56)

Melihat dan merasakan kecocokan untuk berteman dekat dengan Marfel maka Ayah angkat Marfel yang berasal dari Desa Gunung bernama Simpang Sebayang menjodohkan Marfel dengan Lenna br Surbakti yang sekarang berusia 45 tahun yang merupakan anak dari kerabatnya. Setelah berteman dan merasakan kecocokan maka Marfel dan Lena yang merupakan salah satu dari putri Daerah Tiga Binanga memutuskan untuk menikah. Usia pernikahan mereka hingga pada saat ini sudah memasuki 21 tahun. Mereka dikaruniai dua anak perempuan. Pekerjaan mereka dimana Marfel meneruskan usahanya menjahit dan isterinya Lena sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain dari itu mereka juga bercocok tanam di lahan yang di jual oleh Ayah angkatnya kepada Marfel.

4.2.1.5 Julardi (54 Tahun)

Julardi adalah salah satu migran yang berasal dari Padang Pariaman juga Etnis Melayu. Julardi adalah anak keempat dari empat bersaudara dan pendidikan trakhirnya adalah SMA. Ketiga saudara lainnya berdomisili di Padang dan pada tahun 1970 Julardi pergi merantau ke Tiga Binanga. Julardi mengakui bahwa ia mengetahui daerah Tiga Binanga karena sebelumnya ia suka melintasi daerah Tiga Binanga menuju ke Kota Cane atau Aceh. Setibanya di Tiga Binanga pada tahun 1970-an Julardi membuka usaha jait yang di bernama Adidas dan bertahan hingga saat ini.

Pada masa merantau itu Julardi masih lajang dan ia tinggal mengontrak rumah yang dimiliki oleh ibu Nelongsa Tarigan. Julardi juga


(57)

sering di ajak untuk bekerja di ladangnya selagi orderannya sedang sepi. Ketika ada acara keluarga atau urusan keluarga ibu Nelongsa Juladi juga sering membantu sehingga sikap dan kebaikan dari Julardi menjadikan beliau mendapat simpati dari keluarga ibu Nelongsa beserta dengan anak-anaknya. Kemahiran Julardi dalam berbahasa Karo menjadikan ia bukanlah orang asing bagi keluarga ibu Nelongsa. Setelah 5 tahun berkenalan maka keluarga ibu Nelongsa memberikan marga Tarigan sebagai marga pak Julardi. Julardi menyatakan bahwa jika orang yang mellihat bisa saja tidak mengetahui bahwa Julardi adalah Etnis Minang.

Seiring berjalnnya waktu Julardi bertemu dengan Nurdiah br Sebayang yang sekarang berusia 55 tahun. Nurdiah adalah salah satu putri Daerah Kelurahan Tiga Binanga dan merupkan anak dari salah satu pelanggan Julardi. Setelah dua tahun berteman maka mereka beserta keluarga sepakat untuk menjalin ikatan persaudaraan dan menuju ke arah pernikahan. Sekarang Julardi dan Nurdiah dikaruniai tiga orang anak dan pekerjaan Julardi selain dari menjahit ia besrta istrinya juga mengelola lahan yang dimiliki oleh istrinya. Julardi menyatakan bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk pulang lagi ke Padang. Ia sudah nyaman di Tiga Binanga dan ia suka dengan penduduk Karo yang ada di Tiga Binaga. Ia menyatakan bahwa Suku Karo adalah Solonya Sumatera.


(58)

4.2.1.6 Asir Maulana (52 Tahun)

Asir Maulana adalah salah satu migran yang berasal dari Padang Pariaman dan etnis Melayu. Beliau mengecap bangku pendidikan hingga tingkat SMA. Beliau terdiri dari tiga orang bersaudara, dan dua saudara lainnya tinggal di Kota Medan. Asir Maulana sudah 37 tahun tinggal di Kelurahan Tiga Binanga. Ia mengetahui Daerah Tigabinanga berawal dari kerapnya bepergian ke Kota Cane mengunjungi keluarganya. Melihat Daerah Tiga Binanga yang yang memiliki banyak peluang untuk membuka usaha maka Asir Maulana memutuskan untuk merantau ke Tiga Binanga. Pertama kali datang ke Tiga Binanga untuk merantau ia bekerja di salah satu rumah makan Padang bernama Rumah Makan Minang yang terdapat tepat di pusat terminal bus Tiga Binanga.

Setelah sekian tahun bekerja di rumah makan minang beliau selanjutnya bekerja dengan Bapak Molai Sebayang dan menjadi karyawan di Warung Kopi Pak Molai. Hubungan mereka baik dan usaha Warung Kopi yang di buka di samping Kantor Polisi Tiga Binanga berkembang dengan baik sehingga Bapak Molai membuka cabang lagi di samping SPBU Tiga Binanga dan memandatkan Asir Maulana untuk mengelolanya. Perekonomian Asirpun semakin membaik sehinnga memungkinkan ia untuk membuka usaha sendiri yaitu usaha menjahit yang di beri nama Rully. Sambil membuka usaha menjahit Asir juga bertemu dan menikah dengan Sairah br Sebayang yang merupakan putri dari Daerah Tiga Binanga. Mereka tinggal di rumah susun Jalan Pasar Baru. Setelah 37


(1)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Melalui hubungan interaksi yang kerap dilakukan antara migran dengan penduduk lokal sehingga terjadi asimilasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Kelurahan Tiga Binanga. Kedatangan migran yang berasal dari beberapa kalangan etnis tidak menjadi suatu ancaman bagi keberadaan penduduk lokal. Asimilasi yang terjadi tersebut memberi suatu dampak positif bagi masyarakat. Menerima masuknya migran dengan kebudayaan lain ke Kelurahan Tiga Binanga, mengakibatkan terjadinya keuntungan satu sama lain. Hal tersebut menjadikan timbulnya simbiosa mutualisme (saling menguntungkan satu sama lain). 2. Kedekatan hubungan migran dengan penduduk lokal juga mendapatkan

rasa simpati dari Suku Karo di Kelurahan Tiga Binanga. Migran yang telah lama bekerja sama dengannya, didapati sudah seperti keluarga dan pantas mendapatkan suatu penghargaan. Maka penghargaan yang diberikan adalah dengan memberikan “Marga (Merga dalam bahasa Karo)” kepada migran dan dimasukan kedalam anggota keluarga penduduk lokal. Harapannya adalah agar hubungan yang selama ini terjalin tidak begitu saja sia-sia ditelan waktu, kerja sama yang selama


(2)

ini ada tetap terjaga dan semakin banyak anggota keluarga untuk saling membantu.

3. Tidak ditemukan stereotype negatif dari migran terhadap penduduk lokal dan sebaliknya. Namun stereotype yang ada yaitu dari migran kepada keberadaan migran yang berbeda etnis itu sendiri. Tempat tinggal mereka juga berbaur dengan tempat tinggal penduduk lokal. Migran menyatakan bahwa penduduk lokal (Suku Karo) adalah “Solonya Sumatera”. Mereka memandang bahwa Etnis Karo memiliki jiwa yang santun dan memiliki nilai persaudaraan yang tinggi, suka menjaga perasaan orang lain dan suka bekerja sama. Penduduk lokal memandang bahwa migran yang datang tersebut juga baik dan bisa dijadikan teman bekerja sama. Untuk migran yang didapati berpotensi, jujur dan berhasil menarik simpati penduduk lokal akan diajak untuk bekerja sama secara menetap.

4. Migran melakukan berbagai strategi agar diterima di lingkungan penduduk setempat. Terkususnya belajar berbahasa Karo, bahasa yang paling sering digunakan penduduk lokal dalam berkomunikasi dengan harapan mereka memiliki hubungan interaksi yang baik, sehingga lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Keberadaan kebudayaan migran yang beranekaragam dan berbeda dengan penduduk lokal tidak pernah mendapat kekangan dari penduduk lokal. Usaha migran dalam menarik simpati penduduk lokal tidaklah berujuang sia-sia. Justru mendapatkan nilai ganda bagi migran. Selain mendapatkan tempat pekerjaan, diangkat


(3)

menjadi kerabat mereka juga bisa menemukan pasangan hidup di Kelurahan Tiga Binanga.

5.2 Saran

1. Pemerintah tetap membuat suatu kebijakan untuk memindahkan migran-migran untuk bekerja ke suatu daerah yang memiliki latarbelakang kebudayaan yang berbeda, sehingga dengan demikian akan memungkinkan terjadinya asimilasi dan amalgamasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dengan demikian konflik antarkelompok juga bisa terkendali.

2. Pemerintah membuat suatu kebijakan baik di sekolah nasional atau internasional agar anak-anak didik diajarkan untuk mengenal beranekaragam budaya Indonesia sejak dini dan diajarkan untuk menghargai kebudayaan orang lain. Hal tersebut juga bertujuan untuk mengurangi rasa etnosentrisme yang tinggi yang dapat memicu perpecahan dan rasa individualisme.

3. Pemerintah melakukan sosialisasi ke masyarakat dengan tema lintas etnis dan agama. Dimana masyarakat dipahamkan kembali untuk saling menghormati kebudayaan satu sama lain. Masyarakat diberikan informasi mengenai kebudayaan lain di luar kebudayaan mereka untuk meningkatkan nilai teloransi selaku rakyat Indonesia.

4. Membangun gedung budaya sebagai tempat persinggahan publik. Dimana masyarakat dapat memperlihatkan dan menyaksikan kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Selain itu juga menyediakan tempat pariwisata,


(4)

balai pertemuan, gedung budaya, sarana olahraga yang dapat menunjang pertemuan antar-kelompok etnis.

5. Seperti pepatah menyatakan bahwa “Tak Kenal Maka Tak Sayang” Maka dari itu tetaplah belajar untuk mengenal kebudayaan etnis lain. Tidak membatasi diri untuk berteman dan berinteraksi dengan orang yang berbeda kebudayaan dan keyakinan. Karena keberagaman tersebut adalah kekayaan Bangsa Indonesia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Ihromi. T.O. 1999. Bungan Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Jhonson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern.Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta

Moleong,Lexi. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Nasution, Arif. 1999. Globalisasi dan Migrasi antar Negara. Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation.

Novendra dkk. 1996. Integrasi Nasional di Daerah Riau Suatu Pendekatan Budaya. Tanjungpinang: Departemen dan Kebudayaan.

Poloma, Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Prinst, Darwan. 2008. Adat Karo.Medan: Bina Media Perintis.

Santosa, Slamet. 1999. Dinamika Kelompok. Jakarta: PT Bumi Aksara.

___________. 2009. Dinamika Kelompok. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Setiadi M Elly dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakrata : Kencana.

Simanihuruk, Muba. 2002. Interaksi antara Migran Pendatang dengan Penduduk Lokal. Studi tentang Interaksi antara Migran Batak Toba, Tionghoa, dan Melayu di Pangkalan Berandan.Medan : Direktorat Penelitian dan


(6)

Pengabdian Pada masyarakat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Soekanto, Sarjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suprapti dkk. 1990. Adaptasi Migran Musiman Terhadap Lingkungan Tempat Tinggal (Daerah Khusus Ibukota Jakarta). Jakarta : DEPDIKBUD.

Wirutomo, Paulus. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta. UI-Press.

Sumber dari internet :

Bramderisco. 2010. Suku Karo. http://bramderisco.wordpress.com/tag/suku‐ karo/. diakses 7 Maret 2014, pukul 21.31 WIB.

Bangun, Payung.1981. Pelapisan Sosial di Kabanjahe. Jakarta: UI FISIP 

http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=91277&lokasi=lok al, diakses pada tanggal 7 Maret 2014, Pukul 2.26 WIB.

Sitepu, Kalvin. 2013. Tigabinanga dalam angka. Kabanjahe : BPS Kabupaten Karo

(http://karokab.bps.go.id/data/publikasi/kca030_13/files/search/searcht ext.xml. diakses 11 Februari 2014, Pukul 21.00 WIB).

Tambun, Irwan Tarigan. 2011. Silima Merga. Tanah Karo (http://silima‐ merga.blogspot.com/2011/02/gambaran‐umum‐kecamatan‐tiga‐ binanga.html diakses pada tanggal 11 Februari 2014, Pukul 8.29 WIB).