Terjadi Amalgamasi Pola Asimilasi antara Penduduk Migran dengan Penduduk Lokal

Sama keluargaku yang lainpun perhatian kali dia kalau ada acara gitu di keluarga kami, ikutnya dia di situ. Isteri sama anak-anaknyapun polos kali kulihat la megogo bagel ah tidak banyak tingkah gitu lah. Udah lama juga dia kerja sama kita. Jadi rembuklah aku sama keluarga biar di angkat Pak kumis sekeluarga jadi kerabat kami. Setuju keluarga, ya udah kami sahkan, kami undang sangkep nggeluh kami ada ank beru, kalimbubu, lengkap semua. Terus ada kami buat makan makan waktu itu di rumah.”Terulin

4.3.5 Terjadi Amalgamasi

Bukan hal yang mudah untuk terjadinya perkawinan campur amalgamasi di tengah-tengah masyarakat yang memiliki banyak perbedaan kebudayaan. Apalagi penduduk yang berkebudayaan tersebut memiliki rasa cinta dan hormat terhadap kebudayaannya masing-masing. Otomatis masyarakat tersebut juga berharap agar keturunannya tetap mencintai kebudayaan yang dimilikinya. Demikian dengan penduduk lokal Suku Karo di Kelurahan Tiga Binanga yang hingga saat ini tetap menjunjung nilai kebudayaan Karo. Masyarakat berharap agar keturunan mereka juga tetap menjaga kebudayaan mereka. Hal yang sama juga ditekankan dalam perkawinan, yang mana mereka berharap anak-anak mereka juga menikah dengan seseorang yang seagama dan satu suku dengannya. Dari dulu hingga sekarang Penduduk lokal juga mengharapkan anak mereka menikah dengan seseorang yang sebudaya saja. Menikah dengan orang yang berasal dari kebudayaan lain dianggap menjadi suatu penghinaan terhadap kebudayaan Karo itu sendiri. Berikut hasil wawancara dengan informan. Universitas Sumatera Utara “Nai nari pe adi erjabu i larang kin adi la man kalak karo, seri ras erjabu semerga dakam pantang kel. Adi empo kita man kalak dayakenna kari juma ah, enca baci ka kalak kari enggo punana. Adi la man kalak karo dakam, adi lit kari kerja-kerjata lalit kade-kadeta je. Adi la siangkan dakam latih, je kari aku entabeh kuakap bulung gadong enca ia entabeh kapna manok. Emaka penghianat ningen man kalak si empo man kalak. Emaka rutang ka man galaren bas adat.”Budi Ginting Artinya“Dari dulu itu kalau yang namanya kawin sama orang bukan Suku Karo dilarang kali lah, sama kayak nikah satu marga di pantangkan kali. Kawin sama suku lain nanti takut ladang itu dijual atau bisa pindah pemilik. Lain itu kalau bukan orang karo enggak ada nanti keluarga kita kalau ada acara pesta. Kalau beda-beda kan kurang enak, nanti saya sukanya daun ubi dia suka ayam. Makanya penghianat dulu di bilang sama orang yang nikahi suku lain.makanya harus dibayar denda sama adat.”Budi Ginting Namun seiring berjalannya waktu dan zaman sudah semakin modern, kondisi penolakan terhadap pernikahan dengan suku lain justru semakin memudar di penduduk Lokal Kelurahan Tiga Binanga. Sistem Sitinurbaya dan harusnya menikah dengan Suku Karo saja tidaklah lagi terlalu di pegang oleh masyarakat. Sekarang penduduk lokal berfikir bahwa yang menjadi teman hidup itu adalah seseorang yang bisa menjadi teman dan bisa menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lain, bisa menjaga nama baik keluarga, satu keyakinan dan satu kata. Berikut hasil wawancara dengan informan. “Ini zaman bukan zaman Sitinurbaya lagi. Sudah bebas memilih orang yang kita suka. Kalau dirasa sudah cocok, satu keyakinan, bisa lah dia sama kita carik makan udah bisa lah itu. Orang apapun dia kalau samanya kita tinggal di sini pasti nanti dia juga jadi samanya kayak orang-orang sini. Bisanya belajar. Sekarang ini sini kan udah banyakpun orang kwain sama orang jawa, batak atau suku Universitas Sumatera Utara lain lagi, kam lihatnyakan akurnya mereka sampe anak merekapun udah besar-besar, memang sebelum mereka nikah dibuatlah marga si perempuan atau si laki-laki yang mau menikah biar ada kelaurganya orang Karo di sini.”Iskandar Sebayang Dapat dilihat bahwa adapun perkawinan campur amalgamasi di tengah-tengah penduduk Tiga Binanga tidaklah terlepas dari hubungan interaksi yang baik. Penyesuaian diri dan rasa saling menghormati menjadikan perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sesuatu yang bisa dihilangkan. Menghilangkan rasa perbedaan dan lebih mementingkan kesatuan tindak menciptakan hubungan kekerabatan di lingkungan Kelurahan Tiga Biannga. Dengan menghilangkan rasa etnosentrisme maka semakin memungkinkan terjadinya amalgamasi pada penduduk di Kelurahan Tiga Binanga. Ketika ada pernikahan campur antara penduduk migran dengan lokal maka pihak yang terkait tersebut harus membayar denda kepada adat karena sudah menikah dengan seseorang yang bukan dari Suku Karo. 4.4 Strategi yang Dilakukan Oleh Penduduk Migran Sehingga Mampu Menjalin Kerja Sama dan Membentuk Kekeluargaan dengan Penduduk Lokal Strategi merupakan langkah awal yang dikerjakan oleh si penduduk migran ketika ia memasuki Kelurahan Tiga Binanga. Mendapati bahwa kebudayaan lingkungan sekitar berbeda dengan kebudayaannya maka penduduk migran berusaha untuk mencari peluang agar bisa diterima di tengah-tengah masyarakat. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil temuan di lapangan maka ada beberapa cara pendekatan yang dilakukan oleh penduduk penduduk migran.

4.4.1 Belajar Bahasa Karo