c. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 418,
419, dan 420 KUHP. 2.
Perbuatan korupsi lainnya, yaitu: a.
Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan
suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. b.
Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan.
Dalam perbuatan korupsi lainnya, unsur perbuatan melawan hukum dimaknai dengan perbuatan tercela sebagaimana onrechtmatige daad yang
tercantum dalam pasal 1365 KUHPerdata.
35
3. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan ini ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 6 Juni 1960. Berlakunya undang-undang ini dengan tegas mencabut peraturan-peraturan
tentang korupsi yang berlaku sebelumnya yang bersifat sementara. Sejak saat itu pula, tidak ada lagi pembagian rumusan korupsi yang dikenal hanya “tindak
35
Andi Hamzah, op cit, hal. 40.
pidana korupsi”, yang pengertiannya sama dengan “perbuatan korupsi pidana”.
36
Hal ini dikarenakan para pembuat undang-undang saat itu memandang tidak perlu lagi ada peraturan tentang korupsi yang bukan pidana, karena hal-hal tersebut
membuka kemungkinan bagi pemerintah untuk menggugat secara perdata melalui Pasal 1365 KUHPerdata.
37
Hal yang baru dalam undang-undang ini ialah ditariknya beberapa pasal dari KUHP yang dijadikan sebagai tindak pidana korupsi, yang diancam dengan
hukuman yang lebih berat. Selain itu, hal-hal baru lainnya yang diatur dalam undang-undang ini yang belum ada dalam peraturan sebelumnya ialah:
38
1. Delik percobaan dan delik pemufakatan;
2. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;
3. Ada delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri; dan
4. Rumusan pegawai negeri diperluas.
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-undang ini mulai diberlakukan pada tanggal 29 Maret 1971. Dalam konsiderans dinyatakan bahwa undang-undang ini diciptakan dengan
pertimbangan: a.
Perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.
b. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat
36
K. Wantjik Saleh, op cit, hal. 25.
37
Andi Hamzah, op cit, hal. 48.
38
Martiman Prodjohamidjojo, op cit, hal 14.
mencapai hasil yang diharapkan dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.
Adapun hal-hal baru yang diatur dalam undang-undang ini ialah, perluasan rumusan tindak pidana korupsi, perluasan pengertian pegawai negeri, dan adanya
ketentuan-ketentuan untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi dan Hukum
Acara yang berlaku. Delik korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan dalam enam kelompok, yaitu:
39
1. Tindak pidana korupsi dirumuskan normatif;
2. Tindak pidana korupsi dalam KUHP yang diangkat menjadi delik
korupsi; 3.
Tindak pidana korupsi dilakukan subjek non-pegawai negeri; 4.
Tindak pidana korupsi karena tidak melapor; 5.
Tindak pidana korupsi percobaan; dan 6.
Tindak pidana korupsi pemufakatan.
5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak