mencapai hasil yang diharapkan dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.
Adapun hal-hal baru yang diatur dalam undang-undang ini ialah, perluasan rumusan tindak pidana korupsi, perluasan pengertian pegawai negeri, dan adanya
ketentuan-ketentuan untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi dan Hukum
Acara yang berlaku. Delik korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan dalam enam kelompok, yaitu:
39
1. Tindak pidana korupsi dirumuskan normatif;
2. Tindak pidana korupsi dalam KUHP yang diangkat menjadi delik
korupsi; 3.
Tindak pidana korupsi dilakukan subjek non-pegawai negeri; 4.
Tindak pidana korupsi karena tidak melapor; 5.
Tindak pidana korupsi percobaan; dan 6.
Tindak pidana korupsi pemufakatan.
5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Konsiderans undang-undang ini menyatakan bahwa, tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Selain itu, akibat tindak pidana korupsi yang
terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang
39
Ibid, hal 16.
menuntut efisiensi yang tinggi. Atas pertimbangan itulah kehadiran Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum dan masyarakat, sehingga harus diganti dengan undang-undang yang baru agar lebih efektif dalam mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi.
Adapun hal-hal baru yang diatur dalam peraturan ini ialah:
40
1. Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana
korupsi. 2.
Sifat melawan hukum diperluas maknanya, tidak hanya melawan hukum formil tapi juga melawan hukum materil.
3. Adanya ketentuan mengenai ancaman pidana minimum khusus.
4. Adanya ancaman hukuman pidana mati atau pidana seumur hidup.
5. Adanya ancaman hukuman pidana kumulatif antara pidana penjara dan
pidana denda. 6.
Adanya pengaturan tentang peradilan in absentia. 7.
Memuat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. 8.
Adanya pengaturan mengenai peran serta masyarakat untuk membernatas tindak pidana korupsi dalam bentuk hak mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi dan memberikan penghargaan kepada mereka yang telah
berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
40
Mahrus Ali, Asas, Teori Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta : UII Press, 2013, hal. 26, dikutip seperlunya.
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pada dasarnya undang-undang ini merupakan perubahan atau penambahan terhadap beberapa ketentuan dalam undang-undang yang sebelumnya. Terdapat
dua alasan mengapa undang-undang sebelumnya harus dirubah sebagaimana yang termuat dalam konsiderans, yaitu:
1. Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan luar biasa.
2. Jaminan kepastian hukum, menghindari keragaman penafisran hukum
dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak
pidana korupsi merupakan hal penting untuk diwujudkan. Adapun beberapa perubahan penting dan mendasar dalam undang-undang
ini ialah:
41
1. Terjadi perubahan redaksi penjelasan Pasal 2 ayat 2 mengenai
keadaan tertentu. 2.
Perluasan alat bukti. 3.
Pada rumusan Pasal 2, Pasal 5 sampai Pasal 12 Undang-Undang ini, rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu pada pasal-pasal dalam
41
Ibid, hal. 30.
KUHP tetapi langsung menyantumkan unsur-unsur yang terdapat dalam KUHP.
4. Penghapusan dan menyatakan tidak berlaku Pasal 209, 210, 387, 388,
415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, dan Pasal 435 KUHP pada saat mulai berlakunya undang-undang ini.
5. Adanya delik baru mengenai pemberian hadiah, yaitu gratifikasi.
6. Memberikan kewenangan untuk melaksanakan perampasan harta
benda yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana yang dinyatakan dalam pasal 38 ayat 1.
B. Perkembangan Pengaturan Pemberian Hadiah Menurut Undang-Undang