SEJARAH SINGKAT MAHKAMAH SYAR’IYAH

21 Di Kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas hidup berdampingan dengan 12 etnis lainnya dan penduduk yang beragama Islam berdampingan dengan penduduk yang beragama Kristen Protestan dan Khatolik, walaupun memiliki keanekaragaman dari segi etnis dan agama, di tanah Alas tidak pernah terjadi konflik antar penduduk yang diakibatkan oleh perbedaan tersebut. Inilah yang membuat wilayah perbukitan di daerah Aceh Tenggara terkesan damai dan asri heterogen. Keheterogenan kehidupan di tanah Alas kemudian menjadi keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Aceh Tenggara, membuat kehidupan setiap elemen masyarakatnya sangat berwarna dan bervariasi. Setiap unsur masyarakat yang berbeda kebudayaan saling berbaur dan saling mempengaruhi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Atas dasar etiologi kehadiran berbagai etnis di tanah Alas, jelaslah bahwa tidak ada satu orang pun yang dapat hidup berdiri sendiri, begitu juga dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten ini. Semua pihak perlu terlibat baik secara langsung maupun tidak. Keberagaman suku dan keyakinan akan menjadikan keunikan tersendiri bagi masyarakat di sana dalam membangun daerahnya.

2.2 SEJARAH SINGKAT MAHKAMAH SYAR’IYAH

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka terjadilah sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Nanggroe Aceh Darussalam dalam 22 rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 M1 Muharram 1424 H sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, Keppres Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24 menyebutkan hanya 4 empat lingkungan badan Peradilan yaitu : 1. Lingkungan Badan Peradilan Umum. 2. Lingkungan Badan Peradilan Agama 3. Lingkungan Badan Peradilan Militer dan 4. Lingkungan Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagai peradilan khusus, Mahkamah Syar’iyah mempunyai kewenangan yang sangat luas bila di bandingkan dengan Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002 mengatur tentang tugas dan wewenang Mahkamah Syar’iyah meliputi ahwal al-sakhsiyah hukum keluarga, Muamalah dan Jinayah. Dalam Penjelasan Qanun tersebut menerangkan bahwa bidang ahwal al- sakhsiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan undang- Undang No. 50 Tahun 2009 beserta penjelasan Pasal tersebut kecuali waqaf, hibah dan sadaqah. 23 Selanjutnya yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang muamalat meliputi hukum kebendaan dan perikatan seperti : - Jual beli, hutang piutang. - Qiradh permodalan - Musaqoh, Muzara’ah, mukhabarah, bagi hasil pertanian - Wakilah kuasa,syirkah perkongsian - Ariyah pinjam meminjam, Hajru penyitaan harta, syuf’ah hak Langgeh, RahnGadai - Ihyaul Mawat pembukaan lahan, Ma’din tambang,Lughatah barang temuan - Perbankan, Ijarah sewa menyewa,takaful - Perburuhan - Harta Rampasan - Wakaf,hibah, shadaqah dan hadiah. Sedangkan yang dimaksud kewenangan bidang jinayat adalah : a. Hudud mencakup zina, menuduh berzina qazhaf, mencuri, merampok, menuman keras dan napza, murtad, pemberontakan bughat b. Qishasdiat meliputi : pembunuhan, penganiayaan. c. Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syari’at selain hudud dan qishasdiat seperti: maisir perjudian, 24 penipuan, pemalsuan, Khlawat meninggalkan shalat fardhu dan puasa ramadhan. Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Syar’iyah khususnya dalam bidang Jinayah, akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan, kompotensi dan ketersediaan sumber daya manusia. Hal ini secara tegas telah digariskan dalam Pasal 3 ayat 2 Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2003.

2.3 KANTOR MAHKAMAH SYAR’IYAH KUTACANE