Hubungan Bahasa dan Ekologi

menjadi makna metafora yaitu pembunuhan killing dan pelenyapan taking away yang terjadi. Ruang kajian ekolinguistik menurut Haugen seperti yang dilaporkan oleh Mbete 2009:11-12 memiliki keterkaitan dengan sepuluh ruang kaji linguistik lainnya. Dalam penelitian ekolinguistik sejumlah subdisiplin linguistik dapat disandingkan dengan satu atau lebih dari sepuluh ruang kaji tersebut. Kesepuluh ruang kaji tersebut adalah, Sosiolinguistik, Dialektologi, Linguistik Historis Komparatif, Linguistik Demografi, Dialinguistik, Filologi, Glotopolitik, Linguistik Preskriptif, Tipologi Bahasa, dan Etnolinguistik termasuk pula Antropolinguistik, atau Linguistik Kultural.

2.1.1 Hubungan Bahasa dan Ekologi

Sapir dalam Fill dan Muhlhausler 2001:2, pada tahun 1912 menulis tentang bahasa dan lingkungan yang beranggapan bahwa lingkungan fisik dari sebuah bahasa terdiri atas karakter geografi sebagai topografi dari sebuah negara, berhubungan dengan iklim, termasuk pula ke dalamnya flora dan fauna, curah hujan, serta sumber daya alam yang merupakan sumber kehidupan dan sumber ekonomi manusia yang terekam secara verbal. Sehingga, menurutnya kosa kata yang terdapat dalam bahasa-bahasa itu akan berbeda satu sama lain bergantung pada sosiokultural dan lingkungan ecoregion tempat bahasa itu digunakan. Perbedaan ini hanya bersangkut paut dengan unsur-unsur leksikal dan tidak berakibat kepada kaidah atau prinsip struktur bahasa tersebut. Universitas Sumatera Utara Vokabulari dari sebuah bahasa tidak hanya bergantung atau dipengaruhi oleh lingkungan fisik bahasa tersebut, akan tetapi lingkungan sosial masyarakat penuturnya juga sangat berperan dalam pembentukan vokabulari sebuah bahasa. Lingkungan sosial dimaksud terdiri atas kekuatan masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran setiap individu seperti agama, kepercayaan, etika, dan pemahaman tentang politik. Berdasarkan klasifikasi dari ke dua lingkungan ini kelengkapan vokabulari bahasa dapat mengindikasikan pengetahuan, minat, pekerjaan serta pandangan hidup penuturnya dan tempat bahasa atau masyarakat tutur tersebut berada. Penutur bahasa yang hidup di pegunungan akan memiliki khasanah vokabulari yang lebih banyak berkaitan dengan lembah, ciri tanah, jenis burung, jenis tumbuhan, kehidupan lebah, dan kehidupan satwa liar yang ada di lingkungan tertentu ecoregion. Sebagai contoh suku Noocka Indian yang secara ekonomis hidupnya sangat bergantung kepada kekayaan hutan memiliki vokabulari kelautan yang sangat minim. Demikian pula penutur bahasa yang bermukim di pesisir pantai memiliki lebih banyak khasanah vokabulari yang berkaitan dengan lingkungan kelautan, seperti yang terjadi pada suku Paiute, Arizona. Mereka lebih banyak mengenal dan menciptakan nama-nama ikan, ganggang, bunga karang, pasir dan semua kandungan laut. Contoh lain dapat pula dilihat pada bahasa Aceh yang digunakan oleh masyarakat tutur di Desa Trumon yang menjadikan beras sebagai makanan pokok dan bahan panganan sebagai kudapan, memiliki vokabulari kuliner Universitas Sumatera Utara yang lebih banyak berkaitan dengan pade ‘padi’dan bu ‘nasi’, sebagai contoh, eumping pade ‘padi sangrai yang ditumbuk’, bu kulah, bu phet, bu leukat, bu leumak, bu kanji, bu kuneng, dan bu leugok. Selanjutnya, Sapir beranggapan bahwa bahasa yang diucapkan oleh seseorang sangat bergantung kepada pikiran dan tingkah laku orang tersebut yang terefleksi kepada bentuk vokabulari yang dituturkannya. Anggapan ini dikenal dengan hipotesis Sapir–Whorf yang diperkenalkan oleh Whorf dalam tulisannya tahun 1956. Secara biologis, pada umumnya manusia memiliki kemampuan sama dalam kapasitas mempelajari bahasanya. Seperti yang diutarakan oleh Halliday 2001:21-22 bahwa kemampuan ini sama halnya dengan kemampuan manusia tersebut pada saat belajar berjalan serta belajar berdiri. Kesemuanya ini tidak bergantung kepada tingkat intelegensia sesorang. Secara ekologis sesungguhnya manusia adalah makhluk ekologis yang unik, karena setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda antara satu dengan lainnya walaupun berada dalam pola lingkungan yang sama dan bahasa yang sama pula. Pengalaman yang sifatnya personal ini senantiasa berhubungan dengan lingkungannya. Lingkungan ini pula yang membentuk kultur manusia tersebut dan juga membentuk pola penggunaan bahasa seseorang yang seterusnya terekam dalam kognitif orang tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Heine 1997:3 bahwa bahasa merupakan produk interaksi manusia dengan dunia sekelilingnya, dunia alamih dan dunia sosial. Cara Universitas Sumatera Utara seseorang menciptakan tuturannya dan membangun kemampuan linguistiknya dapat langsung tergambar dari pengalaman yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman tentang lingkungan dan mengaplikasikan pengalaman tersebut dalam komunikasi yang spesifik dengan sesama. Rekaman pengalaman yang paling dekat dan paling lekat adalah tentang dunia nyata sekitar, baik yang bersifat kultural maupun yang bersifat alamiah. Oleh karena itu, fungsi awal imajineri adalah menggambarkan lingkungan di sekitar dengan menggunakan bahasa karena bahasa didasari imajinari yang ada di otak dan pengalaman manusia Palmer 1996:3 ; lihat Mbete, 2010:7. Pakar ekolinguistik, Haugen 1972:326 menggambarkan lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak atau kognitif penuturnya yang hanya berfungsi menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan alam sekitar yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan di sini juga mencakup pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia atau wilayah tempat bahasa itu ada dan digunakan. Lebih lanjut Haugen 1972:325 menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan ekologi pada dasarnya terjadi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah lingkungan psikologikal psychological environment yaitu pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa dalam pikiran atau kognitif penutur bahasa-bahasa tersebut, dan bagian ke dua adalah sosiologikal yaitu Universitas Sumatera Utara hubungan lingkungan dengan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sebagai media komunikasi mereka. Bahasa layaknya species yang hidup di lingkungan alam yang dapat hidup dan berkembangbiak, dapat berubah dan dapat pula lenyap atau mati. Jika bahasa itu digunakan oleh bertambah banyak penuturnya maka bahasa itu akan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Namun jika jumlah penuturnya sedikit dan dominasi terus berkurang, dikhawatirkan bahasa itu akan bergeser, berubah, lenyap atau berevolusi. Mufwene 2004:146 berpendapat bahwa ini semua dapat terjadi disebabkan oleh evolusi bahasa. Pakar ekolinguistik ini membedakan dua jenis evolusi bahasa. Pertama, evolusi progresif yaitu perubahan yang menuju ke arah perubahan yang berkembang pesat seperti bahasa Inggris Amerika yang digunakan masyarakat tutur di benua Amerika bahkan di pelbagai belahan dunia dewasa ini. Kedua, evolusi yang beranalogikan kepada evolusi teori Darwin yang menganggap evolusi terjadi melalui proses seleksi alam. Subtipe dari teori Darwin di mana spesis suatu populasi berasal dari atau muncul berbeda dari lainnya. Walaupun bahasa tidak termasuk ke dalam spesies biologi namun rentang umur bahasa dan linguistik berhubungan satu sama lain sebagaimana hubungan dalam rumpun biologi. Evolusi bahasa terjadi melalui seleksi alam dapat disebabkan oleh eksploitasi lingkungan alam dan bencana alam, serta perkembangan teknologi. Evolusi ini dapat dilihat pula pada idiolek dari individu penutur yang berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian Lucy 1996 tentang bahasa Yucatec Maya seperti yang diungkap oleh Kovecses 2006:323 menghasilkan satu temuan bahwa keberadaan bentuk plural dalam bahasa Yucatec sifatnya opsional dan kadangkala hanya diberlakukan kepada benda-benda hidup. Pola bahasa ini berkaitan dengan pola pikir penutur jati yang hanya peka kepada jumlah entitas yang hidup dan tidak kepada yang mati. Hal ini juga terimbas kepada cara pandang mereka kepada lingkungan pedesaan dalam kehidupan sehari- hari masyarakat Yucatec. Hasil penelitian Ashok Kelkar tentang bahasa Inggris suku Marathi 1957, dibicarakan oleh Haugen 1972:335 bahwa bahasa Inggris yang digunakan oleh suku Marathi sebagai media komunikasi tidak sama dengan bahasa Inggris yang dituturkan oleh penutur asli. Masyarakat tutur di Marathi tidak hanya mengadopsi sistem bunyi bahasa Marathi ke dalam bahasa Inggris, lebih dari itu mereka juga mengaplikasikan sistem gramatikal bahasa mereka sendiri ke dalam bahasa Inggris. Bentuk gramatikal tersebut sejatinya tidak terdapat di dalam sistem bunyi dan kaidah bahasa Inggris, sehingga amat sulit bagi penutur asli bahasa Inggris untuk mengerti dan memaknai isi pembicaraan yang dituturkan oleh masyarakat tutur Inggris Marathi. Sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Inggris Marathi secara otomatis menyesuaikan diri dengan sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Marathi, karena bahasa dan lingkungan tempat bahasa itu digunakan saling terkait erat. Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Parameter Ekolinguistik