Parameter Lingkungan Environment Parameter Ekolinguistik

2.1.2.3 Parameter Lingkungan Environment

Manusia berinterelasi, berinteraksi, bahkan berinterdependensi dengan pelbagai entitas yang ada di lingkungan tertentu ecoregion, memberi nama dalam bahasa lokalnya, memahami sifat-sifat dan karakter yang dikodekan secara verbal, semata-mata demi tujuan dan kepentingan- kepentingan manusia antroposentrisme dan juga karena manusia adalah makhluk ekologis yang memang tidak dapat tidak membutuhkan segala yang ada demi hidupnya secara biologis biosentrisme, baik hewan, tumbuhan, bebatuan, maupun udara dan keluasan pandangan secara ragawi kosmosentrisme. Berbagai cara manusia memengaruhi lingkungannya, sebagaimana yang pernah dibicarakan sebelumnya. Sikap masyarakat terhadap lingkungan alam banyak didasari oleh pola kultural masyarakat tersebut. Sebagai contoh pandangan suatu masyarakat terhadap daging binatang seperti lembu, babi, ayam, itik kambing sebagai makanan manusia berkaitan dengan kebutuhan manusia. Keberadaan binatang-binatang tersebut yang menyangkut dengan perkembangbiakannya sangat diperhatikan oleh masyarakat yang ada dalam lingkungan alam itu. Pada gilirannya sifat alamiah dari binatang itupun menjadi bagian dari perhatian masyarakat dengan kata lain pengetahuan lokal dan pengetahuan manusia tentang lingkungan alam telah berpengaruh kepada pandangan hidup, kultur, bahasa dan kosmologi masyarakat yang bergantung kepadanya. Menurut Muhlhausler 2003:37 bahwa klasifikasi Universitas Sumatera Utara hewan dan tumbuhan secara nyata merupakan refleksi dari lingkungan dengan keanekaragaman hayatinya tempat tinggal masyarakat tersebut. Lingkungan alam dijadikan sebagai parameter membangun atau memberi nama-nama tersebut dalam kurun waktu yang sangat panjang, yang diturunkan secara berkesinambungan dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Dari hasil penelitiannya Muhlhausler 2003:59 mengemukakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pelabelan nama dapat memakan waktu lebih kurang tiga ratus tahun lamanya untuk menghubungkan sebuah bahasa dengan lingkungan biologis penuturnya. Parameter lingkungan environment yang menjadi acuan pada lingkungan alam di Desa Trumon dapat dilihat pada kehidupan siput yang secara alamiah hidup dalam dua lingkungan alam yaitu lingkungan darat dan lingkungan air. Dari kehidupan siput terbentuk sebuah metafora yaitu ABO UDEP DUA PAT. Secara harfiah ungkapan ini mengandung makna ‘siput hidup pada dua tempat’, yaitu: abo ‘siput’, udep ‘hidup’, dua ‘dua’dan pat’ tempat’menjelaskan kehidupan siput yang dapat bertahan hidup di dalam dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di daratan dan di dalam air. Kehidupan siput seperti ini membentuk sebuah metafora yang tertuju kepada sifat atau perilaku seseorang yang dapat menyesuaikan diri di semua lingkungan sosial budaya dan semua kalangan masyarakat. Ketiga parameter ekologi yang diterapkan dalam kajian ekolingustik yakni: 1 lingkungan environment, 2 keberagaman diversity, 3 interelasi Universitas Sumatera Utara interrelation, interaksi interaction, interdependensi interdependention, kendatipun dalam uraian ini dipilah-pilah, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Di lingkungan tertentu, misalnya di Desa Trumon, Aceh, pasti terdapat keberagaman atau keanekaragaman hayati dan nonhayati abiotik baik tumbuhan, hewan, manusia, maupun benda-benda abiotik lainnya. Di lingkungan itu pula selalu terjadi interaksi, interelasi, dan interdependensi khususnya antara masyarakat penutur bahasa Aceh dengan keberagaman atau keanekaragaman yang ditandai dan direkam secara verbal. Kendatipun masyarakat tutur bahasa Aceh memiliki bahasa yang sama yakni bahasa Aceh, derajat kedekatan degree of familiriaty dengan entitas- entitas tertentu di lingkungan tertentu itu berbeda-beda pula sebagaimana tercermin pada ketelitian khazanah kata yang mengkodekannya lihat. Sapir dalam Fill and Muhlhausler, 2001: 16. Dalam kaitan dengan kerangka pikir ini, Haarmann, seperti yang dikutip oleh Fill dan Muhlhausler 2001: 44 menegaskan pula adanya variabel etnodemografi dan variabel etnokultural dalam hal ini para penutur bahasa dengan perbedaan derajat keakrabannya dan pengetahuannya, variabel etnokultural yang dipahami sebagai tradisi dan budaya etnik dan subetnik tertentu, masing-masing dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman berinteraksi, berinterelasi, dan berinterdependensi dengan entitas-entitas tertentu secara sangat khusus dan variatif pula. Kekhususan itu tercermin pada khazanah kata bahkan ungkapan-ungkapan metaforik bersumberkan keanekaragaman tetumbuhan atau hewan, atau juga unsur-unsur abiotik yang diakrabi di ecoregion atau lingkungan tertentu. Universitas Sumatera Utara Derajat kedekatan itulah yang dapat saja membedakan antar kelompok penutur atau subkelompok penutur bahasa yang sama di lingkungan ecoregion tertentu dengan kelompok lainnya dalam bahasa yang sama. Variasi ungkapan metaforik itulah yang memperkaya khazanah keberagaman bahasa dan ungkapan- ungkapan suatu bahasa. Dilacak lebih jauh, sebuah ungkapan atau beberapa ungkapan metaforik dalam bahasa yang sama, dapat saja hanya dimiliki, dipahami, dan digunakan di lingkungan tertentu saja sesuai dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan tertentu. Sebagai contoh, terdapat 51 metafora yang digunakan oleh masyarakat Trumon akan tetapi tidak di gunakan di desa lain yang berdekatan yaitu Desa Meukek, Desa Bakongan dan Sawang. Mereka hanya mengetahui makna harfiah dari setiap metafora tersebut, dan mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa Aceh akan tetapi mereka tidak mengetahui dan atau tidak memahami makna metaforis yang terkandung dalam semua metafora tersebut. Pemahaman ini sangat bergantung dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan Desa Trumon.

2.1.3 Teori Dialektikal Sosial Praksis