Kelompok Fauna PAPARAN DATA DAN ANALISIS PENELITIAN

Metafora CABEUNG THO lazimnya disandingkan dengan verba tamumat yang bermakna ‘berpegang’ dan preposisi bak ‘ pada’ atau ‘kepada’ yang didahului kata negasi bek ‘ jangan’. Sehingga bentuk tuturannya seperti: Bek tamumat bak CABEUNG THO, secara harfiah bermakna jangan berpegang pada dahan kering’. Secara metaforis tuturan ini bermakna, pelarangan dalam hal mengharapkan pertolongan kepada seseorang yang tidak memilki kemampuan untuk memberi pertolongan. Pertolongan dimaksud dapat berupa pertolongan finansial atau pertolongan berupa nasihat yang menyangkut ilmu agama atau ilmu sosial lainnya. Parameter keterhubungan interrelationship, yaitu keterhubungan yang berkaitan dengan ketidakmampuan cabeung tho yang mudah patah dipetakan kepada keadaan seseorang yang memiliki keterbatasan dalam ilmu pengetahuan dan finansial. Keterbatasanya ini berakibat kepada ketidakmampuanya memberi pertolongan kepada orang lain. Parameter lingkungan environtment, berkaitan dengan karakter alamiah pada tatanan dimensi biologis pada dahan kering yang mudah patah dijadikan sebagai ranah sumber yaitu cabeung tho dipetakan kepada ranah target yaitu ketidakmampuan seseorang dalam memberi pertolongan kepada orang lain, baik pertolongan berupa finansial atau pertolongan nasihat yang menyangkut masalah kehidupan.

5.3 Kelompok Fauna

Sama halnya dengan metafora yang berasal dari ranah sumber flora, metafora yang berasal dari ranah sumber fauna juga mengacu kepada fauna yang hidup dan berkembang biak di lingkungan alam Desa Trumon, seperti ayam, Universitas Sumatera Utara anjing, cacing ikan dan sub-jenisnya, kambing, kerbau, kera, kepiting, dan lintah. Lingkungan alam Desa Trumon dimaksud adalah lingkungan desa dan lingungan hutan. Berikut ini akan dibicarakan metafora yang menjadikan fauna sebagai ranah sumber.

012. Abo Amphidromus perversus

Abo ‘siput’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, nama hewan yang tergolong dalam kelas spicies amfibi. Interdepensi antara abo dan lingkungan alam sangat dipahami oleh masyarakat tutur. Pemahaman tersebut ditandai dengan pengetahuan alami bodily experience dan pengenalan karakter biologis hewan ini yang dapat hidup pada dua alam yaitu dapat hidup di laut dan di darat. Disebabkan oleh karakter biologis yang ada pada abo muncul metafora; ABO UDEP DUA PAT, di mana nomina abo bersanding dengan frasa verba udep dua pat membentuk formula abo udep dua pat, yang secara harfiah mengandung makna siput hidup di dua tempat. abo ‘siput’ udep ‘hidup’ dua ‘dua pat ‘tempat’ Karakter kehidupan abo dapat bertahan hidup di dalam dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di daratan dan di dalam air, ditandai dan dipahami melalui pengalaman inderawi masyarakat bodily expirience yang terekam secara verbal dalam kognitif dimensi ideologis masyarakat tutur. Kehidupan abo seperti ini memberi makna metaforis yang tertujukan kepada sifat dan perilaku seseorang yang supel, dapat bergaul kepada siapa saja dan selalu menghargai sesama. Orang yang demikian dikatakan sebagai abo. Universitas Sumatera Utara Parameter keterhubungan interrelationship terjadi pada keterhubungan karakter biologis abo yang amphibi yang terjadi secara alamiah parameter environment dipetakan kepada seseorang yang supel dalam pergaulan di kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan siput secara biologis sebagai species amphibie dimensi biological sebagai ranah sumber dipetakan kepada sifat manusia yang supel dalam pergaulan dan senantiasa bersikap bijaksana dan disayangi oleh masyarakat Desa Trumon.

013. Eungkout Yee Superordo selachimorpha

Eungkout yee ‘ikan hiu’, secara linguistik kata majemuk yang menjadi nama hewan yang hidup di air laut. Interaksi masyarakat khususnya nelayan dengan eungkout yee sangat dekat. Kedekatan tersebut tampak pada pemahaman karakter biologis dan perkembangbiakan hewan tersebut yang diperoleh melalui pengalaman inderawi bodily experience nelayan di sekitar Desa Trumon. Karakter biologis eungkout yee yaitu suatu kebiasaan alamiah bagi induk eungkout yee memasukkan anak-anak yang baru dilahirkannya ke dalam mulutnya, dan kemudian mengeluarkannya kembali yang dilakukannya berulang- ulang. Dari peristiwa alamiah ini terbentuk metafora ANEUK YEE TEUBIT TAMONG. Aneuk yee teubit tamong merupakan bentuk penggabungan nomina aneuk yee ‘anak ikan hiu’ dengan verba teubit ‘keluar’ dan verba tamong ‘masuk’, yang secara harfiah bermakna ‘anak ikan hiu keluar masuk. Metafora ANEUK YEE TEUBIT TAMONG mengandung makna metaforis yang ditujukan kepada seseorang yang tidak menepati janji atau seseorang yang tidak setia pada ucapannya dan selalu menghindar jika bertemu Universitas Sumatera Utara dengan seseorang yang dijanjikannya sesuatu. Bentuk tuturan yang sering digunakan oleh seseorang, khususnya ketika orang tersebut marah, apabila temannya tidak menepati janji adalah: Kah ANEUK YEE TEBIT TAMONG Atau cukup dengan menggunakan ANEUK YEE saja ketika seseorang dalam keadaan marah, seperti pada tuturan berikut: Kah ANEUK YEE, kah ‘kamu’ ANEUK YEE ‘penipu’ suka ingkar janji Parameter keterhubungan interelationship dan parameter lingkungan environtment merupakan keterhubungan ranah sumber aneuk yee yang berulang kali keluar masuk mulut induknya, dipetakan kepada ranah target yaitu manusia, atau seseorang yang selalu ingkar janji. Pemahaman tentang perbuatan ingkar janji dimensi sosiologis pada komunitas Desa Trumon sebagai suatu bentuk penipuan.

014. Asee Canis melitaeus

Asee ‘anjing’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, yang tergolong ke dalam spesies hewam. Interaksi hewan ini dengan masyarakat tutur dekat. Kedekatan interaksi ini dapat ditandai dengan banyaknya jumlah anjing dipelihara untuk menjaga ladang atau perkebunan pertanian masyarakat. Kedekatan ini juga tampak pada pemahaman sifat alamiah dan karakter biologis dari hewan ini. Pemahaman sifat dan karakter biologis hewan terekam secara verbal dalam kehidupan sosial masyarakat tutur yang Universitas Sumatera Utara berimplikasi pada banyaknya jumlah metafora digunakan dalam interaksi verbal, yang menjadikan asee sebagai ranah sumber. Metafora-metafora tersebut akan dibicarakan satu persatu. Metafora- metafora tersebut adalah: ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE ASEE LOP PAGEUE MALEE KA ASEE HEU PEUTEUPAT IKUE ASEE. Struktur Metafora ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE, merupakan penggabungan nomina asee ‘anjing’ dengan frasa verba dak bak teungoh tutue. Secara harfiah bermakna: asee ‘anjing’ dak ‘terdesak atau terperangkap’ bak ‘di-‘ atau ‘pada’ teungoh ‘ditengah’ tutue ‘jembatan’ Arti keseluruhan ungkapan ini adalah: ‘Anjing terdesak di tengah jembatan’ Makna metaforis dari metafora ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE ditujukan pada seseorang yang sedang bingung karena terlilit hutang dan dipaksa untuk segera membayarnya. Untuk melunasi hutang tersebut, dia nekat melakukan tindakan atau perbuatan yang membahayakan dirinya. Bentuk tuturan yang sering diucapkan oleh orang tua kepada anaknya yang sedang terdesak karena berhutang: Universitas Sumatera Utara Sabai beu nak bek jade ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE arti metaforis yang terkandung di dalamnya adalah: ‘Sabar ya nak jangan nekat’ Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment memetakan ranah sumber asee dalam metafora ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE kepada manusia sebagai ranah target yaitu seseorang yang nekat melakukan sesuatu karena sudah terdesak oleh hutang. Misalnya ia nekat mencuri untuk membayar hutangnya dan biasanya hutangan tersebut diperolehnya dari seorang rentenir sehingga dia harus membayar bunga hutangnya dalam jumlah yang sangat banyak. Pemetaan ini terjadi disebabkan oleh adanya pengalaman alamiah masyarakat tutur yang terekam dimensi ideologis ketika melihat anjing terjebak di jembatan. Agar dapat lepas dan keluar dari jembatan tersebut dan anjing itu menggonggong dan menyerang manusia atau hewan lain yang menghalanginya di jembatan tersebut. Dalam kehidupan sosial dimensi sosial masyarakat desa Trumon menganggap sifat anjing yang terdesak di tengah jembatan mempunyai ciri-ciri kesamaan dengan orang bingung karena terlilit hutang, nekat melakukan pekerjaan yang membahayakan dirinya, seperti mencuri agar dia dapat melunasi hutangnya. Metafora yang menempatkan anjing sebagai ranah sumber lainnya adalah ASEE LOP PAGEUE. Struktur metafora ASEE LOP PAGEUE, merupakan frasa verba yang berasal dari penggabungan nomina asee ‘anjing’ dengan verba lop ‘mengorek’ dan nomina pageu. Secara harfiah makna struktur ini adalah: Universitas Sumatera Utara asee ‘anjing’ lop ‘menguruk atau mengorek’ pageu ‘pagar’ Makna metaforis yang dikandung oleh metafora ASEE LOP PAGEUE ditujukan kepada seseorang yang kalah dalam berdebat ataupun kepada seseorang yang menyerah dalam pertengkaran dengan cara meninggalkan tempat kejadian tanpa pamit sambil menggerutu. Pengalaman inderawi bodily experience masyarakat Desa Trumon yang terekam dalam kognitif dimensi ideologis merupakan pengalaman alamiah, melihat keadaan seekor anjing yang masuk ke dalam wilayah anjing lain di sebuah kebun masyarakat. Secara spontan anjing- anjing penjaga kebun tersebut menyerang anjing nyasar yang masuk ke wilayah kebun itu. Jika anjing penyerang hanya seekor maka anjing tersebut akan berusaha melawan dengan menyalak. Akan tetapi jika jumlah penyerang lebih dari satu maka secara alamiah dimensi biologis moncong anjing tersebut akan menguruk ke depan dan langsung lari tunggang langgang, meninggalkan anjing-anjing penyerang sambil menyalak dan menggonggong. Parameter keterhubungan interreletionship merupakan keterhubungan antara karakter alamiah environment seekor anjing yang jika diserang oleh beberapa ekor anjing lainnya, dia akan mengurukkan moncongnya dan berlari tunggang langgang sambil menyalak dan menggonggong. Pemetaan anjing sebagai ranah sumber kepada manusia sebagai ranah target mengacu kepada sifat alamiah anjing dan sifat seseorang yang bersitegang dalam mengemukakan Universitas Sumatera Utara pendapatnya dan ketika dia tidak dapat membuktikan kebenarannya dalam perdebatan dia merasa kalah. Kalah dimaksud dapat ditujukan kalah dalam berdebat ataupun kalah dalam pertengkaran. Ketika dia kalah, dia meninggalkan tempat kejadian sambil mengerutu. Metafora yang akan dibicarakan berikutnya adalah metafora MALEE KA ASEE HEU. Konstruksi malee kah asee heu merupakan penggabungan adjektiva malee’ malu’ dengan frasa adverbia ka asee heu ‘sudah diambil anjing’, secara harfiah bermakna: malee ‘malu’ ka ‘sudah’ asee ‘anjing’ heu ‘mengambil, diambil. Makna metaforis MALEE KA ASEE HEU dialamatkan kepada perilaku seseorang yang tidak bermoral, dan tidak merasa malu walaupun sudah melakukan perbuatan yang tercela. Perbuatan-perbuatan tercela yang dilakukannya adakalanya mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Parameter keterhubungan interelationship dan parameter lingkungan environtment merupakaan pemetaan silang dari ranah sumber asee dalam metafora MALEE KA ASEE HEU kepada ranah target yaitu hilangnya sifat atau perasaan malu seseorang sudah melakukan perbuatan yang tidak terpuji, yang terkam secara verbal di dalam kehidupan sosial dimensi sosiologis komunitas Desa Trumon. Universitas Sumatera Utara Dalam keseharian kanak-kanak juga sering memakai metafora MALEE KA ASEE HEU untuk mengejek teman yang sudah berbuat curang dalam permainan kelereng atau permainan- permainan lainnya. Biasanya mereka berteriak dengan menyebutkan MALEE KA ASEE HEU berulang-ulang sambil menunjuk kearah temannya yang melakukan kecurangan tersebut. Selain dari ketiga metafora yang telah dibicarakan sebelumnya masih ada metafora yang menempatkan anjing sebagai ranah sumber. Namun kali ini ranah sumber bukan berasal dari anjing secara keseluruhan, tetapi hanya mengacu pada bagian dari tubuhnya yaitu ekor anjing, metafora tersebut adalah PEUTEUPAT IKUE ASEE. Konstruksi frasa pueteupat ikue asee terbentuk dari penyandingan verba peuteupat dan nomina ikue asee, secara harfiah bermakna ‘meluruskan atau menepatkan ekor anjing’, yaitu: peteupat ‘meluruskan atau menepatkan’ ikue ‘ekor’ asee ‘anjing’ Secara alamiah dimensi biologis karakter biologis ekor anjing melengkung dan mustahil dapat diubah menjadi lurus. Ekor anjing hanya akan menjadi lurus apabila anjing tersebut terserang penyakit rabies. Karakter biologis dari ekor anjing sangat dipahami yang direkam secara verbal oleh masyarakat tutur dimensi ideologis. Dari Pemahaman pada bentuk ekor anjing melengkung yang tidak mungkin diubah menjadi lurus, terbentuk metafora PEUTEUPAT IKUE ASEE yang mengandung mana metaforis ditujukan kepada watak atau tabiat seseorang yang tidak mungkin diubah sebab sudah mendarah daging. Universitas Sumatera Utara Metafora ini dapat juga bermakna, ‘sulit sekali menginsafkan seseorang yang mempunyai kebiasaan melalaikan tanggung jawab dan kewajibannya’. Biasanya sifat dan watak yang demikian sudah terbentuk sejak usia dini. Dalam kehidupan sosial dimensi sosiologis masyarakat Desa Trumon terdapat sebuah anggapan atau pemahaman bahwa menginsafkan seseorang yang berwatak bengal dan yang berkeperibadian buruk yang sudah terbiasa dilakukannya sejak masa kanak-kanak, sangat sulit atau hampir tidak mungkin dilakukan. Orang tua sering sekali mengeluh atas sikap anaknya yang tidak bertanggung jawab akan tugas dan kewajibannya, dengan ucapan sebagai berikut: Han jeut ta PEUTEUPAT IKUE ASEE, maknanya adalah: han jeut ‘tidak sanggup atau tidak dapat’ ta ‘kita’ PEUTEUPAT IKUE ASEE ‘menginsyafkan dia’ supaya dia menjadi orang yang bertanggung jawab atas kewajibannya. Parameter keterhubungan interrelationship, parameter lingkungan environtment, dan parameter keberagaman deversity, merupakan pemetaan silang dari ranah sumber asee dalam metafora PEUTEUPAT IKUE ASEE kepada ranah target yaitu watak buruk seseorang yang sudah terbentuk sejak usia dini, yang tidak mungkin lagi dirubah atau diinsyafkan.

015. Bieng Callinectes sapidus

Bieng ‘kepiting’, merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, merujuk kepada nama hewan yang hidup di pinggir laut atau dirawa-rawa hutan kecil di Desa Trumon. Metafora yang menjadikan kepiting sebagai ranah Universitas Sumatera Utara sumber adalah BIENG BAK BABAH BUBEE. Struktur frasa nomina bieng bak babah bubee merupakan pengabungan dari nomina being, preposisi bak dan nomina babah dan bubee, secara harfiah bermakna ‘kepiting di mulut bubu’, dengan rincian sebagai berikut: being ‘kepiting’ bak ‘di atau pada’ babah ‘mulut’ bubee ‘bubu’ Bubu adalah alat penangkap ikan tradisional yang dibuat dari anyaman bamboo, bentuknya seperti kerucut memanjang. Kedua-dua sisi bubu berlubang yang disebut sebagai babah bubee yaitu mulut bubu. Babah bubee, kedua-duanya memiliki ukuran berbeda. Babah bubee yang dipahami sebagai babah bubee muka ‘mulut bubu depan’, ukurannya lebih besar daripada babah bubee ikue ‘mulut bubu belakang’. Bentuk bubee dibuat sedemikian rupa agar jika ikan-ikan masuk ke dalam nya, ikan- ikan tersebut tidak dapat keluar lagi. Bubee dipasang di rawa- rawa yang banyak ikannya. Nelayan atau penangkap ikan dari masyarakat Trumon, yang menggunakan bubee sebagai media penangkap ikan, sering sekali menemukan babah bubee ditutup oleh seekor bieng ‘kepiting’ yang menyebabkan ikan- ikan tidak dapat masuk kedalamnya. Kepiting tersebut hanya menempel menutupi babah bubee, dan tidak masuk ke dalam bubee. Kenyataan ini akhirnya membuat pemilik bubee tidak memperoleh hasil tangkapan ikan sebagai mana yang Universitas Sumatera Utara diharapkannya. Dari keadaan ini muncul metafora BIENG BAK BABAH BUBEE. Makna metaforis dari metafora BIENG BAK BABAH BUBEE ditujukan kepada seseorang yang gemar menghalang-halangi perbuatan, pekerjaan atau rencana pekerjaan orang lain. Orang seperti ini selalu merasa bahwa pekerjaan tersebut hanya dia seorang yang dapat melakukannya dan merasa jika tanpa campur tangannya maka pekerjaan tersebut tidak akan dapat diselesaikan dengan baik, walaupun pada kenyataannya dia sendiri tidak dapat mengerjakan pekerjaan tersebut. Contoh tuturan sebagai berikut: Nyo payah ta pengah bak awak nyan, jih BIENG BAK BABAH BUBEE. Makna tuturan ini adalah: “Kali ini kita harus peringatkan dia. Dia suka sekali menghalang-halangi pekerjaan orang. Padahal dia sendiri tidak dapat melakukannya.” Parameter keterhubungan interrelationship merupakan keterhubungan sifat alamiah, parameter lingkungan environment yang ada pada kepiting yaitu menempel menutupi babah bubee, sehingga ikan-ikan tidak dapat masuk kedalamnya. Peristiwa ini dikenal dan direkam dalam kognitif dimensi ideologis masyarakat Desa Trumon menjadikannya sebagai ranah sumber dipetakan kepada manusia sebagai ranah target, yaitu seseorang yang suka menghalang-halangi pekerjaan orang, sehingga merugikan orang lain.

016. Bue Macaca fascicularis

Bue ‘kera’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina yang merujuk kepada nama hewan. Interaksi bue dengan Universitas Sumatera Utara masyarakat tutur dipahami sebagai suatu kedekatan antara majikan dan pekerja. Kedekatan interaksi tersebut ditandai dengan banyaknya jumlah kera yang dipelihara oleh masyarakat dan dipekerjakan sebagai pekerja pemetik buah kelapa. Kera-kera tersebut dilatih agar mereka trampil memetik buah kelapa. Secara alami kera suka menirukan perilaku manusia dimensi biologis, sehingga masyarakat Desa Trumon tidak menemukan banyak kesukaran saat melatih kera- kera tersebut memetik buah kelapa. Sebagai imbalan untuk pekrjaan ini kera tersebut diberi buah-buahan, khususnya pisang. Karakter alamiah yang dimiliki oleh kera dalam hal suka menirukan perilaku manusia, ditandai dan terekam secara verbal dalam kehidupan sosial masyarakat Di Desa Trumon dimensi ideologis yang seterusnya membentuk beberapa metafora. Metafora tersebut adalah: BUE PUTA JANTONG BUE TEUNGEUT BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN Metafora BUE PUTA JANTONG merupakan konstruksi frasa bue puta jantong yang berasal dari penggabungan nomina bue ‘kera’ dengan verba puta ‘memutar’ dan nomina jantong ‘jantung’ jantung pisang. Frasa bue puta jantong pada metafora BUE PUTA JANTONG, secara harfiah bermakna ‘kera memutar jantung pisang’, yang dirinci sebagai berikut: bue ‘kera atu monyet’ puta ‘memutar’ jantung ‘jantung pisang’ Universitas Sumatera Utara Anggota masyarakat di Desa Trumon pada umumnya memetik jantung pisang dengan cara memutarnya. Karena karakter alamiah yang dimiliki oleh kera suka menirukan pekerjaan manusia, maka ada juga kera yang berusaha memetik jantung pisang dengan cara memutarnya, tetapi pekerjaan ini tidak berhasil dilakukannya. Dari keadaan ini tercipta metafora BUE PUTA JANTONG yang mengandung makna metaforis suatu pekerjaan yang dilakukan oleh sesorang tanpa memperoleh hasil karena orang tersebut tidak tahu cara mengerjakannya. Metafora ini sering diucapkan oleh orang yang lebih tua saat menyampaikan pesan-pesan menasihat kepada seseorang agar harus berhati-hati dan harus berpikir matang-matang sebelum melakukan pekerjaan agar tidak sia-sia belaka. Tuturan yang lazim diucapkan sebagai berikut: Menyo ta pegeut bek BUE PUTA JANTONG. ‘Kalau kita mengerjakan sesuatu jangan sampai tidak berhasil, atau jangan sia-sia. Ketidakberhasilan kera menirukan perilaku manusia dalam hal memetik jantung menjadikannya sebagai ranah sumber yang dipetakan kepada manusia sebagai ranah target. Parameter keterhubungan interelationship dan parameter lingkungan environtment merupakan pemetaan silang ranah sumber bue pada metafora BUE PUTA JANTONG kepada ranah target manusia yang melakukan pekerjaan tanpa membuahkan hasil. Metafora berikutnya yang menjadikan ranah sumber bue adalah metafora BUE TEUNGEUT, bue teungeut merupakan frasa yang terbentuk dari Universitas Sumatera Utara penggabungan nomina bue ‘kera’ dengan verba teungeut ‘tidur, makna harfiah dari frasa bue teungeut adalah ‘kera tidur’. Melalui pengetahuan empiris, masyarakat Trumon mengamati posisi kera tidur. Kera-kera tidur dalam posisi duduk menunduk, dan kera bisa tidur kapan saja waktu siang atau malam dan dalam berbagai ragam cuaca, baik saat hari panas, dingin ataupun hujan. Posisi kera tidur terjadi secara alami dimensi biologis terekam dalam kognitif anggota masyarakat membentuk sebuah metafora BUE TEUNGEUT. Bue sebagai ranah sumber pada metafora BUE TEUNGEUT dipetakan kepada manusia atau seseorang yang suka bersikap masa bodoh dan yang hanya suka bermalas-malasan tanpa memperhatikan keadaan di sekitarnya atau di lingkungannnya. Disebabkan oleh perilakunya, banyak anggota masyarakat yang tidak bersedia bergaul dengannya. Orang tersebut selalu tidak diikutsertakan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dimensi sosiologis. Parameter ketehubungan interrelationship merupakan keterhubungan antara karakter alamiah kera tidur dipetakan kepada perilaku manusia sebagai ranah target. Perilaku seseorang dimaksud adalah sikap masa bodoh seseorang yang hanya suka bermalas-malasan dan tidak memperdulikan keadaan lingkungan tempat tinggalnya. Metafora lainnya yang menjadikan bue sebagai ranah sumber adalah metafora BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN. Bue meuteumee ceureumen merupakan frasa yang terbentuk dari penggabungan nomina bue ‘kera’ dengan verba meuteumee ‘ bertemu’ dalam hal ini bermakna “bercermin’, dan nomina ceureumen ‘cermin’ Secara harfiah frasa bue meuteumee ceureumen mengandung makna ‘kera bercermin’. Universitas Sumatera Utara Ketika seekor kera didudukkan di depan cermin, kera tersebut akan melompat sambil menggaruk-garuk badan dan kepalanya dengan asiknya. Kanak- kanak suka sekali melihat situasi ini dan menjadikannya sebagai tontonan lucu. Situasi ketika seekor kera melihat atau berdiri di depan cermin, melompat, menggaruk kepala merupakan karakter alamiah yang dimiliki seekor kera, terekam di dalam konitif komunitas Trumon pada tatanan dimensi ideologis dan nenjadikannya sebagai metafora BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN. Makna metaforis dari metafora BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN ditujukan kepada seseorang yang suka membuang waktu untuk sesuatu hal yang kurang penting atau ditujukan kepada seseorang yang melalaikan kewajibannya sesudah dia mendapatkan sesuatu benda yang baru, sehingga dia lupa akan pekerjaan lain yang harus diselesaikannya atau lupa akan segalanya. Metafora BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN lazim digunakan oleh seorang ibu yang ditujukan kepada anaknya yang sedang asik bermain layang- layang bersama temannya, atau bermain game yang ada di dalam mainan elektronik yang baru didapatkannya sebagai hadiah, sehingga dia melupakan kewajibannya mengerjakan PR, makan siang ataupun lupa mandi sore. Dengan nada kesal ibu mungkin saja menuturkan ucapan sebagai berikut: Ka palee, kah BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN heh ‘Waduh kamu kera dapat cermin ya’, maksudnya ‘kamu sudah lupa tugas ya’ Parameter keterhubungan interrelationship, parameter lingkungan environtment, dan parameter keberagaman deversity merugpakan pemetaan silang dari ranah sumber bue pada BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN kepada Universitas Sumatera Utara ranah target yaitu seseorang atau biasanya ditujukan pada seorang kanak-kanak yang melalaikan kewajibannya dalam hal ini seperti mandi, mengejakan PR dan lainnya, disebabkan oleh sesuatu yang baru didapatkannya. Dalam kehidupan sosial dimensi sosiologis masyarakat Desa Trumon, anggota masyarakat mengganggap jika seorang kanak-kanak mendapatkan mainan yang baru, maka dia akan asik dengan mainannya itu sehingga dia lupa dan lalai. Hal ini merupakan sesuatu yang lazim terjadi di desa tersebut.

017. Glang Lubricus rubellus

Glang ‘cacing tanah’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, merujuk nama hewan yang hidup dan berkembang biak di dalam tanah. Hewan ini termasuk kedalam kategori binatang melata, tubuhnya sangat lentur dan lecin dan lembik. Hewan ini jarang ditemukan dipermukaan tanah. Secara alamiah hewan ini tidak tahan akan teriknya sinar matahari. Bila hewan ini kebetulan terkena terik sinar matahari dia akan menggelepar-gelepar dan biasanya berakhir dengan kematiannya. Kesengsaraan yang dialami oleh cacing pada saat seperti itu sangat dipahami dan terekam dalam kognitif dimensi ideologis masyarakat di Trumon. Dari kejadian ini muncul sebuah metafora GLANG LAM UROE TAREK. Glang lam uroe tarek merupakan bentuk frasa yang menggabungkan nomina glang ‘cacing’, preposisi lam ‘dalam’ dan kata majemuk uroe tarek ‘teriknya matahari’, secarara harfiah makna dari frasa ini adalah; cacing di bawah terik matahari. Universitas Sumatera Utara Makna metafora dari GLANG LAM UROE TAREK adalah ditujukan pada seseorang yang hidupnya sangat susah. Contoh tuturan seperti berikut: Udep long GLANG LAM UROE TAREK’ Maksud dari tuturan ini adalah, ‘hidup saya sangat susah sekali’ atau ‘hidup saya sangat sengara sekali’. Parameter keterhubungan interelationship dan parameter lingkungan environtment merupakan pemetaan silang dari ranah sumber glang dalam metafora GLANG LAM UROE TAREK’ kepada ranah target yaitu keadaan seorang anak manusia yang sangat susah atau sengsara. Terbentuknya metafora ini karena adanya situasi yang dilihat dalam keseharian dimensi sosiologis yang akhirnya terekam dalam kognitif dimensi ideologis komunitas Desa Trumon tentang kesengsaraan yang dialami oleh cacing ketika berada di permukaan tanah saat sinar matahar terik. Keadaan yang dialami oleh cacing inilah yang dipetakan kepada keadaan kesengsaraan kehidupan seseorang. Selain dari metafora GLANG LAM UROE TAREK masih ditemukan metafora lain yang menjadikan glang sebagai ranah sumber. Metafora tersebut adalah GLANG TEUJIPIT IKUE. Glang teujipit ikue merupakan bentuk frasa yang berasal dari penggabungan nomina glang ‘cacing’ dengan verba teujipit ‘terjepit’ dan nomina ikue ‘ekor’, makna harfiah dari frasa tersebut adalah ‘cacing terjepit ekornya atau cacing yang ekornya terjepit. Jika seekor cacing terjepit ekornya, hewan ini akan berusaha melepaskan diri dengan cara meliuk-liukkan badannya. Badan lembik itu akan menggeliat dan tidak akan berhenti sampai dia terlepas dari jepitan tersebut. Keadaan cacing Universitas Sumatera Utara seperti merupakan pemandangan yang lazim bagi masyarakat Trumon dimensi sosiologis dan membentuk sebuah metafora GLANG TEUJIPIT IKUE. Makna metafora GLANG TEUJIPIT IKUE ditujukan kepada seorang anak yang terlalu lasak. Anak yang terlalu lasak tidak pernah berhenti bergerak dan berlari kesana kemari, serta penuh aktifitas dan dia akan berhenti ketika dia tidur. Anak seperti ini diibaratkan sebagai cacing yang terjepit ekornya. Contoh tuturan sebagai berikut: Kiban aneuk mit nyan GLANG TEUJIPIT IKUE, Makna harfiah dari tuturan ini adalah ‘bagaimana anak kecil ini cacing terjepit ekor’, dan makma metaforis dari tuturan ini adalah: ‘Bagaimana anak ini kok lasak sekali’ Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment yaitu keterhubungan antara keadaan cacing dan keadaan seseorang atau anak kecil dalam lingkungan komunitas bahasa di Desa Trumon, dikarenakan adanya pengalaman alamiah melihat cacing ketika terjepit ekornya berusaha melepaskan diri dengan cara menggeliat dan tidak akan berhenti sampai ekornya terlepas dari jepitan tersebut. Keadaan cacing seperti ini menjadi ranah sumber dipetakan kepada ranah target yaitu seorang anak kecil yang sangat lasak dan tidak akan berhenti beraktifitas sampai waktunya dia harus tidur. 018 . Kameng Capra hircus Kameng ‘kambing’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina yang merujuk nama hewan. Interaksi hewan ini dengan masyarakat tutur sangat dekat dimensi sosiologis. Kedekatan interaksi ini Universitas Sumatera Utara ditandai dengan banyaknya jumlah masyarakat yang memelihara hewan ini. Dapat dikatakan hampir setiap keluarga berternak kambing yang dikembangbiakkan dan dibudidayakan agar bernilai ekonomis, sehingga hampir di setiap rumah terdapat kandang kambing. Berternak kambing sudah dilakukan oleh masyarakat sejak puluhan tahun yang lalu, secara turun temurun, sehingga semua hal yang berkaitan dengan kehidupan dan karakter biologis hewan ini sangat dipahami oleh anggota masyarakat tutur bahasa Aceh di Desa Trumon. Pemahaman karakter biologis dan pengetahuan tentang kehidupan hewan ini menjadi pengetahuan empirik yang terekam dalam kognitif anggota masyarakat dimensi ideologis, yang kemudian memunculkan beberapa. Metafora tersebut adalah: KAMENG KAP SITEUK KAMENG JAK ATEUH BATEE KAMENG TUTONG ULEE KAMENG LAM UJEUN Metafora yang akan diulas pertama adalah metafora KAMENG KAP SITEUK. Struktur metafora KAMENG KAP SITEUK merupakan bentuk frasa yang berasal dari penyatuan nomina kameng ‘kambing’ dengan verba kap ‘memakan atau mengunyah’ dan nomina siteuk ‘ daun nipah’ atau ‘daun upih’,secara harfiah frasa ini bermakna ‘kambing makan daun pinang yang baru tumbuh’ yang dapat dirinci sebagai berikut: kameng ‘kambing’ kap ‘mengigit atau makan siteuk ‘pelepah daun pinang yang baru tumbuh atau ‘pelepah daun pinang yang masih muda’ Universitas Sumatera Utara Siteuk adalah pelepah daun pinang yang baru tumbuh. Siteuk, sebenarnya bukan sejenis daun nangka atau sejenis rumput makanan kambing, namun adakalanya kambing memakan pelepah daun pinang yang belum tinggi atau pohon yang baru tumbuh. Menurut kebiasaanya kambing berjalan bergerombol, dan jika seekor kambing makan siteuk, biasanya kambing-kambing yang lain akan mengikutinya dan melakukan hal yang sama. Keikutsertaan semua kambing memakan siteuk yang terjadi secara alami, menjadikannya sebagai pengetahuan empiris yang seterusnya terekam dalam kognitif dimensi ideologis anggota masyakakat Desa Trumon, memunculkan metafora KAMENG KAP SITEUK. Makna metaforis dari metafora KAMENG KAP SITEUK ditujukan kepada seseorang yang ikut-ikutan melakukan pekerjaan atau perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, padahal perkerjaan tersebut tidak memberikan manfaat padanya. Pada metafora ini biasanya ditambahkan kata meuron-ron ‘berbondong-bondong’ yang berfungsi untuk lebih menekankan maksudnya, seperti pada contoh berikut ini: Meuron-ron KAMENG KAP SITEUK. Contoh perbuatan yang dapat dikaitkan dengan KAMENG KAP SITEUK adalah, seseorang yang ikut-ikutan demonstrasi tanpa mengetahui maksud demontrasi tersebut, dan kegiatan itu tidak memberi manfaat baginya. Parameter keterhubungan interelationship dan parameter lingkungan environtment merupakan keterhubungan ranah sumber kameng, dalam hal ini berkaitan dengan kebiasaan kambing yang suka mengikuti keinginan kambing lain makan siteuk, dipetakan kepada seseorang atau sekelompok yang melakukan Universitas Sumatera Utara pekerjaan atau perbuatan secara ikut-ikutan saja sedangkan pekerjaan itu tidak ber- manfaat baginya. Metafora berikutnya yang akan diulas yang juga menjadikan kameng sebagai ranah sumber adalah metafora KAMENG JAK ATEUH BATEE. Frasa Kameng jak ateuh bate merupakan bentuk frasa yang berasal dari penyatuan nomina kameng ‘kambing’ dengan verba jak ‘berjalan’, preposisi ateuh ‘diatas’ dan nomina bate ‘batu’, makna harfiah dari frasa Kameng jak ateuh bate tersebut adalah:’ kambing jalan diatas batu’, yang dapat dirinci sebagai berikut: kameng ‘kambing jak ‘berjalan’ ateuh ‘atas atau di atas’ bate ‘batu’ Ketika berjalan di atas batu kambing tidak dapat menjaga keseimbangan badannya sehingga jalannya terseok-seok dan lambat sekali dimensi biologis. Keadaan yang terjadi secara alamiah ini, menjadikannya sebagai pengetahuan alamiah dan pengalaman inderawi bodily experience masyarakat tutur yang selanjut terekam dalam kognitif anggota masyarakat, dimensi ideologis lalu dipetakan kepada ranah target yaitu manusia atau seseorang yang tidak lancar membaca Al Qur’an atau hanya dapat membaca Al Qur’an dengan cara terbata- bata. Dari situasi ini terbentuk metafora KAMENG JAK ATEUH BATEE. Mayoritas masyarakat Trumon beragama Islam, setiap anggota masyarakat diharuskan untuk dapat membaca Al Qur’an dengan lancar. Sejak masih balita kanak- kanak sudah dihimbau untuk masuk sekolah madrasyah dan diharapkan mereka dapat membaca Al Qur’an dengan lancar. Universitas Sumatera Utara Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment dalam kognitif masyarakat Desa Trumon dari dimensi ideologis memetakan ranah sumber kameng pada metafora KAMENG JAK ATEUH BATEE kepada ranah target yaitu seseorang yang tidak dapat membaca Al Qur’an secara lancer. Setelah metafora KAMENG KAP SITEUK dan metafora KAMENG JAK ATEUH BATEE dibicarakan. Berikut akan dibicarakan metafora yang juga menjadikan kambing sebagai ranah sumber yaitu metafora KAMENG TUTONG ULEE. Frasa kameng tutong ulee merupakan penyatuan nomina kameng ‘kambing’, dengan adjektiva tutong ‘hangus, terbakar’ dan nomina ulee ‘kepala’, makna harfiah dari frasa kameng tutong ulee adalah ‘kambing yang kepalanya terbakar’. Secara alamiah, ketika kepala kambing terbakar. Kambing pasti akan kalut, berlari tunggang langgang dan mengembik dengan suara gaduh. Situasi yang terjadi secara alamiah pada kambing membentuk sebuah metafora KAMENG TUTONG ULEE. Makna metaforis dari metafora KAMENG TUTONG ULEE ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang yang sedang kalut, di mana orang tersebut tidak tahu atau lupa cara penyelesaiannya. Untuk mengatasi kekalutannya dia hanya berjalan hilir-mudik. Metafora KAMENG TUTONG ULEE juga dialamatkan pada seseorang yang rumahnya berantakan karena habis dibongkarnya untuk mencari sesuatu yang hilang dimensi sosiologis. Hal ini disebabkan oleh kelalaiannya sendiri Universitas Sumatera Utara sehingga dia lupa di mana dia menyimpan atau meletakkan barang tersebut. Tuturan yang dapat dijadikan contoh adalah: Pakon nyak kah KAMENG TUTONG ULEE, Arti harfiah dari tuturan ini adalah: ‘Mengapa nak kamu kambing kepalanya terbakar’ Maksud metaforis dari tuturan ini adalah: ‘Mengapa nak, kamu kalut sekali’. Parameter keterhubungan interelationship dan parameter lingkungan environtment dalam pemetaan ranah sumber kameng pada metafora KAMENG TUTONG ULEE, berkenaan dengan pengalaman alamiah dalam konteks sosial dimensi sosiologis dengan rekaman dalam kognitif dimensi ideologis masyarakat Desa Trumon kepada ranah target disebabkan oleh adanya persamaan sifat ketika seekor kambing kepalanya terbakar menjadi kalut dan kesakitan dengan seseorang atau sekelompok orang yang kalut karena kehilangan sesuatu yang berharga yang menyebabkannya bersusah payah membongkar semua lemari dan tempat-tempat penyimpanan barangnya. Selain dari ketiga metafora yang menempatkan kambing sebagai ranah sumber, masih ditemukan metafora lain yang berranah sumber kambing yaitu KAMENG LAM UJEUN. Kameng lam ujeun merupakan frasa yang terbentuk dari penggabungan nomina kameng ‘kambing’ dengan preposisi lam ‘dalam’ dan nomina ujeun ‘hujan’. Makna frasa Kameng lam ujeun adalah ‘kambing dalam hujan’ atau ‘kambing kehujanan’, yang dapat dirinci sebagai berikut: kameng ‘kambing’ Universitas Sumatera Utara lam ‘dalam’ ujeun ‘hujan’ Ketika hari hujan, kambing biasanya berusaha berlari menghindarinya, agar dia tidak kehujanan. Kebiasaan ini terjadi disebabkan oleh karakter alami tubuh hewan ini yang akan kedinginan dan sakit apabila terkena air hujan yang seterusnya dapat pula berujung kepada kematian dimensi biologis. Untuk mengantisifasi keadaan ini, pada umumnya peternak kambing membangun kandang kambing tinggi disertai pembuatan perapian. Situasi kambing kehujanan ditandai dan direkam secara verbal dalam kehidupan sosial masyarakat dimensi sosiologis yang selanjutnya membentuk metafora KAMENG LAM UJEUN. Makna metaforis dari metafora KAMENG LAM UJEUN ditujukan kepada seseorang yang hidupnya sangat melarat dan tertimpa musibah penyakit. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, banyak diterima dari belas kasihan orang lain. Parameter kesalingterhubungan interrelationship merupakan keterhubungan antara keadaan kambing yang kehujanan atau KAMENG LAM UJEUN dengan manusia atau seseorang yang kehidupannya sangat susah atau dapat dikatakan tingkat hidupnya berada dalam garis kemiskinan. Parameter kesalingterhubungan dan parameter lingkungan environment memposisikan kameng sebagai ranah sumber pada metafora KAMENG LAM UJEUN dipetakan kepada seseorang yang melarat sebagai ranah target. Universitas Sumatera Utara

019. Keubeue Bos bubalus

Keubeue ‘kerbau’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, merujuk kepada nama hewan peliharan yang bisanya dipekerjakan untuk membantu para petani membajak sawah. Interaksi masyarakat dengan hewan ini sangat dekat. Kedekatan interaksi tersebut ditandai oleh kenyataan banyaknya jumlah hewan ini dipelihara dan dikembangbiakkan agar dapat diperdagangkan dan dapat pula dimanfaatkan sebagai pembajak sawah. Kedekatan interaksi ini terefleksi pula kepada bentuk metafora yang menjadikan kerbau sebagai ranah sumber. Metafora tersebut adalah: KEUBEUE MEULEUHOP KEUBEU MEUROT LAM NGOM Secara alamiah dimensi biologis kerbau mempunyai kebiasaan berkubang di lumpur. Kegiataan alamiah yang dilakukan oleh hewan ini mengakibatkan seluruh tubuhnya ditutupi oleh lumpur sehingga tubuh tersebut kelihatan kotor. Keadaan yang terjadi secara alamiah ini memunculkan sebuah metafora KEUBEUE MEULEUHOP. Keubeue meuleuhop merupakan frasa yang berasal dari penyatuan nomina keubeue dengan verba meuleuhop ‘berkubang’ yang secara harfiah bermakna ‘kerbau berkubang’. Makna metaforis dari metafora KEUBEUE MEULEUHOP ditujukan kepada seseorang yang suka berbuat kejahatan atau suka berbuat dosa. Dalam kehidupan sosial dimensi sosiologis, orang yang demikian dianggap dimensi ideologis oleh masyarakat sebagai orang yang bergelimang dosa. Ketika orang Universitas Sumatera Utara tua mengetahui anaknya atau sanak keluarga, mulai berteman dengan orang tersebut, sangat lazim orang tua sianak memeringatkan anaknya dengan menggunakan tuturan: Hai nyak bek toe ngon KEUBEUE MEULEUHOP ‘Anakku sayang jangan dekat dengan kerbau yang berlumpur’. Makna ucapan dari orang tua tersebut sebagai sebuah peringatan kepada anaknya agar anaknya tidak berteman dengan orang tersebut. Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment dalam kogitif masyarakat di Desa Trumon memetakan ranah sumber keubeue dalam metafora KEUBEUE MEULEUHOP ditujukan kepada ranah target yaitu seseorang yang suka berbuat dosa atau yang bergelimang dosa. Seseorang yang bergelimang dosa tersebut disebut: KEUBEUE MEULEUHOP Selain dari metafora KEUBEU MEULEUHOP masih ditemukan metafora lain yang menempatkan keubeue sebagai ranah sumber, metafora tersebut adalah, KEUBEU MEUROT LAM NGOM. Keubeue meurot lam ngom merupakan sebuah frasa yang berasal dari penggabungan nomina keubeue ‘kerbau’ dengan verba meurot ‘makan rumput’ dan preposisi lam ‘dalam’ dan nomina ngom ‘padang ilalang’. Makna dari frasa Keubeue meurot lam ngom tersebut adalah, ‘kerbau makan rumput di padang ilalang’. Meurot merupakan peristilahan yang digunakan oleh masyarakat tutur bahasa Aceh kepada makna ‘makan rumput’ yang lazimnya dilakukan oleh hewan pemakan rumput. Secara alamiah meurot lam ngom ‘makan rumput di padang Universitas Sumatera Utara ilalang’ tidak biasa dilakukan oleh hewan pemakan rumput dimensi biologis, sebab pada hakikatnya padang ilalang, hanya dipenuhi oleh ilalang yang tinggi, sehingga rumput tidak dapat tumbuh. Lazimnya pengembala ternak akan mengembala ternaknya ke padang rumput bukan ke padang ilalang. Menjadi suatu hal yang tidak lazim jika kerbau makan rumput di padang ilalang, namun dari keadaan ketidaklaziman ini terbentuk KEUBEU MEUROT LAM NGOM. Makna metaforis dari metafora KEUBEU MEUROT LAM NGOM ditujukan kepada ketidaklaziman yang dilakukan oleh seseorang dengan cara hidup memisahkan diri dari lingkungan masyarakatnya. Anggota masyarakat Desa Trumon merupakan orang-orang yang sangat menjaga hubungan keakraban dalam mengisi kehidupan mereka. Mereka hidup berdampingan, saling membantu, dan saling bahu membahu dimensi sosiologis. Merupakan suatu hal yang tidak lazim dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut apabila hidup terpisah dari lingkungan kehidupan sosial masyarakat. Jika ada salah seorang dari anggota masyarakat menjauhkan atau memisahkan diri dari kehidupan bermasyarakat dan tidak memperdulikan lingkungan masyarakatnya, orang tersebut akan mendapatkan predikat, KEUBEU MEUROT LAM NGOM. Parameter keterhubungan interrelationship, parameter lingkungan environtment, dan parameter keberagaman deversity pada ranah sumber keubeue dalam metafora KEUBEU MEUROT LAM NGOM yang dipetakan kepada ranah target yaitu seseorang yang hidup memisahkan diri dari lingkungan kehidupan masyarakat. Universitas Sumatera Utara

020. Leumo Auerochse

Leumo ‘sapi’ atau ‘lembu’. Leumo merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, yang merujuk nama hewan. Sapi merupakan hewan ternak yang banyak dijumpai di Desa Trumon. Sapi-sapi tersebut dibiarkan lepas dialam terbuka. Pada umumnya sapi di Desa Trumon tidak digembala. Pemilik sapi hanya menempelkan nama si pemilik atau kode tanda kepemilikan di bagian tengah tubuh sapi-sapi tersebut. Kode ini diketahui atau dikenal oleh seluruh anggota masyarakat desa. Tanpa digembala sapi-sapi tersebut mencari makanannya sendiri yaitu semua daun-daunan yang tumbuh di lingungan alam, hutan kecil di sekitar Desa Trumon. Interdependensi dimensi sosiologis hewan ini dengan masyarakat masih terpelihara melalui perilaku masyarakat yang tetap menjaga kelestarian lingkungan alam tempat tumbuhnya makanan hewan ini. Di lingkungan alam Desa Trumon banyak tumbuh pohon gebang atau nipah. Daun muda pohon nipah disebut iboh merupakan salah satu makanan sapi. Ketika sapi memakan iboh yang dalam bahasa Aceh disebut rot iboh menimbulkan suara ribut atau suara sangat berisik. Suasana ini merupakan pengalaman empirik yang terekam secara verbal dimensi ideologis dalam kehidupan masyarakat Desa Trumon. Dari pengalaman empirik ini muncul metafora LEUMO ROT IBOH. Leumo rot iboh merupakan frasa yang berasal dari penyatuaan nomina leumo dengan verba rot ‘memakan atau mengunyah’ dan nomina iboh ‘daun nipah. Secara harfiah frasa Leumo rot iboh bermakna ‘sapi makan daun gebang’ atau ‘sapi makan daun nipah’. Universitas Sumatera Utara Makna metaforis dari metafora LEUMO ROT IBOH ditujukan kepada sesorang yang gemar mengelurkan kata-kata kasar, tidak sopan dengan suara keras yang akan menyinggung perasaan mitra tutur atau orang lain yang mendengarnya. Metafora LEUMO ROT IBOH juga biasa ditujukan kepada seorang majikan yang suka menghardik bawahannya dengan ucapan-ucapan kasar dan tidak sopan. Keadaan ini sudah menjadi kebisaan baginya. Sama halnya dengan sapi yang suka makan daun gebang muda, dan merupakan kebiasaan rutinitas sapi baginya. Tuturan yang lazim diucapkan misalnya seperti: Ka tuha hana beuebah, nyan LEMO ROT IBOH ‘Sudah tua pun tidak berubah, dia itu Lembu makan daun gebang’ Makna metaforis yang terkandung dari tuturan diatas mengisyaratkan bahwa ‘orang itu tidak pernah berubah walaupun sudah tua dan ucapan-ucapannya selalu kasar, tidak sopan dan suaranya selalu keras’. Contoh tuturan lainnya adalah seperti: Ha eek long pikee lhee, jih nyan LEMO ROT IBOH secara metaforis bermakna ‘Aku tidak ambil pusing dia itu memang kasar’. Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment dalam mental atau kognitif masyarakat di Desa Trumon memetakan ranah sumber leumo dalam metafora LEUMO ROT IBOH, yang berkaitan dengan suara kegaduhan yang dihasilkan oleh lembu saat memakan daun nipah muda kepada ucapan-ucapan seseorang yang mengandung ucapan-ucapan kasar dengan suara keras sebagai ranah target. Seseorang yang jika berbicara dengan suara keras, melengking disertai hardikan, disebut: Sue LEUMO ROT IBOH ‘Suara lembu makan daun gebang’ Universitas Sumatera Utara Selain dari metafora LEUMO ROT IBOH, masih dijumpai metafora lain yang menjadikan leumo sebagai ranah sumber, yaitu metafora IKAT LEUMO LAM LAMPOH GOB. Ikat leumo lam lampoh gob merupakan frasa yang berasal dari penyatuan verba ikat ‘mengikat’, dengan preposisi lam ‘dalam’ dan nomina lampoh gob ‘ kebun orang’. Secara harfiah makna makna dari frasa ikat leumo lam lampoh gob ini adalah, ‘mengikat lembu di kebun orang lain’, yang dapat dirinci sebagai berikut: ikat ‘menambat leumo ‘sapi’ atau ‘lembu’ lam ‘dalam’ lampoh ‘kebun’ gob ‘orang atau orang lain’ Di Desa Trumon letak batas kebun antara kebun seseorang dengan kebun tetangganya hanya ditanami pohon-pohon pisang dan perdu yang oleh masyarakat desa disebut sebagai keudondong pageu. Kadang-kadang sebahagian dari keudondong pageu ini mati sehingga batas kebun menjadi tidak jelas. Walau demikian, kedua-dua pemilik kebun harus saling menjaga privasi kepemilikan mereka masing-masing, dan menjadi satu aturan bagi setiap pemilik ternak yang juga sebagai pemilik kebun bertetangga, tidak dibenarkan menambat ternak mereka di batas kebun tersebut berkaitan dengan dimensi sosiologis. Jika ini dilakukan maka, akan dianggap sebagai satu pelanggaraan yang akan merugikan orang lain. Dapat dipastikan hewan ini akan memakan tanaman yang ada di kebun itu yang dapat mengakibatkan kerugian bagi pemilik kebun. Situasi ini terekam secara verbal dalam kehidupan sosial masyarakat pada dimensi ideologis memunculkan sebuah metafora, IKAT LEUMO LAM LAMPOH GOB. Universitas Sumatera Utara Makna metaforis dari IKAT LEUMO LAM LAMPOH GOB ditujukan kepada seseorang yang suka mencari keuntungan bagi dirinya sendiri yang menimbulkan kerugikan bagi orang lain atau pihak lain. Tuturan yang bernada sindiran ditujukan kepada orang yang melakukan itu dapat berbentuk sebagai berikut: Hai bek IKAT LEUMO LAM LAMPOH GOB ‘Waduh jangan cari untung yang merugikan orang lain lah’ Parameter keterhubungan interelationship dan parameter lingkungan environtment merupakan keterhubungan sifat alamiah sapi memakan tanam di sekitar tempat dia ditambat yang merugikan pihak lain, dipetakan kepada ranah target yaitu perilaku manusia yang mecari keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara yang tidak bijaksana yang berakibat kepada kerugian bagi orang lain. Dalam kehidupan sosial masyarakat masih dijumpai metafora lain yang menjadikan leumo sebagai ranah sumber, metafora tersebut adalah BLO LEUMO DI GLE, blo leumo di gle merupakan bentuk frasa yang berasal dari penyatuan verba blo ‘membeli’ dengan nomina leumo ‘sapi’ dan preposisi di ‘di’ dan nomina gle ‘kaki bukit atau kaki gunung’. Frasa blo leumo dig le, secara harfiah bermakna ‘membeli sapi di kaki bukit’ atau ‘membeli sapi di kaki gunung’. Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, pada umumnya sapi-sapi di Desa Trumon tidak digembala dan dilepas bebas di alam terbuka. Sebagian petani ternak hewan ini melepas sapi-sapi mereka di gle ‘di kaki bukit’ karena areal kaki bukit luas dan rumput-rumput tumbuh lebih subur di tempat tersebut bila di banding dengan rumput-rumput di kawasan lain. Sapi-sapi tersebut berkembang biak dalam jumlah banyak dan bernilai ekonomis. Transaksi penjualan sapi dapat Universitas Sumatera Utara di lakukan di kaki bukit. Adakalanya transaksi dilakukan tanpa melihat terlebih dahulu sapi-sapi yang akan diperjualbelikan dimensi sosiologis. Si pemilik langsung menetapkan harganya tanpa terlebih dahulu dilihat atau dipilih oleh si pembeli. Hal ini dilakukan hanya berpatokan kepada rasa saling percaya sesama pelaku bisnis ternak tersebut dimensi ideologis. Bagi sebagian anggota masyarakat membeli sapi di kaki gunung dianggap sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kerugian dan kekecewaan yang mengakibatkan penyesalan. Dari situasi ini terbentuk metafora BLO LEUMO DI GLE. Makna metaforis dari metafora BLO LEUMO DI GLE ditujukan kepada seseorang yang tertipu membeli sesuatu karena kebodohannya atau karena kurang hati-hati saat saat membeli barang tersebut. Metafora ini juga ditujukan kepada pemuda yang langsung meminang seseorang untuk dinikahi, walaupun mereka baru bertemu sekali dan tidak mengetahui bobot bibitnya. Adalah satu hal yang agak dilarang bagi pemuda di Desa Trumon meminang seseorang tanpa mengetahui asal usulnya. Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment memetakan ranah sumber leumo pada metafora BLO LEUMO DI GLE kepada manusia sebagai ranah target yaitu seseorang yang membeli sesuatu tanpa melihat dan mempertimbangkannya terlebih dahulu. Ranah sumber leumo pada metafora BLO LEUMO DI GLE juga dipetakan kepada seorang pemuda yang menikahi seseorang tanpa menyelidiki telebih dahulu segala sesuatu yang berkenaan dengan wanita tersebut. Universitas Sumatera Utara Metafora ini biasanya dialamatkan kepada sesuatu yang berujung kepada kerugian yang dialami oleh ranah target. Pemetaan ini terjadi disebabkan oleh adanya pengalaman alamiah yang terekam di dalam kognitif masyarakat dimensi ideologis. Dalam kehidupan sosial dimensi sosial masyarakat Desa Trumon membeli sapi di kaki gunung mempunyai ciri-ciri kesamaan dengan orang yang mengalami kerugian disebabkan oleh kecerobohan yang dilakukannya sendiri.

021. Lintah Hirudo medicinalis

Lintah ‘lintah’ atau ‘pacat’. Lintah merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, merujuk kepada nama hewan. Karakter biologis hewan ini adalah hewan pengisap darah dimensi biologis. Hewan ini akan mengisap darah manusia atau darah hewan lainnya seperti kerbau, sapi dan hewan-hewan lain ketika dia menempel pada permukaan kulit tubuh manusia atau kulit tubuh hewan. Lintah biasanya berkembang biak di rerumputan yang sering didatangi oleh kerbau atau sapi. Jika seseorang atau hewan melewati tempatnya, Lintah ini akan menempel dipermukaan kulit manusia, atau hewan-hewan tersebut dan mengisap darah mangsanya ini. Jika lintah sudah menenpel dan mengisap darah, akan sulit bagi kita untuk menariknya dari kulit kita. Lintah akan jatuh sesudah dia kenyang dan membuat badannya menggelembung. Untuk menarik atau membuatnya tanggal dari permukaan kulit, masyarakat Trumon mempunyai cara ampuh yang diwariskan dari generasi ke generasi. Cara ampuh dari warisan leluhur ini adalah membubuhi tubuh dan sekitar tubuh lintah dengan tembakau. Jika sudah dilakukan demikian Lintah akan segara tanggal dari kulit mangsanya. Universitas Sumatera Utara Keadaan ini terekam dalam kognitif dimensi ideologis masyarakat Desa Trumon membentuk sebuah metafora yaitu metafora LINTAH GEUPU BAKONG. Lintah geupu bakong merupakan frasa yang berasal dari penyatuan nomina lintah ‘lintah’ dengan verba geupu ‘membubuhi’ atau ‘dibubuhi’. Makna harfiah dari frasa lintah geupu bakong adalah ‘lintah dibubuhi tembakau’. Makna metaforis yang terkandung dalam metafora LINTAH GEUPU BAKONG ditujukan kepada sesorang yang angkuh dan sombong. Orang tersebut juga selalu merasa sebagai orang yang paling pintar dan paling kaya di jagat raya ini. Namun keangkuhan tersebut hilang seketika disebabkan oleh suatu ucapan yang tepat yang datangnya dari orang yang lebih hebat dalam segala hal daripada dirinya. sehingga dia terdiam merunduk malu dan kadang kala terpaksa meninggalkan tempat karena merasa malu. Parameter keterhubungan interrelationship, parameter lingkungan environment, merupakan keterhubungan lintah pada metafora LINTAH GEUPU BAKONG sebagai ranah sumber dipetakan kepada manusia sebagai ranah target. Dalam khidupan bermasyarakat dimensi sosiologis, anggota masyarakat Trumon menganggap keadaan lintah yang ditaburi tembakau dan keadaan manusia yang hilang keangkuhannya disebabkan oleh perkataan orang lain memiliki persamaan yaitu akan meninggalkan tempat hanya dikarenakan oleh keampuhan tembakau pada lintah dan kata-kata yang menyudutkan pada manusia. Dalam sebuah tuturan jika penutur mengatakan: Beklam jih LINTAH GEUPU BAKONG. Universitas Sumatera Utara ‘Kemarin hilang keangkuhannya karena dia disudutkan oleh orang lain’. Ketika mitra tutur mendengar ucapan ini pastilah dia menyadari bahwa orang yang sedang dibicarakan itu adalah seorang yang angkuh, tetapi keangkuhannya menjadi sirna disebabkan oleh adanya ucapan-ucapan orang lain yang menyudutkannya.

022. MANOK Gallus domesticus

Manok ‘ayam’. Secara linguistik merupakan kata yang termasuk dalam klasifikasi nomina yang merujuk nama hewan ternak. Interelasi hewan ini dan masyarakat di Desa Trumon terefleksi pada banyaknya jumlah hewan ini dipelihara dan dikembangbiakkan dan hampir setiap keluarga memelihara ayam dalam jumlah yang banyak dimensi sosiologis. Ayam mempunyai kebiasaan tidur-tiduran dan sambil berguling-guling di tanah yang berdebu, sehingga seluruh bulu tubuhnya dipenuhi oleh debu, yang dalam bahasa Aceh disebut keupong abee ‘mandi debu’. Keupong abee merupakan peristilahan yang hanya digunakan sebagai perujukan kepada kegiatan ayam mandi. Kegiatan ini sering dilakukan oleh ayam saat hari panas. Apabila hewan ini ingin membuang debu dari bulunya cukup dengan berdiri kembali sambil mengepakkan sayapnya sehingga debu-debu tersebut terbang dan tidak bersisa lagi, karena karakter biologis dimensi biologis bulu ayam licin dan berkilat seperti diminyaki. Kegiatan ayam tersebut dipahami sebagai pengalaman inderawi dan pengetahuan alamiah bodily experience yang terekam secara verbal dimensi ideologis dalam kehidupan anggota masyarakat di Desa Trumon yang seterusnya memunculkan metafora MANOK KEUPONG ABEE. Universitas Sumatera Utara Struktur manok keupong abee merupakan frasa yang berasal dari penyatuan nomina manok ‘ayam’ dan kata majemuk keupong abee ‘mandi abu’, atau bergelimang abu yang secara harfiah bermakna ‘ayam mandi abu’ atau ‘ayam bermandikan abu’. Makna metaforis dari metafora MANOK KEUPONG ABEE dialamatkan kepada sesorang yang melarang orang berbuat suatu dosa, padahal dia sendiri melakukan hal itu, tetapi perbuatannya tersebut tidak diketahui orang dan kalaupun ketahuan, dengan licik dia berusaha mengelak dan akhir semuanya bisa tidak kelihatan lagi sehingga noda yang dilakukannya hilang dan tidak berkesan atau tidak berbekas. Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment merupakan keterhubungan antara kebiasaan alamiah ayam bermandikan abu yang terekam secara verbal memetakan ranah sumber manok dalam metafora MANOK KEUPUNG ABEE kepada manusia sebagai ranah target yaitu seseorang yang melarang orang berbuat dosa sedangkan di sendiri melakukan perbuatan dosa itu. Keterhubungan ini disebabkan oleh adanya ciri persamaan antara ayam mandi debu yang dapat menghilangkan debu-debu tersebut dengan hanya mengepakkan sayapnya, yang membuat debu serta-merta hilang tanpa kesan, demikian pula halnya dengan seseorang yang licik, melarang orang berbuat dosa tetapi dia sendiri melakukannya dan dengan mudah menghilangkannya hingga tidak berbekas sedikitpun juga. Universitas Sumatera Utara

023. Mie Felis silvestricatus

Mie ‘kucing’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, merujuk nama hewan peliharan. Interaksi hewan ini dengan masyarakat sangat dekat. Kedekatan interaksi ini tampak pada pemahaman masyarakat terhadap karakter biologis hewan ini. Dalam kehidupan sosial masyarakat Desa Trumon, kucing tinggal bersama-sama dengan manusia di dalam rumah dimensi sosiologis. Disebabkan oleh kedekatan interaksi ini pula, anggota masyarakat dapat mengenal sifat dan kebiasaan yang dilakukan oleh hewan tersebut yang seterusnya menjadi perhatian anggota masyarakat dan terekam dalam kognitif dimensi ideologis membentuk beberapa metafora yang menjadikan hewan ini sebagai ranah sumber. Metafora tersebut adalah: MIE PAJOH ANEUK MIE KEUENG MIE NGON ASEE. Metafora MIE PAJOH ANEUK sangat lazim di dengar dalam peristiwa komunikasi anggota masyarakat Desa Trumon, Mie pajoh aneuk merupakan konstruksi frasa yang berasal dari penyatuan nomina mie ’kucing’ dengan verba pajoh ‘makan’ atau ‘memakan’ dan nomina aneuk ‘anak’, yang secara harfiah bermakna ‘kucing makan anak’. Secara alamiah dimensi biologis kucing melahirkan anak dalam jumlah yang banyak, dengan kondisi tubuh yang berbeda-beda. Adakalanya anak yang dilahirkan tersebut dalam kondisi cacat. Anak cacat tersebut akan dimakan oleh Universitas Sumatera Utara induknya. Selain memakan anaknya yang cacat tersebut induk kucing juga akan memakan anaknya yang sudah disentuh oleh manusia. Berdasarkan insting yang dimilikinya kucing akan mengetahui apakah cacat tubuh anak tersebut disebabkan oleh kecelakaan terjepit atau tidak dan melalui indera penciumannya yang tajam induk kucing akan mengetahui pula bahwa anaknya sudah disentuh manusia. Selain induk kucing ada juga kucing jantan yang memakan anak kucing yang baru dilahirkan. Keadaan ini terjadi ketika induk kucing meninggalkan anaknya. Ketika kucing memakan anak mulutnya menjadi kotor disebabkan oleh noda darah yang tertinggal yang membuat orang jijik melihatnya dimensi sosiologis. Peristwa alamiah yang dialami oleh kucing ini, diperoleh berdasarkan penglihatan inderawi bodily experience anggota masyarakat membentuk metafora MIE PAJOH ANEUK. Makna metaforis yang terkandung dalam metafora MIE PAJOH ANEUK ini ditujukan kepada seseorang yang sangat suka memfitnah saudaranya sendiri. Perkataan fitnah yang diucapkannya kadang sampai merusak hubungan antara sesama anggota keluarga. Orang seperti ini dianggap mulutnya kejam seperti kejamnya kucing makan anaknya sendiri. Contoh tuturan berikut menggambarkan bahwa penutur meyakinkan mitra tutur bahwa berita yang disampaikan adalah fitnah dan yang menyampaikannya dianggap sebagai tukang fitnah, seperti: Bek ka dengeur jih MIE PAJOH ANEUK, ‘Jangan kamu dengar berita darinya dia tukang fitnah’. Universitas Sumatera Utara Metafora ini sering diberikan tambahan kata babah yang artinya mulut karena kegiatan memakan sesuatu menggunakan mulut dan kata-akat memfinah keluar dari mulut,.seperti pada contoh berikut: Bek ka deungeur babah jih MIE PAJOH ANEUK. Maksud dari tuturan ini adalah: ‘Jangan kamu dengar kata –katanya, mulutnya suka memfitnah’. Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment merupakan keterhubungan peristiwa alamiah yang dialami oleh induk kucing dengan seseorang yang suka menyebarkan berita fitnah pada saudaranya sendiri, memetakan ranah sumber mie pada metafora MIE PAJOH ANEUK kepada perilaku manusia gemar memfitnah sebagai ranah target. Sisa dari perbuatan induk kucing makan anak masih terlihat yaitu noda darah di mulut hewan itu yang dapat disamakan dengan mulut seorang yang memfitnah saudaranya sendiri, di mana hasil dari kata-kata fitnahnya berakibat menghancurkan hubungan kekeluargaan dan keakraban yang telah terbina selama ini. Metafora berikutnya yang menjadikan mie sebagai ranah sumber adalah MIE KEUENG, mie keueng merupakan konstruksi frasa yang bersal dari penyatuan nomina mie dan nomina keueng ‘kepanasan’, secara harfiah bermakna’ kucing kepanasan’. Jika seekor kucing kepanasan akibat suhu udara panas biasanya kucing tersebut akan gelisah dan akan terus mengeong- ngeong. Keadaan yang dialami oleh kucing saat kepanasan tersebut terekam secara verbal dalam kehidupan sosial Universitas Sumatera Utara masyarakat dimensi ideologis yang selanjutnya membentuk metafora MIE KEUENG. Metafora MIE KEUENG biasanya berkombinasi dengan nomina babah ‘mulut’. Keadaan mulut kucing yang mengeong terus ketika kepanasan, oleh masyarakat dianggap memiliki ciri persamaan dengan perilaku seseorang yang berbicara terus menerus. Materi pembicaraan orang tersebut bervariasi dari mulai masalah kebun sampai kepada pemerintahan. Bahkan sampai pula kepada acara tontonan bola, diuraikan secara lengkap sampai kepada prestasi yang dicapai oleh setiap tim dan personil yang menjadi idolanya menjadi bahan pembicaraannya. Contoh tuturan sebagai berikut: Babah jih MIE KEUENG, atau jih MIE KEUENG Makna metaforis yang terkandung dari tuturan ini adalah ‘mulutnya bicara terus tidak berhenti’. Parameter keterhubungan interrelationship dan parameter lingkungan environment merupakan keterhubungan ranah sumber mie pada metafora MIE KEUENG yang berkaitan dengan peristiwa alamiah yang terjadi pada seekor kucing saat kepanasan dipetakan kepada ranah target seseorang yang berbicara terus berkesinambungan dan sulit untuk dihentikan. Selain dari metafora MIE PAJOH ANEUK dan MIE KEUENG masih terdapat metafora lainnya, yang menjadikan mie sebagai ranah sumber dalam hubunganya dengan hewan lain, yaitu anjing yang disatukan dalam membentuk metafora. Satu diantara musuh kucing adalah anjing dimensi biologis. Anjing juga merupakan binatang peliharaan, yang tinggal di luar rumah di sekitar rumah pemiliknya. Dalam kehidupan sehari-hari anjing suka sekali menyerang kucing, Universitas Sumatera Utara sehingga dalam perkelahian antara anjing dan kucing sering menimbulkan suara gaduh. Keadaan ini dimensi sosiologis oleh masyarakat Desa Trumon dibentuk satu metafora tentang sifat keduanya yang tidak pernah berdamai. Metafora tersebut adalah MIE NGON ASEE. Mie ngon asee merupakan struktur frasa yang berasal dari penyatuan nomina mie ‘kucing’ dengan preposisi ngon ‘dengan’ dan nomina asee ‘anjing’ yang secara harfiah bermakna ‘kucing dengan anjing. Makna metaforis dari metafora MIE NGON ASEE ditujukan kepada dua orang atau lebih yang sesungguhnya mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat namun mereka tidak penah akur dan tidak terdapat hubungan yang harmonis antara mereka dan selalu saja terjadi percekcokan antara mereka sebagai contoh hubungan antara suami dan istri, antara ayah atau ibu dan anak, dan antara kakak dan adik. Selain dari hubungan kekerabatan yang tidak harmonis. Metafora ini juga ditujukan kepada hubungan antara teman sejawat atau hubungan antara atasan dan bawahan yang tidak pernah harmonis dan sering terjadi perselisihan pendapat yang kadangkala menimbulkan percekcokan antara mereka, Contoh tuturan berikut: Awak nyan MIE NGON ASEE, bermakna ‘Mereka itu tidak pernah akur, kerjanya hanya bertengkar saja.’ Parameter keterhubungan interelationship dan parameter lingkungan environment merupakan keterhubungan ranah sumber mie pada metafora MIE NGON ASEE, dalam hal ini berkaitan sifat alamiah kucing dan anjing dipetakan Universitas Sumatera Utara kepada ranah target yaitu perilaku manusia yang suka bertengkar dengan sesama, walaupun diantara mereka terikat oleh hubungan kekerabatan. Kondisi ini menempatkan anjing dan kucing sebagai ranah sumber yang dipetakan kepada manusia disebabkan oleh adanya persamaan perilaku.di mana kucing dan anjing tidak pernah menjadi sahabat dialamatkan kepada manusia yang dalam menjalani kehidupan tidak harmonis dan sering bertengkar, sukaberselisih paham dengan orang-orang terdekat di lingkungannya. Mereka tidak berusaha untuk saling memahami.

5.4 Kelompok Non- Flora dan Non- Fauna