Derajat kedekatan itulah yang dapat saja membedakan antar kelompok penutur atau subkelompok penutur bahasa yang sama di lingkungan ecoregion
tertentu dengan kelompok lainnya dalam bahasa yang sama. Variasi ungkapan metaforik itulah yang memperkaya khazanah keberagaman bahasa dan ungkapan-
ungkapan suatu bahasa. Dilacak lebih jauh, sebuah ungkapan atau beberapa ungkapan metaforik dalam bahasa yang sama, dapat saja hanya dimiliki,
dipahami, dan digunakan di lingkungan tertentu saja sesuai dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman
hayati dan nonhayati di lingkungan tertentu. Sebagai contoh, terdapat 51 metafora yang digunakan oleh masyarakat Trumon akan tetapi tidak di gunakan di desa lain
yang berdekatan yaitu Desa Meukek, Desa Bakongan dan Sawang. Mereka hanya mengetahui makna harfiah dari setiap metafora tersebut, dan mengakui bahasa
tersebut sebagai bahasa Aceh akan tetapi mereka tidak mengetahui dan atau tidak memahami makna metaforis yang terkandung dalam semua metafora tersebut.
Pemahaman ini sangat bergantung dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan
Desa Trumon.
2.1.3 Teori Dialektikal Sosial Praksis
Pada umumnya kajian-kajian linguistik di abad ke 21 merupakan turunan dari kajian linguistik yang berasal dari pandangan Ferdinand de Saussure
kecuali kajian ekolinguistik, seperti yang dinyatakan oleh Lindo dan Jeppe 2000:9. Ekolinguistik merupakan payung yang dapat memayungi dan
menyelesaikan keberagaman-keberagaman lingkungan alam dan lingkungan
Universitas Sumatera Utara
bahasa melalui pendekatan-pendekatan teori secara luas. Dalam pandangan kajian ini norma-norma bahasa merupakan bagian dari praksis sosial social
praxis. Berpatokan kepada teori yang bertalian dengan praksis sosial, pakar ekolinguistik menganggap bahwa bahasa merupakan produk sosial dari semua
kegiatan manusia, namun pada waktu bersamaan bahasa itu sendiri dapat mengubah atau memodifikasi kegiatan-kegiatan manusia dan praksis sosial
manusia. Interelasi dan interdependensi yang tergambar antara keterhubungan
bahasa dan praksis sosial, menurut Lindo dan Jeppe 2000:9, merupakan sebuah hubungan dialektikal antara bahasa dan praksis sosial. Lebih lanjut
Lindo dan Jeppe 2000:9 menjelaskan bahwa dalam hubungan dialektikal ini praksis sosial mendominasi bahasa. Pendominasian praksis sosial terhadap
bahasa disebabkan oleh satu pemahaman bahwa praksis sosial tanpa bahasa mungkin saja terjadi, akan tetapi baik secara historis maupun secara logis,
bahasa tanpa praksis sosial mustahil terjadi. Lindo dan Jeppe 2000:10 juga berpendapat bahwa penelitian ilmiah terhadap bahasa juga merupakan penelitian
ilmiah tentang praksis sosial, sehingga teori-teori bahasa juga merupakan teori- teori praksis sosial. Ini berarti secara disadari maupun tidak semua teori bahasa
berhubungan dengan praksis sosial. Akibat keterhubungan antara teori bahasa dan teori praksis sosial, kajian
ekolinguistik merancang sebuah teori linguistik yang dihubungkan dengan teori dialektikal praksis sosial yang dikenal sebagai The Three dimensionality of
social praxis Tiga Dimensi Praksis Sosial. Teori tiga dimensi praksis sosial
Universitas Sumatera Utara
merupakan teori ekolinguistik yang banyak dipergunakan oleh Odense School, sekolah yang didirikan oleh Bang and Door 1998. Teori ini diaplikasikan
dalam mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan untuk menjelaskan tentang norma-norma bahasa lingkungan yang direpresentasikan dalam bentuk kerangka
teori. Menurut Lindo dan Jeppe 2000:10 teori tiga dimensi tersebut adalah,
pertama dimensi ideologis the ideological dimension, yaitu hubungan individual dan mental kolektif, kognitif dan sistem psikhis seseorang yang
terlefleksi pada bahasa, khasanah kebahasaan dengan kandungan maknanya dan perilakunya. Berikutnya dimensi sosiologis sociological dimension yaitu
tentang cara seseorang mengorganisasi hubungan antara sesama untuk membangun, menjalin dan memelihara keharmonisan hubungan individual
secara kolektif, seperti rasa saling menyayangi satu sama lain di antaranya rasa saling menyayangi dalam anggota keluarga, atau antara sesama teman, dan
saling mengenal antara tetangga atau suku. Ketiga adalah dimensi biologis biological dimension yaitu yang bertautan dengan lingkungan alam dan hidup
berdampingan dengan alam serta seluruh isinya, termasuk ke dalamnya spesies flora, fauna, batu-batuan, mikro dan makro organisme.
Berdasarkan teori dialektikal ini, tidak ada satu kejadianpun atau perwujutan yang monodimensi atau monologikal. Lindo dan Jeppe 2000:11
menjelaskan bahwa aktivitas bernafas sebenarnya bukan sekedar kegiatan biologis manusia, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mental dan sosial
manusia. Kajian ekolinguistik tiga dimensi praksis sosial ini mengandung arti
Universitas Sumatera Utara
bahwa bahasa juga merupakan tiga dimensi entitas dari praksis sosial. Oleh sebab itu kajian linguistik perlu mengurai bahasa dalam tiga dimensi ini.
Menurut pandangan kedua pakar ini, ekolinguistik merupakan sebuah kajian keterhubungan bio-, sosio-, dan ideo-logis dimensi bahasa, sehingga hubungan
mental, kognitif, lingkungan sosial harus saling bahu membahu.
2.2 Linguistik kognitif
Linguistik kognitif merupakan kajian linguistik yang dianggap masih baru kemunculannya. Walaupun tahun kelahirannya masih belum diketahui secara jelas
tetapi Barcelona dan Javier 2007:17 menyatakan bahwa teori ini muncul sekitar tahun 1987. Pada tahun tersebut tiga buku ditulis oleh pakar linguistik seperti
Lakoff 1987 yang menulis, Woman, Fire, and Dangerous Things, Langacker 1987 menulis, Foundation of Cognitive Grammar, dan Johnson 1987 menulis
The Body in The Mind. Pada tahun 1989 mereka membentuk sebuah asosiasi yang bernama International Cognitive Linguistic Association ICLA dan pada tahun
1999 asosiasi ini mengadakan konferensi pertamanya. Lebih lanjut Barcelona dan Javier 2007:18-22 menjelaskan bahwa
linguistik kognitif mengganggap, kemampuan seseorang belajar dan menggunakan bahasa ibunya merupakan kemampuan yang unik yang berada pada
mental seseorang yang khusus dibawa sejak lahir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan kognitif manusia secara umum kemampuan ketajaman mata,
sensori motorik, kemampuan kinesthetic seseorang atau kemampuan lainnya. Kemampuan manusia berbahasa dalam memahami makna ucapan dan kalimat
banyak dipengaruhi oleh kultur, konteks, dan fungsi ucapan. Seseorang
Universitas Sumatera Utara